Sunday, January 1, 2012

KAMPUS TEROR

 Di sebuah universitas.

Danny Matthew masih berdiri di depan cermin, saat hapenya berdering. Dia langsung meraihnya dan menjawab panggilan.
            “Oke, aku ke bawah sebentar lagi.”
            Dia mengambil jaket dan memasang sepatu. Siap untuk pergi ke Red Bar bersama tiga temannya. Mereka setiap pekan ke sana sejak menjadi mahasiswa enam bulan yang lalu.
            Dia turun dari lantai sepuluh dengan lift. Di lobi asrama teman-temannya telah menunggu. Eric River si pendiam, Josh Hawke si cerdas, dan Samuel Karnegi si playboy menyapanya lebih dahulu.
            “Ayo berangkat!”

Red Bar jadi tempat nongkrong paling asyik di kota. Hampir semua mahasiswa menghabiskan malam akhir pekan disini. Satu hal yang perlu kamu lakukan untuk menjadi anggotanya yaitu plantasi sebuah chip RFI (Radio Frequency Identification) di lengan kirimu. Ini seperti tanda pengenal yang lebih efektif daripada kartu biasa. Siapa saja yang punya RFI, bisa masuk ke bar, restauran, atau hotel tertentu di seluruh dunia, dan dapat diskon.
            Tren ini dikenal mahasiswa satu tahun yang lalu dan langsung disambut antusias. Ramai-ramai mereka melakukan plantasi karena sudah teruji aman dan tak akan merusak bagian tubuh manapun. Plantasi dilakukan sekitar satu jam dan istirahat sehari penuh. Operasinya ringan dan tidak berbekas sedikit pun. Jangan kuatir ada bekas jahitan di lenganmu.
            Danny dan tiga temannya juga punya RFI. Saat masuk ke bar mereka melewati palang scan tubuh dan komputer otomatis mencatat nama mereka.
            Bar itu besar. Hari belum terlalu larut tetapi tempat ini sudah dipenuhi orang-orang. Sam menawarkan diri memesan minuman dan yang lain mencari tempat duduk kosong.
            Danny dan Josh terlibat percakapan seru tentang siapa yang akan terpilih menjadi Ketua Mahasiswa. Mereka punya unggulan sendiri-sendiri. Kadang mereka berdebat. Tapi setelah itu mereka menjelek-jelekkan beberapa dosen dan senior mereka yang sok. Eric diam sambil mengedarkan pandangan. Dia melihat seorang cewek cantik berambut ikal mendekati mereka. Eric tersenyum padanya.
            “Hai, Eric,” sapa cewek itu begitu saja. Dia duduk di samping Danny, yang menyambutnya dalam pelukan. “Sudah lama, Dan?”
            “Kami baru sampai. Sam sedang mengambil minuman,” jawab Danny.
            Sam datang. Mereka mengambil minuman masing-masing. Stella mengatakan dia tidak minum karena ada yang harus dilakukannya di perpustakaan malam ini. Buku-buku baru sudah datang.
            “Padahal aku masih mau bersamamu,” kata Danny manja pada pacarnya. Dia cemberut, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Stella bekerja part time di perpustakaan. “Tapi mau dansa sebentar?”
            “OK,” jawab Stella. Mereka turun ke lantai dansa dan menari.
            Pacar Sam dan Josh, Ann dan Lois, datang dan begabung bersama mereka. Di kelompok itu hanya Eric yang tidak punya pacar. Teman-temannya tahu cowok tampan itu begitu pendiam. Cewek-cewek kadang tak tahan dengannya. Saat kencan suasana sesepi kuburan. Akhirnya semua menyerah mencomblangi Eric dengan siapapun.
            Semakin malam semakin asyik. Sayangnya Stella harus pergi. Danny masih berdansa sendiri atau dengan cewek-cewek lain. Dia terkenal di kampus karena pernah menantang senior. Dia jadi ikon pemberontak dan digilai cewek, tapi bukan playboy. Apalagi kelompok Danny selalu menjadi trendsetter kampus.
            Saat dia menari bersama cewek lain, terdengar suara tembakan. Semua orang kontan terkejut, tak terkecuali Danny. Suasana menjadi tidak terkendali karena si penembak membunuh dua orang. Kenapa keamanan di sini lalai membiarkan  orang berbahaya masuk? Saat dia melihat wajah orang itu, Danny mengenalinya, Tomas Wheatt, teman SMU-nya dulu.
            Tomas berjalan dengan cara yang aneh. Seperti dia ingin berhenti namun tubuhnya tidak menurut. Wajahnya diliputi amarah. Danny tetap berdiri di tempatnya dan tak berpikir kabur. Tomas tak mungkin membunuhnya, tak ada alasan untuk itu. Tapi, siapa yang tahu isi pikiran orang yang bawa pistol?
            Tomas berjalan mendekati Danny dan menodongkan pistol.   Danny cemas tapi bergeming seperti menantang. “Kau mau membunuhku?”
            Belum sempat dia mendapat jawaban terdengar suara tembakan lagi. Kali ini membuat pistol Tomas terlempar. Tembakan berikutnya merobohkan cowok itu. Danny terpana dan lega bisa selamat. Keamanan berhasil meringkusnya.
            Besok paginya, berita ini disiarkan televisi dan Tomas dipenjarakan. Pihak Red Bar berjanji akan memperketat penjagaan. Di akhir pekan berikutnya bar masih tetap ramai, meski sebagian pelanggan tidak mau datang lagi.

Danny masih ingat rasa nyaris mati. Satu tembakan saja bisa melubangi dahinya. Jika itu terjadi, mungkin dia tidak akan berada di kampus lagi, mendengar ceramah Prof. Joaquin tentang perdamaian dunia.
“Banyak perperangan di masa lalu terjadi dan masa depan mungkin masih ada. Benturan kepentingan dan kekuasaan adalah salah satu hal yang wajar.” Di akhir kuliah, Prof. Jaquin memberikan tugas membuat makalah.
            Jam makan siang, Danny bersama Stella.
            “Aku tak tahu kenapa dia ingin membunuhku juga. Aku bahkan jarang bicara dengannya.” Danny mendesah, kemudian menggigit burger-nya.
            “Dia membunuh siapa saja,” kata Stella mencoba jawaban.
            “Aku baca di situs kepolisian kalau dua orang korban adalah  teman si pelaku.”
            “Kalau begitu dia keliru memilih sasaran,” sahut Stella. “Sayang, jangan pikirkan hal itu lagi. Jangan menyusahkan pikiranmu. Bagaimana kalau bicara tentang kita, sebentar lagi libur ekstra. Kita bisa pergi kemping lagi.”
            “Kamu benar. Kemping? Bagaimana kalau ke pantai?”
            Tiba-tiba di luar kantin terdengar keributan. Orang-orang berlarian. Danny dan Stella langsung beranjak untuk melihat keadaan. Di luar sana seorang cowok menggendong cewek yang kepalanya berlumuran darah. Stella bertanya pada seorang cewek di sampingnya bagaimana kejadiannya.
            “Teman cewek itu memukul kepalanya pakai hak sepatu runcing. Padahal mereka sedang di kelas,” jawab cewek pucat itu. “Aku tak tahu kenapa terjadi. Pelakunya orang baik-baik. Mereka bersahabat dan mustahil tiba-tiba saling bunuh. Ini kutukan pada kampus ini.”
            Danny dan Stella sama sekali merasa ini bukan kutukan. “Kutukan? Oleh siapa?” tanya Danny bukan kepada siapa-siapa.

Televisi kembali mengabarkan berita menghebohkan. Tingkat kejahatan meningkat di seluruh kota. Ada pembunuhan di tempat umum, rumah, kampus, bahkan seorang dosen tewas ditangan mahasiswa tahun akhir bimbingannya. Kota tercekam. Orang-orang saling curiga pada yang lain karena takut dibunuh.
            Tomas ditemukan bunuh diri di selnya. Juga beberapa pelaku yang ditangkap. Penjaga penjara bersaksi tawanan kadang bergetar aneh dan menjerit. Akhirnya, kebijakan penjara melarang pelaku dikeluarkan dari sel.
            Dimana-mana pembunuhan, darah, hunbungan yang renggang.
            Laboratorium universitas dan RS Julian mengadakan penelitian terhadap kasus ini. Hasilnya diduga besar karena chip RFI yang tertanam di lengan kiri itu. Para pelaku pembunuhan memiliki chip yang terlarut di dalam tubuh dan menyebar ke sel-sel saraf. Kandungannya dapat mengacaukan saraf dan otak. Efeknya timbul hasrat untuk membunuh akibat dendam. Ternyata pelaku membunuh korban yang dibencinya semasa hidup.
            Danny berkesimpulan Tomas membenci dirinya. Memang Danny pernah mengejek Tomas selama di SMU. Kalau begitu dia harus hati-hati terhadap orang yang pernah disakitinya.

Danny kesal setengah mati karena makalahnya ditolak oleh Prof. Joaquin. Dia tanya alasan profesor, dia tidak terima kerja kerasnya ditolak.
            “Kamu tidak mengerjakannya dengan sepenuh hati, Danny,” kata Prof. Joaquin tenang. Pengalaman hidup mengajarinya bahwa emosi itu bisa dikendalikan.
            Sedangkan Danny masih belum genap dua puluh tahun dan darahnya panas. “Prof seperti Tuhan saja tahu hatiku.”
            “Aku hanya ingin kamu memperbaiki makalah dan kita lihat kesungguhan hatimu. Aku ingin makalah itu sempurna.”
            “Tapi, waktu saya akan tersita dan tidak bisa melakukan hal lain.”
            “Aku ingin kamu seperti papamu.”
            Papa Danny juga mengambil mata kuliah yang sama, dan  dia lulus dengan nilai sempurna.
            “Aku adalah aku!!”
            “Kuingin kamu meniru semangatnya, bukan menjadi dia.”
            Danny masih kesal tapi tak bisa berbuat apa-apa. Dia harus lulus dan mendapat nilai lebih baik dari papanya.

Melakukan hal sepenuh hati, sepertinya sulit dilakukan. Apalagi untuk sebuah tugas yang … hanya tugas. Mungkin riset dan kepustakaannya kurang. Atau bahasanya yang kurang lancar. Entahlah. Akhirnya Danny memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Dia akan menemui Stella lalu meminta pendapatnya tentang makalah ini.
            Stella punya kantor kecil di belakang pustaka. Di sana dia bertugas mencatat buku yang masuk dan mengolah data statistik perpustakaan. Di kantor itu pula Danny dan Stella sering bersama. Tanpa ragu, Danny menuju ruangan itu.
            Namun, dia terkejut…
            Pintunya sedikit terbuka dan Danny bisa mengintip dalamnya. Ternyata Stella tidak sendiri. Dia bersama orang lain, dan dia Eric. Mereka...  berciuman. Kekagetan Danny saat itu lebih parah daripada ditodong sepucuk pistol.
            Danny tak langsung bereaksi, sejenak dia diam, lalu pergi. Hatinya bergemuruh. Hatinya hancur. Mungkin hal yang sepenuh hati dilakukan Danny adalah mencintai Stella, tapi cewek itu tidak. Sepenuh hati untuk sebuah pengkhianatan? Kenapa tidak untuk sebuah kebanggaan? Danny berharap dia bisa membuat makalah yang sepenuh hati.

Danny mematikan TV dan mulai membaca buku referensi. Dia duduk di tepi jendela yang menawarkan pemandangan alam pegunungan yang indah. Di sana dia pernah kemping bersama Stella dan kelompoknya. Dia percaya tak akan ada kemping lagi.
            Untuk mengusir lamunan itu, Danny meminum kopi buatannya. Tekadnya adalah membuat Prof. Jaquin dan ayahnya bangga.

Berita tentang RFI terkontaminasi tetap menjadi headline. Setelah dicek, orang-orang yang RFInya rusak dan larut melakukan plantasi sekitar dua sampai empat bulan yang lalu. Walikota menghimbau warga yang diplantasi dalam jangka waktu tersebut untuk mengecek ke rumah sakit atau laboratorium. Disana mereka akan diberi obat untuk pencegahan hal yang tak diinginkan.
            Stella tidak tahu kenapa Danny menjadi begitu dingin. Apakah Danny tahu tentang dia dan Eric? Tidak mungkin. Dia tahu jadwal Danny dan mereka tak pernah ketahuan, setidaknya selama ini. Aneh sekali Danny memintanya untuk tidak menelpon hanya karena harus menyelesaikan tugas kuliah. Stella berusaha keras menerima alasan itu.
            Siang itu, dia ke rumah sakit untuk mengecek RFInya yang diplantasi tiga bulan lalu. Untung saja tidak sempat larut. Kata dokter, korban RFI larut dipengaruhi emosi. Semakin sering mengeluarkan emosi yang kuat, semakin besar kemungkinan RFI akan larut di saraf.
            “Silakan ambil obat ini dan minum tiga kali sehari dengan air hangat,” kata perawat sambil memberikan kantong obat pada Stella.
            Stella tidak tahu apakah Danny sudah ke rumah sakit. Dia dilarang menelpon. Tapi masa untuk bertanya itu saja tidak boleh? Dia bikin tugas apa sih?
            Hape Danny tidak aktif.
            Stela ingin ke asrama Danny, tetapi tak sempat karena banyak tugas di perpustakaan yang harus dilakukannya. Akhirnya dia menelpon Eric.

Danny sulit fokus karena bayangan kejadian itu menghantuinya. Dia sulit menulis sepenuh hati. Dia makin bingung dan mengurung diri di kamar seharian. Keluar hanya untuk kuliah dan makan. Teman-temannya heran dengan sikap aneh Danny. Eric berfikir Danny tahu tentang Stella, hanya saja dia tidak mungkin membicarakannya.
            Emosi itu bercampur baur di dada Danny. Pertama, dia sulit melakukan hal sepenuh hati. Kedua, dia ingin papanya berhenti pengaruhi hidupnya bahkan setelah dia tiada. Ketiga, Stella tidak mengunjunginya atau mengakui kesalahannya. Empat, dia muak melihat Si Pengkhianat Eric.
            Emosi itu muncul tenggelam. Danny menepisnya dengan nonton film lucu atau baca komik. Namun, hatinya kacau balau.
            Suatu malam, di tengah malam, saat dia tak bisa tidur, Danny mendengar sebuah suara asing di kamarnya. Dia mengedarkan pandangan, tapi tak ada sosok. Hanya suara yang berkata suatu yang tak jelas. Dia merasa dirinya sudah gila.
            Danny masih punya waktu dua hari sebelum mengumpulkan tugasnya. Setengah lagi dia merampungkan tugas itu. Lelah bergadang, Danny tidak kemana-mana. Dia mengurung diri di kamar dan tidak menerima tamu.
            Suara itu muncul lagi. Samar, ucapannya sulit ditangkap. Danny mencoba fokus agar dapat mendengar dengan jelas.
            “Bunuh saja dia!”
            Danny tersentak. Lengan kirinya terasa sakit. Suara itu berkata lagi di kepalanya.
“Bunuh siapa?” tanya Danny.
            “Orang yang kamu benci. Mereka pantas mati,” sahut suara asing itu.
            Tubuh Danny serasa dikontrol orang lain. Dia mengambil hapenya dan menelpon. Stella menjawab di seberang.
            “Bisa kamu ke kamarku, Stel?” pinta Danny.
            Stella menyanggupi.

Stella tidak memprediksi apa-apa saat Danny membuka pintu untuknya. Semua tampak normal sampai Danny tiba-tiba membekap mulutnya. Stella berteriak tapi tak bersuara.
            “Kenapa kamu bisa tega padaku, Stel? Dia temanku!”
            Stella ingin mengucapkan maaf tapi hanya bisa terisak. Lengannya dikunci Danny dan itu menyakitkan. Apakah Danny terkontaminasi RFI larut?
            “Sepenuh hati aku mencintaimu. Semua jadi tak berarti saat kulihat kalian berdua. Aku hancur, Stel. Kamu hancurkan aku.”
            Stella menendang kaki Danny sekuat tenaga dan secepatnya melepaskan diri.
            “Maafkan aku, Dan. Aku bersalah. Semua terjadi begitu saja. Dia mencintaiku,” kata Stella menjaga jarak dengan pacarnya.
            “Dan kau?”
            “Tentu aku cinta kamu.”
            “Bohong!” teriak Danny bersamaan dengan suara asing yang berkata, “Bunuh dia!”
            Danny menyerang Stella dan mencekiknya. Stella meraih apapun di dekatnya. Dia memukul kepala Danny dengan sebuah hiasan dari kayu. Danny terhuyung dan dahinya berdarah.
            Danny mengejar cewek itu lagi. Stella berusaha meloloskan diri sampai dia pikir cowok itu kelelahan saat menghilang ke dapur.
Ternyata Danny mengambil sebilah pisau. Wajah Danny tampak lebih ganas.
            Stella berlari lari, tapi seberapa pun kuatnya dia, akhirnya Danny bisa mencengkeram Stella dan mendorongnya ke dinding. Satu gerakan pisau sanggup merobek perut Stella. Tapi, pisau itu malah jatuh berkelontang ke lantai.
            “Kumohon, berhenti! Aku tak bisa bunuh Stella,” rengek Danny pada suara asing. “Aku mencintainya.”
            Stella terhenyak di depan Danny. Tangan cowok itu masih menguncinya. Saat dia merasa longgar cepat-cepat dia menyingkir.
            Danny menjerit agar suara asing itu berhenti. Kepada Stella, dia menyuruh gadis itu pergi. “Pergi Stel, aku bisa membunuhmu. Tolong kurung aku dikamar ini.”
            Stella bingung, tapi tetap melakukan apa yang disuruh Danny. Dia mengunci Danny dan menelpon Eric. Dia ceritakan semuanya. Eric janji akan datang secepatnya.
            Stella menangisi kebodohannya. Dia mengkhianati Danny yang sepenuh hati mencintainya. Untuk apa mencari kenikmatan lain kalau ada yang terluka? Kenapa dia begitu jahat?
            Suara teriakan Danny terdengar samar. Stella ketakutan. Saat Eric tiba, terdengar suara kaca pecah dari dalam. Langsung dua orang itu masuk dan melihat satu jendela rusak. Kacanya pecah.
            Stella dan Eric perlahan-lahan mendekati jendela. Banyak darah di sana.
            Stella mengalihkan pandangannya ke Eric. Dia takut dengan pikirannya sendiri. Dia bisa menebak apa yang terjadi tapi... tak mungkin! Danny tak mungkin berbuat konyol seperti melompat dari jendela.
            Eric mencoba menenangkan Stella. Dia melarang cewek itu ikut melihat apa yang ada di bawah sana.
Tubuh Danny terbaring di atas tanah.
            Hancur dan berdarah.
            Tangis Stella kontan menggema ke segala penjuru.

Dimuat di Story Teenlit Magazine, November 2009

2 comments:

  1. kesel banget sama stella asdfghjkl dan feel-nya kerasa banget pas Danny bunuh diri demi cewe yang udah selingkuhin dia. dan Eric diam2 menghanyutkan, tiga perpaduan yang bikin nyesek pas baca cerita ini. tapi secara keseluruhan cerita ini bagus dan realistis, terutama bagian RFI yang membuat kacau saraf. salut buat kakak yang udah nulis cerita sekeren ini :) ditunggu ya kak karya2 selanjutnya.

    ReplyDelete
  2. Terima aksih sudah baca, Asha :D

    Ini cerpen pertamaku yang masuk majalah Story, jadi masih banyak kekurangan, ya? :D
    Wah, terima kasih ya mau menunggu. :)

    ReplyDelete