Aku mendengar suara pertengkaran itu saat
kami sekeluarga menikmati makan malam kami. Sajian hari ini cukup istimewa,
ayam goreng Kentucky. Produk Amerika, KFC, tapi anak muda di Bukittinggi
suka menyebut restoran ini Inyiak, artinya Kakek. Aku melamun. Mencoba
untuk bersikap bahwa kami tidak mendengar apa-apa dari rumah sebelah. Ayah,
Mama, dan adik lelakiku juga seperti itu. Johan, adikku sibuk bercerita tentang
sekolahnya. Padahal tidak ada yang menarik.
Itulah tidak enaknya tinggal di lingkungan
dengan rumah berjejer rapat. Dinding rumah berbagi dengan tetangga. Maklum,
orang tuaku hanya sanggup mengontrak disini. Kami meninggalkan rumah gadang
yang lapang di Payakumbuh untuk hidup di Bukittinggi yang berantakan. Untuk
hidup lebih baik kata mama. Katanya di Bukittinggi kesempatan berdagang jauh
lebih besar. Apalagi, ini alasan utama, mama menikahi seorang pria Bukittinggi.
Aku punya ayah tiri, dia memboyong kami dan membiarkan kami meninggalkan Inyiakku
yang tua dengan kakak mama yang menyebalkan. Mama senang, tentu saja. Dia benci
mengurus kakek, padahal aku cinta kakek. Meninggalkannya dengan segala
keterbatasan usia tua, 82 tahun, adalah kejam. Tapi apa yang kumampu tolak.
Mama penguasa tubuhku. Biar tubuhku menjadi budaknya, otakku tetap milikku
sendiri. Biar dia memarahiku setiap hari, aku tahan. Mendongkol dalam hati, dan
kutumpahkan melalui... bonekaku.
Jari telunjuk dan jempolku bergotong
royong mencabuti serat-serat daging ayamku. Aku meninggalkan kulitnya yang
gurih. Aku suka menikmatinya belakangan. Renyah, rasanya seperti tak akan
membeli lagi. Uang kami tak selalu cukup.
Johan mengambil kulit gurihku degan
cepat. Refleks aku berteriak. ”Kembalikan!!” Uuh, kenapa aku melamun sehingga
maling kecil ini mengambilnya? Aku mencoba mengambilnya kembali. Tapi aku
ceroboh, gelas dengan air putih penuhku tumpah. Meja menjadi basah.
Mama berteriak, ayah mengumpat
kasar.
”Kamu ini kenapa Ami!! Jangan
seperti bocah lagi. Apa salahnya adikmu minta punya kamu sedikit. Apa ruginya?”
pekik Mama, suaranya mengalahkan tetangga. Mungkin orang rumah sebelah kaget
mendengarnya. ”Ambil lap!! Capek lah!”
Aku bernjak dari dudukku. Pergi
kedapur yang hanya dua langkah dari meja makan. Mengambil lap bekas kaos ayah.
Segera aku mengelap meja yang basah. Air meresap.
Selalu aku salah. Setelah mengalah
sampai tidak mendapat daging dada, hanya paha kecil, Johan masih minta
punyaku. Rakus sekali si ketek ko. Seperti biasa, dia yang dibela. Aku?
Sudah besar, jangan lawan lagi adikmu. Lawan? Dia yang cari lawan!
Di sampingku, Johan mencibir. Dia
jelek. Kulitnya sedikit hitam, badannya gemuk, giginya besar-besar, hidung
besar, dan rambutnya seperti ijuk. Semua warisan ayah. Beda denganku yang lebih
kuning langsat, hidung pesek, mata sipit, dan perawakan kecil. Aku warisan papaku yang meninggal dua tahun lalu.
Ibu masih menggerutu tentang betapa
kekanak-kanakan aku. Aku tidak sabar, aku pelit, pemarah, bahkan sampai pada
hal yang tidak berhubungan. Aku pemalas katanya, mengurung diri dikamar terus,
pendiam dan sok pintar. Sok pintar? Masa dia iri pada anak sendiri hanya karena dia tidak pernah
sekolah? Mama egois sekali.
Sedangkan ayah hanya diam tidak
peduli, dia tidak pernah peduli tentangku. Peduli Johan anak kandungnya
sendiri pun tidak, apalagi padaku.
Hatiku panas dengan semua kata-kata itu. Aku
menahan amarahku. Ku habiskan makananku. Selesai. Selanjutnya mencuci piring. Selesai.
Mengelap dapur. Selesai. Menampung air di keran depan rumah untuk mengisi
penampungan air untuk dimasak. Selesai. Akhirnya aku punya waktu untuk diri
sendiri. Membuat PR Sastra, itu agendaku malam ini.
Aku masih ingat guru sastraku
mengatakan dengan menulis kita bisa mencurahkan segala hal yang kita rasa.
Senang, bahagia, sedih, kecewa, bahkan amarah. Efektif untuk curhat. Jadi tidak
makan hati lagi. Dan lebih menarik, menulis bisa menghasilkan uang. Uang? Aku
butuh uang lebih untuk jajanku. Mama hanya memberi ongkos ke sekolah.
Selama ini aku curhat sambil meninju
bonekaku. Boneka Teddy Bear kualitas jelek hadiah dari Mamakku. Aku selalu
berbisik di telinganya. Berbisik tentang hidup yang menyebalkan, tentang orang
tua yang buruk, adik yang jelek, atau pergaulan sekolah yang materialistis.
Tentang cowok yang kutaksir tapi dia tak pernah pedulikan aku, tentang guru
kimia yang tak mampu mengajar, bahkan tentang cewek-cewek berjilbab lebar yang
selalu menasihatiku tentang memakai jilbab. Uuh, mereka menasehati tapi tak
peduli kalau aku tak ada uang untuk membeli jilbab. Makan siang saja hanya
kuservis dengan roti seribu. Untuk jilbab mana ada uang? Minta Mama tidak
mungkin, dia tidak bejilbab dan keluarga kami tidak relijius. Ayah saja tidak
shalat.
Kini aku punya cara menyalurkan
emosiku. Lebih aman, kata guruku. Benarkah? Lagipula aku harus mengerjakan
PR-ku. Membuat cerpen. Memang tidak dikumpulkan besok, hanya aku ingin ada
kerja. Daripada melamunkan cowok itu. Cinta bertepuk sebelah tangan. Huh,....sebel
jadi cewek kayak aku.
Entah angin apa yang membawaku ke
ruangan guru. Aku duduk dihadapan Bu Neti, guru Sastraku, membantunya melipat
kertas undangan rapat wali murid dan memasukkan ke amplop lalu menuliskan nama
wali murid. Banyak sekali, tapi sialnya aku yang lewat depan ruang guru dipanggil
Bu Neti.
Entah angin apa pula yang
membuatku membuka mulut. ”Bu Neti...,” kataku sambil terus melipat undangan. Bu
Neti yang sedang menulis mendongak. Dia menatapku seperti bahwa hanya aku yang
menjadi perhatiannya. Entahlah, tapi aku merasa begitu. Apa penulis seperti
itu? Belakangan aku tahu kalau itu gaya penulis yang suka mengamati
lingkungannya. ”Bagaimana menulis cerpen yang bagus dan, hmmm, bisa terbit di
media?”
Dia tersenyum, kemudian memujiku
yang tertarik dengan sastra. Dia memang menerangkan di kelas hanya singkat
saja, karena kurikulum sekarang menuntut siswa aktif, bukan guru aktif. Dengan
sabar dia menerangkan sambil tetap bekerja. Otakku menyerapnya. Cerpen itu
begini, harus begitu. Penokohan, seting, latar, referensi. Namun, akhir katanya,
”Teori memang perlu, tapi jangan terikat. Menulis saja, mengalirlah kata-katamu
di kertas. Jangan takut mengungkapkan perasaan.”
Hingga malamnya aku masih merasa rumah siputku
bergetar mendengarkan kata-kata Bu Neti. Aku harus bisa membuat cerpen yang
bagus. Aku tahu aku akan bisa, karena begitu banyak emosi yang harus aku
salurkan. Aku akan membuat kisah yang bagus. Tunggu..., tenang apa?
”Tulis tentang dirimu, jika kamu
tidak tahu akan menulis apa.” Suara Bu Nti lagi. Aku bersemangat untuk berkarya.
Setelah menyelesaikan tugas-tugas rumahku, dan bonus omelan mama karena aku
lupa buang sampah, aku segera di depan meja belajar dan mulai membuat PR. Baru
kali ini PR begitu aku butuhkan. Sebelumnya kalau ada PR...panek!
Aku mengambil pena dan buku tulis
bekas yang beberapa helai masih kosong. Sebagai orang miskin penghematan adalah
penting. Aku menggunakan buku tulis SMP dulu. Kesukaan memanfaatkan barang
bekas kutiru dari Inyiak.
Pena besentuhan dengan kertas, mata
pena membekaskan titik hitam diatas putih. Aku membeku. Tanganku terapung di
lautan kata, tenggelam seperti umpan pancing, tapi tak ada ikan yang
mendekat... bahkan yang kecil sekali pun. Aku tak mampu menulis. Aku tak tahu
apa yang akan kutulis. Seperti selang airyang macet. Seseorang menginjak
selang. Air tak keluar. Sesuatu, seperti ketakutanku? Aku takut orang tahu
tentang aku. Takut teman-teman tahu tentang keluargaku yang hancur. Takut jika
aku terlalu jujur... membeberkan semua.
Tanganku, kenapa kamu berhenti di
tempat? Bahkan satu kata pun belum terukir, satu emosi pun belum kusalurkan.
Kenapa takut dengan kejujuran? Apa salah dengan berteriak ke dunia kalau kamu
ada dan butuh ditolong. Aku menulis maka aku ada. Kalau tak pernah menulis
hanya seperti manusia yang numpang lewat di dunia. Tak ada bekas.
Setelah berjibaku antara hati
penulis dengan hati penolak, akhirnya aku menuliskan kalimat pertama. Setiap
manusia diciptakan dengan jalan hidupnya masing-masing, itulah kalimat pertama
dariku. Kalimat kedua: sebagian beruntung dan bahagia sedangkan yang lain perlu
perjalana mencapai bahagia. Kalimat ketiga: apa hidup benar-bena adil? Kalimat
keempat: tanya hatimu, apa yang kau dapat di hidupmu? Selanjutnya, sedangkan
katanya Tuhan menciptakan mausia untuk menolong sesama. Tapi dimana orang yang
akan memolong gadis ini?
Menolong sesamanya? Aku berpikir. Aku butuh
ditolong? Ya, aku butuh keluar dari lubang hitam bersama keluarga yang tak
punya harapan lagi. Namun, siapa? Teman-temanku tertinggal di Payakumbuh.
Sedangkan di Bukittinggi semua harus bersatus gaul, kaya agar diterima
pergaulan. Aku tersingkir, bahkan di babak pertama. Aku miskin.
Tokoh cerpenku adalah seorang gadis
seumuranku, tapi dia lebih jelek dariku. Aku membuatnya begitu menderita karena
aku ingin ada yang lebih menderita dariku. Padahal jalan ceritanya sendiri
adalah kisah hidupku, dengan perbedaan kota tempat tinggal, sekolah, dan nama.
Tokohku punya ayah tiri mantan pacar
ibunya sewaktu muda. Setahun ayah kandungnya meninggal dunia, mereka menikah,
lari dari rumah menuju Bukittinggi. Gadis ini, hanya dianggap beban orang
tuanya. Seharusnya dia ikut masuk ke liang lahat bersama ayahnya karena beliau
sumber cinta dan kekuatan hidupnya. Setiap hari dia dintimidasi keluarganya
sendiri. Dimaki, dihina hanya karena dia anak seoang laki-laki yang tidak
dicintai ibunya. Laki-laki yang distinurbayakan kakek nenek.
Egois sekali, pikirku tentang si
tokoh ibu, mamaku sendiri. Kasihan, tentang si gadis. Tak seharusnya dia
seperti itu walau rupanya jelek. Aku berhenti sebentar, mengambil kaca kecilku.
Aku melihat wajahku. Aku merasa cantik, tapi begitu buruk. Bahkan tersenyum
untuk diri sendiri hanya memantulkan cewek yang menyenringai. Kerasnya hidupku
mempengauhi personalku.
Aku mengambil pena lagi. Bekisah
tentang kisahku. Aku
tak sanggup hidup seperti ini terus menerus, juga si gadis. Dia harus diselamatkan oleh seseorang. Mungkin
pangeran berkuda putih dari negeri dongeng. Hahaha, aku berada di realita...
bahkan dari realitalah imajinasi muncul. Ini tentang realita.
Akhirnya cerpenku selesai. Penuh
coretan... nanti saja diedit. Tubuhku lemas, otakku menguras tenaga unuk
berfikir. Melelahkan juga. Aku tahu aku lelah karena emosiku.
“Cerita yang sungguh indah, Ami,”
puji Bu Neti setelah aku membaca cerpenku di depan kelas.
“Ibu tahu kamu mampu menulis dengan baik. Minat. Itu hal penting untuk
bisa ahli pada suatu pekerjaan. Sebelumnya siapa yang menjadi inspirasi kisahmu?”
Aku bohong. “Tetanggaku. Ya, kisah
tetanggaku.”
Bu Neti mengomando kelas untuk bertepuk
tangan untukku. Namun, yang aku butuhkan bukan tepuk tangan. Tapi petolongan,
seperti si gadis yang harus ditolong sebelum dia bunuh diri. Mengapa mereka tidak mengerti. Guru,
teman-teman, pekalah sedikit. Kisah ini tentang aku! Tolong aku!
Siangnya, kala aku menikmati roti
seribu dengan perut keroncongan, saat makanpun aku keroncongan, aku dihampiri
dua gadis berjilbab lebar. Anak rohis kelasku yang selalu mengajakku ikut
pengajian. Pengajian hanya untuk orang yang akan mati, pikirku.
Setelah berbasa-basi sedikit. Nila
berkata, ”Cerpen Ami bagus sekali, kita jadi sadar kalau ada orang yang harus
kita bantu.” Lalu? ”Kami ingin Ami berbagi tentang proses kreatifnya, nanti
siang bidang sastra ada agenda rutin. Apa Ami bisa datang?”
Aku malah menolong, padahal aku
butuh mereka bilang, ”Ini ada sedikit uang untuk membantu Ami.” Entah
angin apalagi yang membuatku mengiyakan.
Semua siswa di Bukittinggi
diwajibkan ke sekolah dengan berjilbab. Jilbabku hanya dua: putih dan coklat.
Dengan ini kesungkananku akan rohis berkurang. Aku juga berjilbab walau tidak
lebar seperti anak rohis umumnya.
Ruang Rohis sekolahku adalah bekas
mushalla, sekarang kami punya mesjid. Aneh sekali ada kain yang membagi ruangan.
Oh, cewek cowok di pisah. Tapi mengintip sedikit bolehlah ya? Mungkin ada cowok
ganteng.
Aku membaca majalah islami di sana. Ada sebuah majalah sastra pula. Oh, aku bisa mengirimkan karyaku, seperti
kata Bu Neti. Mungkin dapat uang. Aku
bersemangat untuk mengirimkannya. Aku catat alamat redaksi dan besok
aku kirim lewat pos. Oh, terima kasih Rohis yang punya majalah ini. Allah, juga
aku berterima kasih pada-Mu.
Aku makin sering ke Rohis untuk
sekedar membaca majalah. Tapi akhirnya malah ikut kajian mingguan Forum
Annisa. Nila ternyata berlangganan majalah itu, aku setiap bulan memantau
karyaku apakah dimuat atau tidak. Oh, aku tidak melihat karyaku. Mungkin tak
layak muat.
Setelah empat bulan aku pasrahkan
karyaku menjadi pembungkus maco di
pasar. Mungkin editor membuangnya karena jelek. Aku masih berpikir seperti itu
sampai Nila berseru padaku di Rohis. “Ada nama Ami di Majalah N!!!! Cerpen rancaknyo
dimuat.” Apa aku tak salah dengar? Karyaku muat? Karya pertama? Aku mengucap
syukur. Aku merasa makin dekat dengan Allah setelah empat bulan ikut kajian.
Benar, jika kita mendekatkan diri pada Allah, Allah akan lebih dekat. Aku jadi
tahu siapa yang mampu menolongku, Allah Yang Maha Kaya. Hanya pada dia kita pantas
memohon. Walaupun serignya aku ke Rohis untuk menghindari rumah yang sumpek,
tapi Dia menerangi hatiku. Aku keluar dari lubang hitam kekufuran nikmat.
Sebelumnya yang kutahu lubang itu adalah hidup serba kekurangan. Padahal Allah
memberi rezeki padaku begitu banyak. Dimana aku selama ini? Dalam lubung hitam
kufur. Kemiskinan kadang membawa pada kekufuran.... Kini, aku berjilbab dengan
benar.
Surat Arra’du benar adanya. Jika kita berusaha, Allah akan mengubah
nasib. Jika hanya berdiam itu
tolol sekali. Ubah nasib burukmu. Seperti nasib uang saku pas-pasanku, kini
royalti menebalkan kantong. Aku beli jilbab baru dan buku bacaan karena aku
merubah nasih dengan mejadi tukang tulih. Hehehe.
Bahkan, mendengar suara mama
memakiku menjadi merdu karena uang di dompetku banyak. Tapi, Astagfirullah, bukan uang yang membuatku
bahagia. Kemampuanku bersyukur yang membahagiakanku.
No comments:
Post a Comment