Wednesday, October 10, 2012

KISAH TENTANG BERKISAH


Aku mendengar suara pertengkaran itu saat kami sekeluarga menikmati makan malam kami. Sajian hari ini cukup istimewa, ayam goreng Kentucky. Produk Amerika, KFC, tapi anak muda di Bukittinggi suka menyebut restoran ini Inyiak, artinya Kakek. Aku melamun. Mencoba untuk bersikap bahwa kami tidak mendengar apa-apa dari rumah sebelah. Ayah, Mama, dan adik lelakiku juga seperti itu. Johan, adikku sibuk bercerita tentang sekolahnya. Padahal tidak ada yang menarik.
            Itulah tidak enaknya tinggal di lingkungan dengan rumah berjejer rapat. Dinding rumah berbagi dengan tetangga. Maklum, orang tuaku hanya sanggup mengontrak disini. Kami meninggalkan rumah gadang yang lapang di Payakumbuh untuk hidup di Bukittinggi yang berantakan. Untuk hidup lebih baik kata mama. Katanya di Bukittinggi kesempatan berdagang jauh lebih besar. Apalagi, ini alasan utama, mama menikahi seorang pria Bukittinggi. Aku punya ayah tiri, dia memboyong kami dan membiarkan kami meninggalkan Inyiakku yang tua dengan kakak mama yang menyebalkan. Mama senang, tentu saja. Dia benci mengurus kakek, padahal aku cinta kakek. Meninggalkannya dengan segala keterbatasan usia tua, 82 tahun, adalah kejam. Tapi apa yang kumampu tolak. Mama penguasa tubuhku. Biar tubuhku menjadi budaknya, otakku tetap milikku sendiri. Biar dia memarahiku setiap hari, aku tahan. Mendongkol dalam hati, dan kutumpahkan melalui... bonekaku.
            Jari telunjuk dan jempolku bergotong royong mencabuti serat-serat daging ayamku. Aku meninggalkan kulitnya yang gurih. Aku suka menikmatinya belakangan. Renyah, rasanya seperti tak akan membeli lagi. Uang kami tak selalu cukup.
            Johan mengambil kulit gurihku degan cepat. Refleks aku berteriak. ”Kembalikan!!” Uuh, kenapa aku melamun sehingga maling kecil ini mengambilnya? Aku mencoba mengambilnya kembali. Tapi aku ceroboh, gelas dengan air putih penuhku tumpah. Meja menjadi basah.
            Mama berteriak, ayah mengumpat kasar.
            ”Kamu ini kenapa Ami!! Jangan seperti bocah lagi. Apa salahnya adikmu minta punya kamu sedikit. Apa ruginya?” pekik Mama, suaranya mengalahkan tetangga. Mungkin orang rumah sebelah kaget mendengarnya. ”Ambil lap!! Capek lah!”
            Aku bernjak dari dudukku. Pergi kedapur yang hanya dua langkah dari meja makan. Mengambil lap bekas kaos ayah. Segera aku mengelap meja yang basah. Air meresap.
            Selalu aku salah. Setelah mengalah sampai tidak mendapat daging dada, hanya paha kecil, Johan masih minta punyaku. Rakus sekali si ketek ko. Seperti biasa, dia yang dibela. Aku? Sudah besar, jangan lawan lagi adikmu. Lawan? Dia yang cari lawan!
            Di sampingku, Johan mencibir. Dia jelek. Kulitnya sedikit hitam, badannya gemuk, giginya besar-besar, hidung besar, dan rambutnya seperti ijuk. Semua warisan ayah. Beda denganku yang lebih kuning langsat, hidung pesek, mata sipit, dan perawakan kecil. Aku warisan papaku yang meninggal dua tahun lalu.
            Ibu masih menggerutu tentang betapa kekanak-kanakan aku. Aku tidak sabar, aku pelit, pemarah, bahkan sampai pada hal yang tidak berhubungan. Aku pemalas katanya, mengurung diri dikamar terus, pendiam dan sok pintar. Sok pintar? Masa dia iri pada  anak sendiri hanya karena dia tidak pernah sekolah? Mama egois sekali.
            Sedangkan ayah hanya diam tidak peduli, dia tidak pernah peduli tentangku. Peduli Johan anak kandungnya sendiri pun tidak, apalagi padaku.
            Hatiku panas dengan semua kata-kata itu. Aku menahan amarahku. Ku habiskan makananku. Selesai. Selanjutnya mencuci piring. Selesai. Mengelap dapur. Selesai. Menampung air di keran depan rumah untuk mengisi penampungan air untuk dimasak. Selesai. Akhirnya aku punya waktu untuk diri sendiri. Membuat PR Sastra, itu agendaku malam ini.
            Aku masih ingat guru sastraku mengatakan dengan menulis kita bisa mencurahkan segala hal yang kita rasa. Senang, bahagia, sedih, kecewa, bahkan amarah. Efektif untuk curhat. Jadi tidak makan hati lagi. Dan lebih menarik, menulis bisa menghasilkan uang. Uang? Aku butuh uang lebih untuk jajanku. Mama hanya memberi ongkos ke sekolah.
            Selama ini aku curhat sambil meninju bonekaku. Boneka Teddy Bear kualitas jelek hadiah dari Mamakku. Aku selalu berbisik di telinganya. Berbisik tentang hidup yang menyebalkan, tentang orang tua yang buruk, adik yang jelek, atau pergaulan sekolah yang materialistis. Tentang cowok yang kutaksir tapi dia tak pernah pedulikan aku, tentang guru kimia yang tak mampu mengajar, bahkan tentang cewek-cewek berjilbab lebar yang selalu menasihatiku tentang memakai jilbab. Uuh, mereka menasehati tapi tak peduli kalau aku tak ada uang untuk membeli jilbab. Makan siang saja hanya kuservis dengan roti seribu. Untuk jilbab mana ada uang? Minta Mama tidak mungkin, dia tidak bejilbab dan keluarga kami tidak relijius. Ayah saja tidak shalat.
            Kini aku punya cara menyalurkan emosiku. Lebih aman, kata guruku. Benarkah? Lagipula aku harus mengerjakan PR-ku. Membuat cerpen. Memang tidak dikumpulkan besok, hanya aku ingin ada kerja. Daripada melamunkan cowok itu. Cinta bertepuk sebelah tangan. Huh,....sebel jadi cewek kayak aku.
            Entah angin apa yang membawaku ke ruangan guru. Aku duduk dihadapan Bu Neti, guru Sastraku, membantunya melipat kertas undangan rapat wali murid dan memasukkan ke amplop lalu menuliskan nama wali murid. Banyak sekali, tapi sialnya aku yang lewat depan ruang guru dipanggil Bu Neti.
            Entah angin apa pula yang membuatku membuka mulut. ”Bu Neti...,” kataku sambil terus melipat undangan. Bu Neti yang sedang menulis mendongak. Dia menatapku seperti bahwa hanya aku yang menjadi perhatiannya. Entahlah, tapi aku merasa begitu. Apa penulis seperti itu? Belakangan aku tahu kalau itu gaya penulis yang suka mengamati lingkungannya. ”Bagaimana menulis cerpen yang bagus dan, hmmm, bisa terbit di media?”
            Dia tersenyum, kemudian memujiku yang tertarik dengan sastra. Dia memang menerangkan di kelas hanya singkat saja, karena kurikulum sekarang menuntut siswa aktif, bukan guru aktif. Dengan sabar dia menerangkan sambil tetap bekerja. Otakku menyerapnya. Cerpen itu begini, harus begitu. Penokohan, seting, latar, referensi. Namun, akhir katanya, ”Teori memang perlu, tapi jangan terikat. Menulis saja, mengalirlah kata-katamu di kertas. Jangan takut mengungkapkan perasaan.”
            Hingga malamnya aku masih merasa rumah siputku bergetar mendengarkan kata-kata Bu Neti. Aku harus bisa membuat cerpen yang bagus. Aku tahu aku akan bisa, karena begitu banyak emosi yang harus aku salurkan. Aku akan membuat kisah yang bagus. Tunggu..., tenang apa?
            ”Tulis tentang dirimu, jika kamu tidak tahu akan menulis apa.” Suara Bu Nti lagi. Aku bersemangat untuk berkarya. Setelah menyelesaikan tugas-tugas rumahku, dan bonus omelan mama karena aku lupa buang sampah, aku segera di depan meja belajar dan mulai membuat PR. Baru kali ini PR begitu aku butuhkan. Sebelumnya kalau ada PR...panek!
            Aku mengambil pena dan buku tulis bekas yang beberapa helai masih kosong. Sebagai orang miskin penghematan adalah penting. Aku menggunakan buku tulis SMP dulu. Kesukaan memanfaatkan barang bekas kutiru dari Inyiak.
            Pena besentuhan dengan kertas, mata pena membekaskan titik hitam diatas putih. Aku membeku. Tanganku terapung di lautan kata, tenggelam seperti umpan pancing, tapi tak ada ikan yang mendekat... bahkan yang kecil sekali pun. Aku tak mampu menulis. Aku tak tahu apa yang akan kutulis. Seperti selang airyang macet. Seseorang menginjak selang. Air tak keluar. Sesuatu, seperti ketakutanku? Aku takut orang tahu tentang aku. Takut teman-teman tahu tentang keluargaku yang hancur. Takut jika aku terlalu jujur... membeberkan semua.
            Tanganku, kenapa kamu berhenti di tempat? Bahkan satu kata pun belum terukir, satu emosi pun belum kusalurkan. Kenapa takut dengan kejujuran? Apa salah dengan berteriak ke dunia kalau kamu ada dan butuh ditolong. Aku menulis maka aku ada. Kalau tak pernah menulis hanya seperti manusia yang numpang lewat di dunia. Tak ada bekas.
            Setelah berjibaku antara hati penulis dengan hati penolak, akhirnya aku menuliskan kalimat pertama. Setiap manusia diciptakan dengan jalan hidupnya masing-masing, itulah kalimat pertama dariku. Kalimat kedua: sebagian beruntung dan bahagia sedangkan yang lain perlu perjalana mencapai bahagia. Kalimat ketiga: apa hidup benar-bena adil? Kalimat keempat: tanya hatimu, apa yang kau dapat di hidupmu? Selanjutnya, sedangkan katanya Tuhan menciptakan mausia untuk menolong sesama. Tapi dimana orang yang akan memolong gadis ini?
            Menolong sesamanya? Aku berpikir. Aku butuh ditolong? Ya, aku butuh keluar dari lubang hitam bersama keluarga yang tak punya harapan lagi. Namun, siapa? Teman-temanku tertinggal di Payakumbuh. Sedangkan di Bukittinggi semua harus bersatus gaul, kaya agar diterima pergaulan. Aku tersingkir, bahkan di babak pertama. Aku miskin.
            Tokoh cerpenku adalah seorang gadis seumuranku, tapi dia lebih jelek dariku. Aku membuatnya begitu menderita karena aku ingin ada yang lebih menderita dariku. Padahal jalan ceritanya sendiri adalah kisah hidupku, dengan perbedaan kota tempat tinggal, sekolah, dan nama.
            Tokohku punya ayah tiri mantan pacar ibunya sewaktu muda. Setahun ayah kandungnya meninggal dunia, mereka menikah, lari dari rumah menuju Bukittinggi. Gadis ini, hanya dianggap beban orang tuanya. Seharusnya dia ikut masuk ke liang lahat bersama ayahnya karena beliau sumber cinta dan kekuatan hidupnya. Setiap hari dia dintimidasi keluarganya sendiri. Dimaki, dihina hanya karena dia anak seoang laki-laki yang tidak dicintai ibunya. Laki-laki yang distinurbayakan kakek nenek.
            Egois sekali, pikirku tentang si tokoh ibu, mamaku sendiri. Kasihan, tentang si gadis. Tak seharusnya dia seperti itu walau rupanya jelek. Aku berhenti sebentar, mengambil kaca kecilku. Aku melihat wajahku. Aku merasa cantik, tapi begitu buruk. Bahkan tersenyum untuk diri sendiri hanya memantulkan cewek yang menyenringai. Kerasnya hidupku mempengauhi personalku.
            Aku mengambil pena lagi. Bekisah tentang kisahku. Aku tak sanggup hidup seperti ini terus menerus, juga si gadis. Dia harus diselamatkan oleh seseorang. Mungkin pangeran berkuda putih dari negeri dongeng. Hahaha, aku berada di realita... bahkan dari realitalah imajinasi muncul. Ini tentang realita.
            Akhirnya cerpenku selesai. Penuh coretan... nanti saja diedit. Tubuhku lemas, otakku menguras tenaga unuk berfikir. Melelahkan juga. Aku tahu aku lelah karena emosiku.
            “Cerita yang sungguh indah, Ami,” puji Bu Neti setelah aku membaca cerpenku di depan kelas. “Ibu tahu kamu mampu menulis dengan baik. Minat. Itu hal penting untuk bisa ahli pada suatu pekerjaan. Sebelumnya siapa yang menjadi inspirasi kisahmu?”
            Aku bohong. “Tetanggaku. Ya, kisah tetanggaku.”
           Bu Neti mengomando kelas untuk bertepuk tangan untukku. Namun, yang aku butuhkan bukan tepuk tangan. Tapi petolongan, seperti si gadis yang harus ditolong sebelum dia bunuh diri. Mengapa mereka tidak mengerti. Guru, teman-teman, pekalah sedikit. Kisah ini tentang aku! Tolong aku!
            Siangnya, kala aku menikmati roti seribu dengan perut keroncongan, saat makanpun aku keroncongan, aku dihampiri dua gadis berjilbab lebar. Anak rohis kelasku yang selalu mengajakku ikut pengajian. Pengajian hanya untuk orang yang akan mati, pikirku.
            Setelah berbasa-basi sedikit. Nila berkata, ”Cerpen Ami bagus sekali, kita jadi sadar kalau ada orang yang harus kita bantu.” Lalu? ”Kami ingin Ami berbagi tentang proses kreatifnya, nanti siang bidang sastra ada agenda rutin. Apa Ami bisa datang?”
            Aku malah menolong, padahal aku butuh mereka bilang, ”Ini ada sedikit uang untuk membantu Ami.” Entah angin apalagi yang membuatku mengiyakan.
            Semua siswa di Bukittinggi diwajibkan ke sekolah dengan berjilbab. Jilbabku hanya dua: putih dan coklat. Dengan ini kesungkananku akan rohis berkurang. Aku juga berjilbab walau tidak lebar seperti anak rohis umumnya.
            Ruang Rohis sekolahku adalah bekas mushalla, sekarang kami punya mesjid. Aneh sekali ada kain yang membagi ruangan. Oh, cewek cowok di pisah. Tapi mengintip sedikit bolehlah ya? Mungkin ada cowok ganteng.
            Aku membaca majalah islami di sana. Ada sebuah majalah sastra pula. Oh, aku bisa mengirimkan karyaku, seperti kata Bu Neti. Mungkin dapat uang.  Aku bersemangat untuk mengirimkannya. Aku catat alamat redaksi dan besok aku kirim lewat pos. Oh, terima kasih Rohis yang punya majalah ini. Allah, juga aku berterima kasih pada-Mu.
            Aku makin sering ke Rohis untuk sekedar membaca majalah. Tapi akhirnya malah ikut kajian mingguan Forum Annisa. Nila ternyata berlangganan majalah itu, aku setiap bulan memantau karyaku apakah dimuat atau tidak. Oh, aku tidak melihat karyaku. Mungkin tak layak muat.
            Setelah empat bulan aku pasrahkan karyaku menjadi pembungkus maco di pasar. Mungkin editor membuangnya karena jelek. Aku masih berpikir seperti itu sampai Nila berseru padaku di Rohis. Ada nama Ami di Majalah N!!!! Cerpen rancaknyo dimuat.” Apa aku tak salah dengar? Karyaku muat? Karya pertama? Aku mengucap syukur. Aku merasa makin dekat dengan Allah setelah empat bulan ikut kajian. Benar, jika kita mendekatkan diri pada Allah, Allah akan lebih dekat. Aku jadi tahu siapa yang mampu menolongku, Allah Yang Maha Kaya. Hanya pada dia kita pantas memohon. Walaupun serignya aku ke Rohis untuk menghindari rumah yang sumpek, tapi Dia menerangi hatiku. Aku keluar dari lubang hitam kekufuran nikmat. Sebelumnya yang kutahu lubang itu adalah hidup serba kekurangan. Padahal Allah memberi rezeki padaku begitu banyak. Dimana aku selama ini? Dalam lubung hitam kufur. Kemiskinan kadang membawa pada kekufuran.... Kini, aku berjilbab dengan benar.
            Surat Arra’du benar adanya. Jika kita berusaha, Allah akan mengubah nasib. Jika hanya berdiam itu tolol sekali. Ubah nasib burukmu. Seperti nasib uang saku pas-pasanku, kini royalti menebalkan kantong. Aku beli jilbab baru dan buku bacaan karena aku merubah nasih dengan mejadi tukang tulih. Hehehe.
            Bahkan, mendengar suara mama memakiku menjadi merdu karena uang di dompetku banyak. Tapi, Astagfirullah, bukan uang yang membuatku bahagia. Kemampuanku bersyukur yang membahagiakanku.

No comments:

Post a Comment