Sunday, November 30, 2014

Makan Malam Istimewa

Jam 09.43
Layar komputer menampilkan posting form di www.blogger.com setelah aku mengklik new post di beranda akun blogku. Aku segera memainkan jemari—mengetik dengan sebelas jari—hingga kata-kata dalam otakku mengalir menjadi sebuah tulisan.

Hari ini sangat spesial bagiku.

Aku mengawali...
            Perasaan yang menyenangkan membuncah dalam dadaku. Aku tersentuh sensasi yang menggelitik sudut-sudut bibirku untuk mengulas senyum. Tak mampu menyembunyikan kebahagiaan ini. Dia hadir secara natural.
            17 Mei, setahun yang lalu, menjadi hari yang bersejarah bagiku. Kini, tanggal yang sama, adalah keajaiban yang membuatku takjub. Ini sudah satu tahun. Tak pernah kukira semuanya bisa berjalan selama ini.
           
            Aku akan membuatkan makanan yang istimewa untuknya. Setelah membuka kembali buku-buku resep yang kupunyai, aku memutuskan untuk membuat masakan Italia! Dia sangat menyukai pasta, terutama spageti.
Aku memilih Tagliatelle Bebek Jamur sebagai makan malam kami nanti. Tagliatelle adalah sejenis pasta yang lebar mirip kwetiau, tapi yang satu ini khas daerah Bologna. Lalu kenapa ada daging bebek di menu Italia? Aku hanya tertantang saja untuk memasaknya, bagaimana kalau kesukaanku akan daging unggas digabung dengan pasta favorit dia?
Masakan ini bermakna aku ingin kami bisa bersama lebih lama lagi, saling mengisi, saling melengkapi, walaupun banyak perbedaan yang ada. Aku sangat berharap kami akan bersama selamanya...

     Aku mengakhiri artikel itu dengan janji untuk merekam prosesku memasak dan memasukkan hasilnya ke YouTube, jadi pembacaku juga bisa mencoba di rumah.
Kemudian, aku mengepos tulisan itu.
            Sebelum aku pergi untuk membeli bahan-bahan yang dibutuhkan untuk makan malam spesial ini, aku membaca komentar-komentar pembaca yang mampir di hulkcancook.blogspot.com milikku (banner-nya bergambar Hulk, tokoh komik hijau besar itu, yang sedang memasak). Beberapa hanya sekedar menyapa dan bilang kalau blogku menarik, sebagian lagi benar-benar ingin berdiskusi tentang memasak. Namun, satu nama selalu menuliskan komentar kalau dia kagum dengan pria yang bisa masak dan senang jadi penikmat masakanku.
            Dia harus tahu kalau aku selalu senang memasak untuknya!

Kemarin pagi.
“Besok jangan makan di luar... aku masak buatmu,” kataku.
            Aku kembali bergelung di atas tempat tidur selagi dia bolak balik berpakaian siap-siap untuk ke kantor. Dia tersenyum sambil menyemprotkan parfum yang aromanya membuatku melayang. Aku selalu teringat sebuah scene di film Perfume jika mencium aroma itu... membangkitkan gairahku. Membuatku ingin menikmati hidup lebih lama dengan rasa sensual yang menggelora. Namun, aku tidak bisa melarangnya pergi ke kantor, kan?
            “Aku pergi, ya, Sayang,” katanya setelah semua rapi melekat di tubuhnya. Dia berjalan menujuku dan memberiku kecupan di pipi. “Masak yang enak.”
            Aku mengangguk.
            “Kerja yang rajin, ya!”

Jam 11.00 am.
Aku melaju bersama taksi menuju supermarket yang menjual berbagai bahan dan bumbu masak lengkap untuk masakan citarasa Eropa dan Asia. Aku bisa menemukan jamur porcini di sini. Jamur ini asalnya dari Hermisphere, Eropa Tengah, berbentuk seperti payung coklat kehitaman dan bertekstur padat. Selain itu, aku membeli keju pecorino, keju khas wilayah Italia Selatan, yang rasanya tentu berbeda dengan keju Kraft yang biasa kupakai untuk menghemat biaya, hahaha. Dan tak lupa, pasta Tagliatelle yang jadi judul malam ini, pasta yang bungkusnya bertuliskan “Bologna”. Aku juga membeli sayuran yang dibutuhkan serta minyak sayur agar saat merebus pasta tidak saling melekat. Kalau daging bebek, aku lebih suka ke pasar tradisional untuk mendapatkan harga yang lebih bagus. Tentu saja penghematan!

Jam 13.15
Aku menyalakan handycam di atas tripod dan mengarahkannya ke tempatku berdiri saat memasak di dapur. Inilah salah satu aktivitas yang senang hati kulakukan. Merekam prosesi diriku memasak dan meng-upload-nya ke internet. Aku bukan bermaksud untuk menjadi selebritas tapi kalau ada cara untuk menunjukkan kemampuan kita kenapa tidak dilakukan? Mungkin saja aku bisa seperti Justin Bieber, Zee Avi, atau Charice yang terkenal lewat Youtube (kalau dilihat lagi nama-nama ini terkenal di bidang tarik suara, sedangkan aku bidang tarik panci). Apa aku bisa masuk ke televisi dan punya acara masak sendiri? Aku ingin sekali.
            Kamera merekam aksiku.
        “Oke, itu tadi bahan-bahan utamanya, sedangkan untuk tumis jamur kita perlu dua sendok makan minyak zaitun, satu siung bawang putih yang dicincang halus, setengah sendok teh thyme kering, 200 gram jamur porcini yang diiris tipis, dan terakhir lima gram daun peterseli cincang... sekarang, ayo kita mulai memasaknya!”
            Kamera terus merekamku.

Sebenarnya aku punya pekerjaan kantoran, namun dipecat karena jadi korban perubahan sistem di kantor. Beginilah nasib kalau kerja setengah-setengah. Saat perusahaan perlu mengetatkan pinggang, siap-siap saja mendapat feeling akan didepak. Ironisnya, aku malah senang.
            Kenapa aku malah senang jadi pengangguran?
       Karena di kantorku itu diisi orang-orang yang pikirannya cetek. Mereka masih suka main senioritas, melabeli orang dengan nama-nama aneh, dan susah menerima orang apa adanya. Aku tidak suka berada di antara mereka dan sebaliknya. Tak heran saat aku keluar ada yang senang sekali.
            Hanya karena aku berbeda, mereka membenciku.
         Aku tidak pernah melakukan kejahatan pada mereka, tak pernah mengejek sebelumnya, tapi setelah gosip kalau aku berbeda tersebar di kantor semua hampir membenciku, kecuali beberapa cewek yang bersimpati. Sedangkan teman-temanku malah menganggap diriku sebagai penyebar penyakit menular.
         “Kenapa lo nggak menyangkal kalo lo beda?” tanya Aria, mantan temanku. Dia menjauhiku dan aku sempat bilang kalau sikapnya itu layaknya rasisme.
          “Gue udah capek berbohong. Mengakuinya berarti kejujuran, setidaknya pada diri gue sendiri.
            Dia langsung meludah ke samping. “Cih! Dasar abnormal. Gue kecewa.”
            Aku tidak mengerti orang berpendidikan tinggi seperti dia masih susah untuk menerima orang apa adanya. Atau penerimaan itu bukan masalah pendidikan?
          Sekitar tujuh bulan terakhir aku merasa dikucilkan di kantor. Semua pekerjaan aku kerjakan setengah hati. Tertekan di sana. Aku memang menerima jaminan keamanan dari bosku yang lebih open minded dan paham tentang equality, tapi aku butuh partner yang baik. Bagaimana aku bisa kerja dalam tim kalau aku sebenarnya tidak diharapkan disana?
            Jadi, aku senang bisa keluar dari neraka itu. Sekarang, hampir dua tahun aku bekerja freelance di sebuah majalah sebagai penulis resep masakan dan info kuliner. Lumayan untuk makan sehari-hari.
            Aku  pun bisa menjadi diriku sendiri.

Aku kembali meng-update blog dan mengupload video di Youtube.

            Cara paling menyenangkan untuk memasak adalah melakukannya dengan penuh cinta. Kali ini, karena aku mencintai memasak dan memasak untuk orang yang kucinta, aku senang sekali dan jadilah pasta+daging bebek yang indah. J
     Dia bakalan suka nggak, ya?:p

Aku tak tahan untuk tidak menelponya.

Jam 17.22
Aku masih di kantor, sayang...” katanya begitu lembut di telepon. Telingaku serasa dibuai.
            “Tapi ini udah jam setengah enam sore lho... Aku kangen kamu. Kok kamu ngangenin banget, sih?”
            “Hahaha, kalau kamu itu lucu banget.
            “Love you, dear. Jangan sampai telat datang makan malam, ya?”
            “Pasti.

Aku mencintai dia, sepenuh hati. Dia hadir dalam hidupku dan memberiku semangat hidup. Saat aku terpuruk setelah resmi jadi pengangguran, tak ada orang yang peduli dengan keadaanku. Orangtuaku memang ada, tapi mereka tidak kuberi tahu. Bisa-bisa Mama panik dan menyuruhku kembali ke kampung di Palembang sana.
            Dia adalah satu-satunya orang yang mengerti diriku. Dia sosok yang ada saat aku merasa kesepian di dunia ini. Hampa yang selalu kurasakan, dia membuat semua bisa dilalui. Gunung berbatu tajam yang tinggi sekali pun.

“Kamu sudah terlalu banyak menderita. Saatnya kamu bahagia,” katanya suatu kali. “Aku akan menjagamu, dear. Tak ada yang lain yang bisa.”
            Aku menyukai sikap posesifnya itu. Bagai api yang menghangatkan tubuhku saat aku berada di puncak gunung. Sedikit saja dan jangan sampai “membakar” tubuhku.
            “Kamu yakin?” tanyaku. Hanya bertanya.
            Namun, baginya itu bukan sekedar pertanyaan. “Kenapa aku harus tidak yakin?”
       “Karena...,” aku ragu untuk mengatakannya. Bisa merusak suasana romantis kami. Kupemainkan dasi yang masih tergantung di lehernya. Dia memelukku dan kepalaku bersandar ke bahunya.
            “Karena apa, Sayang?”
            “Karena ada saatnya nanti kamu menemukan seseorang yang lebih menarik daripada aku.”
            Dia terdiam. Aku tahu dia akan kesal padaku.
            “Kita mencari orang yang menarik dipandang mata? Setiap berjalan kita bertemu satu orang yang tampan, beberapa langkah lagi akan menemukan yang lain. Bahkan dalam satu kali klik di internet kita bisa kenal dengan orang tertampan sedunia. Tak akan pernah ada habisnya.”
            “Aku hanya takut kamu meninggalkanku.”
            “Bagaimana lagi caraku agar ketakutanmu hilang?”
            Dia menggeser kepalanya hingga kami saling menatap. Dia mendekat dan mencium bibirku.
            Ketakutanku hilang.


Jam 18.12
Aku meletakkan meja di balkon apartemenku. Suasana kota berwarna senja memberi latar. Aku telah selesai menyiapkan meja dan tak lupa sebotol anggur paling mahal yang kumiliki. Malam ini, makan malam istimewa. Semua harus istimewa.
            Dia masih terjebak macet. Aku setia menunggu.
         Aku pun sudah mandi dan memakai parfum terbaikku. Kemeja yang kupakai adalah hadiah ulang tahun darinya. Cocok sekali denganku, apalagi aku menyukai wana hijau menenangkan itu.
           
Aku pertama kali bertemu dengannya di sebuah peluncuran buku resep masakan. Bukunya memang biasa, tapi acara peluncurannya luar biasa. Aku sudah kenal penulisnya dan menyenangkan bisa menjadi tamu kehormatan. Si penulis memberiku kesempatan untuk mencoba resep yang ada di bukunya. Aku memasak di hadapan ratusan orang tanpa persiapan! Sebenarnya penulis ingin menunjukkan siapa pun bisa menerapkan resep yang ada di bukunya. Aku tahu aku bisa.
            Di sanalah dia berdiri, di antara penonton yang memadati depan panggung. Dia sebenarnya punya acara sendiri di ruangan lain dalam gedung yang sama, tapi sedang jeda istirahat..
Saat aku selesai memasak, presenter acara itu meminta salah satu pengunjung untuk mencicipi masakanku.
Dan terberkatilah aku, dia maju dengan suka rela, mencicipi masakanku, dan mengucapkan pujian yang membuatku bangga.
“Enak sekali!”
Kami mengobrol setelah acara itu, saling bertukar nomor ponsel, dan suatu hari saat aku kangen padanya kami janjian untuk bertemu di suatu tempat.
Dia bertanya, “Maukah dirimu bersama denganku selamanya?”

Jam 19.04
Aku duduk terkulai di sofa. TV menyiarkan acara kartun anak-anak yang lucu, tapi aku butuh kadar lelucon yang lebih besar daripada melihat kekonyolan makhluk spons berwarna kuning itu.
            Dia terlambat.
            Katanya masih macet.
            Kupencet remote TV berkali-kali, menukar-nukar channel. Tak ada yang menarik.

“Kita adalah orang-orang yang mendapat stigma di masyarakat sebagai kaum minoritas yang buruk...,” kataku suatu kali.
            Kami duduk di sofa sambil memegang buku masing-masing. Aku membaca majalah dan dia membaca buku tentang bisnis dan ekonomi di China.
            “Hmmm?”
            “Kadang stigma menjadi pembenaran bagi beberapa orang untuk menghakimi kita.”
            Dia mengalihkan pandangannya padaku.
         “Kita dianggap tidak setia, melanggar moral, menentang hukum alam..., menyebarkan penyakit, seperti HIV...,” sambungku.
          “Beberapa orang membenci kita karenanya, dan beberapa dari kita mencari pembelaan atas perbuatan lewat stigma ini...”
           Aku mengangguk. “Banyak yang tidak setia pada pasangannya,” kataku memfokuskan diskusi spontan ini.
            “Lalu?”
            “Aku selalu setia padamu. Aku ingin kita menjadi pasangan yang berakhir bahagia. Sebagian besar kisah tentang kita selalu berakhir sedih. Perpisahan, keluarga yang menentang, masyarakat yang menghakimi tidak adil, bahkan kematian....”
            Air mataku mengalir dari tempatnya.
      “Aku tak tahu masa depan yang bagaimana harus kuhadapi. Kesepian hingga tua atau membohongi seseorang demi menjadi manusia yang dierima orang-orang.”
            Aku tidak tahan untuk tidak menangis. Dia mengulurkan tangannya namun kutepis karena aku tidak mau menangis di hadapannya.
            Aku menangis di kamar mandi.

Jam 19.33
Belum ada tanda-tanda dia akan datang. Tadi aku meneleponnya lagi namun tidak tersambung. Mungkin ponselnya kehabisan baterai. Macet memang masalah yang harus segera dibereskan. Membuat segala hal jadi berantakan.
          Aku memasukkan kembali pastaku ke dalam microwave, harus di sajikan dalam keadaan hangat.
            Kuputar sebuah lagu melalui iPod. Suara Michael Buble menyeruak ke telingaku: "Save The Last Dance", lagu yang benar-benar cocok untuk berdansa. Aku pernah berdansa dengannya memakai lagu ini. Benar-benar menyenangkan.
            Makna lagunya pun menarik, seorang pria yang memiliki pasangan, tapi tidak posesif. Dia membiarkan sang pasangan bersenang-senang asalkan dia dan hatinya selalu bersama pria ini.
            Aku berdansa sendirian.

“Kamu boleh bertemu dengan siapa saja, tapi jangan berikan hatimu pada orang lain...,” kataku saat kami berdansa. Tangannya di pinggangku, tanganku di bahunya.
          “Tentu saja. Begitu mudah memberikan hati, namun tak mudah menjaganya. Itulah makna sebuah hubungan, kita berjuang untuk mempertahankan.”
            Aku tersenyum.
          “Jangan takut lagi dengan masa depan, Dear. Dia akan hadir, kita hanya perlu menghadapinya. Tak perlu takut.”
            “Aku tidak takut...”

Jam 20.00
Pasti tidak akan ada makan malam istimewa. Dia sudah sangat terlambat!
            Aku tak bisa menelponnya. Aku tak bisa tahu keadaanya sekarang. Apa dia baik-baik saja? Masih macet, kah? Atau mogok, atau bannya pecah, atau apa?! Kenapa lama sekali?
            Tanpa sadar tanganku berkeringat, aku mengelapnya berkali-kali ke celanaku. Saat kucoba menempelkan tangan ke pipi, dingin yang terasa.
            Aku kedinginan.....
            Tapi dadaku berdetak kencang....
            Aku takut... sendirian...
            Ku coba dan kucoba lagi untuk menghubunginya.
            Tak bisa...

“Kamu percaya kalau kita orang-orang yang tak beruntung?” tanya dia saat kami menonton berita di televisi.
            Sebuah festival film bertema LGBT didatangi sekelompok orang dari ormas garis keras. Mereka mencoba untuk mnghentikan jalannya acara itu karena dianggap meresahkan masyarakat. Padahal festival itu sudah mengantongi izin dan sedikit pun tidak berniat menganggu masyarakat.
            “Orang-orang bilang kita dikutuk...,” lanjutnya.
            Aku mendengarkan.
            “Pola pikir mereka. Stigma yang disebar tanpa ada toleransi. Lalu kita akan menderita sendiri karena anggapan itu. Tak ada lagi pengertian. Padahal sudah begitu banyak cerita tentang kita yang menunjukkan kalau kita juga manusia, sedang mereka tidak mau mengerti...”
           
Jam 20.05
Badai turun, mengguyur kota ini. Aku segera mengecek keadaan meja di balkon. Semua sudah basah karena angin kencang mengiringi tangisan langit. Aku menarik meja itu dengan kencang sampai piring dan gelas diatasnya jatuh ke lantai. Beberapa pecah.
            Kututup pintu agar tak ada angin yang masuk. Sebagian lantai sudah ikut basah.
          Kulirik ke pintu masuk. Masih tak ada tanda. Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Aku ingin penantian ini berakhir.

“Kamu jangan takut...”
            Aku tidak takut, kataku dalam hati. Aku hanya tak siap jika mendapatkan berita buruk. Aku benci kejutan. Aku benci dengan ketidakpastian. Aku lebih suka memasak dengan resep yang rapi dan takaran yang pas. Aku mampu membuat resep yang pasti bisa dibuat oleh orang lain.
          Aku tidak suka dengan kondisi menyakitkan. Memang irasional jika diri meminta selalu berada di kondisi ideal, tapi aku tak bisa menghadapi kondisi sebaliknya.
            Kini, aku takut kehilangan dia.

Kemudian kumengganti pakaianku dengan jaket parasut dan celana tahan air. Aku ingin keluar mencari dirinya. Aku tak bisa diam saja disini.
            Aku berjalan menuju pintu apartemenku. Saat aku membukanya, aku terkejut dengan apa yang kulihat. Sebuah buket bunga mawar yang sangat besar, sampai-sampai menutupi wajah orang yang membawanya.
            “Happy anniversary, Dear...,” kata orang itu.
            “Kevin?”
            “Aku minta maaf sudah datang terlambat...”
            Dia basah kuyup.
           Aku hampir menangis dibuatnya. Tak tahukah dia bahwa aku cemas memikirkan keadaannya? Kenapa dia malah berdiri di sini, alih-alih masuk ke dalam dam menikmati pasta yang sekarang entah jadi apa itu.
           Aku berdiri di depan pintu dan menggenggam kunci dengan erat. Kupakai punggung tanganku untuk menahan agar tak ada air mata yang keluar.
        “Mario...,” katanya kemudian. Dia tampak sangat serius. “Kita sudah bersama selama satu tahun ini. Aku ingin ini berlanjut selamanya. Aku ingin selalu ada di sampingmu. Aku butuh dirimu untuk menghangatkan hari-hariku. Apa pun yang terjadi, aku akan selalu berusaha untuk setia. Walau kita tidak tahu bagaimana masa depan, aku ingin kita tidak perlu takut lagi karena kita bersatu.
“Mario, apa kamu juga menginginkan hal yang sama?”
            Perlukah aku menjawabnya?
            Aku akhirnya menangis, tapi kebahagiaan yang memelukku, bukan kecemasan lagi.
            Aku mengambil bunga dari tangannya. Aku pikir-pikir dulu..”
Wajahnya berubah saat mendengar jawaban yang tidak diharapkan itu.
Aku tertawa. “Oke, baiklah. Dengan satu syarat.”
“Apa itu?”
“Syaratnya, kita makan sekarang. Soalnya aku lapar sekali.”
            Dia tersenyum dan kemudian memelukku.
            Aku tidak takut lagi.

Esok paginya.
Kutulis di blogku:
            Makan malam istimewa: sukses!!!




2010