Biasanya,
malam hari pada tanggal terakhir sebuah tahun, sebelum jam menunjukkan 00.00 dan bunyi petasan
serta kembang api terdengar dari kejauhan, Eru menulis. Dia menulis resolusi
tahun barunya. Biasanya dia menulis di buku baru yang dia beli pada tanggal 30
Desember. Dia menulis
di kamarnya, ditemani lampu
belajar. Paling banyak dia menulis tiga halaman. Setelah itu dia menutup
bukunya. Karena saat jarum Jam Gadang saling berimpitan pada tengah malam dan bunyi ribut makin ribut di luar sana, dia berhenti . Kebetulan rumahnya tidak jauh dari
pusat kota, di mana Jam Gadang berada.
Untuk menulis resolusi, Eru seringnya membeli buku tulis biasa, berlembar
empat puluh, dan bergaris-garis warna biru. Dia suka buku tulis bergaris,
dengan begitu dia tahu sudah berapa garis yang dia isi, walaupun hitungan itu
tak begitu penting. Dia hanya suka berhitung di dalam kepala. Dia juga sempat
mencari tahu tentang produsen kertas buku yang dia beli, terutama waktu dia
mulai menulis sebuah esai sepanjang dua lembar folio tentang hidup hijau. Saat dia tahu kalau kertas itu diproduksi sebuah
perusahaan kertas
di Perawang dan mereka mempunyai
hutan sendiri, Eru merasa lega. Paling tidak
kertas ini bukan hasil penebangan hutan secara sembarangan, apalagi penebangan pohon di hutan Kalimantan. Tetapi Eru tak tahu
bagaimana sebenarnya proses produksi kertas di Perawang. Dia tidak pernah ke sana.
Eru memang suka begitu, dia memikirkan sesuatu dan ingin mencari tahu,
tetapi tak pernah tuntas mengorek informasi sampai dalam. Seperti dia selalu
menuliskan resolusi, tetapi target-target itu
hanya tertinggal di dalam buku tersebut. Karena setelah jam dan kembang api memberi pertanda, Eru
hanya akan menumpuk buku itu di tumpukan buku-bukunya
yang lain. Bahkan dia lebih sering membaca buku matematika daripada melihat
kembali buku tulis yang berisi resolusinya.
“Matematika diciptakan agar orang lain punya kegiatan selain memikirkan
keinginan-keinginan yang mustahil
tercapai,” kata Eru suatu kali, kira-kira pada tanggal 2 Januari lalu.
Dia lupa kalau setiap orang harus berhati-hati dengan keinginan mereka.
Eru pun tidak ingat persis apa yang dia tulis di buku itu pada malam tahun baru lalu. Tetapi, Pembaca yang baik, untungnya saya tahu apa yang dia tulis.
Sempat saya masuk ke kamarnya dan mengintip, tetapi jangan sampai Eru tahu
bahwa saya memberi tahu Anda. Mungkin Anda ingin memberi tahu orang lain, tidak
masalah. Hanya saja kita simpan rahasia ini bersama, oke?
Ada beberapa resolusi yang dia tulis, salah satunya tercapai: dia ingin
menjadi pemenang di sebuah kompetisi. Walaupun dia sadar kalau hidup pun adalah
kompetisi, seperti dalam teori evolusi Darwin,
dia tetap berniat untuk ikut sebuah kompetisi. Selama ini, hingga dia kelas
sebelas, dia hanya melihat kompetisi dari jauh atau melihat poster pengumuman
kompetisi. Sering dia berdiri di depan kaca papan pengumuman dan bergumam kepada diri sendiri seandainya dia ikut dan menang pada
sebuah kompetisi. Selama ini dia hanya bergumam, sampai
pertengahan tahun ini.
Kemudian, dia
menulis artikel
untuk sebuah kompetisi.
Dia menulis tentang pembaharuan taman di Bukittinggi, tepatnya taman Jam
Gadang. Selain bangunan ikonik itu, di bawahnya membentang taman. Lingkungannya
semakin indah setelah diperluasnya bagian untuk pejalan kaki, ditambahnya tempat duduk dari semen dan kursi kayu, digantinya bata trotoar dengan paving block yang lebih indah dan berwarna-warni. Tetapi lahan tanaman hijau masih kurang. Eru merasa pemerintah kota tak memperhatikan hal itu, dan dia tulis dalam esainya.
Eru tak terlalu ingat kalau kompetisi itu bertujuan untuk mencari duta taman
kota, dia hanya ingat persyaratan dan format esainya
saja. Maka saat Eru terpilih sebagai pemenang, dia sangat kaget karena harus menjadi Duta
Taman dan harus mengikuti banyak kegiatan semacam
kampanye menanam tanaman hijau sekota Bukittinggi. Tetapi Eru tak pernah lalai
dari tugas yang dipercayakan orang lain kepadanya. Dia hanya biasa
melalaikan apa yang dia percayakan kepada dirinya
sendiri.
Lagi pula kompetisi
itu membuat dia lebih kenal dengan Rena, cewek kelas ilmu sosial yang selalu
mengikat pony tail rambutnya. Eru
pernah mimpi dan Rena bersamanya di dalam mimpi itu.
Sedangkan di dunia nyata, Eru hanya bisa melihat Rena dari kejauhan. Saat dia
berada di barisan terdepan upacara bendera—karena Eru termasuk golongan
pendek—dia memuaskan diri melihat Rena yang menjadi salah satu anggota paduan suara. Suara Rena semerdu nyanyian malaikat, menurut
Eru. Walaupun
suara itu melebur bersama puluhan suara yang lain.
Bahkan saat Rena berkata, “Baumu seperti rumput,” kepada Eru saat mereka bersanding di penyerahan hadiah
dan penganugerahan gelar Duta Taman, Eru
mendengar kata-kata Rena seakan itu hal paling indah yang dia pernah dengar.
Eru lupa apa kata-kata Rena, tetapi dia tidak mementingkan itu. Yang penting
Rena berbicara untuknya, kepadanya, demi
dirinya.
Selama ini Eru mengagumi sosok Rena, tetapi dia tidak pernah punya
keberanian untuk benar-benar mendekati Rena. Eru tahu kalau Rena ikut kegiatan
sekolah apa saja, tetapi dia tidak tahu apa makanan kesukaan Rena. Dia tidak
pernah mencari tahu sampai sedalam itu. Dia sempat mendengar, saat Rena
berpidato di acara balai kota, bahwa cewek itu
suka dengan warna hijau. Aneh bagi Eru, dia selalu melihat Rena menggunakan ikat
rambut merah dan biru, tidak pernah hijau. Apakah Rena benar-benar suka warna
hijau? Hal itu membuat Eru memikirkannya tetapi tak
pernah dia cari tahu sampai pertanyaannya terjawab.
Menjelang akhir tahun, Eru dan Rena harus membuat laporan kegiatan mereka
selama setahun. Mereka hanya perlu membuat satu laporan untuk berdua. Eru
sempat menawari mereka membuat laporan itu di rumahnya, tetapi Rena menolak.
Eru juga tidak diberi kesempatan untuk mengajukan rencana kedua: membuat
laporan di rumah Rena. Jalan tengahnya mereka harus mengerjakannya di sekolah.
“Hei, sudah minta izin pakai ruang komputer sekolah, kan?”
tanya Rena pagi itu, setelah mereka selesai upacara bendera.
Eru mengangguk, tetapi saat dia mulai bicara, Rena membuang muka. Cewek
itu harus segera menghampiri pacarnya yang menunggu.
Eru hanya bisa menelan kata-katanya sendiri.
“Kamu jangan lupa bawa materimu sendiri,”
kata Eru, pada punggung Rena yang menjauh.
Saat mereka di dalam ruangan komputer, sepulang sekolah, Rena mengatakan kalau dia lupa membawa materi
tulisan yang diperlukan. Padahal Eru memerlukan itu untuk membuat laporan, dia tidak tahu
apa saja kegiatan Rena selama
menjadi duta. Sedangkan laporan mereka harus dibuat bersama-sama.
“Jangan sedih begitu. Aku bikin sekarang saja,” kata Rena. Dia menggeser
kursi dan menyalakan komputer di hadapannya.
Eru hanya bisa mengangguk, kemudian ikut duduk di kursi sebelah Rena. Dia
pun menyalakan komputer.
“Apa nih?” tanya Rena.
“Apa?”
“Cari meja lain saja!”
“Bukannya lebih mudah kalau aku langsung lihat materi
kamu?”
“Jangan dekat-dekat aku.”
Eru tak membantah lagi. Dia memilih meja di
sebelah, tetapi Rena berdeham dan menggeleng. Eru memilih satu lagi, Rena tetap
berdeham. Saat jarak mereka ada di antara empat meja komputer barulah Rena mulai
bekerja.
Eru menyalakan komputer dan mengecek kembali materi laporan yang sudah dia
kerjakan di rumah. Rasanya dia sudah memuat segala hal yang bisa diingatnya.
Semenjak pertengahan tahun hingga saat ini terlalu banyak
acara seremoni, penanaman pohon, lokakarya, penyuluhan, dan dia sudah
memasukkan semuanya. Demi menunggu Rena menyelesaikan bagiannya, dia membuka
buku matematika dan mulai mengerjakan soal trigonometri.
“Hei, kamu selalu belajar sehabis sekolah?”
Awalnya Eru tidak sadar Rena berbicara padanya. “Eh?”
“Dasar culun.”
“Sudah selesai?” tanya Eru, tak mendengar jelas kata-kata
Rena tadi.
“Kamu baca buku apa?”
Eru mengangkat buku di hadapannya dan berkata, “Matematika.”
“Jadi kamu jago matematika? Aku benci matematika,” kata Rena.
Suara keyboard yang dihantam jemarinya terdengar lebih lantang. Lalu dia mendengar
ponselnya berbunyi. “Ondeh, sial. Aku
harus pergi.”
“Kamu mau ke mana?” Eru langsung berdiri dari duduknya.
“Uda Malik nungguku di depan sekolah. Aku pergi dulu, ya?”
“Materinya sudah selesai?”
Rena menggeleng, “Besok saja aku lanjutkan.”
“Padahal hanya tinggal—“
Rena mengangkat telunjuknya ke arah Eru, berbarengan dengan
dia menempelkan ponselnya di telinga. “Oke, Da, ya, aku sudah selesai, kok.
Biar si Eru saja melanjutkan.”
Rena berjalan keluar meninggalkan Eru yang masih berdiri dengan
bahu turun. Dia beranjak ke layar komputer yang tadi dipakai Rena. Saat dia
melihat hanya ada dua kalimat di dalam file itu, dia pun menghela napas
panjang. Jadi apa yang Rena lakukan selama tiga puluh menit tadi? batin Eru.
Dia memutuskan pulang daripada berusaha membuat laporan yang
tidak lengkap materinya. Untuk pulang ke rumahnya, Eru membutuhkan waktu
sekitar tujuh menit. Dia sudah hafal jalan-jalan pintas, termasuk melewati gang
di samping warung seberang sekolah. Warung itu jadi tempat tongkrongan
siswa-siswi SMAN 1 Bukittinggi, sekolah Eru. Biasanya di sana siswa yang bolos,
perokok, dan berambut gondrong bersembunyi di saat-saat tertentu. Eru tak pernah
jajan di warung tepi jalan itu.
Saat dia melewati jalan itu, dia melihat dua orang sedang
saling berteriak. Lalu salah satunya menampar yang lain. Eru bertahan berdiri
sesaat, saat si penampar beranjak pergi, barulah Eru mendekat.
“Rena?”
Rena menatap Eru dengan bibir yang melengkung ke bawah.
Tangannya memegang masing-masing pipi. Perlahan matanya mengeluarkan air mata.
“Jangan bilang siapa-siapa. Awas kalau sampai orang lain
tahu.”
Eru mengangguk.
“Kamu mau ke mana?” tanya Rena, setelah mereka saling terdiam
beberapa menit.
“Pulang.”
“Pulanglah.”
Eru melangkah, melewati Rena, tetapi Rena memanggil namanya
sekali lagi.
“Besok kita bikin laporan lagi di ruang komputer,” katanya.
Eru mengangguk, dia pun ingin tersenyum, tetapi Rena sudah
melengos dan berjalan ke arah berlawanan.
Eru memikirkan kejadian yang dia lihat tadi sepanjang malam,
paginya, dan seterusnya sampai-sampai dia tidak sadar sudah berada di ruang
komputer dan menunggu Rena. Cewek itu belum muncul. Eru ingin menyibukkan diri
dengan buku matematika, tetapi tangannya malah bergetar sendiri saat dia
membuka buku itu. Otaknya masih penuh dengan wajah Rena rupanya.
Rena muncul tiga puluh menit terlambat. “Maaf,” katanya saat
dia muncul di pintu ruang komputer. “Aku lanjutkan yang kemarin dulu.”
Eru menunggu dengan pura-pura membaca lagi materi laporan
miliknya. Dia mengecek kembali foto-foto yang akan dilampirkan di laporan. Tanpa
sengaja dia memandangi foto-foto itu lebih lama dari biasanya. Setelah Eru
perhatikan, Rena lebih manis saat tersenyum. Eru sudah sering melihat senyuman
para cewek. Dia tidak tahu mana senyuman yang tulus atau tidak tulus, dia hanya
merasakannya. Dan senyuman Rena saat berada di antara ibu-ibu di acara
penanaman pohon di tepi kota, Eru melihat senyuman paling tulus milik Rena. Dia
tidak tahu pasti, tapi dia merasa begitu.
Dari jarak empat meja komputer, dia melihat Rena yang nyata.
Eru tak melihat ada senyuman di sana, dia merasa hanya ada kesedihan. Walaupun
Eru yakin Rena sedang berkonsentrasi dengan tugasnya.
“Sudah selesai,” kata Rena, “aku simpan di folder berbagi,
jadi kamu bisa mengambilnya langsung dari komputermu.”
Eru segera menutup file foto yang dia lihat dan mulai
mengetik kelanjutan laporannya. Dilihatnya Rena tetap duduk di tempatnya, hanya
menatap layar komputer.
Tangan Rena terkulai di meja, lalu dia menatap ponselnya yang
tidak berdering. Dia mengambil ponsel itu.
“Rena? Aku boleh tanya ini maksudnya apa?”
Rena menoleh. Ragu-ragu, diletakkannya lagi ponsel ke atas
meja. “Yang mana?”
“Yang ini,” Eru menunjuk kalimat di layar komputer.
Rena akhirnya berdiri dan menuju tempat Eru, dia melihat
melalui punggung Eru pada layar komputer. “Kayaknya aku salah ketik, tolong
diperbaiki saja.”
“Baiklah.”
Eru merasakan napas Rena pada lengannya. Dia berusaha untuk
tidak bergidik. Kemudian dilihatnya Rena duduk di kursi di sampingnya. Sesekali
cewek itu melirik ke ponselnya.
Mereka tak berbicara selama Eru mengetik. Eru memusatkan
pikirannya pada laporan, walaupun berkali-kali jarinya salah mengetik huruf.
Dia tidak bisa menyalahkan Rena, pikirnya. Jadi dia biarkan saja Rena duduk
termenung di sampingnya.
“Akhirnya selesai,” kata Eru.
“Ayo kita print,” kata Rena. Dia beranjak ke mesin cetak di
sudut ruangan. Lalu dia nyalakan benda itu. “Sudah aku nyalakan.”
Dan keduanya kembali sibuk dengan pikiran masing-masing
selagi mesin cetak berdengung karena mengeluarkan kertas. Rena mengambilnya,
kemudian meraih staples di meja guru lalu menyatukan kertas-kertas tadi. Eru
hanya bisa melihat dari jauh.
“Eru, kamu sudah punya acara malam tahun baru nanti?”
“Eh?”
“Sudah ada belum?”
“Belum.” Eru tak bisa membuat suaranya terdengar jelas.
“Kamu bisa ikut gabung dengan aku dan teman-teman yang lain.”
Rena mengatakannya sambil memberikan berkas tadi kepada Eru.
Eru mengambil benda itu dan berkata, “Bolehkah?”
“Seharusnya aku tidak tanya begini padamu. Aku yakin kamu
tidak punya acara atau apa saat tahun baru.” Rena seakan sadar sudah melakukan
sesuatu yang keliru. “Maaf,” lanjutnya, “tentu saja boleh. Teman-teman yang
minta.”
“Baiklah kalau begitu.”
Rena pulang duluan, meninggalkan Eru yang masih tidak percaya
seorang Rena mengajaknya pergi untuk perayaan tahun baru. Dia memikirkan itu
sepanjang malam, pagi, dan seterusnya.
Perayaan tahun baru masih tiga puluh jam lagi saat Eru pergi
ke Pasar Bawah. Dia merasa harus membeli buku baru untuk resolusi tahun
barunya, sesuai tradisi, walaupun dia tak yakin punya waktu untuk menulis
karena dia akan pergi bersama Rena. Saat melihat tumpukan buku-buku tulis di
toko buku, Eru bingung. Dia bisa saja mengambil buku tulis biasa, tetapi dia
teringat Rena. Cewek itu menyukai warna hijau, batin Eru. Tumpukan buku-buku
tulis dengan sampul hijau dan bagian dalam bergaris-garis hijau menarik
perhatian Eru.
Sekitar dua puluh menit dia berpikir. Setelah lelah sendiri
dan perutnya keroncongan, dia memutuskan membeli buku bersampul warna hijau.
Sepulangnya ke rumah Eru tidur sore hingga magrib, dia tidak mengeluarkan buku
itu dari tasnya. Dia melanjutkan kegiatan seperti biasa. Liburan membuatnya
lebih punya banyak waktu untuk menonton televisi, sesuatu yang tidak begitu dia
sukai. Tetapi ibunya menyuruh Eru menonton televisi, makanya Eru menonton.
Tiba-tiba ponsel Eru berbunyi, lagu milik idol group dari Jakarta seakan memanggil
dirinya. Dadanya terasa berat oleh gravitasi yang bertambah. Dia kaget, tentu
saja, karena setelah sekian lama benda itu berbunyi juga untuknya. Dia segera
berlari menuju meja di kamarnya dan mengambil benda itu. Ada sebuah pesan dari
nomor Rena:
“Kami tunggu di Haus Tea, ya. Jam tujuh. Jangan sampai telat.
Nanti kita bakal pergi ke tempat lain setelah makan.”
Eru bertanya-tanya apakah dia harus membalas pesan itu atau
tidak. Dia akhirnya membalas “Oke,” satu jam kemudian.
Eru tidak menyangka Rena akan mengingatkannya tentang acara
malam tahun baru mereka. Padahal Eru sempat terpikir untuk melakukan tradisi
seperti biasa: menulis resolusi sampai jam dan kembang api menjadi pertanda.
Ternyata Rena tidak bercanda waktu mengajaknya.
Eru segera minta izin pada orangtuanya, dia akan pulang larut
malam karena merayakan tahun baru. Rumahnya dekat dari Jam Gadang, pun restoran
Haus Tea masih berada di kawasan yang sama, orangtuanya mengizinkan begitu
saja. Malahan mereka cukup senang akhirnya Eru bisa pergi bersama teman-teman
sekolahnya.
Bunyi terompet dan petasan sepanjang hari tidak berhenti
terdengar. Anak-anak berlarian di tepi jalan sambil berusaha membunyikan
terompet sekeras mungkin. Ada yang iseng membunyikan terompet di telinga teman
mereka. Sambil bersiap-siap pergi, Eru melihat itu semua dari jendela kamarnya.
Dia memilih kemeja hijau kotak-kotak dan celana kargo warna
coklat muda. Karena dia tidak terlalu tahan dingin, Eru melapisi pakaiannya
dengan jaket. Sayangnya dia hanya punya satu jaket, berwarna merah, jadilah dia
tidak seratus persen terlihat menggunakan warna kesukaan Rena.
Eru berjalan kaki ke kawasan Jam Gandang, melewati
jalan-jalan pintas, mendaki jenjang Pasar Bawah dan melewati Pasar Lereng. Ya,
di Bukittinggi memang terlalu banyak pasar di lokasi yang saling berdekatan.
Lalu dia beranjak ke Pasar Atas—dilihatnya Jam Gadang menunjukkan pukul 17.45—kemudian
berjalan menurun ke arah Kampung Cina, tempat Haus Tea berada.
Selama dia berjalan kaki tadi, dia melihat orang-orang sudah
ramai berada di jalanan. Orang-orang dewasa juga membawa terompet di tangan
mereka. Bahkan di depan Haus Tea banyak orang-orang seumuran Eru duduk-duduk di
pinggir jalan dan mengobrol, saling melontarkan lelucon yang menimbulkan tawa
mereka.
Seakan-akan mereka menertawakan Eru.
Dia sendirian duduk di meja di lantai dua, posisinya
menghadap jalanan. Dia bisa melihat gerombolan tadi sudah bertambah dengan
orang-orang yang bermain skateboard. Eru menghela napas, menelan sesuatu yang
memberatkan dadanya lagi. Berusaha mendengar suara-suara yang dilontarkan orang-orang di sekitarnya, Eru
merasa kesepian di tempat ramai.
Dia merasa lebih baik kesepian di kamar sendiri, daripada
kesepian di tempat seperti pasar ini. Untung saja dia membawa uang lebih, jadi
dia memesan makanan hangat lagi. Pelayan cewek yang mengantarkan makanan lagi
untuk Eru tersenyum padanya. Eru merasakan senyuman itu tulus. tetapi Eru tahu
dia tak akan bisa mengajak pelayan itu menemaninya. Rena yang mengajakknya ke
sini. Eru sengaja beberapa kali ke lantai satu, untuk ke toilet sekaligus
mengecek apakah Rena ada di lantai bawah. Ternyata tidak ada.
Sampai jam sepuluh Eru masih berada di Haus Tea. Pelayan
cewek tadi berkali-kali bertanya apakah Eru ingin memesan lagi atau tidak. Eru
menggeleng dan meminta bill. Dia keluar dari restoran itu dengan tangan memeluk
tubuh sendiri. Dia berjalan melewati pemain-pemain skateboard, cewek-cewek yang
memegang kembang api di tangan, anak-anak yang meniupkan terompet seakan-akan
mereka tidak pernah kehabisan napas.
Bagi Eru tahun ini hanya salah satu tahun dalam kehidupannya,
berjalan begitu saja, dalam situasi yang tidak perlu dituliskan dalam sebuah
buku. Karena itu bukunya hanya bertuliskan resolusi-resolusi yang mustahil di
capai, lalu buku itu terlupakan.
Dia berjalan menuju taman Jam Gadang, kepadatan pengunjung di
sana sangat tinggi. Rasanya tidak mungkin bisa bergerak di kerumunan itu.
Ditambah pedang-pedagang kaki lima menggelar dagangan mereka begitu saja—bahkan
di atas rumput-rumput taman. Eru semakin sadar kalau artikel yang dia tulis
hanya menjadi sekadar berkas, bukan sesuatu yang harus diwujudkan. Pemerintahan
kota hanya membuat ajang gelar Duta Taman itu sebagai acara seremonial saja.
Eru sangsi kalau laporan yang dia buat bersama Rena dibaca atau dievaluasi.
Di langit, kembang api-kembang api meletus dan menyemburkan
warna-warni. Sebelum tengah malam orang-orang sudah membeli dan medakkan ribuan
kembang api.
“Yeah! Kembang
api!”
Suara itu, batin Eru. Satu suara yang berada di antara
suara-suara orang lain, terdengar jelas di telinga Eru. Dia menoleh ke sumber
suara itu.
Rena berdiri di sana, bersama teman-temannya. Eru juga
menangkap sosok Uda Malik, siswa kelas dua belas yang pernah dihukum karena
berkasus saat menjadi panitia masa orientasi siswa baru. Dia membuat siswa
seangkatan Eru itu jadi babak belur. Anehnya bagi Eru, Uda Malik hanya dihukum
skorsing dua minggu.
Eru berhenti berjalan, memperhatikan mereka dari kejauhan.
Rena sedang menunggu kembang api di tangannya menyala. Saat api
membuat benda itu berpendar, warna merah muncul seperti bunga, Rena bersorak
dan menari-nari. Tangannya meliuk-liuk seperti pita penari.
“Aku suka kembang api!” Pony
tail Rena melompat-lompat di punggungnya.
Saat itulah mata Eru dan mata Rena bertemu. Eru berusaha
untuk tersenyum, walaupun dia tidak yakin apakah senyumannya lurus. Dia hanya
berusaha untuk tulus, walaupun usahanya tidak seberat perasaan yang menghantam
dadanya.
“Eru?!” Rena menyapanya, “ sini!” Tangannya melambai meminta
Eru mendekat.
Eru bergeming. Dia ingin melangkah, tetapi orang-orang
berkali-kali melintas di depannya, membuatnya urung beranjak. Saat kesempatan
bisa melihat Rena lagi, Eru menyaksikan tangan Rena tidak memegang kembang api
lagi, tetapi tangannya berada di genggaman Uda Malik. Mereka saling mengatakan
sesuatu, entah apa. Eru hanya teringat dengan apa yang dia lihat saat dia
pulang beberapa hari lalu, saat dia melihat Rena menangis sambil tangannya
menempel di pipi. Mereka dalam kondisi seperti itu lagi rupanya.
Dan Eru tetap tidak beranjak walaupun dia melihat Uda Malik membawa
Rena entah ke mana. Dia malah berjalan ke arah berlawanan, menuju gedung Balai
Sidang Hatta. Dia masuk ke gedung itu, tempat banyak orang lain yang sibuk
bersenang-senang. Dia duduk di tepi gedung yang menghadap Jam Gadang, di balik
barisan tanaman hijau. Walaupun sedikit merasa bersalah, dia duduk di atas
rumput. Paling tidak, dia berhati-hati saat duduk. Tak ada orang lain duduk
bersamanya.
Demi ada kegiatan selain memperhatikan kegembiraan
orang-orang, dia membuka tasnya. Tetapi dia ingat tidak membawa buku
matematika, hanya ada buku tulis berwarna hijau yang dia beli kemarin.
Tangannya mengeluarkan buku itu, dia letakkan di pangkuannya. Lalu dia kembali
ingin melakukan tradisi: menulis resolusi. Namun, saat tangannya menggenggam
pena, dia tidak tahu mau menulis apa. Makanya dia berbaring di rumput itu,
tidak peduli apakah di sana ada semut api atau cacing atau apa. Dia hanya ingin
berbaring.
“Melakukan hal baru tidak buruk juga, ya?” katanya kepada
diri sendiri.
Dan dia memikirkan banyak hal sambil menatap langit di atas
Jam Gadang sedang dipenuhi kembang api berwarna-warni.
“Hei, bangun!”
Eru merasakan bahunya didorong berkali-kali. Kesusahan dia
membuka matanya, lalu mendapati Rena sedang menatapnya. Tentu saja dia kaget.
Dia segera bangkit duduk.
“Jangan berteriak seperti itu!” Rena menempelkan telunjuk di bibirnya
sendiri. “Kalau ada yang dengar dan aku ketahuan ada di sini, awas kamu.”
“Kenapa kamu di sini? Da Malik?”
“Jangan tanya-tanya dia, aku sedang kabur dari dia.”
Eru menatap Rena begitu lama, “Kamu menggerai rambutmu,” kata
Eru, “dan panjangnya memang sepinggang.”
“Kamu bicara apa, sih?” Rena menggeser duduknya, agak terlalu
dekat bagi Eru.
Tentu saja Eru tidak menolak.
“Bisa-bisanya tertidur di sini,” kata Rena kemudian,
mengabaikan tatapan Eru yang tidak berpaling.
“Aku tidur berapa lama?”
Rena menunjuk Jam Gadang, hanya beberapa saat lagi menuju
tengah malam. Semua orang di kawasan itu tidak lagi menyalakan atau meledakkan
kembang api. Mereka menunggu detik-detik menuju pergantian tahun baru.
Terdengar suara dari pengeras suara, kemungkinan dari kantor pengawas yang ada
di bawah Jam Gadang.
“Ayo warga Bukittinggi, mari kita berhitung bersama-sama:
sepuluh!”
Semua orang mengikuti, termasuk Rena. “Sepuluh!”
“Sembilan!”
Eru hanya memperhatikan wajah Rena dari samping, cewek itu
begitu bersemangat. Hingga angka hitungan semakin kecil Eru belum juga
menghitung.
“Tiga!”
“Dua!”
“Rena, selamat tahun baru!” Eru akhirnya berteriak, membuat
Rena tertawa.
Kembang api-kembang api meledak dan langit malam semakin
berwarna. Seakan-akan sebuah kanvas hitam diperciki cat. Perasaan Rena begitu
lega dan senang. Dia ingin terus tertawa sepanjang malam. Sekaligus melupakan
seseorang yang sudah mengecewakannya.
Lalu dia menoleh ke Eru, melihat wajah cowok itu berpendar
karena terpantul cahaya kembang api.
“Eru, selamat tahun baru!” Dia hampir saja memeluk Eru kalau
dia tidak melihat sebuah buku di dekat Eru.
“Apa ini?”
“Buku tulis.”
“Aku tahu, tapi kenapa kamu bawa buku tulis? Mau mengerjakan
soal matematika?” Rena terkekeh. “Dasar culun.”
“Biasanya aku menulis resolusi di buku.”
“Begitu, ya? Kenapa masih kosong?” Rena melihat pena di dekat
Eru, dia mengambil benda itu dan mulai menulis. Eru hampir melarang, tetapi dia
urung melakukan itu. “Kenapa bukunya bergaris-garis hijau begini, aneh!” Dia
terus menulis.
“Bukannya kamu suka warna hijau?”
“Siapa bilang? Aku suka warna merah.”
Eru tertegun, lalu dia berkata, “Kamu menulis apa?”
“Setelah lulus SMA aku harus lanjut kuliah di jurusan
komunikasi.” Rena memberikan buku itu kepada Eru. “Katanya komunikasi itu
kemampuan dasar wanita, kayaknya aku perlu belajar lebih banyak lagi biar bisa membuat
orang lain paham apa yang kukatakan.”
“Kamu akan lulus jurusan komunikasi. Aku yakin.”
“Sok tahu.” Rena merasa bersalah, “Maaf, maksudku terima
kasih sudah mendoakan aku. Makasih, ya, Eru.” Rena tersenyum.
“Aku selalu menulis resolusi, walaupun lebih banyak keinginan
yang mustahil terkabul, tetapi—“
“Apa resolusimu tahun lalu?”
“Apa ya?” Eru mencoba mengingat-ingat. “Aku lupa—“
“Dasar payah, eh, maksudku kamu harus coba ingat.”
Eru masih mencoba mengingatnya. Di sebelahnya Rena dengan
sabar menunggu.
Dan pembaca yang baik, Eru mungkin lupa, tetapi saya tetap
ingat. Resolusi Eru yang tercapai selain menjadi Duta Taman adalah: dia ingin
dekat dengan Rena. Ya, dia mewujudkan keinginannya di perbatasan ujung tahun.
Kemudian mereka mengobrol banyak hal, sampai-sampai Rena
berbaring di samping Eru.
“Aku selalu suka bau rumput,” kata Rena sambil mengangkat
tangannya tinggi-tinggi seakan ingin menjangkau langit.
“Eh?” Eru teringat sesuatu.
No comments:
Post a Comment