“Bangun!”
Sebuah suara terdengar samar seperti
berasal dari orang yang berada di seberang lautan. Aku mencoba lagi mendengar
suaranya lebih jelas. Apa yang dia bilang? Bangun? Kenapa?
Hari ini langit begitu biru bersih, hanya sedikit awan cumulus yang
menapaki atmosfer. Aku pun sedang terjaga, kenapa disuruh bangun?
“Sialan. Aku bilang bangun!”
Kurasakan air dingin menabrak mukaku.
Aku terperangah. Tiba-tiba saja pemandangan indah alam pegunungan dengan langit
biru tergantikan oleh ruangan remang-remang dan bau pengap yang langsung menusuk
hidung. Mataku, yang masih belum fokus dan terbatasi oleh air yang mengalir
dari rambutku, terasa perih. Aku ingin menguceknya, tapi kurasakan tanganku
terikat. Kuedarkan pandangan berkeliling—orang-orang yang tak kukenal
mengelilingiku. Aku ingin menghitung, satu, dua…
Sekali lagi kurasakan air menyembur ke
mukaku.
“Udah bangun, kamu?”
Itu suara yang kudengar sejak tadi. Ternyata dia berusaha
membangunkanku. Usahanya tak berhasil
jika hanya mengandalkan suara. Ibuku saja kesusahan setiap kali ingin
menbangunkanku di pagi hari. Aku tidur selayak orang mati! Karenanya aku sering
telat ke sekolah.
Sekolah, kemudian… les? Bukankah aku tadi dalam perjalanan ke tempat les malam ini? Aku
mengambil kelas malam karena harus sekolah di siang harinya. Dan seharusnya aku sedang belajar bahasa Inggris. Ini bukan ruangan kelas
pastinya.
Aku tersadar.
“Kalian mau apa?” Itu kalimat pertama yang terpikir olehku.
“Kamu nggak perlu tahu apa yang kami
inginkan. Kamu cuma perlu tahu apa yang seharusnya tidak kamu lakukan!”
Aku melihat pria yang bicara tadi dari
sudut mataku. Dia duduk di atas tumpukan kotak dari kayu. Kaki kanannya
ditopang oleh kaki kiri, santai sekali seakan tidak ada masalah sama sekali.
Setelah mataku tidak terlalu perih, aku bisa melihat dalam keremangan lampu
neon ber-watt rendah, berapa orang dalam ruangan ini. Lima orang! Untuk menyekapku mereka membutuhkan lima orang?
Pria yang bicara tadi berdiri, menuju ke
arahku, dia bertukar posisi dengan pria gendut yang membawa ember. Si gendut
mundur dan melempar ember ke dinding. Si pria yang mendekatiku, kemungkinan
ketua mereka, mengisap rokok dan menikmati
setiap partikel nikotin yang masuk seiring asap melaju ke paru-parunya. Aku
tidak suka rokok. Tidak pernah suka.
Wajahnya semakin jelas di bawah sorot
lampu.
“Bang Jaya?” tanyaku, terkejut.
“Nggak usah kaget, Vin,” katanya tenang.
Aku tidak bisa sembunyikan kagetku, aku
tak percaya dia melakukan ini padaku. Aku baru ingat kalau dalam perjalanan ke
kampus tadi aku bertemu dengannya. Kami berbincang sedikit tentang keadaan
anaknya yang sedang sakit. Aku bertanya tentang pengobatan yang membutuhkan
biaya banyak, berhasrat ingin membantu tapi jujur aku tak bisa. Kemudian
seseorang mendekati kami… saat itulah aku hilang kesadaran.
“Perlukah Abang lakuin ini padaku?”
tanyaku.
Bang Jaya menghembuskan asap rokoknya. Dia melirik pada empat orang yang
dari tadi menonton kami, lalu memberi tanda. Seperti diprogram dengan pengkodean tertentu, keempatnya keluar dari
ruangan.
“Aku terpaksa, Ervin.”
“Untuk biaya pengobatan Mila?”
Aku tak perlu jawaban.
“Abang bisa minta tolong pada ayahku.
Dia punya banyak relasi yang bisa membantu, mengumpulkan dana untuk biaya
operasi kanker Mila…”
“Nggak usah, Vin. Abang nggak mau
merepotkan orangtuamu lagi.”
Bang Jaya pernah terlibat petaka yang membuat dirinya terfitnah. Dia dituduh sebagai pengedar narkoba
dan melakukan sebuah pembunuhan. Pada mayat perempuan pengedar narkoba itu ditemukan sidik jari Bang Jaya menempel di lehernya. Sidik jari itu memang milik Bang Jaya. Namun, hal itu mustahil terjadi karena Bang
Jaya tidak bertemu dengan perempuan itu di hari perkiraan kematian. Ayahku
membantu menguatkan alibi Bang Jaya. Aku ingat kalau alibi Bang Jaya adalah ikut serta dalam perbaikan gedung sebuah kampus di kota kami. Selain itu, ayahku juga mengeluarkan uang untuk menjamin Bang
Jaya di kantor polisi.
Kini dia menyekapku?
“Bang, bisa buka ikatan tanganku?”
mohonku padanya.
Dia menggeleng. “Kamu salah, Vin.”
“Salah?”
“Pengobatan Mila memang sudah tidak
begitu mengkhawatirkan, abang udah dapat uangnya. Masalahnya…”
Aku menunggu. Lalu sesuatu tampak
berkilat di sudut atas ruangan. Sebuah kamera CCTV.
“Kamera… kita ditonton Bang?” tanyaku
memelankan suara sebisa mungkin agar tak tak terdengar. Kutatap Bang Jaya yang
makin diam, dia bertahan menatap mataku.
“Abang udah cek, CCTV itu masih kuno
karena nggak bisa merekam suara. Jadi siapa pun yang lihat kita di sana hanya
menonton film bisu. Makanya Vin, kamu denger dulu apa kata abang.”
Aku meminta lagi ikatanku dibuka karena
pergelangan tanganku sudah lecet rasanya. Namun, permintaanku tak digubris.
“Hentikan aksimu di RAK.”
Aku tak menyangka topik kami beralih ke
sini. Inikah alasannya? Aku tak mengerti kenapa harus melibatkan Bang Jaya!
“Kenapa? Kami sedikit pun tidak pernah
merugikan masyarakat. Kenapa harus berhenti?”
“Kamu berada di wilayah Abang, Vin.”
Bang Jaya orang kuat di lingkungan
rumahku. Wilayah itu berarti dimana dia mempunyai kekuasaan dan tanggung jawab untuk menjaga atau sebaliknya, mengganggu penduduk.
Untung saja Bang Jaya baik, jarang ada masalah di dekat rumah. Walau pun tak
kusangkal tawuran antar kelompok preman kadang terjadi.
“Sedangkan abang perlu kondisi aman yang
bikin keluarga abang nggak diganggu… oleh salah satu pejabat yang kamu lawan.”
Aku awalnya mencoba mencerna kata-kata itu seperti menelan daging yang ulet, lalu rupanya semua masuk juga ke tubuhku. “Jadi Bang Jaya
adalah orang suruhan pejabat itu?”
Dia tidak menyangkal pertanyaanku. “Pejabat itu yang tanggung biaya pengobatan
Mila, tapi dengan syarat abang bisa membereskan semua orang yang mengganggu ketenangan hidupnya. Kamu salah satunya, Vin”
“Lalu, apa yang akan abang lakuin?”
“Abang nggak bakal nyakitin kamu. Kamu
cuma perlu berhenti dari kegiatan itu, membubarkan RAK. Kamu ketua di sana, Vin. Kamu pasti bisa.”
Tak mungkin. Aku menggelengkan kepala
tanda tak percaya. Keadilan dan kebenaran harus di tegakkan di negeri ini,
khususnya di kotaku. Aku tak bisa membiarkan sikap apatis terhadap problem yang menggerogoti jiwa negeri. Pejabat yang merugikan rakyat adalah
benalu. Basmi!
“Remaja Anti Koruptor!” teriakku
mengucapkan kepanjangan RAK. Namun, itu juga pernyataan bahwa tak ada kata
mundur melawan korupsi.
Pejabat ini melakukan berbagai kerugian
di kota. Miliaran uang disedot. Sedikit-sedikit
kebusukannya terungkap oleh RAK dan aksi mahasiswa yang lebih besar telah
berjuang untuk menyeret pejabat-pejabat korupsi itu ke meja hijau.
“Kamu harus berhenti dari itu, Vin!”
Aku menggeleng tegas. “Untuk apa hidup
kalau kita dikuasai oleh penipu. Mereka koruptor Bang. Nggak ada di otak mereka
selain cara mencuri uang rakyat!”
“Kelompok mahasiswa yang membimbing kalian udah abang amankan. Kamu mesti tahu itu.”
Aku ternganga. Pantas saja ponsel Bang
Munir, ketua Persatuan Mahasiswa Lawan Korupsi, tak bisa kuhubungi. Mungkin dia
sudah berada di tempat yang tak seharusnya. Tersekap dan terisolasi.
“Lalu,” aku mencoba memberanikan diri,
menantang, “Abang ingin membereskan aku juga?”
“Tidak: kalau kamu berhenti beraksi.” Syaratnya jelas.
“Tidak akan pernah, bang! Aku bersumpah
akan membasmi korupsi. Ini penyakit negeri nomor wahid!”
“Tapi, kamu juga bakal membebankan
Abang! Pejabat itu yang meminjamkan uang untuk pengobatan Mila. Dia bebankan
bunga, tahu! Jika dia masih merasa
terganggu oleh tindakanmu… dia bakal naikin bunga utang Abang.”
“Tapi Bang…”
“Kamu ingat betapa abang jaga kamu dari
orang jahat selama ini?”
Aku tahu itu. Aku berutang budi banyak
pada Bang Jaya. Saat aku sedang terpengaruh tawuran antar sekolah, dia yang
menyelamatkan aku dari keroyokan murid sekolah kota tetangga. Waktu itu
aku dilawan pakai clurit. Aku hampir saja mati kalau Bang Jaya tidak membantu.
“Bang… kenapa bisa minjam sama pejabat
itu? Mungkin saja itu bukan uang dia, tapi uang rakyat! Uang abang juga!”
“Abang mungkin bodoh kalau soal uang,
Vin.”
“Aku nggak bilang begitu…”
“Kamu hanya perlu tanda tangani ini.”
Bang Jaya mengambil kertas dan pena. Kertas itu sebuah surat pernyataan untuk
berkelakuan baik. Dibawahnya terdaftar apa-apa saja yang telah kulakukan.
“Aku nggak pernah perkosa orang, Bang!”
Aku menatap daftar itu lagi. Ini fitnah! “Aku nggak mungkin melakukan semua
kejahatan itu.”
“Tanda tangan aja, Vin.”
Aku tidak mau! Aku ludahi kertas itu
saat Bang Jaya memanggil teman-temannya.
Si gendut langsung marah melihat kelakuanku.
“Tanda tangan, Vin!” bentak Bang Jaya.
Dia membersihkan ludahanku di atas kertas itu.
Seorang dari mereka membuka ikatan
tanganku. Bang Jaya memberikan pena.
“Gampang, kok, Vin. Kamu hanya perlu
jadi tahanan selama setahun.”
Aku tak mau, tentu saja. Pantang bagiku
tunduk pada kekuasaan yang tampaknya peduli pada rakyat padahal mempunyai mesin
penyedot kekayaan. Uang rakyat diambil tanpa izin. Seharusnya mereka yang masuk
penjara seumur hidup dan tidak diberi fasilitas apa pun. Biar jera.
Aku merobek kertas itu di hadapan Bang
Jaya dan teman-temannya.
Mereka terdiam, beberapa kemudian memakiku.
Kemudian, satu tendangan bersarang di
punggungku. Susul menyusul dengan tinju dan tedangan dari yang lainnya.
Aku bisa saja mati, tapi aku harus
selalu membela kebenaran. Tak mau tunduk pada kebuasan orang yang kita anggap
pemimpin… padahal mereka membuat rakyat seperti pupuk kompos, dimanfaatkan sampai menjadi tanah yang busuk.
No comments:
Post a Comment