Sunday, January 1, 2012

Antara Bang Jaya, Aku dan Pejabat Itu


Bangun!”

Sebuah suara terdengar samar seperti berasal dari orang yang berada di seberang lautan. Aku mencoba lagi mendengar suaranya lebih jelas. Apa yang dia bilang? Bangun? Kenapa? Hari ini langit begitu biru bersih, hanya sedikit awan cumulus yang menapaki atmosfer. Aku pun sedang terjaga, kenapa disuruh bangun?
“Sialan. Aku bilang bangun!”
Kurasakan air dingin menabrak mukaku. Aku terperangah. Tiba-tiba saja pemandangan indah alam pegunungan dengan langit biru tergantikan oleh ruangan remang-remang dan bau pengap yang langsung menusuk hidung. Mataku, yang masih belum fokus dan terbatasi oleh air yang mengalir dari rambutku, terasa perih. Aku ingin menguceknya, tapi kurasakan tanganku terikat. Kuedarkan pandangan berkeliling—orang-orang yang tak kukenal mengelilingiku. Aku ingin menghitung, satu, dua…
Sekali lagi kurasakan air menyembur ke mukaku.
“Udah bangun, kamu?”
Itu suara yang kudengar sejak tadi. Ternyata dia berusaha membangunkanku. Usahanya tak berhasil jika hanya mengandalkan suara. Ibuku saja kesusahan setiap kali ingin menbangunkanku di pagi hari. Aku tidur selayak orang mati! Karenanya aku sering telat ke sekolah.
Sekolah, kemudian… les? Bukankah aku tadi dalam perjalanan ke tempat les malam ini? Aku mengambil kelas malam karena harus sekolah di siang harinya. Dan seharusnya aku sedang belajar bahasa Inggris. Ini bukan ruangan kelas pastinya.
Aku tersadar.
“Kalian mau apa?” Itu kalimat pertama yang terpikir olehku.
“Kamu nggak perlu tahu apa yang kami inginkan. Kamu cuma perlu tahu apa yang seharusnya tidak kamu lakukan!”
Aku melihat pria yang bicara tadi dari sudut mataku. Dia duduk di atas tumpukan kotak dari kayu. Kaki kanannya ditopang oleh kaki kiri, santai sekali seakan tidak ada masalah sama sekali. Setelah mataku tidak terlalu perih, aku bisa melihat dalam keremangan lampu neon ber-watt rendah, berapa orang dalam ruangan ini. Lima orang! Untuk menyekapku mereka membutuhkan lima orang?
Pria yang bicara tadi berdiri, menuju ke arahku, dia bertukar posisi dengan pria gendut yang membawa ember. Si gendut mundur dan melempar ember ke dinding. Si pria yang mendekatiku, kemungkinan ketua mereka, mengisap rokok dan menikmati setiap partikel nikotin yang masuk seiring asap melaju ke paru-parunya. Aku tidak suka rokok. Tidak pernah suka.
Wajahnya semakin jelas di bawah sorot lampu.
“Bang Jaya?” tanyaku, terkejut.
“Nggak usah kaget, Vin,” katanya tenang.
Aku tidak bisa sembunyikan kagetku, aku tak percaya dia melakukan ini padaku. Aku baru ingat kalau dalam perjalanan ke kampus tadi aku bertemu dengannya. Kami berbincang sedikit tentang keadaan anaknya yang sedang sakit. Aku bertanya tentang pengobatan yang membutuhkan biaya banyak, berhasrat ingin membantu tapi jujur aku tak bisa. Kemudian seseorang mendekati kami… saat itulah aku hilang kesadaran.
“Perlukah Abang lakuin ini padaku?” tanyaku.
Bang Jaya menghembuskan asap rokoknya. Dia melirik pada empat orang yang dari tadi menonton kami, lalu memberi tanda. Seperti diprogram dengan pengkodean tertentu, keempatnya keluar dari ruangan.
“Aku terpaksa, Ervin.”
“Untuk biaya pengobatan Mila?”
Aku tak perlu jawaban.
“Abang bisa minta tolong pada ayahku. Dia punya banyak relasi yang bisa membantu, mengumpulkan dana untuk biaya operasi kanker Mila…”
“Nggak usah, Vin. Abang nggak mau merepotkan orangtuamu lagi.”
Bang Jaya pernah terlibat petaka yang membuat dirinya terfitnah. Dia dituduh sebagai pengedar narkoba dan melakukan sebuah pembunuhan. Pada mayat perempuan pengedar narkoba itu ditemukan sidik jari Bang Jaya menempel di lehernya. Sidik jari itu memang milik Bang Jaya. Namun, hal itu mustahil terjadi karena Bang Jaya tidak bertemu dengan perempuan itu di hari perkiraan kematian. Ayahku membantu menguatkan alibi Bang Jaya. Aku ingat kalau alibi Bang Jaya adalah ikut serta dalam perbaikan gedung sebuah kampus di kota kami. Selain itu, ayahku juga mengeluarkan uang untuk menjamin Bang Jaya di kantor polisi.
Kini dia menyekapku?
“Bang, bisa buka ikatan tanganku?” mohonku padanya.
Dia menggeleng. “Kamu salah, Vin.”
“Salah?”
“Pengobatan Mila memang sudah tidak begitu mengkhawatirkan, abang udah dapat uangnya. Masalahnya…”
Aku menunggu. Lalu sesuatu tampak berkilat di sudut atas ruangan. Sebuah kamera CCTV.
“Kamera… kita ditonton Bang?” tanyaku memelankan suara sebisa mungkin agar tak tak terdengar. Kutatap Bang Jaya yang makin diam, dia bertahan menatap mataku.
“Abang udah cek, CCTV itu masih kuno karena nggak bisa merekam suara. Jadi siapa pun yang lihat kita di sana hanya menonton film bisu. Makanya Vin, kamu denger dulu apa kata abang.”
Aku meminta lagi ikatanku dibuka karena pergelangan tanganku sudah lecet rasanya. Namun, permintaanku tak digubris.
“Hentikan aksimu di RAK.”
Aku tak menyangka topik kami beralih ke sini. Inikah alasannya? Aku tak mengerti kenapa harus melibatkan Bang Jaya!
“Kenapa? Kami sedikit pun tidak pernah merugikan masyarakat. Kenapa harus berhenti?”
“Kamu berada di wilayah Abang, Vin.”
Bang Jaya orang kuat di lingkungan rumahku. Wilayah itu berarti dimana dia mempunyai kekuasaan dan tanggung jawab untuk menjaga atau sebaliknya, mengganggu penduduk. Untung saja Bang Jaya baik, jarang ada masalah di dekat rumah. Walau pun tak kusangkal tawuran antar kelompok preman kadang terjadi.
“Sedangkan abang perlu kondisi aman yang bikin keluarga abang nggak diganggu… oleh salah satu pejabat yang kamu lawan.”
Aku awalnya mencoba mencerna kata-kata itu seperti menelan daging yang ulet, lalu rupanya semua masuk juga ke tubuhku. “Jadi Bang Jaya adalah orang suruhan pejabat itu?”
Dia tidak menyangkal pertanyaanku. “Pejabat itu yang tanggung biaya pengobatan Mila, tapi dengan syarat abang bisa membereskan semua orang yang mengganggu ketenangan hidupnya. Kamu salah satunya, Vin”
“Lalu, apa yang akan abang lakuin?”
“Abang nggak bakal nyakitin kamu. Kamu cuma perlu berhenti dari kegiatan itu, membubarkan RAK. Kamu ketua di sana, Vin. Kamu pasti bisa.”
Tak mungkin. Aku menggelengkan kepala tanda tak percaya. Keadilan dan kebenaran harus di tegakkan di negeri ini, khususnya di kotaku. Aku tak bisa membiarkan sikap apatis terhadap problem yang menggerogoti jiwa negeri. Pejabat yang merugikan rakyat adalah benalu. Basmi!
Remaja Anti Koruptor!” teriakku mengucapkan kepanjangan RAK. Namun, itu juga pernyataan bahwa tak ada kata mundur melawan korupsi.
Pejabat ini melakukan berbagai kerugian di kota. Miliaran uang disedot. Sedikit-sedikit kebusukannya terungkap oleh RAK dan aksi mahasiswa yang lebih besar telah berjuang untuk menyeret pejabat-pejabat korupsi itu ke meja hijau.
“Kamu harus berhenti dari itu, Vin!”
Aku menggeleng tegas. “Untuk apa hidup kalau kita dikuasai oleh penipu. Mereka koruptor Bang. Nggak ada di otak mereka selain cara mencuri uang rakyat!”
“Kelompok mahasiswa yang membimbing kalian udah abang amankan. Kamu mesti tahu itu.”
Aku ternganga. Pantas saja ponsel Bang Munir, ketua Persatuan Mahasiswa Lawan Korupsi, tak bisa kuhubungi. Mungkin dia sudah berada di tempat yang tak seharusnya. Tersekap dan terisolasi.
“Lalu,” aku mencoba memberanikan diri, menantang, “Abang ingin membereskan aku juga?”
“Tidak: kalau kamu berhenti beraksi.” Syaratnya jelas.
“Tidak akan pernah, bang! Aku bersumpah akan membasmi korupsi. Ini penyakit negeri nomor wahid!”
“Tapi, kamu juga bakal membebankan Abang! Pejabat itu yang meminjamkan uang untuk pengobatan Mila. Dia bebankan bunga, tahu! Jika dia masih merasa terganggu oleh tindakanmu… dia bakal naikin bunga utang Abang.”
“Tapi Bang…”
“Kamu ingat betapa abang jaga kamu dari orang jahat selama ini?”
Aku tahu itu. Aku berutang budi banyak pada Bang Jaya. Saat aku sedang terpengaruh tawuran antar sekolah, dia yang menyelamatkan aku dari keroyokan murid sekolah kota tetangga.  Waktu itu aku dilawan pakai clurit. Aku hampir saja mati kalau Bang Jaya tidak membantu.
“Bang… kenapa bisa minjam sama pejabat itu? Mungkin saja itu bukan uang dia, tapi uang rakyat! Uang abang juga!”
“Abang mungkin bodoh kalau soal uang, Vin.”
“Aku nggak bilang begitu…”
“Kamu hanya perlu tanda tangani ini.” Bang Jaya mengambil kertas dan pena. Kertas itu sebuah surat pernyataan untuk berkelakuan baik. Dibawahnya terdaftar apa-apa saja yang telah kulakukan.
“Aku nggak pernah perkosa orang, Bang!” Aku menatap daftar itu lagi. Ini fitnah! “Aku nggak mungkin melakukan semua kejahatan itu.”
“Tanda tangan aja, Vin.”
Aku tidak mau! Aku ludahi kertas itu saat Bang Jaya memanggil teman-temannya.
Si gendut langsung marah melihat kelakuanku.
“Tanda tangan, Vin!” bentak Bang Jaya. Dia membersihkan ludahanku di atas kertas itu.
Seorang dari mereka membuka ikatan tanganku. Bang Jaya memberikan pena.
“Gampang, kok, Vin. Kamu hanya perlu jadi tahanan selama setahun.”
Aku tak mau, tentu saja. Pantang bagiku tunduk pada kekuasaan yang tampaknya peduli pada rakyat padahal mempunyai mesin penyedot kekayaan. Uang rakyat diambil tanpa izin. Seharusnya mereka yang masuk penjara seumur hidup dan tidak diberi fasilitas apa pun. Biar jera.
Aku merobek kertas itu di hadapan Bang Jaya dan teman-temannya.
Mereka terdiam, beberapa kemudian memakiku.
Kemudian, satu tendangan bersarang di punggungku. Susul menyusul dengan tinju dan tedangan dari yang lainnya.
Aku bisa saja mati, tapi aku harus selalu membela kebenaran. Tak mau tunduk pada kebuasan orang yang kita anggap pemimpin… padahal mereka membuat rakyat seperti pupuk kompos, dimanfaatkan sampai menjadi tanah yang busuk.

No comments:

Post a Comment