Sekejap Sharifa ingat Amaknya dirumah. Dia ingat kala amaknya agak sulit untuk melepasnya
mendaftarkan diri pada Dokter Ali Akbar. Amaknya
pasti rusuah bana jika mengetahui
kondisinya saat ini. Meski amak dan
ayahnya khawatir pada Sharifa, mereka tak bisa menghalangi kehendaknya. Ini
juga demi bangsa. Demi Indonesia.
Setelah
dua hari Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, berita menggembirakan ini
sampai pula ke Kampuang Sharifa, Koto Tuo. Apalagi salah satu proklamator
merupakan putra daerah Bukittinggi yang tak jauh dari lokasi rumah Sharifa.
Sungguh, hari itu semua masyarakat Indonesia bergembira. Merayakan kebebasan
dari tangan kolonial. Syukurlah Jepang hanya menjajah tiga setengah tahun. Dan
Belanda sedikit pun tidak memiliki hak lagi.
Sekenang
Sharifa, masa Jepang adalah saat-saat yang sangat sulit. Bayangkan saja, kita
hanya mempunyai kain yang telah dimiliki. Jika ada pakaian yang sudah robek
jangan harap ada penggantinya. Semua kain mahalnya minta ampun! Sedangkan
beras juga susah didapat. Masyarakat terpaksa mencampur beras dengan
rebusan jagung. Padahal jagung bukan makanan pokok yang enak dimakan setiap
hari. Terutama bagi
orang Minang.
“Sedang
apa Amak sekarang?” batin Sharifa
diantara sadar dan tidak sadar. Bau darah semakin memenuhi ruangan. Rintihan
Atin semakin menjadi-jadi. Dia mengucapkan segala puja puji pada Allah. Subhanallah…
Saat itu Sharifa berumur sembilan belas
tahun. Dua bulan setelah dia melewati ulang tahunnya. Tak ada perayaan sedikit pun. Tak mungkin ada
perayaan diatas menderitanya keluarga dan bangsa Indonesia. Lagipula ulang
tahun berarti bertambahnya umur dan berkurangnya kesempatan hidup di dunia ini.
Kala
mendengar bahwa Belanda datang lagi bersama Sekutu pada tahun 1945, kemarahan
rakyat Indonesia membara. Bagaimana mungkin Belanda dan Sekutu ingin merebut Indonesia lagi? Dengar wahai
Belanda terkutuk, kami sudah merdeka! Merdeka! Ingin Sharifa berteriak ke
telinga jenderal-jenderal kulit putih itu. Lalu terjadilah aksi-aksi heroik
mempertahankan kemerdekaan. Sharifa masih ingat kala dia mendengar di radio betapa heroiknya Bung Tomo membakar semangat juang
pemuda. Lantang beliau menyeru, “Allahu
Akbar!”. Di kota lain, Bandung menjadi lautan api dan Medan menjadi area pertempuran
melawan Sekutu. Tentu saja di Minangkabau aksi ini tak kalah heroik. Sekutu
yang membantu Belanda memang harus dibasmi sampai habis. Seperti kuman di
kaki!!
Itulah
yang Sharifa inginkan, dan tentu bangsa Indonesia.
Dua
tahun setelah kemerdekaan, agresi militer Belanda terjadi. Seluruh wilayah
Indonesia bersiap-siaga. Pada bulan Juli 1947 tentara Belanda datang lagi dari
berbagai divisi. Mereka rupanya ingin menyerbu dari darat, laut dan udara
sekaligus!
Karena sudah 19 tahun, Sharifa merasa terpanggil untuk ikut dalam
perperangan. Rasa memiliki bangsa ini dan ingin mempertahankannya semakin
menjadi kala dia diberi nasihat oleh Dokter Ali Akbar.
Rumah dokter itu tak sekedar tempat beliau praktek dan mengobati pasien. Dokter
yang murah senyum ini adalah ustadz pula. Beliau selalu mengingatkan jamaah
untuk membela bangsa ini dari kaum penjajah. Beliau membangkitkan semangat jihad para pemuda. Di rumah
itu pula pendaftaran menjadi relawan Palang Merah Indonesia dilakukan.
“Tenaga perawat sangat dibutuhkan tentara kita,” kata Dokter Ali kala
ditemui Sharifa di rumah. Bersama mereka hadir pula dua orang perempuan sebaya
Sharifa, Anis dan Maisyarah. “Pengorbanan perempuan-perempuan seperti kalian
yang diharapkan bangsa ini.”
Sharifa mendengarkan dengan tenang, walaupun hatinya ingin segera
memberitahukan niatnya pada Amak.
Sore itu, Anis dan Maisyarah telah mendafar pada Sang Dokter. Total sudah tujuh
orang perawat yang siap dikirim ke lereng Gunung Merapi bersama para
tentara. Mereka akan bersiap-siap menghadang agresi Belanda 1947 itu di wilayah
Agam dan sekitarnya.
Sharifa masih duduk di bangku, hanya memandang
punggung Anis yang sedang mengisi formulir. Dia mainkan ujung
kerudungnya. Dokter Ali mendekatinya. “Kamu belum ingin menulis namamu?”
Sharifa hanya diam. Dia ingin memberitahu ibunya dulu.
“Kesempatan untuk memberi kontribusi pada negara.”
“Saya akan ikut, Pak,” tegas Sharifa. “Hanya saja saya belum bilang pada Amak. Saya pulang dulu untuk
memberitahu.”
Bergegas Sharifa meninggalkan rumah Dokter Ali. Melihat itu, Sang Dokter
tersenyum dan yakin semangat juang Sharifa sesuai dengan pendidikan agamanya.
Untunglah menjadi perawat relawan PMI kala situasi perang ini tak menjadikan
latar pendidikan sebagai penghalang. Tak perlu seorang bidan untuk merawat.
Semua wanita memiliki naluri itu. Lagipula sedikit latihan dasar cukup untuk
menjelaskan kegunaan beberapa perkakas kesehatan.
Sulit-sulit mudah untuk menaklukkan hati
Amak. Saat Sharifa masih belum sekolah dia pernah memaksa Amak
menyekolahkannya. Awalnya sulit bagi Amak,
tetapi dalam matanya hasrat bersekolah Sharifa begitu tinggi padahal perempuan tak diwajibkan
sekolah kala itu, apalagi untuk golongan menengah ke bawah yang kehidupannya
pas-pasan. Akhirnya, dengan sedikit rongrongan tentang pentingnya jadi
sekolah setiap hari, dia bisa masuk sekolah desa. Setelah
itu dia berkesempatan masuk sekolah setingkat SMP yang dikelola Belanda, hanya
saja Ayah tak mengizinkan karena pakaian sekolahnya berlengan pendek (sedangkan
keluarga Sharifa Muslim yang taat). Alih-alih dia meminta lagi pada Sang Ibu
untuk membiarkannya sekolah ke Padang Panjang, Kulliyatul Mubalighaat, sekolah untuk memperdalam agama Islam.
Kondisi ekonomi keluarga yang sedang krisis tak mengurangi semangat menuntut ilmu. Sharifa tetap
menjadi murid terbaik meski harus ber-tangkelek dan menjual separuh jatah beras makan
untuk membeli alat tulis.
Dan
sekarang pemudi ini ingin menjadi perawat PMI? Di Gunung Merapi pula! Amak benar-benar tak habis pikir. Jarang
perempuan seumuran Sharifa ikut berjuang ke pelosok kampung. Sebaliknya,
perempuan 19 tahun banyak yang sudah menikah dan punya anak. Sharifa malah
ingin mempertaruhkan nyawa?
“Ini
untuk negara, Amak. Dalam Al-Quran
disebutkan pula kewajiban Muslim untuk membela negaranya. Tentu Amak ingat perang-perang yang dijalani
Rasulullah mempertahankan Madinah…,” jelas Sharifa. Dia tahu ibunya ingat.
“Tapi,
berjuang itu kan tidak harus secara fisik. Senjata itu bisa berupa ketaatan dan
doa,” sahut Amak. Tangannya bertumpu
di lengan kursi dan menopang dahinya. Dia merasa pusing dengan kehendak anak
bungsunya ini.
“Batua, Mak. Tapi Sharifa ingin merasakan juga kesulitan fisik yang dialami
para pejuang. Sharifa ingin terjun langsung. Lagipula, jumlah relawan wanita
begitu sedikit. Jika Sharifa tak ikut, bilangannya akan semakin kecil. Mohon Amak izinkan Sharifa. Amak?”
Seperti
sebelum-sebelumya, Amak mengalah.
Esoknya di rumah Dokter Ali, Sharifa mencantumkan namanya di daftar relawan
perawat PMI. Total genap 8 orang.
Sharifa sadar pengetahuan umunya kurang.
Dia bersekolah di sekolah agama Islam. Seratus persen pelajaran keagamaan
seperti tauhid dan akidah yang dipelajarinya. Namun, sebagai salah seorang
murid teladan disana, daya serapnya tak kalah dibandingkan murid lelaki yang
banyak merasa mereka lebih hebat daripada perempuan. Maka penjelasan Dokter Ali tentang hal-hal yang diperlukan di
medan dapat dicerna Sharifa dengan mudah. Malah kadang dia yang membantu
menjelaskan pada rekannya.
Perpisahan
Sharifa dengan Amak tak berlangsung
dramatis. Amak tak ingin mereka
bersedih-sedihan karena itu hanya akan membuat Sharifa gelisah. Amak malah berkata ia akan kecewa jika
sampai ada tentara terluka tapi tak Sharifa rawat. Perjalanan menuju Gunung
Merapi berkilo-kilo meter menjadi ringan bagi Sharifa. Bersama tujuh rekan relawan
wanita dan lima tentara bersenjata, Sharifa harus berjalan kaki melewati lereng
dan hutan. Mereka akan tinggal di rumah bambu di tengah perkebunan tebu dan
hutan. Di sanalah para tentara bersiaga dan melakukan pengamanan di malam hari
ke kampung-kampung. Di sana mereka menanti Belanda dan menahan serangan mereka
di tanah Minang ini.
Anis,
Maisyarah, Jamilah, Ifnur, Syifa, Ita, Yuni, dan Sharifa tidur disebelah kanan
rumah. Para wanita ini harus siaga dengan alat-alat P3K di samping mereka. Jika
ada serangan mereka harus sigap membantu yang butuh perawatan. Tiga belas tentara berada di bagian lain
rumah.
Empat
hari keadaan masih aman. Patroli para tentara ke kaki gunung dan perkampungan
sekitar tak menunjukkan adanya Belanda menyerang. Sharifa tetap berdoa agar Belanda tak
pernah mendekat. Meski dia juga mengharapkan suatu kejadian membutuhkan
tenaganya agar dirinya tak sia-sia berada di sini.
Itulah
yang terjadi pada suatu malam. Sebuah kejadian di perkampungan tepi gunung.
Seperti pawai, dua buah jeep milik
Belanda melintasi kampung itu. Mereka menembaki apa saja yang menghalangi. Para
tentara sebenarnya telah bersiaga melihat kedatangan mereka. Tentara tak
berseragam, hanya mekakai baju gelap, bersama perawat bersembunyi di balik
semak-semak.
Sang
komandan belum memerintahkan menembak. Menunggu Belanda menyerang dahulu.
Tiba-tiba seorang warga kampung menyeruak dari rumahnya, menghadang Belanda. Dia tak bersenjata. Lantas mobil Belanda itu berhenti, salah satu
tentaranya turun dan menembaki orang itu begitu saja. Dia juga memukuli pribumi yang berani itu berkali-kali di
bagian perut dengan laras pistol. Komandan Amir tak jadi mengomandoi
menembak. Setelah tentara Belanda pergi, dia memerintahkan untuk membawa warga
itu ke markas mereka.
Atin nama pria berumur tiga puluh tahun itu. Dia
berkulit sawo matang dengan raut wajah yang lembut. Untung saja tembakan itu tak
membuatnya mati seketika. Belanda memang kejam, mereka ingin target mereka mati
dengan tersiksa lebih dahulu. Sharifa melihat bahwa perut orang desa ini koyak karena dipukuli berkali-kali. Benar-benar parah.
Dia
dan beberapa rekan serta tentara membawa Atin ke markas dengan bambu yang
dibentuk seperti tangga. Tak ada tandu karena memang tak tersedia. Di markas, mereka mengobati Atin. Tapi
luka di perutnya amat parah.
“Sakit,
uni…, sakit, etek…,” kata Atin pada sekelilingnya.
Sharifa
mengipasi Atin, selagi temannya mengobati luka-luka. Awalnya Atin merintih saja, kemudian
tangannya meraba bagian perut. Dan… dia mengeluarkan isi perutnya!!!
Kontan Sharifa bergeser ke belakang. Ngeri melihat usus yang panjang itu
keluar dari tempat semestinya. Naluri perawatnya memaksa untuk menahan tangan
Atin. Bersama-sama menahan kerasnya aksi tangan mengeluarkan usus besar dan
kecil itu. Atin bersikeras melepaskan tangannya. Dia berteriak pada perawat dan
tentara.
“Sakit….!
Sakit…! Biar dia keluar semua supaya tak sakit lagi!!”
Atin
menendang pula seorang tentara. Untung saja tak ada tentara yang bertindak
seperti preman. Semua tentara di rumah itu begitu santun dan mengerti kondisi. Tak ada yang marah pada Atin.
Maisyarah
melihat Sharifa yang sudah merasa mual. Dia memapah gadis itu ke sudut ruangan. Sebelum sampai,
Sharifa sudah terkulai ke lantai. Dia pingsan.
Mereka mengubur Atin di tepi kebun tebu,
setelah itu memberitahu keluarganya. Sang istri orang itu pasrah menerima
kenyataan. “Dia mati syahid, bukan?
Apakah kalian menguburnya bersama darah dibajunya? Itu bekalnya di akhirat… dia
akan masuk surga, kan?”
Sharifa
dan rekan-rekannya mengangguk. Syahid
mempertahankan kemerdekaan adalah akhir kehidupan yang indah.
Setelah kejadian itu, Sharifa semakin taat beribadah. Semangat juangnya pun
membara sejak subuh menjelang. Dia membangunkan rekan-rekannya untuk shalat
subuh, kemudian melakukan shalat subuh berjamaah. Meski harus berwudhu hingga
ke pincuran Batu Baranak yang cukup jauh, shalat subuh menjadi begitu syahdu
karena nuansa juang. Selesai shalat bersama-sama mereka berdoa untuk
kemerdekaan hakiki bagi Indonesia.
Sharifa
tahu, hal yang menimpa Atin adalah awal dari perjuangan berdarah yang akan
dihadapinya. Belanda masih berkeliaran di jalan-jalan Sumatra. Mereka masih
melakukan terorisme terhadap warga. Sharifa tahu perperangan baru saja dimulai.
Berdasarkan kisah nyata nenek saya
Keterangan:
Amak = ibu
Rusuah bana =
khawatir sekali
Tangkelek =
sendal yang terbuat dari kayu tebal dan karet
Batua, Mak =
Betul, Mak
Uni; etek = kakak
perempuan, paggilan pada perempuan yang lebih tua
No comments:
Post a Comment