Sunday, January 1, 2012

JUANG SANG GADIS

Dimuat di Annida Online: http://annida-online.com/artikel-1252-gadis-yang-ikut-berjuang.html

Sekejap Sharifa ingat Amaknya dirumah. Dia ingat kala amaknya agak sulit untuk melepasnya mendaftarkan diri pada Dokter Ali Akbar. Amaknya pasti rusuah bana jika mengetahui kondisinya saat ini. Meski amak dan ayahnya khawatir pada Sharifa, mereka tak bisa menghalangi kehendaknya. Ini juga demi bangsa. Demi Indonesia.
            Setelah dua hari Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, berita menggembirakan ini sampai pula ke Kampuang Sharifa, Koto Tuo. Apalagi salah satu proklamator merupakan putra daerah Bukittinggi yang tak jauh dari lokasi rumah Sharifa. Sungguh, hari itu semua masyarakat Indonesia bergembira. Merayakan kebebasan dari tangan kolonial. Syukurlah Jepang hanya menjajah tiga setengah tahun. Dan Belanda sedikit pun tidak memiliki hak lagi.
            Sekenang Sharifa, masa Jepang adalah saat-saat yang sangat sulit. Bayangkan saja, kita hanya mempunyai kain yang telah dimiliki. Jika ada pakaian yang sudah robek jangan harap ada penggantinya. Semua kain mahalnya minta ampun! Sedangkan beras juga susah didapat. Masyarakat terpaksa mencampur beras dengan rebusan jagung. Padahal jagung bukan makanan pokok yang enak dimakan setiap hari. Terutama bagi orang Minang.
            “Sedang apa Amak sekarang?” batin Sharifa diantara sadar dan tidak sadar. Bau darah semakin memenuhi ruangan. Rintihan Atin semakin menjadi-jadi. Dia mengucapkan segala puja puji pada Allah.  Subhanallah…
           
Saat itu Sharifa berumur sembilan belas tahun. Dua bulan setelah dia melewati ulang tahunnya. Tak  ada perayaan sedikit pun. Tak mungkin ada perayaan diatas menderitanya keluarga dan bangsa Indonesia. Lagipula ulang tahun berarti bertambahnya umur dan berkurangnya kesempatan hidup di dunia ini.
            Kala mendengar bahwa Belanda datang lagi bersama Sekutu pada tahun 1945, kemarahan rakyat Indonesia membara. Bagaimana mungkin Belanda dan Sekutu  ingin merebut Indonesia lagi? Dengar wahai Belanda terkutuk, kami sudah merdeka! Merdeka! Ingin Sharifa berteriak ke telinga jenderal-jenderal kulit putih itu. Lalu terjadilah aksi-aksi heroik mempertahankan kemerdekaan. Sharifa masih ingat kala dia mendengar di radio betapa heroiknya Bung Tomo membakar semangat juang pemuda. Lantang beliau menyeru, “Allahu Akbar!”. Di kota lain, Bandung menjadi lautan api dan Medan menjadi area pertempuran melawan Sekutu. Tentu saja di Minangkabau aksi ini tak kalah heroik. Sekutu yang membantu Belanda memang harus dibasmi sampai habis. Seperti kuman di kaki!!
            Itulah yang Sharifa inginkan, dan tentu bangsa Indonesia.
            Dua tahun setelah kemerdekaan, agresi militer Belanda terjadi. Seluruh wilayah Indonesia bersiap-siaga. Pada bulan Juli 1947 tentara Belanda datang lagi dari berbagai divisi. Mereka rupanya ingin menyerbu dari darat, laut dan udara sekaligus!
Karena sudah 19 tahun, Sharifa merasa terpanggil untuk ikut dalam perperangan. Rasa memiliki bangsa ini dan ingin mempertahankannya semakin menjadi kala dia diberi nasihat oleh Dokter Ali Akbar.
Rumah dokter itu tak sekedar tempat beliau praktek dan mengobati pasien. Dokter yang murah senyum ini adalah ustadz pula. Beliau selalu mengingatkan jamaah untuk membela bangsa ini dari kaum penjajah. Beliau membangkitkan semangat jihad para pemuda. Di rumah itu pula pendaftaran menjadi relawan Palang Merah Indonesia dilakukan.
“Tenaga perawat sangat dibutuhkan tentara kita,” kata Dokter Ali kala ditemui Sharifa di rumah. Bersama mereka hadir pula dua orang perempuan sebaya Sharifa, Anis dan Maisyarah. “Pengorbanan perempuan-perempuan seperti kalian yang diharapkan bangsa ini.”
Sharifa mendengarkan dengan tenang, walaupun hatinya ingin segera memberitahukan niatnya pada Amak. Sore itu, Anis dan Maisyarah telah mendafar pada Sang Dokter. Total sudah tujuh orang perawat yang siap dikirim ke lereng Gunung Merapi bersama para tentara. Mereka akan bersiap-siap menghadang agresi Belanda 1947 itu di wilayah Agam dan sekitarnya.
Sharifa masih duduk di bangku, hanya memandang punggung Anis yang sedang mengisi formulir. Dia mainkan ujung kerudungnya. Dokter Ali mendekatinya. “Kamu belum ingin menulis namamu?”
Sharifa hanya diam. Dia ingin memberitahu ibunya dulu.
“Kesempatan untuk memberi kontribusi pada negara.”
“Saya akan ikut, Pak,” tegas Sharifa. “Hanya saja saya belum bilang pada Amak. Saya pulang dulu untuk memberitahu.”
Bergegas Sharifa meninggalkan rumah Dokter Ali. Melihat itu, Sang Dokter tersenyum dan yakin semangat juang Sharifa sesuai dengan pendidikan agamanya. Untunglah menjadi perawat relawan PMI kala situasi perang ini tak menjadikan latar pendidikan sebagai penghalang. Tak perlu seorang bidan untuk merawat. Semua wanita memiliki naluri itu. Lagipula sedikit latihan dasar cukup untuk menjelaskan kegunaan beberapa perkakas kesehatan.

Sulit-sulit mudah untuk menaklukkan hati Amak. Saat Sharifa masih belum sekolah dia pernah memaksa Amak menyekolahkannya. Awalnya sulit bagi Amak, tetapi dalam matanya hasrat bersekolah Sharifa begitu tinggi padahal perempuan tak diwajibkan sekolah kala itu, apalagi untuk golongan menengah ke bawah yang kehidupannya pas-pasan. Akhirnya, dengan sedikit rongrongan tentang pentingnya jadi sekolah setiap hari, dia bisa masuk sekolah desa. Setelah itu dia berkesempatan masuk sekolah setingkat SMP yang dikelola Belanda, hanya saja Ayah tak mengizinkan karena pakaian sekolahnya berlengan pendek (sedangkan keluarga Sharifa Muslim yang taat). Alih-alih dia meminta lagi pada Sang Ibu untuk membiarkannya sekolah ke Padang Panjang, Kulliyatul Mubalighaat, sekolah untuk memperdalam agama Islam. Kondisi ekonomi keluarga yang sedang krisis tak mengurangi semangat menuntut ilmu. Sharifa tetap menjadi murid terbaik meski harus ber-tangkelek dan menjual separuh jatah beras makan untuk membeli alat tulis.
            Dan sekarang pemudi ini ingin menjadi perawat PMI? Di Gunung Merapi pula! Amak benar-benar tak habis pikir. Jarang perempuan seumuran Sharifa ikut berjuang ke pelosok kampung. Sebaliknya, perempuan 19 tahun banyak yang sudah menikah dan punya anak. Sharifa malah ingin mempertaruhkan nyawa?
            “Ini untuk negara, Amak. Dalam Al-Quran disebutkan pula kewajiban Muslim untuk membela negaranya. Tentu Amak ingat perang-perang yang dijalani Rasulullah mempertahankan Madinah…,” jelas Sharifa. Dia tahu ibunya ingat.
            “Tapi, berjuang itu kan tidak harus secara fisik. Senjata itu bisa berupa ketaatan dan doa,” sahut Amak. Tangannya bertumpu di lengan kursi dan menopang dahinya. Dia merasa pusing dengan kehendak anak bungsunya ini.
            “Batua, Mak. Tapi Sharifa ingin merasakan juga kesulitan fisik yang dialami para pejuang. Sharifa ingin terjun langsung. Lagipula, jumlah relawan wanita begitu sedikit. Jika Sharifa tak ikut, bilangannya akan semakin kecil. Mohon Amak izinkan Sharifa. Amak?”
            Seperti sebelum-sebelumya, Amak mengalah. Esoknya di rumah Dokter Ali, Sharifa mencantumkan namanya di daftar relawan perawat PMI. Total genap 8 orang.

Sharifa sadar pengetahuan umunya kurang. Dia bersekolah di sekolah agama Islam. Seratus persen pelajaran keagamaan seperti tauhid dan akidah yang dipelajarinya. Namun, sebagai salah seorang murid teladan disana, daya serapnya tak kalah dibandingkan murid lelaki yang banyak merasa mereka lebih hebat daripada perempuan. Maka penjelasan Dokter Ali tentang hal-hal yang diperlukan di medan dapat dicerna Sharifa dengan mudah. Malah kadang dia yang membantu menjelaskan pada rekannya.
            Perpisahan Sharifa dengan Amak tak berlangsung dramatis. Amak tak ingin mereka bersedih-sedihan karena itu hanya akan membuat Sharifa gelisah. Amak malah berkata ia akan kecewa jika sampai ada tentara terluka tapi tak Sharifa rawat. Perjalanan menuju Gunung Merapi berkilo-kilo meter menjadi ringan bagi Sharifa. Bersama tujuh rekan relawan wanita dan lima tentara bersenjata, Sharifa harus berjalan kaki melewati lereng dan hutan. Mereka akan tinggal di rumah bambu di tengah perkebunan tebu dan hutan. Di sanalah para tentara bersiaga dan melakukan pengamanan di malam hari ke kampung-kampung. Di sana mereka menanti Belanda dan menahan serangan mereka di tanah Minang ini.
            Anis, Maisyarah, Jamilah, Ifnur, Syifa, Ita, Yuni, dan Sharifa tidur disebelah kanan rumah. Para wanita ini harus siaga dengan alat-alat P3K di samping mereka. Jika ada serangan mereka harus sigap membantu yang butuh perawatan. Tiga belas tentara berada di bagian lain rumah.
            Empat hari keadaan masih aman. Patroli para tentara ke kaki gunung dan perkampungan sekitar tak menunjukkan adanya Belanda menyerang. Sharifa tetap berdoa agar Belanda tak pernah mendekat. Meski dia juga mengharapkan suatu kejadian membutuhkan tenaganya agar dirinya tak sia-sia berada di sini.
            Itulah yang terjadi pada suatu malam. Sebuah kejadian di perkampungan tepi gunung. Seperti pawai, dua buah jeep milik Belanda melintasi kampung itu. Mereka menembaki apa saja yang menghalangi. Para tentara sebenarnya telah bersiaga melihat kedatangan mereka. Tentara tak berseragam, hanya mekakai baju gelap, bersama perawat bersembunyi di balik semak-semak.
            Sang komandan belum memerintahkan menembak. Menunggu Belanda menyerang dahulu. Tiba-tiba seorang warga kampung menyeruak dari rumahnya,  menghadang Belanda. Dia tak bersenjata. Lantas mobil Belanda itu berhenti, salah satu tentaranya turun dan menembaki orang itu begitu saja. Dia juga memukuli pribumi yang berani itu berkali-kali di bagian perut dengan laras pistol. Komandan Amir tak jadi mengomandoi menembak. Setelah tentara Belanda pergi, dia memerintahkan untuk membawa warga itu ke markas mereka.
            Atin  nama pria berumur tiga puluh tahun itu. Dia berkulit sawo matang dengan raut wajah yang lembut. Untung saja tembakan itu tak membuatnya mati seketika. Belanda memang kejam, mereka ingin target mereka mati dengan tersiksa lebih dahulu. Sharifa melihat bahwa perut orang desa ini koyak karena dipukuli berkali-kali. Benar-benar parah.
            Dia dan beberapa rekan serta tentara membawa Atin ke markas dengan bambu yang dibentuk seperti tangga. Tak ada tandu karena memang tak tersedia. Di markas, mereka mengobati Atin. Tapi luka di perutnya amat parah.
            “Sakit, uni…, sakit, etek…,” kata Atin pada sekelilingnya.
            Sharifa mengipasi Atin, selagi temannya mengobati luka-luka. Awalnya Atin merintih saja, kemudian tangannya meraba bagian perut. Dan… dia mengeluarkan isi perutnya!!!
Kontan Sharifa bergeser ke belakang. Ngeri melihat usus yang panjang itu keluar dari tempat semestinya. Naluri perawatnya memaksa untuk menahan tangan Atin. Bersama-sama menahan kerasnya aksi tangan mengeluarkan usus besar dan kecil itu. Atin bersikeras melepaskan tangannya. Dia berteriak pada perawat dan tentara.
            “Sakit….! Sakit…! Biar dia keluar semua supaya tak sakit lagi!!”
            Atin menendang pula seorang tentara. Untung saja tak ada tentara yang bertindak seperti preman. Semua tentara di rumah itu begitu santun dan mengerti kondisi. Tak ada yang marah pada Atin.
            Maisyarah melihat Sharifa yang sudah merasa mual. Dia memapah gadis itu ke sudut ruangan. Sebelum sampai, Sharifa sudah terkulai ke lantai. Dia pingsan.

Mereka mengubur Atin di tepi kebun tebu, setelah itu memberitahu keluarganya. Sang istri orang itu pasrah menerima kenyataan. “Dia mati syahid, bukan? Apakah kalian menguburnya bersama darah dibajunya? Itu bekalnya di akhirat… dia akan masuk surga, kan?”
            Sharifa dan rekan-rekannya mengangguk. Syahid mempertahankan kemerdekaan adalah akhir kehidupan yang indah.
            Setelah kejadian itu, Sharifa semakin taat beribadah. Semangat juangnya pun membara sejak subuh menjelang. Dia membangunkan rekan-rekannya untuk shalat subuh, kemudian melakukan shalat subuh berjamaah. Meski harus berwudhu hingga ke pincuran Batu Baranak yang cukup jauh, shalat subuh menjadi begitu syahdu karena nuansa juang. Selesai shalat bersama-sama mereka berdoa untuk kemerdekaan hakiki bagi Indonesia.
            Sharifa tahu, hal yang menimpa Atin adalah awal dari perjuangan berdarah yang akan dihadapinya. Belanda masih berkeliaran di jalan-jalan Sumatra. Mereka masih melakukan terorisme terhadap warga. Sharifa tahu perperangan baru saja dimulai.
Berdasarkan kisah nyata nenek saya

Keterangan:
Amak               = ibu
Rusuah bana   = khawatir sekali
Tangkelek        = sendal yang terbuat dari kayu tebal dan karet
Batua, Mak      = Betul, Mak
Uni; etek          = kakak perempuan, paggilan pada perempuan yang lebih tua

No comments:

Post a Comment