Sunday, January 1, 2012

Berani Bermimpi

 “Wah, lega rasanya sehabis kuliah!!” kataku sambil meregangkan lengan. Mengusir rasa pegal di leher dan bahu. Benar-benar berat kuliah dengan Pak Koni, kita harus melawan dua hal: kantuk dan bosan. Bagiku keduanya sulit dilawan. Makanya aku…
            “Makanya kamu jangan ketiduran terus!!” ledek Yuni, sahabatku sekaligus teman satu kamar di kost. Beda dengan aku yang pemalas, Yuni orangnya rajin dan pintar.
            “Iya, kamu jangan tidur terus Lila. Nanti nggak ngerti apa-apa,” tambah Diana. Sama dengan Yuni, gadis satu ini Miss SO alias Study Oriented. Dia selalu berhasrat mendapat nilai bagus, IPK hampir-hampir 4, ujian sukses, praktikum lancar, dan tugas laporan akhir beres tepat waktu.
            Aku hanya bisa nyengir akan teguran mereka.
            Satu-satunya orang di kelompok yang bisa kuajak kompromi betapa pemalasanya aku adalah Kaela. Dia si penggemar game sama-sama agak kurang peduli dengan kuliah. Walau tidak pernah tidur di kelas, jangan harap Kaela memperhatikan dosen. Jika kamu tahu tentang gaya belajar, maka Kaela cenderung kinestetik. Maunya bergerak terus.
            “Kalau aku nggak ngerti, ada Yuni kok buat ngajarin di kost,” jawabku membela diri.
            “Kalau gitu ngapain ke kampus. Belajar di kost aja!!”
            “Jangan sewot dong Diana. Ntar cepat keriput!!”
            “Terserah kamu deh, Lil.”
            Kami duduk di kafe jurusan. Suasana di sana sudah mulai ramai jam 12 ini. Untung saja kami dapat tempat duduk. Kafe tanpa nama ini cukup murah dan enak. Selain itu juga bersih. Biasanya kami membuat permainan untuk menentukan siapa yang akan pergi ke konter memesan makanan. Caranya dengan suit. Info saja, aku adalah rekor tidak pernah kalah dan Diana rekor yang paling sering kalah. Dan hari ini yang menang…
            “Ha?? Aku kalah?”
            “Hahaha, rekor Lila berakhir! Mungkin bukan hari keberuntunganmu,” ledek Diana. Dia yang paling senang aku kena suruh. Lagipula dia pantas lega karena dua minggu ini dia kalah terus. “Aku pesan ini, ini, sama ini,” katanya sambil menuding lembar menu.
            Dengan berat hati aku menuju konter. Menyebalkannya aku harus membawa semua makanan teman-temanku sendiri. Tak mungkin membawa sekaligus, bisa-bisa tumpah semua. Makanya pekerjaan ini jadi cukup melelahkan karena harus bolak-balik ke konter. Diana pantas senang hari ini.
            Setelah memesan ke pelayan kafe, aku merasa disenggol seseorang. Dia tepat di sampingku.
            “Hei, Milo,” sapaku pada cowok itu.
Dia tersenyum.
            “Tidur di kelas lagi, ya? Kamu kurang tidur di rumah? Cewek yang kurang tidur bisa keriput, lho!!”
            Tiba-tiba aku kesal padanya dan memalingkan muka dengan penuh gaya. Pura-pura tersinggung. Dia menyenggolku dengan sikunya lagi. Aku berkata, “Apa?” Sewot.
            Dia terkekeh, “Gitu saja marah, nanti cepat tua!!”
            Kenapa semua laki-laki peduli dengan “penuaan wanita” tapi tetap memancing gara-gara yang membuat kesal?
            Untung saja pesananku selesai. Aku ingin cepat-cepat mengakhiri tugas ini. Lagi-lagi dia menyenggolku. “Ada apa lagi, sih?”
            “Tante Fatimah nanyain kamu tadi pagi. Dia tanya apa kamu mau bantu dia lagi?”
            Aku teringat dengan Tante Fatimah dan usaha kartu undangannya. Bulan yang lalu aku dapat job mengetik nama dan memasukkan undangan ke plastik. Komisi yang kudapatkan lumayan untuk menambah uang saku.
            “Lihat nanti saja,” jawabku.
            “Hubungi aku nanti, ya. Kalau bisa cepat kasi tahu.”
            “Iya…,” kataku dengan nada lelah. Bayangan mesti membawa makanan sebanyak ini membuat batinku lelah. Aku baru mengerti bagaimana perasaan Diana selama ini.
            Aku mengantar pesanan teman-temanku. Agak bersusah payah menghindari orang-orang yang lalu lalang serta menjaga nampan tetap utuh. Sebagian pesanan terpaksa kutinggalkan di konter. Nanti dijemput.
            Saat aku sampai di meja kami, aku berkata, “Ini pesanan nona-nona besar…” Aku meletakkan nampan sedikit keras.
            “Akhirnya…, lama banget, Lil,” kata Yuni sambil meraih mangkuk sotonya.
            “Udah, deh, jangan ngeluh. Konter penuh begitu!” jawabku kesal. Sekarang aku harus kembali ke konter lagi, uh!
            “Ah, Lila curang. Masa minta bala bantuan?” kata Kaela.
            Aku menatapnya dengan bingung. Bala bantuan? Bantuan siapa?
            “Dasar Lila, pesanannya ketinggalan…”
            Aku terkejut mendapati Milo dibelakangku sedang membawa nampan kami. Dia tersenyum melihat kebingunganku. Dengan hanya satu tangan dia meletakkan nampan kami. Sedikitpun isinya tak tumpah.
            “Aku nggak minta bantuan Milo, kok. Dia mau nolong sendiri…,” kataku membela diri. Teman-temanku menatap curiga. “Memangnya kenapa?” kataku menantang mereka. Alasan apapun yang bisa mereka utarakan pasti konyol. Tidak masalah kan jika ada orang yang baik hati menolong?
“Makasih ya, Mil,” kataku setelah beberapa saat terdiam.
Sekali lagi senyuman itu diberikan padaku. Membuat suasana semakin aneh bagiku.
            “Sama-sama. Nggak apa-apa, kok.”
            Milo pun pergi ke mejanya di sudut ruangan. Dia bersama teman-teman cowok kelas kami. Kulihat dengan ujung mataku mereka tertawa-tawa saat Milo datang. Aku penasaran apa yang mereka tertawakan.
            Kami pun makan. Kulihat Kaela dan Yuni membuka hape, seperti biasa mereka pasti online Facebook. Mentang-mentang hapenya canggih. Tidak seperti punyaku yang bisa nelpon dan sms aja udah untung sekali.
            “Eh, lihat deh ada yang lucu…,” kata Kaela. Dia memperlihatkan hapenya pada Diana. Lalu mereka berdua tertawa.
            “Apa sih?” Aku ingin merebut hape itu. Hanya saja Kaela lebih gesit menghindari. Aku kesal, kulihat di hape Yuni saja. “Kalian baca status siapa?”
            “Milo.”
            Terpampang dilayar Wall punya Milo. Aku membaca status-statusnya.
            “I wanna be a Bacpacker!!”
            “Backpacking to Europe 2011… I’m comiiiiinggg….”
            “Ada yang mau oleh-oleh dari eropa, nggak?? Mau nitip sama aku?”
            “Milo: The Backpacker lagi makan siang di kampus.”
            What the…?
            Entah kenapa aku malah tidak mau tertawa. Tak ada yang lucu di sini.
            “Lucu banget si Milo. Ngumbar mimpi di Facebook. Kalau nggak kesampaian bisa malu banget…,” komentar Diana.
            Yuni juga berkomentar, “Mimpinya terlalu tinggi. Sampai-sampai akal sehatku aja nggak bisa bayangin.”
            Kaela apa lagi, “Backpacking ke Eropa? Mimpi aja kaleee… Manusia kaya Milo mau ke sana?? Hahaha.”
            Aku menampar meja. “Hei, nanti kedengaran dia gimana??”
            “Duuh, ceweknya marah!” ledek Kaela.
            Mataku mendelik padanya. “Kaela, kamu apa-apaan sih. Jangan bikin gosip sembarangan, ya!”
            Kurasakan satu hari itu memang bukan hari yang menyenangkan bagiku. Entah kenapa jadi bete satu hari penuh. Huh!!

Setelah salat Isya aku pergi ke warnet sendirian. Untung saja warnet di dekat kostku di Pasar Baru masih ada cubicle kosong. Setelah membuka jendela Mozilla Firefox yang baru, aku mengetikkan alamat Facebook. Kemudian mengetik email dan password. Kecepatan koneksinya bagus karena beberapa detik saja Beranda Facebook-ku memenuhi layar LCD komputer.
            Aku tak berniat memposting sesuatu atau memperbaharui statusku. Kuarahkan kursor ke foto cowok yang sedang membaca sebuah peta dunia, “cowok dan peta,” di kotak Friends. Lucu juga. Aku tertawa kecil karena punya pikiran Milo layaknya Dora The Explorer yang selalu membawa peta kemana-mana. Kubayangkan pula dia menyanyikan lagu Si Peta.
            Kalau kau mencari tempat, akulah orang yang tepat. Aku peta.. aku peta!!”
            Kulihat tulisan Milo yang dikomentari teman-teman. Ada 73 komentar!!!? Ada juga 40 komentar. Banyak sekali! Kuarahkan kursor ke salah satu posting dan klik kanan, open in new tab. Hampir semua komentar-komentar kubaca tentang Milo si pemimpi Backpacking
            “Lu mw k Eropa, bro?? K pulo Jawa aja blm prnh… mimpi siang bolong!!”
            “Backpacking ke Eropa, Milo. Jangan lupa bawa jam weaker. Biar kamu bangun dari mimpi.!!! lol lol lol…”
            “Ajak gue, yak bos. Mungkin aja bisa nulis buku kayak Andrea Hirata. Eh, tapi lo cocok jadi tokoh novel ‘sang Pemimpi’. Bukan fiksi tapi THE REAL DREAMER”
            “Milo, Eropa itu mahal banget lho kesana. Udah punya duit??”
            “Jangan sedih bro kalo gak bisa ke sana.”
            “Wanna be backpacker?? Keep dreaming it!! Hehehehe…”
            “Akhi, masa rencana pergi ke Eropa. Nabung buat haji aja, gimana??”
            “Ancur, lu. Diketawain orang sekampung. Makanya kalo nulis di FB yang normal2 aja. Oke?”
            “Kesambet apa lo, Mil? Mungkin lo bisa jadi orang pertama di kampus kita pergi bekpek ke Eropa!! Kira2 20 taon lagi!!”
            “Nitip tanda tangan Daniel Radcliffe bisa? Hehehehe..”
            Aku membaca komentar itu sambil tersenyum getir dan gelang-geleng. Kejam sekali mereka. Apa salahnya seseorang punya impian setinggi langit? A great achievement is begun with a great dream. Aku pernah baca hal itu di sebuah buku motivasi. Jadi kenapa orang-orang ini berkomentar pematah semangat? Sangat berenergi negatif. Seperti mesin pengisap energi positif.
            Seharusnya mereka malu menjadi kuman-kuman penggontor mimpi orang lain. Memangnya mereka berani memimpikan hal yang sama? Huh, dasar teman-teman dodol!! Eh, kenapa aku malah marah-marah sendiri? Sewot lagi.
            Aku juga heran kenapa perasaanku begitu kesal dengan semua komentar ini. Oke, aku hanya ingin membela seseorang yang bisa bermimpi, berusaha keluar dari zona nyamannya. Seharusnya orang kayak Milo harus di tiru. Dia berani memulai dengan menyebarkan mimpinya. Biar seluruh dunia tahu.
            Dan aku tidak ada maksud apa-apa lagi. Sumpah.
            Kursor kuarahkan ke kotak kometar. Aku ingin mengetik sesuatu untuk membalas mereka. Bagusnya apa, ya? Aku ragu apakah kata-kataku layak. Berkali-kali aku menghapus kalimat yang terdengar seperti ceramah. Akhirnya aku hanya berkomentar pendek.
            “Semangat, Milo!! Kamu pasti bisa! PASTI!!”
            Kayaknya itu sudah lebih dari cukup. Kalau aku bisa membuat Milo lebih PD, kenapa harus meladeni orang-orang sok itu? Kalau bisa mengatakan kebaikan, kenapa harus berbalas umpatan?

Hari Sabtu tak terasa menghampiri. Setelah hari Jumat yang membosankan karena aku harus kuliah sendirian tanpa teman-temanku. Aku harus sekelas dengan junior. Ini karena aku mengulang mata kuliah menggambar teknik. Semester yang lalu nilaiku D gara-gara malas mengerjakan tugas.
Akhir pekan memang hari yang menyenangkan!!!
Kuhirup nafas ala meditasi dan membunyikan suara, “Aaaaaahhh…,” sambil menikmati setiap butir atom O2 memenuhi rongga dadaku. Perasaan lebih lega sebelum aku berangkat ke rumah Tante Fatimah di daerah Jati.
            Aku akhirnya menerima ajakan Milo untuk part time di rumahnya. Sudah beberapa kali dia memberitahuku kalau ada job part time. Sekedar info, Milo ini temanku sejak SMP. Pernah sekelas di kelas dua dan tiga SMA. Entah kenapa di kuliah kami satu jurusan juga, Teknik Industri Universitas Andalas, Padang. Mungkin jodoh kali. Hanya saja, sampai sekarang aku heran kenapa Milo masih belum punya pacar. Pernah ada gosip (atau fitnah) yang bilang kalau dia itu gay. Memang dia ganteng dan banyak cowok ganteng jadi gay, tapi kok analisisnya dangkal sekali. Kayak bilang kalau banyak anak Teknik bertampang sangar sehingga punya kesimpulan semua mahasiswa Teknik sangar. Aku kan manis! Hehe
Aku tak percaya dan menanyakan padanya langsung.
            Dia tertawa sebelum menjawab pertanyaanku. “Aku malas pacaran karena aku punya banyak hal yang dipikirin. Kalo pacaran itu buat nambah hal yang bisa dipikirin. Hehehe. Aku gay?? Enak saja. Mau bukti??”
            “Heh?? Nggak, terima kasih deh…”
            Alasan yang aneh… Aku seratus persen percaya dia ada di jalan yang lurus.
            Milo tinggal dengan keluarga tantenya di Padang ini. Sedangkan orangtuanya masih tetap di Bukittinggi. Tante Fatimah punya usaha Event Organizer (EO) untuk acara pernikahan, kliennya rata-rata kaum berduit. Sedangkan suaminya, Om Rasyid, punya bisnis peternakan ayam dan sapi yang cukup sukses di Sumatra Barat. Peternakannya tersebar di beberapa daerah, seperti Solok dan Agam. Mereka tak punya anak, jadi Milo sudah seperti anak kandung mereka.
            Aduh, kenapa aku malah memikirkan Milo?? Padahal masih banyak kartu undangan yang harus kutempeli nama-nama. Jangan sampai pula aku salah tempel nama karena ada tiga jenis undangan dari pasangan calon pengantin yang berbeda. Jangan lambat, Lila. Kamu kesini buat kerja bukan buat melamun.
            Apalagi melamunkan dia!
            “Hai, tukang undangan!” Sebuah suara mengagetkanku dari belakang.
            “Jangan ngagetin, dong!”
            “Maaf, deh. Jangan marah, Lila.”
            Aku pura-pura tak mau bicara dengannya. Aku diam saja sambil tetap melanjutkan kerjaku. Tapi tak tahan juga harus diam begini. Milo juga diam saja.
            “Bantuin, dong!! Jangan lihat saja,” kataku akhirnya. “Kamu sepertinya nggak punya kerjaan lain.”
            “Tidak mau! Itu pekerjaan kamu. Kalau aku bantuin, nanti kamu makan gaji buta.”
            Dia terkekeh, aku memutar bola mataku.
            “Ya sudah, pergi saja sana. Aku malas kerja kalau kamu perhatiin kayak itu.”
            Aku menjerit dalam hati, menyesal dengan perkataanku sendiri. Kenapa aku sok kesal seperti ini. Entah kenapa perasaan kesal ini alami keluar begitu saja jika aku berdekatan dengan Milo. Padahal aku ingin kami lebih akrab. Aku ingin kami lebih saling mengenal. Lebih… tahu perasaan masing-masing.
            Aku sulit bersikap normal jika berhadapan dengannya. Untung saja dia tidak benar-benar pergi.
            “Terima kasih, Lila.”
            Eh?
            “Kamu bikin komentar yang menyemangati aku. Kamu satu-satunya yang nulis kayak itu.”
            Aku berhenti bekerja sebentar. Kutatap wajahnya yang selalu kulihat hampir setiap hari. Kali ini auranya agak berbeda. Senyuman yang lebih lembut. Kamu bisa merasakan kasih sayang jika melihat wajahnya. Kamu bisa tahu, bahwa sepertinya aku suka Milo!!
           
Aku pergi kuliah dengan langkah gontai. Kuliah shift ke-3 (masuk jam 13.00) memang berat jika cuaca panas seperti. Matahari yang tepat di atas kepala pada tengah hari tidak sungkan-sungkan memberikan efek terbakar di tengkukmu. Untung saja ada penemuan bernama payung.
            Jam 11.55 aku sampai di halte bus Pasar Baru. Ternyata hanya ada satu bus yang parkir di sana. Kulihat nomor busnya: 11. Kurasakan getaran aneh ketika memasuki. Udara panas ternyata terperangkap di bus itu. Membuatnya lebih panas apalagi semua bangku sudah terisi. Aku terpaksa berdiri.
            Lagi-lagi aku bertemu dia. Apa karena dia ada disini aku merasakan getaran itu? Oh, pikiran macam apa ini? Konyol, konyol, Lila!!
            Aku pernah mendengar tentang kisah cinta yang dimulai dari bus ini. Sepasang mahasiswa yang pertama kali saling kenal di bus ini kini menjadi ikon keluarga bahagia di televisi lokal. Menurutku itu hanya kebetulan dan konyol sekali percaya sebuah bus bisa menyebabkan orang saling mencintai. Manusia memang suka mengaitkan suatu hal dengan yang lain. Kayak mengatakan sebuah keris bisa membuat orang sakti, padahal yang sakti itu dia sendiri.
            “Siang Lila.”
            Aku menatapnya heran. Mengucapkan selamat pagi, siang, atau malam bukan kebiasaan orang Minang. Tak ada yang melakukannya selain di suasana formal seperti di kelas. Orang Minang saling menyapa dengan menyebutkan nama saja.
            Baru kusadar kalau dia sedang menjalankan budaya orang Eropa. Di negeri nun jauh di sana pasti menyapa dengan “Good day, Lila”.
            “Kenapa kamu tidak pakai motor seperti biasa?” tanyaku. Kudengar pintu sopir dibanting, berarti sopir datang dan bus akan berangkat. Jam sudah menunjukkan pukul 12.10. Beginilah kalau harus naik bus siang-siang. Menunggu itu, lho… membuat waktu efektif kita semakin menipis.
            “Aku kembalikan ke Om Rasyid,” jawabnya. Aku memperlihatkan muka heran lagi. Dia tersenyum (ehm, keren!!), dan menjawab keherananku, “Jangan tertawa, ya. Aku hanya ingin melatih kakiku berjalan. Disana aku tak akan pakai motor. Sembilan puluh persen pakai kaki. Selain itu kendaraan umum kayak bus ini.”
            Oh, masih tentang backpack ke Eropa, toh.
            Bus berhenti di setiap tempat yang ada rambu “Perhentian Bus”. Lama-kelamaan bus ini dipenuhi mahasiswa. Sebelum bus kampus ini melewati gerbang, isinya sudah seperti kaleng ikan sarden. Penuh!! Aku dan Milo terperangkap di tengah. Kami hampir menempel sampai-sampai aku bisa menghirup aroma parfumnya.
            “Mungkin busnya agak berbeda dengan yang disana,” komentarku melihat dia sudah susah payah menahan badannya agar kami tak bertabrakan. Cowok-cowok lain di belakangnya sembarangan mendorong-dorong. Tadi juga ada yang bilang “Geser ke belakang lagi, dong!” Mau di geser kemana. Bus super penuh begini.
            “Tentu saja. Nggak mungkin ada yang kayak kaleng sarden berjalan begini.”
            Kami tertawa. Sebentar saja, karena orang-orang memperhatikan kami.
            Sepanjang perjalanan Milo dan aku hanya saling menatap dan tersenyum. Sebenarnya aku tak tahan dengan situasi begini. Aku ingin mengatakan sesuatu agar dia berhenti tersenyum, membuat hatiku tak henti bergemuruh saja. Aku tak bisa ngomong, badan kami berguncang-guncang seakan bus ini sebotol milkshalke.
            Lalu bus sekonyong-konyong berhenti mendadak. Karena Milo tak berpegangan dengan erat dia terdorong ke arahku.
            “Waaah!!!” Aku tertimpa badannya yang lebih besar dariku. Untung saja ada yang menahan juga di belakangku. Milo segera bangkit dan bergeser ke belakang lagi. Kutangkap wajahnya yang memerah.
            “Maaf,” katanya tanpa menatap ke arahku.
            “Nggak apa-apa, kok. Memang  busnya tiba-tiba berhenti.”
            Sejak itu kami saling diam selama di bus, sampai kami di jurusan. Sampai kami masuk kelas dan sampai dua hari berikutnya. Kami jadi jarang bicara. Ada apa dengan kami, sih??

Entah karena hal itu atau karena hal lain, aku jadi bad mood seharian. Milo kejam sekali mendiamkan aku berhari-hari. Teman-temanku heran juga kenapa aku cemberut. Alasanku hanya bosan kuliah, bikin ngantuk terus. Huh, mereka lagi-lagi meledek kebiasaan burukku itu.
            Saat menunggu kuliah Metode Stokastik, aku mendengar cowok-cowok membicarakan Milo. Zaman sekarang tukang gosip itu bukan cuma cewek, cowok juga. Heran saja mulut mereka bisa tak berhenti mengejek rencana backpacking Milo. Komentar mereka rata-rata sama seperti yang mereka tulis di Facebook.
            Mereka mengejek mimpi kelewat tinggi Milo. Mereka menganggap itu mustahil. Ada yang bilang bego, aneh, gila, dan lain-lain. Aku ingin tahu kemana Milo. Apa reaksinya mendengar teman-teman sekelas membicarakan mimpinya itu. Kalau aku pasti marah.
            Kalau mereka tak suka biarkan saja Milo bermimpi. Itu urusan dia. Kalau dia ingin itu haknya. Memangnya mereka punya mimpi? Mungkin mimpi sederhana pun tak berani mereka punyai. Mungkin mereka hanya mampu melihat realita. Padahal dengan impian kita bisa mengubah realita menjadi lebih baik. Sesuai dengan keinginan kita. Mereka tak lebih dari pecundang yang takut mengambil risiko. Tak seperti Milo yang berani.
            Aduh, kok jadi panas begini dadaku. Apa aku benar-benar suka Milo?
            Aku masih mempertanyakan hatiku tentang Milo saat tanpa sadar tubuhku bergerak ke arah para penggosip itu. Tanganku berkacak pinggang. “Urus saja urusan kalian sendiri!!!” teriakku.
            Mereka kontan kaget melihatku. Kelas jadi hening dan semua mata menuju padaku. Kalau hatiku sedang tidak marah tentu ini serasa jadi Miss Indonesia.
            Setelah lega melepas emosi itu, aku berlari keluar. Kusadari tatapan penuh tanya orang-orang di belakangku.
            Emosi negatif yang dibiarkan lepas akan cepat tuntas dan pergi, begitu yang kutahu dari ahli penyembuhan holistik.

Aku membaca sms yang baru saja masuk. Ternyata dari Milo. Bisa ditelpon, nggak? Itu isinya. Kulihat teman sekosku, Yuni, sedang belajar. Takut menganggunya, aku pergi keluar kamar. Kubalas sms itu, bisa.
            Dua menit kemudian hapeku bergetar. Jantungku juga.
“Halo, Lila. Kamu lagi dalam kamar?”
            “Lagi di luar, di teras. Memangnya kenapa, Milo?”
            “Bisa lihat ke pagar kostmu nggak?”
            Aku bisa dengan mudah melihat pagar rumah kostku dari beranda lantai dua ini. Milo melambai dari sana. Oh my God, apa yang dia lakukan malam-malam begini di depan kost cewek. Bisa-bisa disangka tukang intip.
            “Bisa ikut aku tidak?” Permintaannya aneh-aneh saja.
            “Kemana?” tanyaku, penasaran juga mau dibawa kemana. Mudah-mudahan dia tidak maksud macam-macam apalagi menculikku.
            “Ikut saja. Kamu aman, kok!” katanya seperti membaca pikiranku.
            Malah orang yang bilang seperti itu terdengar mencurigakan. Aku menyanggupi karena rasa penasaranku yang menang. Aku sudah kenal dia cukup lama, meski tidak mengenal luar dalam. Paling tidak aku sudah pernah baca kiat-kiat perlindungan diri dari cowok jahat.
Aku masuk kamar dan langsung aku berganti pakaian ditambah sweater. Kubilang ke Yuni ada yang ingin dibeli di supermarket. Dia cuek saja, sudah asyik dengan soal-soal Kalkulus. Aku tak mau mengaku pergi dengan Milo, nanti jadi gosip heboh.
            Ternyata aku dibawa ke rumahnya. Aku makin merasa aman disini, ada Om Rasyid dan Tante Fatimah juga. Mereka sedang asyik menonton di ruang tengah. Aku sempat ditawari brownies yang langsung kusikat tiga potong. Kalau Milo mau macam-macam padaku aku tinggal teriakkan nama mereka. Setelah menyapa pasangan itu, aku diajak Milo ke taman di belakang rumah.
            Aku menurut saja dibawanya, karena hatiku memang menginginkan. Dia duduk di ayunan dan memintaku juga.
Kami duduk di ayunan besi disana. Berhadapan. Dengan tangannya yang kuat, Milo mulai membuat kami berayun. Aku menikmati setiap kali meluncur mengikuti gravitasi. Baru kusadari sedari tadi aku melihat wajah Milo yang sama seperti saat dia mengucapkan terima kasih beberapa waktu lalu. Hanya saja nuansanya bercampur lara.
            “Sebenarnya ada apa, Milo?” tanyaku. Kami saling menatap, kurasakan kami begitu dekat. Sangat dekat.
            Ayunan berdecit memberi latar suara yang unik. Milo mendesah dan membuang nafas panjang. “Sepertinya… Aku akan menghentikan mimpiku.”
Aku tidak bereaksi selain kaget. “Kenapa?”
            Dia terkekeh, tersenyum mengejek. “Kamu tahu kadang suara terbanyak itu memang benar. Teman-teman kita benar, komentar mereka masuk akal. Aku memang hanya bisa mimpi pergi backpacking ke seluruh Eropa. Aku cuma bisa mimpi…”
            Dia memberi gaya lagi pada ayunan supaya kami tetap meluncur. Kulihat tangannya yang besar. Mungkin dua kali dari punyaku. Hanya saja aku ingin dia tahu bagaimana rasa tanganku di pipinya.
            “Kamu ngapain nampar aku??” tanyannya terkejut.
            “Idiot… Kamu itu idiot!! Kenapa bisa-bisanya kamu bicara seperti itu. Kenapa kamu kehilangan semangat untuk mengejar mimpimu? Mana Milo yang kukenal selalu cuek dengan pendapat konyol orang lain? Mana semangat itu?”
            Milo hanya terdiam. Senyumannya tidak muncul. Aku menyesal tapi belum puas menyampaikan perasaanku. Dia tidak boleh begini!
            “Aku selalu percaya orang harus punya mimpi. Dan mengejarnya,” kataku. “Dulu, aku lemah di semua pelajaran IPA. Orangtua dan guruku menyarankan agar masuk jurusan IPS saja. Tapi aku punya impian bisa kuliah di jurusan IPA, S2 ke Jerman, dan menjadi ilmuwan!! Itulah impianku. Aku tahu mustahil mengejar ketinggalanku hanya pada saat bimbel. Aku harus belajar tengah malam untuk masuk Teknik Industri. Passing Gradenya yang tinggi bukan hal mudah bagiku. Tapi karena aku tahu apa impianku, maka aku mengejarnya.
            “Saat kamu bilang mau backpacking, seratus persen aku percaya kamu akan mendapatkannya. Aku percaya kamu bisa, Milo. Seorang yang berani bermimpi dan berani mewujudkannya, itulah yang aku ingin lihat darimu!!”
            “Mungkin kamu terlalu berharap padaku.”
            “Aku tidak berharap padamu! Aku percaya kamu bisa mencapainya!”
            Dia malah tertawa. “Kamu tak tahu saja. Dalam hatiku aku menjerit ketakutan karena ini. Semakin hari mimpiku yang indah menjadi mimpi buruk bagiku. Dia seperti Izrail yang kapan saja siap memenggalku. Aku ketakutan, Lila…”
            Dia menertawakan dirinya lagi. Suaranya begitu getas dan palsu. Mungkin jika biasanya tawa itu menyenangkan, sekarang seperti pemaksaan sikap positif. Kalau kamu sedih harusnya sedih, jangan tertawa artifisial. Tak selamanya harus mengelak rasa gundah dihatimu.
            “Jadi, kamu mau mengalah begitu saja? Kamu mau seenaknya mundur?” tanyaku menantangnya. Kalau urusan menantang aku pakarnya. “Kamu bisa ketawain aku karena ngomong begini. Aku yang orang lihat adalah si pengomel, tukang tidur, cerewet, tapi kalau aku sudah punya impian bisa membuatku tak tidur. Kalau pun tidur aku akan membawanya di setiap detik mimpiku.
            “Ketakutan hanya refleks tubuh ingin berlindung diri. Kamu akan merasakan adrenalin, Milo. Itu menyenangkan! Membuatmu bahagia jika kamu bisa menjalaninya dan meraihnya!
            “Musuh terbesar adalah diri sendiri.”
            Oh, dia pasti bisa melihat mataku yang basah. Kuharap aku menghapusnya, tapi tak ingin. Aku ingin dia yang melakukan, entah kenapa.
            Milo menatapku dengan wajah yang membuatku mengasihinya. Tiba-tiba dia menggenggam tanganku erat. Aku kaget, tapi membiarkan.
            “Kamu benar-benar percaya padaku?” tanyanya. Matanya malah bertanya lebih.
            “Tentu saja!” Masa dia tidak bisa menyimpulkan omongan-panjang-lebar-tinggi-ku!
            “Aku sangat berterima kasih padamu, Lila. Atas kepercayaanmu padaku, atas bantuanmu membelaku di depan teman-teman. Tak bisa kubayangkan jika kamu tak ada.”
            Aku menunduk malu. Mungkin wajahku memerah. “Jika kamu tidak keberatan, aku ingin mengatakan sesuatu…”
            “Apa itu?”
            Milo menatapku menunggu. Seiring itu jantung rasanya tak mampu memompa darah lagi. Serasa mati suri jika kamu pernah mengalami.
            “Aku sayang padamu.” Akhirnya.
            Tangannya semakin erat membungkus tanganku. Sedikit tangannya kapalan, namun aku senang bisa merasakannya bergesekan dengan kulitku. Kami menatap dan mulai memahami masing-masing.
            Malam itu menjadi malam kami diatas sebuah ayunan yang bergerak mengikuti gravitasi. Setelah mengutarakan perasaanku yang sebenarnya, kami sepakat untuk bersama-sama saling menyemangati. Meraih impian kami bersama.
            Tentu saja impian yang tinggi!
            Leganya!

Beginilah suasana belajar bersama Pak Norman: membosankan dan membuat mengantuk. Suara beliau cocok menjadi terapi bagi penderita insomnia. Cara belajarnya cocok untuk orang-orang tunarungu. Aku tak tahan lagi menahan kantukku. Berkali-kali menguap melelahkan juga.
            Kaela yang disebelahku menyenggol bahuku. “Hei, lihat ke sana…”
            Aku mengikuti arah telunjuknya di barisan duduk cowok. Bagian belakang ada seseorang yang tertidur pulas. Milo.
            Kami terkikik. Melihat tampangnya yang lucu. Nyenyak sekali, padahal tidur dalam posisi duduk.
            “Persis seperti ceweknya,” goda Kaela.
            Aku mencibir, “Biarin. Berarti kami sehati, dong.”
            Teman-temanku sudah tahu statusku dengan Milo. Saat kuceritakan mereka terkejut dan setelah itu melompat-lompat. Ternyata mereka sudah lama taruhan apakah aku jadian dengan Milo atau tidak. Dasar usil!
            “Sekarang dia kerja shift malam di pabrik bordir,” jelasku pada Kaela. Dia menatapku tak percaya. “Yah, pergi ke Eropa kan nggak gratis.”
            “Sumpah. Kalian cocok banget. Sudah tukang tidur di kelas, tukang mimpi juga.” Meski sudah kujelaskan berkali-kali, masih ada juga yang merasa mimpi itu mustahil. Namun, aku sudah belajar bahwa kita tidak bisa memaksakan pendapat kita. Menoleransi adalah cara terbaik. Sekarang zaman demokrasi, Bung! Hehehe.
            “Kubilang biarin. Kami berani punya mimpi dan berani juga mewujudkannya,” kataku mantap. Sekaligus menantangnya. Hanya Kaela cukup tidak peka untuk hal tersebut. Dia tahan ledekan, sih.
            “So, kapan rencananya kalian berdua pergi?” tanyanya sambil memperbaiki posisi duduk. Aku juga menghadap lurus ke depan. Kami takut ketahuan sedang mengobrol.
            Aku menjawab sambil berbisik. “Semester depan kami ambil cuti dan memulai perjalanan bulan Mei.”
            “Wow.”
            “Memang wow.”
            Sebenarnya selain bekerja di pabrik bordir, Milo juga bekerja di bengkel di akhir pekan. Sedangkan aku bekerja di tempat Tante Fatimah lebih intensif. Aku digaji dengan cukup diluar angka sehat. Cukup besar karena Tante Fatimah tahu rencanaku dan Milo akan ke Eropa. Jadi, aku sedikit makan gaji buta, tapi Milo mengizinkan kok.
            Bagaimana dengan orangtuaku? Untung saja mereka mengerti bahwa prestasi itu tak hanya di bangku kuliah. Kuliah memang nomor satu, tapi bukan segalanya. Terpenting adalah kita punya pengalaman dan kemampuan melakukan sesuatu. Backpacking ibaratkan lumbung bagi hal-hal tersebut. Apalagi setelah membaca buku Keliling Eropa 6 Bulan Hanya 1000 Dolar dari penulis Marina Silvia K. Jika cewek ini backpacking sendiri, kami akan melakukannya berdua.
            Berdua tentu lebih baik. Seperti angka sebelas yag terdiri dari dua angka 1. Jika 1 sendiri maka akan kesepian. Sedangkan 11 tentu lebih baik. Mungkin filosofi dan analogi yang aneh. Hanya saja momen di bus nomor sebelas begitu membekas bagiku. Kuingat lagi wajah memerahnya Milo.
            Mitos kekuatan bus itu mungkin saja bukan mitos. Aku bisa mengaitkannya dengan kisah cinta kami. Setidaknya saat saling berhadapan dan menyentuh di bus, kami tahu perasaan masing-masing. Tak salah namanya Bus Cinta.
           
Sebuah sore di hari Minggu. Aku datang ke rumah Milo membawa sebungkus nasi goreng buatanku sendiri. Aku belajar masak supaya nanti disana bisa membantu host yang akan menampung kami di Eropa. Paling tidak kami bisa bantu-bantu sedikit. Selain itu memperkenalkan budaya Indonesia. Cultural exchange adalah salah satu tujuan mulia backpacking.
Milo yang sehabis bekerja di bengkel dan kelelahan menyantap makanan itu dengan lahap.
            “Enak sekali!!” katanya sambil mengacak rambutku.
            “Syukurlah!!” kataku membalas mengacak rambutnya yang berminyak.
            Dia menatapku lekat-lekat. “Kamu nggak pakai cermin sebelum kesini, ya? Ada jelaga di dagumu.” Tangannya menyentuh daguku membersihkannya. Mungkin ini jelaga periuk yang kugunakan untuk memasak.
            “Terima kasih.”
            Setelah makanannya habis, Milo mulai menggerakkan ayunan tempat kami duduk. Dia kuat sekali, padahal sudah kerja keras di bengkel. Tidak seperti aku yang lelah dan hanya bisa bersandar ke bahunya.
            Dia memang pantas menjadi pelindungku nanti di Eropa. Posturnya yang tinggi tak kalah besar dibanding orang Eropa. Aku percaya kami akan selamat disana sampai pulang ke Indonesia.
            “Eh, jangan tidur, dong!” kata Milo menggoyangkan bahunya. Aku terusik.
            “Suasana mendukung buat tidur tahu!”
            Dia terkekeh. “Tukang tidur…”
            “Kamu juga!!”
            “Aku tadi buka Facebook. Komentar tentang kita akan backpacking disana lebih seru dari kemarin, tapi mencengangkannya sebagian besar mendukung kita.”
            “Mungkin mereka butuh waktu untuk merenungkan pendapat mereka. Lihat, kan? Waktu akan menunjukkan apa yang akan terjadi seharusnya.”
            Dia membelai rambutku. Lalu berkata, “Mei 2011 beberapa bulan lagi. Aku sudah tak sabar ingin merasakan adrenalin ke sana. Aku yakin kita akan merasakan kebahagiaan, pengalaman, cerita baru, teman baru, memotret kehidupan yang berbeda dengan kita, dan merasakan romentisme kota-kota kuno abad pertengahan.”
            “Aku ingin kita ke Paris, menara Eiffle,” kataku.
            “Oke,” jawabnya mantap.
            “Kita akan datang ke universitas-universitas di Jerman,” usulku lagi.
            “Tak masalah,” sahutnya lagi.
            “Aku juga mau ke Belanda melihat taman tulip disana.”
            “Tentu saja,” suaranya begitu yakin.
            Aku percaya dengan kekuatan cinta kami, semua kota indah disana akan kami tapaki. Berdua.
            “Dan aku juga mau membuka akun Facebook di sana dan menulis seperti ini…
            “Hei, Milo dan Lila lagi pesta barbeque di rumah Host di Berlin. Orang-orang sini cakep-cakep, lho. Kalian ngapain liburan, ngambil Semester Pendek?? Cape dehhh…”
            Kami berdua tertawa.
Kamu memang tidak bisa tidak bermimpi, dan kamu juga tidak bisa membiarkannya berdiri di sana, di sudut hatimu. Kamu tak bisa menghiraukannya. Dia membutuhkanmu dan kamu membutuhkannya untuk bergerak maju. Hanya kalian membutuhkan sebuah tali bernama kepercayaan. Percaya pada diri dan pada cinta. Karena…
            Love is Believing Your Dream..

No comments:

Post a Comment