“Wah, lega rasanya
sehabis kuliah!!” kataku sambil meregangkan lengan. Mengusir rasa pegal di
leher dan bahu. Benar-benar berat kuliah dengan Pak Koni, kita harus melawan
dua hal: kantuk dan bosan. Bagiku keduanya sulit dilawan. Makanya aku…
“Makanya kamu jangan ketiduran
terus!!” ledek Yuni, sahabatku sekaligus teman satu kamar di kost. Beda dengan
aku yang pemalas, Yuni orangnya rajin dan pintar.
“Iya, kamu jangan tidur
terus Lila. Nanti nggak ngerti apa-apa,” tambah Diana. Sama dengan Yuni, gadis
satu ini Miss SO alias Study Oriented.
Dia selalu berhasrat mendapat nilai bagus, IPK hampir-hampir 4, ujian sukses,
praktikum lancar, dan tugas laporan akhir beres tepat waktu.
Aku hanya bisa nyengir
akan teguran mereka.
Satu-satunya orang di
kelompok yang bisa kuajak kompromi betapa pemalasanya aku adalah Kaela. Dia si
penggemar game sama-sama agak kurang
peduli dengan kuliah. Walau tidak pernah tidur di kelas, jangan harap Kaela
memperhatikan dosen. Jika kamu tahu tentang gaya belajar, maka Kaela cenderung
kinestetik. Maunya bergerak terus.
“Kalau aku nggak ngerti,
ada Yuni kok buat ngajarin di kost,” jawabku membela diri.
“Kalau gitu ngapain ke
kampus. Belajar di kost aja!!”
“Jangan sewot dong Diana.
Ntar cepat keriput!!”
“Terserah kamu deh, Lil.”
Kami duduk di kafe
jurusan. Suasana di sana sudah mulai ramai jam 12 ini. Untung saja kami dapat
tempat duduk. Kafe tanpa nama ini cukup murah dan enak. Selain itu juga bersih.
Biasanya kami membuat permainan untuk menentukan siapa yang akan pergi ke
konter memesan makanan. Caranya dengan suit. Info saja, aku adalah rekor tidak
pernah kalah dan Diana rekor yang paling sering kalah. Dan hari ini yang
menang…
“Ha?? Aku kalah?”
“Hahaha, rekor Lila
berakhir! Mungkin bukan hari keberuntunganmu,” ledek Diana. Dia yang paling
senang aku kena suruh. Lagipula dia pantas lega karena dua minggu ini dia kalah
terus. “Aku pesan ini, ini, sama ini,” katanya sambil menuding lembar menu.
Dengan berat hati aku
menuju konter. Menyebalkannya aku harus membawa semua makanan teman-temanku
sendiri. Tak mungkin membawa sekaligus, bisa-bisa tumpah semua. Makanya
pekerjaan ini jadi cukup melelahkan karena harus bolak-balik ke konter. Diana
pantas senang hari ini.
Setelah memesan ke
pelayan kafe, aku merasa disenggol seseorang. Dia tepat di sampingku.
“Hei, Milo,” sapaku pada
cowok itu.
Dia tersenyum.
“Tidur di kelas lagi, ya?
Kamu kurang tidur di rumah? Cewek yang kurang tidur bisa keriput, lho!!”
Tiba-tiba aku kesal
padanya dan memalingkan muka dengan penuh gaya. Pura-pura tersinggung. Dia
menyenggolku dengan sikunya lagi. Aku berkata, “Apa?” Sewot.
Dia terkekeh, “Gitu saja
marah, nanti cepat tua!!”
Kenapa semua laki-laki
peduli dengan “penuaan wanita” tapi tetap memancing gara-gara yang membuat kesal?
Untung saja pesananku
selesai. Aku ingin cepat-cepat mengakhiri tugas ini. Lagi-lagi dia
menyenggolku. “Ada apa lagi, sih?”
“Tante Fatimah nanyain
kamu tadi pagi. Dia tanya apa kamu mau bantu dia lagi?”
Aku teringat dengan Tante
Fatimah dan usaha kartu undangannya. Bulan yang lalu aku dapat job mengetik nama dan memasukkan
undangan ke plastik. Komisi yang kudapatkan lumayan untuk menambah uang saku.
“Lihat nanti saja,”
jawabku.
“Hubungi aku nanti, ya.
Kalau bisa cepat kasi tahu.”
“Iya…,” kataku dengan
nada lelah. Bayangan mesti membawa makanan sebanyak ini membuat batinku lelah.
Aku baru mengerti bagaimana perasaan Diana selama ini.
Aku mengantar pesanan
teman-temanku. Agak bersusah payah menghindari orang-orang yang lalu lalang
serta menjaga nampan tetap utuh. Sebagian pesanan terpaksa kutinggalkan di
konter. Nanti dijemput.
Saat aku sampai di meja
kami, aku berkata, “Ini pesanan nona-nona besar…” Aku meletakkan nampan sedikit
keras.
“Akhirnya…, lama banget,
Lil,” kata Yuni sambil meraih mangkuk sotonya.
“Udah, deh, jangan ngeluh.
Konter penuh begitu!” jawabku kesal. Sekarang aku harus kembali ke konter lagi,
uh!
“Ah, Lila curang. Masa
minta bala bantuan?” kata Kaela.
Aku menatapnya dengan
bingung. Bala bantuan? Bantuan siapa?
“Dasar Lila, pesanannya
ketinggalan…”
Aku terkejut mendapati
Milo dibelakangku sedang membawa nampan kami. Dia tersenyum melihat
kebingunganku. Dengan hanya satu tangan dia meletakkan nampan kami. Sedikitpun
isinya tak tumpah.
“Aku nggak minta bantuan
Milo, kok. Dia mau nolong sendiri…,” kataku membela diri. Teman-temanku menatap
curiga. “Memangnya kenapa?” kataku menantang mereka. Alasan apapun yang bisa
mereka utarakan pasti konyol. Tidak masalah kan jika ada orang yang baik hati
menolong?
“Makasih ya, Mil,” kataku setelah
beberapa saat terdiam.
Sekali lagi senyuman itu diberikan
padaku. Membuat suasana semakin aneh bagiku.
“Sama-sama. Nggak
apa-apa, kok.”
Milo pun pergi ke mejanya
di sudut ruangan. Dia bersama teman-teman cowok kelas kami. Kulihat dengan
ujung mataku mereka tertawa-tawa saat Milo datang. Aku penasaran apa yang
mereka tertawakan.
Kami pun makan. Kulihat
Kaela dan Yuni membuka hape, seperti biasa mereka pasti online Facebook.
Mentang-mentang hapenya canggih. Tidak seperti punyaku yang bisa nelpon dan sms
aja udah untung sekali.
“Eh, lihat deh ada yang
lucu…,” kata Kaela. Dia memperlihatkan hapenya pada Diana. Lalu mereka berdua
tertawa.
“Apa sih?” Aku ingin
merebut hape itu. Hanya saja Kaela lebih gesit menghindari. Aku kesal, kulihat
di hape Yuni saja. “Kalian baca status siapa?”
“Milo.”
Terpampang dilayar Wall punya Milo. Aku membaca
status-statusnya.
“I wanna be a Bacpacker!!”
“Backpacking to Europe 2011… I’m comiiiiinggg….”
“Ada yang mau oleh-oleh dari eropa, nggak?? Mau nitip
sama aku?”
“Milo: The Backpacker lagi makan siang di kampus.”
What the…?
Entah kenapa aku malah
tidak mau tertawa. Tak ada yang lucu di sini.
“Lucu banget si Milo.
Ngumbar mimpi di Facebook. Kalau
nggak kesampaian bisa malu banget…,” komentar Diana.
Yuni juga berkomentar,
“Mimpinya terlalu tinggi. Sampai-sampai akal sehatku aja nggak bisa bayangin.”
Kaela apa lagi, “Backpacking ke Eropa? Mimpi aja kaleee…
Manusia kaya Milo mau ke sana?? Hahaha.”
Aku menampar meja. “Hei,
nanti kedengaran dia gimana??”
“Duuh, ceweknya marah!”
ledek Kaela.
Mataku mendelik padanya.
“Kaela, kamu apa-apaan sih. Jangan bikin gosip sembarangan, ya!”
Kurasakan satu hari itu
memang bukan hari yang menyenangkan bagiku. Entah kenapa jadi bete satu hari
penuh. Huh!!
Setelah salat Isya aku pergi ke warnet sendirian. Untung saja warnet di
dekat kostku di Pasar Baru masih ada cubicle
kosong. Setelah membuka jendela Mozilla
Firefox yang baru, aku mengetikkan alamat Facebook. Kemudian mengetik email
dan password. Kecepatan koneksinya
bagus karena beberapa detik saja Beranda Facebook-ku
memenuhi layar LCD komputer.
Aku tak berniat
memposting sesuatu atau memperbaharui statusku. Kuarahkan kursor ke foto cowok
yang sedang membaca sebuah peta dunia, “cowok dan peta,” di kotak Friends. Lucu juga. Aku tertawa kecil
karena punya pikiran Milo layaknya Dora The Explorer yang selalu membawa peta
kemana-mana. Kubayangkan pula dia menyanyikan lagu Si Peta.
“Kalau kau mencari tempat, akulah orang yang tepat. Aku peta.. aku peta!!”
Kulihat tulisan Milo yang
dikomentari teman-teman. Ada 73 komentar!!!? Ada juga 40 komentar. Banyak
sekali! Kuarahkan kursor ke salah satu posting
dan klik kanan, open in new tab.
Hampir semua komentar-komentar kubaca tentang Milo si pemimpi Backpacking…
“Lu mw k Eropa, bro?? K pulo Jawa aja blm prnh… mimpi siang bolong!!”
“Backpacking ke Eropa, Milo. Jangan lupa bawa jam weaker.
Biar kamu bangun dari mimpi.!!! lol lol lol…”
“Ajak gue, yak bos. Mungkin aja bisa nulis buku kayak
Andrea Hirata. Eh, tapi lo cocok jadi tokoh novel ‘sang Pemimpi’. Bukan fiksi tapi
THE REAL DREAMER”
“Milo, Eropa itu mahal banget lho kesana. Udah punya
duit??”
“Jangan sedih bro kalo gak bisa ke sana.”
“Wanna be backpacker?? Keep dreaming it!! Hehehehe…”
“Akhi, masa rencana pergi ke Eropa. Nabung buat haji aja,
gimana??”
“Ancur, lu. Diketawain orang sekampung. Makanya kalo
nulis di FB yang normal2 aja. Oke?”
“Kesambet apa lo, Mil? Mungkin lo bisa jadi orang pertama
di kampus kita pergi bekpek ke Eropa!! Kira2 20 taon lagi!!”
“Nitip tanda tangan Daniel Radcliffe bisa? Hehehehe..”
Aku membaca komentar itu
sambil tersenyum getir dan gelang-geleng. Kejam sekali mereka. Apa salahnya
seseorang punya impian setinggi langit? A
great achievement is begun with a great dream. Aku pernah baca hal itu di
sebuah buku motivasi. Jadi kenapa orang-orang ini berkomentar pematah semangat?
Sangat berenergi negatif. Seperti mesin pengisap energi positif.
Seharusnya mereka malu
menjadi kuman-kuman penggontor mimpi orang lain. Memangnya mereka berani
memimpikan hal yang sama? Huh, dasar teman-teman dodol!! Eh, kenapa aku malah
marah-marah sendiri? Sewot lagi.
Aku juga heran kenapa
perasaanku begitu kesal dengan semua komentar ini. Oke, aku hanya ingin membela
seseorang yang bisa bermimpi, berusaha keluar dari zona nyamannya. Seharusnya
orang kayak Milo harus di tiru. Dia berani memulai dengan menyebarkan mimpinya.
Biar seluruh dunia tahu.
Dan aku tidak ada maksud
apa-apa lagi. Sumpah.
Kursor kuarahkan ke kotak
kometar. Aku ingin mengetik sesuatu untuk membalas mereka. Bagusnya apa, ya?
Aku ragu apakah kata-kataku layak. Berkali-kali aku menghapus kalimat yang
terdengar seperti ceramah. Akhirnya aku hanya berkomentar pendek.
“Semangat, Milo!! Kamu pasti bisa! PASTI!!”
Kayaknya itu sudah lebih dari cukup. Kalau aku bisa membuat Milo lebih PD,
kenapa harus meladeni orang-orang sok itu? Kalau bisa mengatakan kebaikan,
kenapa harus berbalas umpatan?
Hari Sabtu tak terasa menghampiri. Setelah hari Jumat yang membosankan
karena aku harus kuliah sendirian tanpa teman-temanku. Aku harus sekelas dengan
junior. Ini karena aku mengulang mata kuliah menggambar teknik. Semester yang
lalu nilaiku D gara-gara malas mengerjakan tugas.
Akhir pekan memang hari yang
menyenangkan!!!
Kuhirup nafas ala meditasi dan
membunyikan suara, “Aaaaaahhh…,” sambil menikmati setiap butir atom O2
memenuhi rongga dadaku. Perasaan lebih lega sebelum aku berangkat ke rumah
Tante Fatimah di daerah Jati.
Aku akhirnya menerima
ajakan Milo untuk part time di
rumahnya. Sudah beberapa kali dia memberitahuku kalau ada job part time. Sekedar info, Milo ini
temanku sejak SMP. Pernah sekelas di kelas dua dan tiga SMA. Entah kenapa di
kuliah kami satu jurusan juga, Teknik Industri Universitas Andalas, Padang.
Mungkin jodoh kali. Hanya saja, sampai sekarang aku heran kenapa Milo masih
belum punya pacar. Pernah ada gosip (atau fitnah) yang bilang kalau dia itu gay. Memang dia ganteng dan banyak cowok
ganteng jadi gay, tapi kok
analisisnya dangkal sekali. Kayak bilang kalau banyak anak Teknik bertampang
sangar sehingga punya kesimpulan semua mahasiswa Teknik sangar. Aku kan manis! Hehe
Aku tak percaya dan menanyakan padanya
langsung.
Dia tertawa sebelum
menjawab pertanyaanku. “Aku malas pacaran karena aku punya banyak hal yang
dipikirin. Kalo pacaran itu buat nambah hal yang bisa dipikirin. Hehehe. Aku gay??
Enak saja. Mau bukti??”
“Heh?? Nggak, terima
kasih deh…”
Alasan yang aneh… Aku
seratus persen percaya dia ada di jalan yang lurus.
Milo tinggal dengan
keluarga tantenya di Padang ini. Sedangkan orangtuanya masih tetap di
Bukittinggi. Tante Fatimah punya usaha Event
Organizer (EO) untuk acara pernikahan, kliennya rata-rata kaum berduit.
Sedangkan suaminya, Om Rasyid, punya bisnis peternakan ayam dan sapi yang cukup
sukses di Sumatra Barat. Peternakannya tersebar di beberapa daerah, seperti
Solok dan Agam. Mereka tak punya anak, jadi Milo sudah seperti anak kandung
mereka.
Aduh, kenapa aku malah
memikirkan Milo?? Padahal masih banyak kartu undangan yang harus kutempeli
nama-nama. Jangan sampai pula aku salah tempel nama karena ada tiga jenis undangan
dari pasangan calon pengantin yang berbeda. Jangan lambat, Lila. Kamu kesini
buat kerja bukan buat melamun.
Apalagi melamunkan dia!
“Hai, tukang undangan!”
Sebuah suara mengagetkanku dari belakang.
“Jangan ngagetin, dong!”
“Maaf, deh. Jangan marah,
Lila.”
Aku pura-pura tak mau
bicara dengannya. Aku diam saja sambil tetap melanjutkan kerjaku. Tapi tak
tahan juga harus diam begini. Milo juga diam saja.
“Bantuin, dong!! Jangan
lihat saja,” kataku akhirnya. “Kamu sepertinya nggak punya kerjaan lain.”
“Tidak mau! Itu pekerjaan
kamu. Kalau aku bantuin, nanti kamu makan gaji buta.”
Dia terkekeh, aku memutar
bola mataku.
“Ya sudah, pergi saja sana. Aku malas kerja kalau kamu perhatiin kayak itu.”
Aku menjerit dalam hati,
menyesal dengan perkataanku sendiri. Kenapa aku sok kesal seperti ini. Entah
kenapa perasaan kesal ini alami keluar begitu saja jika aku berdekatan dengan
Milo. Padahal aku ingin kami lebih akrab. Aku ingin kami lebih saling mengenal.
Lebih… tahu perasaan masing-masing.
Aku sulit bersikap normal
jika berhadapan dengannya. Untung saja dia tidak benar-benar pergi.
“Terima kasih, Lila.”
Eh?
“Kamu bikin komentar yang
menyemangati aku. Kamu satu-satunya yang nulis kayak itu.”
Aku berhenti bekerja
sebentar. Kutatap wajahnya yang selalu kulihat hampir setiap hari. Kali ini
auranya agak berbeda. Senyuman yang lebih lembut. Kamu bisa merasakan kasih
sayang jika melihat wajahnya. Kamu bisa tahu, bahwa sepertinya aku suka Milo!!
Aku pergi kuliah dengan langkah gontai. Kuliah shift ke-3 (masuk jam
13.00) memang berat jika cuaca panas seperti. Matahari yang tepat di atas
kepala pada tengah hari tidak sungkan-sungkan memberikan efek terbakar di
tengkukmu. Untung saja ada penemuan bernama payung.
Jam 11.55 aku sampai di
halte bus Pasar Baru. Ternyata hanya ada satu bus yang parkir di sana. Kulihat
nomor busnya: 11. Kurasakan getaran aneh ketika memasuki. Udara panas ternyata
terperangkap di bus itu. Membuatnya lebih panas apalagi semua bangku sudah
terisi. Aku terpaksa berdiri.
Lagi-lagi aku bertemu
dia. Apa karena dia ada disini aku merasakan getaran itu? Oh, pikiran macam apa
ini? Konyol, konyol, Lila!!
Aku pernah mendengar
tentang kisah cinta yang dimulai dari bus ini. Sepasang mahasiswa yang pertama
kali saling kenal di bus ini kini menjadi ikon keluarga bahagia di televisi
lokal. Menurutku itu hanya kebetulan dan konyol sekali percaya sebuah bus bisa
menyebabkan orang saling mencintai. Manusia memang suka mengaitkan suatu hal
dengan yang lain. Kayak mengatakan sebuah keris bisa membuat orang sakti,
padahal yang sakti itu dia sendiri.
“Siang Lila.”
Aku menatapnya heran.
Mengucapkan selamat pagi, siang, atau malam bukan kebiasaan orang Minang. Tak
ada yang melakukannya selain di suasana formal seperti di kelas. Orang Minang
saling menyapa dengan menyebutkan nama saja.
Baru kusadar kalau dia
sedang menjalankan budaya orang Eropa. Di negeri nun jauh di sana pasti menyapa
dengan “Good day, Lila”.
“Kenapa kamu tidak pakai
motor seperti biasa?” tanyaku. Kudengar pintu sopir dibanting, berarti sopir
datang dan bus akan berangkat. Jam sudah menunjukkan pukul 12.10. Beginilah
kalau harus naik bus siang-siang. Menunggu itu, lho… membuat waktu efektif kita
semakin menipis.
“Aku kembalikan ke Om
Rasyid,” jawabnya. Aku memperlihatkan muka heran lagi. Dia tersenyum (ehm,
keren!!), dan menjawab keherananku, “Jangan tertawa, ya. Aku hanya ingin
melatih kakiku berjalan. Disana aku tak akan pakai motor. Sembilan puluh persen
pakai kaki. Selain itu kendaraan umum kayak bus ini.”
Oh, masih tentang backpack ke Eropa, toh.
Bus berhenti di setiap
tempat yang ada rambu “Perhentian Bus”. Lama-kelamaan bus ini dipenuhi
mahasiswa. Sebelum bus kampus ini melewati gerbang, isinya sudah seperti kaleng
ikan sarden. Penuh!! Aku dan Milo terperangkap di tengah. Kami hampir menempel
sampai-sampai aku bisa menghirup aroma parfumnya.
“Mungkin busnya agak
berbeda dengan yang disana,” komentarku melihat dia sudah susah payah menahan
badannya agar kami tak bertabrakan. Cowok-cowok lain di belakangnya sembarangan
mendorong-dorong. Tadi juga ada yang bilang “Geser ke belakang lagi, dong!” Mau di
geser kemana. Bus super penuh begini.
“Tentu saja. Nggak
mungkin ada yang kayak kaleng sarden berjalan begini.”
Kami tertawa. Sebentar
saja, karena orang-orang memperhatikan kami.
Sepanjang perjalanan Milo
dan aku hanya saling menatap dan tersenyum. Sebenarnya aku tak tahan dengan
situasi begini. Aku ingin mengatakan sesuatu agar dia berhenti
tersenyum, membuat hatiku tak henti bergemuruh saja. Aku tak bisa ngomong,
badan kami berguncang-guncang seakan bus ini sebotol milkshalke.
Lalu bus
sekonyong-konyong berhenti mendadak. Karena Milo tak berpegangan dengan erat
dia terdorong ke arahku.
“Waaah!!!” Aku tertimpa
badannya yang lebih besar dariku. Untung saja ada yang menahan juga di belakangku.
Milo segera bangkit dan bergeser ke belakang lagi. Kutangkap wajahnya yang
memerah.
“Maaf,” katanya tanpa
menatap ke arahku.
“Nggak apa-apa, kok.
Memang busnya tiba-tiba berhenti.”
Sejak itu kami saling diam selama di bus, sampai kami di jurusan. Sampai kami masuk kelas dan sampai dua
hari berikutnya. Kami jadi jarang bicara. Ada apa dengan kami, sih??
Entah karena hal itu atau karena hal lain, aku jadi bad mood seharian. Milo kejam sekali mendiamkan aku berhari-hari.
Teman-temanku heran juga kenapa aku cemberut. Alasanku hanya bosan kuliah,
bikin ngantuk terus. Huh, mereka lagi-lagi meledek kebiasaan burukku itu.
Saat menunggu kuliah
Metode Stokastik, aku mendengar cowok-cowok membicarakan Milo. Zaman sekarang
tukang gosip itu bukan cuma cewek, cowok juga. Heran saja mulut mereka bisa tak
berhenti mengejek rencana backpacking
Milo. Komentar mereka rata-rata sama seperti yang mereka tulis di Facebook.
Mereka mengejek mimpi
kelewat tinggi Milo. Mereka menganggap itu mustahil. Ada yang bilang bego,
aneh, gila, dan lain-lain. Aku ingin tahu kemana Milo. Apa reaksinya mendengar
teman-teman sekelas membicarakan mimpinya itu. Kalau aku pasti marah.
Kalau mereka tak suka
biarkan saja Milo bermimpi. Itu urusan dia. Kalau dia ingin itu haknya. Memangnya
mereka punya mimpi? Mungkin mimpi sederhana pun tak berani mereka punyai.
Mungkin mereka hanya mampu melihat realita. Padahal dengan impian kita bisa
mengubah realita menjadi lebih baik. Sesuai dengan keinginan kita. Mereka tak
lebih dari pecundang yang takut mengambil risiko. Tak seperti Milo yang berani.
Aduh, kok jadi panas
begini dadaku. Apa aku benar-benar suka Milo?
Aku masih mempertanyakan
hatiku tentang Milo saat tanpa sadar tubuhku bergerak ke arah para penggosip
itu. Tanganku berkacak pinggang. “Urus saja urusan kalian sendiri!!!” teriakku.
Mereka kontan kaget
melihatku. Kelas jadi hening dan semua mata menuju padaku. Kalau hatiku sedang
tidak marah tentu ini serasa jadi Miss Indonesia.
Setelah lega melepas
emosi itu, aku berlari keluar. Kusadari tatapan penuh tanya orang-orang di
belakangku.
Emosi negatif yang
dibiarkan lepas akan cepat tuntas dan pergi, begitu yang kutahu dari ahli
penyembuhan holistik.
Aku membaca sms yang baru saja masuk. Ternyata dari Milo. Bisa ditelpon, nggak? Itu isinya.
Kulihat teman sekosku, Yuni, sedang belajar. Takut menganggunya, aku pergi
keluar kamar. Kubalas sms itu, bisa.
Dua menit kemudian hapeku
bergetar. Jantungku juga.
“Halo, Lila. Kamu lagi
dalam kamar?”
“Lagi di luar, di teras. Memangnya kenapa, Milo?”
“Bisa lihat ke pagar kostmu nggak?”
Aku bisa dengan mudah melihat pagar rumah kostku dari beranda lantai dua
ini. Milo melambai dari sana. Oh my God,
apa yang dia lakukan malam-malam begini di depan kost cewek. Bisa-bisa disangka
tukang intip.
“Bisa ikut aku tidak?” Permintaannya aneh-aneh saja.
“Kemana?” tanyaku,
penasaran juga mau dibawa kemana. Mudah-mudahan dia tidak maksud macam-macam
apalagi menculikku.
“Ikut saja. Kamu aman, kok!” katanya seperti membaca pikiranku.
Malah orang yang bilang seperti itu terdengar mencurigakan. Aku
menyanggupi karena rasa penasaranku yang menang. Aku sudah kenal dia cukup
lama, meski tidak mengenal luar dalam. Paling tidak aku sudah pernah baca
kiat-kiat perlindungan diri dari cowok jahat.
Aku masuk kamar dan langsung aku
berganti pakaian ditambah sweater. Kubilang ke Yuni ada yang ingin dibeli di
supermarket. Dia cuek saja, sudah asyik dengan soal-soal Kalkulus. Aku tak mau
mengaku pergi dengan Milo, nanti jadi gosip heboh.
Ternyata aku dibawa ke
rumahnya. Aku makin merasa aman disini, ada Om Rasyid dan Tante Fatimah juga. Mereka sedang asyik menonton di ruang tengah. Aku sempat ditawari brownies yang langsung kusikat tiga
potong. Kalau Milo mau macam-macam padaku aku tinggal teriakkan nama mereka.
Setelah menyapa pasangan itu, aku diajak Milo ke taman di belakang rumah.
Aku menurut saja
dibawanya, karena hatiku memang menginginkan. Dia duduk di ayunan dan memintaku
juga.
Kami duduk di ayunan besi disana. Berhadapan. Dengan tangannya yang kuat,
Milo mulai membuat kami berayun. Aku menikmati setiap kali meluncur mengikuti
gravitasi. Baru kusadari sedari tadi aku melihat wajah Milo yang sama seperti
saat dia mengucapkan terima kasih beberapa waktu lalu. Hanya saja nuansanya
bercampur lara.
“Sebenarnya ada apa,
Milo?” tanyaku. Kami saling menatap, kurasakan kami begitu dekat. Sangat dekat.
Ayunan berdecit memberi
latar suara yang unik. Milo mendesah dan membuang nafas panjang. “Sepertinya…
Aku akan menghentikan mimpiku.”
Aku tidak bereaksi selain kaget. “Kenapa?”
Dia terkekeh, tersenyum
mengejek. “Kamu tahu kadang suara terbanyak itu memang benar. Teman-teman kita
benar, komentar mereka masuk akal. Aku memang hanya bisa mimpi pergi backpacking ke seluruh Eropa. Aku cuma
bisa mimpi…”
Dia memberi gaya lagi pada
ayunan supaya kami tetap meluncur. Kulihat tangannya yang besar. Mungkin dua
kali dari punyaku. Hanya saja aku ingin dia tahu bagaimana rasa tanganku di
pipinya.
“Kamu ngapain nampar
aku??” tanyannya terkejut.
“Idiot… Kamu itu idiot!!
Kenapa bisa-bisanya kamu bicara seperti itu. Kenapa kamu kehilangan
semangat untuk mengejar mimpimu? Mana Milo yang kukenal selalu cuek dengan
pendapat konyol orang lain? Mana semangat itu?”
Milo hanya terdiam.
Senyumannya tidak muncul. Aku menyesal tapi belum puas menyampaikan perasaanku.
Dia tidak boleh begini!
“Aku selalu percaya orang
harus punya mimpi. Dan mengejarnya,” kataku. “Dulu, aku lemah di semua pelajaran IPA. Orangtua
dan guruku menyarankan agar masuk jurusan IPS saja. Tapi aku punya impian bisa
kuliah di jurusan IPA, S2 ke Jerman, dan menjadi ilmuwan!! Itulah impianku. Aku tahu mustahil mengejar
ketinggalanku hanya pada saat bimbel. Aku harus belajar tengah malam untuk
masuk Teknik Industri. Passing Gradenya
yang tinggi bukan hal mudah bagiku. Tapi karena aku tahu apa impianku, maka aku
mengejarnya.
“Saat kamu bilang mau backpacking, seratus persen aku percaya
kamu akan mendapatkannya. Aku percaya kamu bisa, Milo. Seorang yang berani
bermimpi dan berani mewujudkannya, itulah yang aku ingin lihat darimu!!”
“Mungkin kamu terlalu
berharap padaku.”
“Aku tidak berharap
padamu! Aku percaya kamu bisa mencapainya!”
Dia malah tertawa. “Kamu
tak tahu saja. Dalam hatiku aku menjerit ketakutan karena ini. Semakin hari
mimpiku yang indah menjadi mimpi buruk bagiku. Dia seperti Izrail yang kapan
saja siap memenggalku. Aku ketakutan, Lila…”
Dia menertawakan dirinya
lagi. Suaranya begitu getas dan palsu. Mungkin jika biasanya tawa itu
menyenangkan, sekarang seperti pemaksaan sikap positif. Kalau kamu sedih
harusnya sedih, jangan tertawa artifisial. Tak selamanya harus mengelak rasa
gundah dihatimu.
“Jadi, kamu mau mengalah
begitu saja? Kamu mau seenaknya mundur?” tanyaku menantangnya. Kalau urusan
menantang aku pakarnya. “Kamu bisa ketawain aku karena ngomong begini. Aku yang
orang lihat adalah si pengomel, tukang tidur, cerewet, tapi kalau aku sudah punya impian bisa
membuatku tak tidur. Kalau pun tidur aku akan membawanya di setiap detik
mimpiku.
“Ketakutan hanya refleks
tubuh ingin berlindung diri. Kamu akan merasakan adrenalin, Milo. Itu
menyenangkan! Membuatmu bahagia jika kamu bisa menjalaninya dan meraihnya!
“Musuh terbesar adalah
diri sendiri.”
Oh, dia pasti bisa
melihat mataku yang basah. Kuharap aku menghapusnya, tapi tak ingin. Aku ingin
dia yang melakukan, entah kenapa.
Milo menatapku dengan
wajah yang membuatku mengasihinya. Tiba-tiba dia menggenggam tanganku erat. Aku
kaget, tapi membiarkan.
“Kamu benar-benar percaya
padaku?” tanyanya. Matanya malah bertanya lebih.
“Tentu saja!” Masa dia
tidak bisa menyimpulkan omongan-panjang-lebar-tinggi-ku!
“Aku sangat berterima
kasih padamu, Lila. Atas kepercayaanmu padaku, atas bantuanmu membelaku di
depan teman-teman. Tak bisa kubayangkan jika kamu tak ada.”
Aku menunduk malu.
Mungkin wajahku memerah. “Jika kamu tidak keberatan, aku ingin mengatakan
sesuatu…”
“Apa itu?”
Milo menatapku menunggu.
Seiring itu jantung rasanya tak mampu memompa darah lagi. Serasa mati suri jika
kamu pernah mengalami.
“Aku sayang padamu.”
Akhirnya.
Tangannya semakin erat
membungkus tanganku. Sedikit tangannya kapalan, namun aku senang bisa
merasakannya bergesekan dengan kulitku. Kami menatap dan mulai memahami
masing-masing.
Malam itu menjadi malam
kami diatas sebuah ayunan yang bergerak mengikuti gravitasi. Setelah
mengutarakan perasaanku yang sebenarnya, kami sepakat untuk bersama-sama saling
menyemangati. Meraih impian kami bersama.
Tentu saja impian yang
tinggi!
Leganya!
Beginilah suasana belajar bersama Pak Norman: membosankan dan membuat
mengantuk. Suara beliau cocok menjadi terapi bagi penderita insomnia. Cara
belajarnya cocok untuk orang-orang tunarungu. Aku tak tahan lagi menahan
kantukku. Berkali-kali menguap melelahkan juga.
Kaela yang disebelahku
menyenggol bahuku. “Hei, lihat ke sana…”
Aku mengikuti arah
telunjuknya di barisan duduk cowok. Bagian belakang ada seseorang yang tertidur
pulas. Milo.
Kami terkikik. Melihat
tampangnya yang lucu. Nyenyak sekali, padahal tidur dalam posisi duduk.
“Persis seperti
ceweknya,” goda Kaela.
Aku mencibir, “Biarin.
Berarti kami sehati, dong.”
Teman-temanku sudah tahu
statusku dengan Milo. Saat kuceritakan mereka terkejut dan setelah itu
melompat-lompat. Ternyata mereka sudah lama taruhan apakah aku jadian dengan
Milo atau tidak. Dasar usil!
“Sekarang dia kerja shift
malam di pabrik bordir,” jelasku pada Kaela. Dia menatapku tak percaya. “Yah,
pergi ke Eropa kan nggak gratis.”
“Sumpah. Kalian cocok
banget. Sudah tukang tidur di kelas, tukang mimpi juga.” Meski sudah kujelaskan
berkali-kali, masih ada juga yang merasa mimpi itu mustahil. Namun, aku sudah
belajar bahwa kita tidak bisa memaksakan pendapat kita. Menoleransi adalah cara
terbaik. Sekarang zaman demokrasi, Bung! Hehehe.
“Kubilang biarin. Kami
berani punya mimpi dan berani juga mewujudkannya,” kataku mantap. Sekaligus menantangnya.
Hanya Kaela cukup tidak peka untuk hal tersebut. Dia tahan ledekan, sih.
“So, kapan rencananya
kalian berdua pergi?” tanyanya sambil memperbaiki posisi duduk. Aku juga
menghadap lurus ke depan. Kami takut ketahuan sedang mengobrol.
Aku menjawab sambil
berbisik. “Semester depan kami ambil cuti dan memulai perjalanan bulan Mei.”
“Wow.”
“Memang wow.”
Sebenarnya selain bekerja
di pabrik bordir, Milo juga bekerja di bengkel di akhir pekan. Sedangkan aku
bekerja di tempat Tante Fatimah lebih intensif. Aku digaji dengan cukup diluar
angka sehat. Cukup besar karena Tante Fatimah tahu rencanaku dan Milo akan ke
Eropa. Jadi, aku sedikit makan gaji buta, tapi Milo mengizinkan kok.
Bagaimana dengan
orangtuaku? Untung saja mereka mengerti bahwa prestasi itu tak hanya di bangku
kuliah. Kuliah memang nomor satu, tapi bukan segalanya. Terpenting adalah kita
punya pengalaman dan kemampuan melakukan sesuatu. Backpacking ibaratkan lumbung bagi hal-hal tersebut. Apalagi
setelah membaca buku Keliling Eropa 6 Bulan
Hanya 1000 Dolar dari penulis Marina Silvia K. Jika cewek ini backpacking sendiri, kami akan
melakukannya berdua.
Berdua tentu lebih baik.
Seperti angka sebelas yag terdiri dari dua angka 1. Jika 1 sendiri maka akan
kesepian. Sedangkan 11 tentu lebih baik. Mungkin filosofi dan analogi yang
aneh. Hanya saja momen di bus nomor sebelas begitu membekas bagiku. Kuingat
lagi wajah memerahnya Milo.
Mitos kekuatan bus itu
mungkin saja bukan mitos. Aku bisa mengaitkannya dengan kisah cinta kami.
Setidaknya saat saling berhadapan dan menyentuh di bus, kami tahu perasaan
masing-masing. Tak salah namanya Bus Cinta.
Sebuah sore di hari Minggu. Aku datang ke rumah Milo membawa sebungkus
nasi goreng buatanku sendiri. Aku belajar masak supaya nanti disana bisa membantu
host yang akan menampung kami di
Eropa. Paling tidak kami bisa bantu-bantu sedikit. Selain itu memperkenalkan
budaya Indonesia. Cultural exchange adalah
salah satu tujuan mulia backpacking.
Milo yang sehabis bekerja di bengkel dan
kelelahan menyantap makanan itu dengan lahap.
“Enak sekali!!” katanya
sambil mengacak rambutku.
“Syukurlah!!” kataku
membalas mengacak rambutnya yang berminyak.
Dia menatapku
lekat-lekat. “Kamu nggak pakai cermin sebelum kesini, ya? Ada jelaga di
dagumu.” Tangannya menyentuh daguku membersihkannya. Mungkin ini jelaga periuk
yang kugunakan untuk memasak.
“Terima kasih.”
Setelah makanannya habis,
Milo mulai menggerakkan ayunan tempat kami duduk. Dia kuat sekali, padahal
sudah kerja keras di bengkel. Tidak seperti aku yang lelah dan hanya bisa
bersandar ke bahunya.
Dia memang pantas menjadi
pelindungku nanti di Eropa. Posturnya yang tinggi tak kalah besar dibanding
orang Eropa. Aku percaya kami akan selamat disana sampai pulang ke Indonesia.
“Eh, jangan tidur, dong!”
kata Milo menggoyangkan bahunya. Aku terusik.
“Suasana mendukung buat
tidur tahu!”
Dia terkekeh. “Tukang
tidur…”
“Kamu juga!!”
“Aku tadi buka Facebook. Komentar tentang kita akan backpacking disana lebih seru dari
kemarin, tapi mencengangkannya sebagian besar mendukung kita.”
“Mungkin mereka butuh
waktu untuk merenungkan pendapat mereka. Lihat, kan? Waktu akan menunjukkan apa
yang akan terjadi seharusnya.”
Dia membelai rambutku.
Lalu berkata, “Mei 2011 beberapa bulan lagi. Aku sudah tak sabar ingin merasakan adrenalin ke
sana. Aku yakin kita akan merasakan kebahagiaan, pengalaman, cerita baru, teman baru, memotret
kehidupan yang berbeda dengan kita, dan merasakan romentisme kota-kota kuno
abad pertengahan.”
“Aku ingin kita ke Paris,
menara Eiffle,” kataku.
“Oke,” jawabnya mantap.
“Kita akan datang ke
universitas-universitas di Jerman,” usulku lagi.
“Tak masalah,” sahutnya
lagi.
“Aku juga mau ke Belanda
melihat taman tulip disana.”
“Tentu saja,” suaranya
begitu yakin.
Aku percaya dengan
kekuatan cinta kami, semua kota indah disana akan kami tapaki. Berdua.
“Dan aku juga mau membuka
akun Facebook di sana dan menulis
seperti ini…
“Hei, Milo dan Lila lagi pesta barbeque di rumah Host di Berlin. Orang-orang sini cakep-cakep, lho. Kalian
ngapain liburan, ngambil Semester Pendek?? Cape dehhh…”
Kami berdua tertawa.
Kamu memang tidak bisa tidak bermimpi,
dan kamu juga tidak bisa membiarkannya berdiri di sana, di sudut hatimu. Kamu
tak bisa menghiraukannya. Dia membutuhkanmu dan kamu membutuhkannya untuk bergerak maju. Hanya kalian membutuhkan sebuah tali bernama
kepercayaan. Percaya pada diri dan pada cinta. Karena…
Love is Believing Your
Dream..
No comments:
Post a Comment