Sunday, January 1, 2012

BUKAN PENGEJAR MIMPI


Dulu aku menulis setiap hari. Setiap saat di pikiranku berputar-putar ide-ide cerita yang mungkin bisa kutuangkan ke atas kertas. Aku kadang menghubung-hubungkan segala hal yang terjadi setiap hari. Seperti suara aneh anjing menggonggong yang membuatku teringat tentang “kata orang” bahwa anjing yang bersuara serupa itu pasti sedang melihat setan, atau kebetulan setan lewat. Paginya aku akan menulis sebuah cerpen. Meski tak selesai.
Paling tidak aku menulis.
Dulunya aku sangat bercita-cita menjadi penulis. Selesai sekolah di SMA aku akan lanjut ke Fakultas Sastra. Kemudian menjadi bagian dari komunitas penulisan, pecinta sastra dan buku. Selanjutnya ikut kegiatan ini-itu mengenai kepenulisan. Aku akan menjadi sastrawan yang menulis puluhan buku, menghadiri seminar atau bedah buku. Rambutku akan gondrong, aku merokok lebih dari sebatang sehari, kemudian terserang insomnia dan tubuhku perlahan-lahan butuh obat-obatan agar bisa beraktivitas normal. Lalu aku mencari pemukiman di tepi kota yang kupikir masih asri dan membuat karya di sana. Mudah-mudahan mendapat penghargaan dari masyarakat pecinta sastra. Aku semakin bersemangat menulis dan menghasilkan buku hingga ajalku tiba. Istriku yang bekerja di teater setia bersamaku, anakku ada sepasang, memberikan cucu-cucu yang aku tak yakin akan suka membaca buku.
Andai aku seperti itu, tapi semua hanya impian. Saat aku melihat pada pantulan wajahku dicermin pagi ini, aku sadar, bahwa aku masih di dunia nyata. Aku adalah apa yang kulakukan sekarang. Semua tentang menulis adalah apa yang seharusnya menjadi bagian masa lalu. Tak perlu di ungkit.
Aku tidak menulis lagi.

“Benar, kan, Mikail?”
Aku bangun dari lamunku. “Ya?”
“Mengenai masalah utama menurunnya omzet kita di kawasan Sumatra Utara, Riau, dan Sumatra Barat?”
Setiap pasang mata mengarah padaku, termasuk Pak Dino, bosku, yang masih menunggu sebuah jawaban.
“Ya, tentu saja.”
“Saya hanya menguji apakah Anda fokus, Mikail. Kuharap masalah perusahaan kita masih menjadi salah satu hal yang Anda pikirkan, selain masalah pribadi Anda. Khususnya saat ini.”
Kudengar tawa kecil beberapa orang. Bahkan ada yang terang-terangan mengejekku. Tidak hanya di zaman sekolah dulu, di dunia kerja pun selalu ada persaingan dan kompetisi antar personal. Jangan harap menemukan tipe baru di sini. Masih ada tipe-tipe penyontek, penjilat atasan, orang yang suka menusuk dari belakang, walaupun masih banyak yang baik, berpretasi dan bisa bekerja sama. Keluar dari dunia sekolah ke dunia kerja hanya seperti mengganti judul cerita, isi tetap sama.
Padahal masalah pemasaran di tiga wilayah di Sumatra itu bukan tanggung jawabku. Memang, seharusnya aku tidak melamun selagi rapat begini. Pak Dino pasti ingin aku lebih aktif karena ideku yang kuterapkan di wilayah pemasaranku, di Kalimantan, berhasil, sedangkan di Sumatra tidak.
“Ini menyangkut etnografis, Pak. Konsumen Sumatra lebih loyal dalam memakai produk dari suatu perusahaan. Kita sebagai pemain baru di produk ini sebaiknya lebih gencar dalam promosi dan iklan. Kerja sama dengan stasiun TV lokal dapat membantu.”
Pak Dino mengangguk mendengar penjelasanku.
“Selain itu, kita adakan beberapa acara yang mampu membuat masyarakat lebih mengenal produk kita.”

Di sinilah aku. Diberi tiket perjalanan dinas, dan ekskursi, dari perusahaan sebagai bonus atas apa yang telah kulakukan. Perjalanan ke Sumatra. Sekaligus mengawasi kegiatan yang kami diadakan di beberapa kota. Padang, Bukittinggi, Medan, Pekanbaru, dan Palembang. Sebagian besar acara adalah konser, selain pelayanan kesehatan gratis.
Vit4U, nama produk PT E.M., tempatku bekerja, perlu diselamatkan pemasarannya. Produk ini memang baru di wilayah minuman isotonik bervitamin. Kami perlu ekstra kekuatan dan ide kreatif inovatif agar tidak tenggelam dibandingkan saingan kami yang lebih mapan. Slogan yang kami pakai adalah “Fit for Day, Fit for Night, Vit4U”. Kami ingin konsumen paham bahwa kesehatan harus dijaga sepanjang hari, dan minuman ini bisa membantu.
Acara di Bukittinggi yang digelar di lapangan Wirabraja, atau warga lokal dsini menyebutnya Lapangan Kantin, cukup sukses. Kotak Band dan Petra Sihombing cukup membuat animo masyarakat untuk datang tinggi sekali. Penjualan minuman disini juga lumayan.
Aku kembali ke stand pelayanan kesehatan gratis dan duduk di sebuah bangku. Beberapa karyawan menyapaku ramah. Aku kecapekan dan butuh minum Vit4U untuk mengembalikan stamina (sekalian promosi, hehe).
Saat aku meneguk minuman rasa lemon itu aku menangkap wajah “itu”.
Wajah yang entah kenapa begitu mirip dengan seseorang dari masa lalu.
“Anne?” nama itu spontan saja tersembur dari mulutku. Dia menoleh padaku.
Memang dia!
Awalnya dia tidak mengenaliku. “Aku Mikail Putraka. Ingat!”
“Tentu saja aku ingat! Aku hanya kaget bisa melihatmu disini!”
Kami pun bersalaman.
Dia masih seperti dulu, masih secantik kala kumulai mengenalnya di SMA. Aku masih bisa menelusuri rambutnya yang halus dan wajahnya yag selalu dirias natural. Dan tak bisa dipungkiri aku masih mengaguminya, atau memujanya… aku bahkan masih ingat kalau kami pernah hampir menjadi pasangan.
Hampir.
“Aku karyawan di perusahaan yang memproduksi minuman ini,” kataku sambil berpromosi.

Kami memilih pergi ke sebuah rumah makan Padang di dekat lokasi konser. Walau sering makan masakan Padang, baru kali ini aku makan di kota Bukittinggi yang terkenal dengan Jam Gadangnya. Apalagi dengan wanita cantik yang memberiku kenangan SMA yang indah. Meski hanya sebentar.
Annemarina Kialu, teman sekelas di tahun akhir SMA, namun semua orang sudah memuja dia sejak dia kelas satu. Anne berasal dari keluarga terpandang, ayah seorang dokter bedah terkenal  dan ibu direktur di sebuah bank swasta. Dikeluarganya setiap anak lelaki menjadi dokter, dan anak perempuan ahli di bidang ekonomi serta bekerja di perusahaan raksasa.
Aku penasaran, di perusahaan mana dia bekerja sampai harus tinggal di kota kecil ini?
“Aku guru taman kanak-kanak,” jawabnya santai sambil tetap makan rendang.
Tanpa sengaja aku tersedak, kemudian buru-buru meraih gelas sampai-sampai wadah untuk mencuci tangan kusenggol hingga airnya tumpah.
“Oh, shit!” Aku berdiri.
Anne memberikan serbet dan membantuku membersihkan genangan air di meja. Celanaku basah dan aku seperti habis mengompol. Dia tertawa melihatku.
“Lucu, heh?”
Dia menggeleng.
“Tertawa saja terus. Aku mau lanjutkan makan. Tertawa diatas penderitaan orang…”
“Tetap seperti itu.”
Aku mendongakkan kepala. “Apa?”
“Kamu ekspresif. Bahkan lebih dari sekedar itu, memangnya apa yang membuatmu kaget dari jawabanku tadi?”
Aku berani bertaruh dia tahu apa jawabanku. Sebelum aku menjawab, dia sudah mulai berbicara lagi.
“Aku memang seharusnya menjadi manajer, atau akuntan, atau bekerja di pemerintahan atau apalah yang orangtuaku katakan. Tapi aku membuat keputusan bagi diriku sendiri.”
Dia sudah selesai makan, sedangkan aku masih berkutat dengan rendang yang agak susah digigit. Butuh tenaga banyak bagi rahangku.
“Aku menyukai anak-anak dan cinta mengajar mereka,” tambah Anne. Bisa kulihat matanya yang berbinar.
“Keluargamu menyetujui?”
“Menurutmu?” Kemudian dia tersenyum. “Aku pergi dari rumah. Pergi ke mana saja yang bisa memberiku kebebasan. Hingga di sini. Bukittinggi kota yang cukup tenang dan nyaman. Meski akhir-akhir ini suhu naik terus. Global warming, kan?” Dia terkekeh.
“Kamu sangat menikmati pekerjaanmu sekarang tampaknya.”
“Tentu saja. TK tempatku bekerja punya program khusus bagi anak dari keluarga yang tidak mampu. Senang sekali bisa membantu secara langsung. Aku bisa saja memakai ijazah Sarjana Ekonomiku dan menyenangkan orangtuaku, tapi kalau aku tak memenuhi panggilan hatiku sebagai guru… aku hanya akan berandai-andai selamanya.”
Andai…. Andaikan saja aku tetap meneruskan passion pada menulis…
Kata-kata andai terngiang di telingaku.
“Kamu bagaimana?” tanya Anne. “Sepertinya sukses sekali.”
“Hanya karyawan biasa. Yah, pergi pagi pulang malam, 9 to 5… apalagi Jakarta yang lalu lintasnya masih seperti itu. Dikota ini kujamin tak pernah macet.”
“Iya, sih, tapi kamu harus lihat seberapa semrawutnya pasar disini.”
“Dimanapun pasar pasti semrawut!”
Selanjutnya kami janjian untuk bertemu esoknya.

Anne pernah mempunyai pacar di SMA. Sebagai cewek yang menarik hati semua orang dia pantas mendapatkan yang terbaik. Itulah Zardi, tipikal cowok yang jadi pujaan para cewek di SMA. Sebut saja kriteria cowok ideal para remaja, itulah yang ada pada diri Zardi. Dia jatuh cinta pada Anne, Anne pun menyambut cinta itu.
Sayangnya, Zardi terlalu over possessive. Menurutku ini semua karena sifat perfeksionis. Dia menginginkan semua hal untuknya. Semua atau tidak sama sekali. Banyak orang perfeksionis gagal dalam sebuah hubungan. Kadang malah ada yang tidak bisa menjalani hidup akibat menuntut sebuah dunia yang ideal.
Padahal tak ada “ideal” di dunia nyata.
Setiap orang yang tampak sempurna pasti memiliki ketidaksempurnaan yang melengkapinya sebagai manusia. Titik.
Sekali, aku tak sengaja melihat mereka bertengkar di kelas 2. Saat itu aku ditugaskan mengambil perlengkapan pelajaran olahraga. Mereka bertengkar di samping ruang peralatan olahraga. Zardi menampar Anne beberapa kali dan memaki cewek itu tanpa ampun. Padahal Anne berkali-kali meminta maaf dan menyuruhnya berhenti.
Aku terkejut, ingin menolong tapi takut dibilang lancang mencampuri urusan orang lain.
Aku menatap bola basket ditangan, kemudian dengan sengaja menantulkannya hingga ke arah mereka. Sadar karena ada orang yang melihat mereka, Zardi mengajak Anne pergi dari situ. Anne menolak dan dia berusaha melepas tangannya dari cengkraman pacarnya. Selanjutnya, aku melihat Anne berlari ke arahku, tapi hanya melewatiku begitu saja…
Aku masih ingat wajahnya kala menangis.

“Kamu belum menikah?” Anne bertanya.
Aku menggeleng.
“Pasti sudah punya pacar…”
“Pernah, tapi kami baru saja putus…”
“Ohh…”
Sekarang, aku ingin dia menjadi pacarku…. Atau istriku.
“Kamu?”
Dia cuma tersenyum.
Kami menikmati pagi di hari Minggu ini dengan lari pagi sekitar kawasan wisata Bukittinggi. Kami melewati Jam Gadang, kawasan Benteng, Kampung Cino, dan Bukit Apit. Hingga sampai di sebuah kedai Pangsit Bukit Apit. Disinilah kami menikmati makanan lagi.
“Kenapa tersenyum saja, jawab dong.”
“Masih sendiri juga.” Dia tampaknya tersipu.
Aku bergetar, sebagai laki-laki aku tahu ini saat yang tepat untuk menggodanya. Aku bisa saja merayu, tapi entah kenapa Anne menjadi orang yang harus kulindungi bahkan dari diriku sendiri.
Matanya bertemu mataku, meski kami berada di tempat yang jauh dari suasana romantis, aku merasakan dinginnya Bukittinggi dihangatkan oleh aura tubuh Anne. Sesuatu bergejolak di perutnya, seperti tiap kali aku merasakan… apa namanya, ... CINTA?
“Masih ingat dengan insiden buku catatan?”
Aku tak kan pernah lupa.

Akhirnya setelah dua tahun hanya mengagumi dari jauh tapi bukan jadi penguntit, aku dan Anne sekelas di tahun senior. Dia menjabat sebagai sekretaris kelas dan aku ketua kelas. Kami sering menghadiri rapat OSIS sebagai perwakilan kelas. Pacarnya masih tetap Zardi, yang tak pernah habis kupikir kenapa dia masih bertahan dengan cowok itu.
Zardi wakil ketua OSIS dan kami juga sering rapat dengannya. Selalu dia melayangkan pandangan kurang suka terhadapku. Aku yang dasarnya pendiam tidak mau mencari ribut.
Awal tahun ajaran berarti kelas baru, komposisi kelas yang berubah, juga Anne yang menghabiskan banyak waktu bersamaku, walau secara tidak langsung. Tahun ketigaku kuprediksi akan menyenangkan. Aku juga menemukan kegemaranku, menulis fiksi dan puisi. Kuhabiskan sebuah buku tulis dengan coretan tanganku. Aku menulis apa yang ingin kutulis… aku menulis tentang Anne.
 “Kail!”
Anne mendekatiku sambil terengah-engah. “Anne?” Kulihat dia tidak memakai seragam sekolah pagi itu.
“Kucari kemana-mana malah disini.”
Dia mungkin bisa membaca keheranan yang tergambar jelas di wajahku.
“Hari ini bolos masuk kelas, aku harus mewakili sekolah untuk lomba debat bahasa Inggris. Nanti aku mau pinjam catatanmu.”
“Eh?”
“Jangan lupa ya nyatat yang lengkap pelajaran nanti. Terus, doakan aku menang! Bye!” Dia berlari menuju bus yang siap mengantarnya ke lokasi lomba.
Dengan patuh aku mencatat semua pelajaran hari itu. Demi Anne aku pun bersedia menunggunya kembali ke sekolah.
“Wah, kamu baik sekaliii…! Maaf merepotkanmu.” Anne langsung memasukkan bukuku ke ranselnya. “Tapi aku harus pergi lagi. Ada janji mengambil pesanan kebaya mama di pasar.”
“Tak masalah. Hati-hati, ya!
Mungkin kalian bisa menebak, buku yang kuberikan adalah buku yang keliru. Bodohnya aku baru mengetahui di malam hari saat tak kutemukan buku menulisku di kamar.
Anne pasti sudah membacanya.
Aku menelpon Anne.
“Maaf, aku salah memberikan buku…”
Dia terkekeh. “Tulisanmu bagus, Mikail.”
Kurasakan dalam hati ini kehangatan. Aku berdebar.
“Kamu berbakat… tapi, sebaiknya kamu menyampaikan sesuatu kepada orang yang namanya tertulis disini, tentang isi hatimu…”
Aku tahu apa yang dia katakan, tapi aku tidak sebodoh sampai berpikir tidak rasional.
Anne milik orang lain, bukan aku.

“Jadi bagimana kelanjutan cita-citamu? Sudah menulis berapa cerpen di media massa? Buku?”
Aku hanya menatap wajahnya. Mungkin dia bisa membaca lagi isi kepalaku. Apa aku terlalu “an open book”?
“Kupikir kita sudah saling berjanji untuk mengejar apa yang kita impikan saat di SMA. Aku melakukannya. Kenapa kamu tidak?” Keningnya berkerut.
Karena aku hanya tahu realita.
Aku punya impian, aku tahu impian itu seharusnya kukejar. Aku sudah membaca berbagai buku tentang kekuatan pikiran, bagimana mengusahakan berfikir positif dalam hidup. Tapi, aku tak akan bisa menjadi seorang penulis. Aku mempunyai orangtua yang menaruh harapan besar padaku. Mereka ingin aku jadi karyawan di perusahaan bagus. Memiliki gaji dengan jumlah tetap setiap bulannya agar bisa membantu keuangan keluarga atau membantu biaya sekolah adik-adikku. Aku tak akan mungkin bisa begitu saja mengecewakan mereka.
Aku pengecut. Aku begitu takut tentang masa depan.
Aku bodoh.
“Semua hal yang kamu inginkan, asalkan baik dan menyenangkan hatimu, kejarlah. Jangan menyerah meski banyak halangan dan rintangan. Tiada kegembiraan yang begitu nikmat tanpa melewati kesusahan di perjalanan menuju impian. Aku masih ingat kata-katamu, Mikail!”
“Jadi, aku harus bagaimana? Kumohon Anne, tak usah ungkit lagi mengenai impianku jadi penulis. Aku sudah bekerja, mapan dan bahagia.”
“Tidak. Kamu tidak menikmati pekerjaanmu.”
“Maaf, pembicaraan kita sudah melenceng…”
“Dan kamu juga melupakan satu hal… kamu tidak tahu penyebab lain yang membuatku mengejar impianku?”
Aku tidak tahu.
“Kamu!”
“Aku?”
Anne menangis, dia menutup hidungnya dengan tisu. “Kamu tidak datang di saat kita berjanji.”
Aku tersambar petir. Aku ingat… aku tahu aku ingat… aku tahu kalau aku ingat bahwa aku berfikir janji itu hanyalah omong kosong saja. Aku sekedar mengangankan dan Anne menganggapnya serius?
“Benarkah? Kamu datang ke taman itu meungguku? Setelah lima tahun kita membuat janji itu?”
Tanpa menjawab pun aku tahu yang akan dikatakan Anne adalah “ya”.

Anne akhirnya putus dengan Zardi di semester terakhir sekolah. Anne beralasan dia butuh fokus belajar agar nilainya bagus. Zardi awalnya menolak, tapi setelah diyakinkan Anne mereka putus baik-baik. Aku sungguh lega mendengar itu sekaligus khawatir. Kesempatanku tidak ada lagi… aku hanya sekedar teman bagi Anne sampai kami tamat SMA, tak bisa lebih.
Aku dan Anne berada dalam satu kelompok belajar. Kami makin dekat, tapi hanya sekedar itu. Teman. Sampai kami mengobrol berdua tentang cita-cita. Aku, entah kenapa menjadi Si Omong Besar, mengulang kata-kata dari buku-buku yang pernah kubaca. Berpikir positif lah, berjiwa besar lah, kekuatan alam lah…. Pokoknya mengenai jika kita yakin akan sesuatu kita bisa meraihnya jika berusaha.
Kami membuat janji untuk bertemu di sebuah taman dan saling menceritakan mimpi yang kami wujudkan. Lima tahun dari waktu kami berjanji… di sebuah tanggal di bulan Agustus.
Kenyataannya aku terlalu penakut untuk menjadi apa yang kuinginkan.

Aku harus pergi ke kota selanjutnya besok. Percakapanku dengan Anne kuanggap sebagi nostalgia saja. Dengan baik-baik kukatakan kami sudah berubah. Kami telah melalui empat  tahun di kuliah, dan dua tahun dalam mengarungi karir. Kami tak akan pernah seperti dulu lagi. Sekarang yang terjadi, itulah yang harus dijalani.
Kukatakan padanya, “Aku lulusan Teknik Industri…, dan aku sudah tepat bekerja di sebuah perusahaan manufaktur. Aku menyukai pekerjaanku sekarang. Aku senang menjadi diriku kini.”
Meski impian memiliki Anne masih ada di hatiku, tapi tak akan mungkin tercapai.
“Kamu terlalu pesimis. Kamu tak bisa berfikir seperti itu terus mengenai kehidupan. Bukankah tak ada yang kita dapatkan tanpa berkorban? Kamu juga pesimis tentang cinta!
“Aku menantimu mengatakan kalau kamu cinta aku, hingga detik ini. Tapi… yang kudapatkan hanya kau yang ingin menjadi dirimu sekarang. Meninggalkanku dalam masa lalumu saja?”
“Maafkan aku Anne, kamu lebih pantas mendapatkan yang lain. Aku banyak salah padamu, contohnya janji itu tak kutepati.”
Dia memalingkan muka, “Cih. Terhadap dirimu sendiri kamu pesimis.”
“Aku memang terlalu banyak kekurangan!”
“Kamu tahu kenapa kita di temukan di kota yang bahkan tak penah terpikir sebelumnya akan pernah kita jejak? Aku percaya ini takdir! Kita disatukan oleh takdir!”
Aku tak tahu harus berkata apa lagi.

“Kita ucapkan selamat pada Mikail Putraka yang sudah membantu pemasaran kita jadi lebih baik. Saya telah merekomendasikan beliau pada dewan direksi dan dewan menyetujui pengangkatan jabatan Mikail sebagai manajer junior bidang marketing.”
Seluruh ruangan rapat dipenuhi suara tepuk tangan. Sedangkan aku kesulitan melengkungan senyuman di bibirku. Semua membingungkan. Aku tak tahu sampai kapan akan menjadi karyawan… mungkin sampai aku pensiun di usia enam puluh atau lebih… Impian lamaku tetap saja akan menjadi impian.
Aku memang bukan Sang Pemimpi, yang berhasil dengan kisah megah mengenai meraih impian. Aku hanya menyukai realita, kehidupanku sekarang.
Meskipun begitu, aku tidak pesimis lagi tentang cinta. Aku tak ingin menganggap seorang gadis yang kucintai hanyalah Putri Kerajaan yang tak akan pernah bisa kumiliki sepenuhnya.
Seperti yang dia katakan. Kami ditakdirkan.

No comments:

Post a Comment