Danny Matthew masih berdiri di depan
cermin, saat hapenya berdering. Dia langsung meraihnya dan menjawab panggilan.
“Oke,
aku ke bawah sebentar lagi.”
Dia
mengambil jaket dan memasang sepatu. Siap untuk pergi ke Red Bar bersama tiga
temannya. Mereka setiap pekan ke sana sejak menjadi mahasiswa enam bulan yang
lalu.
Dia
turun dari lantai sepuluh dengan lift. Di lobi asrama teman-temannya telah
menunggu. Eric River si pendiam, Josh Hawke si cerdas, dan Samuel Karnegi si playboy menyapanya lebih dahulu.
“Ayo
berangkat!”
Red Bar jadi tempat nongkrong paling
asyik di kota. Hampir semua mahasiswa menghabiskan malam akhir pekan disini.
Satu hal yang perlu kamu lakukan untuk menjadi anggotanya yaitu plantasi sebuah
chip RFI (Radio Frequency Identification)
di lengan kirimu. Ini seperti tanda pengenal yang lebih efektif daripada kartu
biasa. Siapa saja yang punya RFI, bisa masuk ke bar, restauran, atau hotel
tertentu di seluruh dunia, dan dapat diskon.
Tren
ini dikenal mahasiswa satu tahun yang lalu dan langsung disambut antusias.
Ramai-ramai mereka melakukan plantasi karena sudah teruji aman dan tak akan
merusak bagian tubuh manapun. Plantasi dilakukan sekitar satu jam dan istirahat
sehari penuh. Operasinya ringan dan tidak berbekas sedikit pun. Jangan kuatir
ada bekas jahitan di lenganmu.
Danny
dan tiga temannya juga punya RFI. Saat masuk ke bar mereka melewati palang scan tubuh dan komputer otomatis
mencatat nama mereka.
Bar
itu besar. Hari belum terlalu larut tetapi tempat ini sudah dipenuhi
orang-orang. Sam menawarkan diri memesan minuman dan yang lain mencari tempat
duduk kosong.
Danny
dan Josh terlibat percakapan seru tentang siapa yang akan terpilih menjadi
Ketua Mahasiswa. Mereka punya unggulan sendiri-sendiri. Kadang mereka berdebat.
Tapi setelah itu mereka menjelek-jelekkan beberapa dosen dan senior mereka yang
sok. Eric diam sambil mengedarkan pandangan. Dia melihat seorang cewek cantik
berambut ikal mendekati mereka. Eric tersenyum padanya.
“Hai,
Eric,” sapa cewek itu begitu saja. Dia duduk di samping Danny, yang
menyambutnya dalam pelukan. “Sudah lama, Dan?”
“Kami
baru sampai. Sam sedang mengambil minuman,” jawab Danny.
Sam
datang. Mereka mengambil minuman masing-masing. Stella mengatakan dia tidak
minum karena ada yang harus dilakukannya di perpustakaan malam ini. Buku-buku
baru sudah datang.
“Padahal
aku masih mau bersamamu,” kata Danny manja pada pacarnya. Dia cemberut, tapi
tak bisa berbuat apa-apa. Stella bekerja part
time di perpustakaan. “Tapi mau dansa sebentar?”
“OK,”
jawab Stella. Mereka turun ke lantai dansa dan menari.
Pacar
Sam dan Josh, Ann dan Lois, datang dan begabung bersama mereka. Di kelompok itu
hanya Eric yang tidak punya pacar. Teman-temannya tahu cowok tampan itu begitu
pendiam. Cewek-cewek kadang tak tahan dengannya. Saat kencan suasana sesepi
kuburan. Akhirnya semua menyerah mencomblangi Eric dengan siapapun.
Semakin
malam semakin asyik. Sayangnya Stella harus pergi. Danny masih berdansa sendiri
atau dengan cewek-cewek lain. Dia terkenal di kampus karena pernah menantang
senior. Dia jadi ikon pemberontak dan digilai cewek, tapi bukan playboy. Apalagi kelompok Danny selalu
menjadi trendsetter kampus.
Saat
dia menari bersama cewek lain, terdengar suara tembakan. Semua orang kontan terkejut, tak
terkecuali Danny. Suasana menjadi tidak terkendali karena si penembak membunuh
dua orang. Kenapa keamanan di sini lalai membiarkan orang berbahaya masuk? Saat dia melihat wajah
orang itu, Danny mengenalinya, Tomas Wheatt, teman SMU-nya dulu.
Tomas
berjalan dengan cara yang aneh. Seperti dia ingin berhenti namun tubuhnya tidak menurut. Wajahnya diliputi amarah. Danny tetap berdiri di
tempatnya dan tak berpikir kabur. Tomas tak mungkin membunuhnya, tak ada alasan
untuk itu. Tapi, siapa yang tahu isi pikiran orang yang bawa pistol?
Tomas
berjalan mendekati Danny dan menodongkan pistol. Danny cemas tapi bergeming seperti menantang. “Kau mau
membunuhku?”
Belum
sempat dia mendapat jawaban terdengar suara tembakan lagi. Kali ini membuat
pistol Tomas terlempar. Tembakan berikutnya merobohkan cowok itu. Danny terpana
dan lega bisa selamat. Keamanan berhasil meringkusnya.
Besok
paginya, berita ini disiarkan televisi dan Tomas dipenjarakan. Pihak Red Bar
berjanji akan memperketat penjagaan. Di akhir pekan berikutnya bar masih tetap
ramai, meski sebagian pelanggan tidak mau datang lagi.
Danny masih ingat rasa nyaris mati. Satu
tembakan saja bisa melubangi dahinya. Jika itu terjadi, mungkin dia tidak akan
berada di kampus lagi, mendengar ceramah Prof. Joaquin tentang perdamaian
dunia.
“Banyak perperangan di masa lalu terjadi dan masa depan mungkin masih ada.
Benturan kepentingan dan kekuasaan adalah salah satu hal yang wajar.” Di akhir
kuliah, Prof. Jaquin memberikan tugas membuat makalah.
Jam
makan siang, Danny bersama Stella.
“Aku
tak tahu kenapa dia ingin membunuhku juga. Aku bahkan jarang bicara dengannya.”
Danny mendesah, kemudian menggigit burger-nya.
“Dia
membunuh siapa saja,” kata Stella mencoba jawaban.
“Aku
baca di situs kepolisian kalau dua orang korban adalah teman si pelaku.”
“Kalau
begitu dia keliru memilih sasaran,” sahut Stella. “Sayang, jangan pikirkan hal
itu lagi. Jangan menyusahkan pikiranmu. Bagaimana kalau bicara tentang kita,
sebentar lagi libur ekstra. Kita bisa pergi kemping lagi.”
“Kamu
benar. Kemping? Bagaimana kalau ke pantai?”
Tiba-tiba
di luar kantin terdengar keributan. Orang-orang berlarian. Danny dan Stella
langsung beranjak untuk melihat keadaan. Di luar sana seorang cowok menggendong
cewek yang kepalanya berlumuran darah. Stella bertanya pada seorang cewek di
sampingnya bagaimana kejadiannya.
“Teman
cewek itu memukul kepalanya pakai hak sepatu runcing. Padahal mereka sedang di
kelas,” jawab cewek pucat itu. “Aku tak tahu kenapa terjadi. Pelakunya orang
baik-baik. Mereka bersahabat dan mustahil tiba-tiba saling bunuh. Ini kutukan
pada kampus ini.”
Danny
dan Stella sama sekali merasa ini bukan kutukan. “Kutukan? Oleh siapa?” tanya Danny bukan kepada
siapa-siapa.
Televisi kembali mengabarkan berita
menghebohkan. Tingkat kejahatan meningkat di seluruh kota. Ada pembunuhan di
tempat umum, rumah, kampus, bahkan seorang dosen tewas ditangan mahasiswa tahun
akhir bimbingannya. Kota tercekam. Orang-orang saling curiga pada yang lain
karena takut dibunuh.
Tomas
ditemukan bunuh diri di selnya. Juga beberapa pelaku yang ditangkap. Penjaga
penjara bersaksi tawanan kadang bergetar aneh dan menjerit. Akhirnya, kebijakan
penjara melarang pelaku dikeluarkan dari sel.
Dimana-mana
pembunuhan, darah, hunbungan yang renggang.
Laboratorium
universitas dan RS Julian mengadakan penelitian terhadap kasus ini. Hasilnya
diduga besar karena chip RFI yang tertanam di lengan kiri itu. Para pelaku pembunuhan memiliki chip
yang terlarut di dalam tubuh dan menyebar ke sel-sel saraf. Kandungannya dapat
mengacaukan saraf dan otak. Efeknya timbul hasrat untuk membunuh akibat dendam.
Ternyata pelaku membunuh korban yang dibencinya semasa hidup.
Danny
berkesimpulan Tomas membenci dirinya. Memang Danny pernah mengejek Tomas selama
di SMU. Kalau begitu dia harus hati-hati terhadap orang yang pernah
disakitinya.
Danny kesal setengah mati karena
makalahnya ditolak oleh Prof. Joaquin. Dia tanya alasan profesor, dia tidak terima kerja kerasnya ditolak.
“Kamu
tidak mengerjakannya dengan sepenuh hati, Danny,” kata Prof. Joaquin tenang.
Pengalaman hidup mengajarinya bahwa emosi itu bisa dikendalikan.
Sedangkan
Danny masih belum genap dua puluh tahun dan darahnya panas. “Prof seperti Tuhan
saja tahu hatiku.”
“Aku
hanya ingin kamu memperbaiki makalah dan kita lihat kesungguhan hatimu. Aku
ingin makalah itu sempurna.”
“Tapi,
waktu saya akan tersita dan tidak bisa melakukan hal lain.”
“Aku
ingin kamu seperti papamu.”
Papa
Danny juga mengambil mata kuliah yang sama, dan
dia lulus dengan nilai sempurna.
“Aku
adalah aku!!”
“Kuingin
kamu meniru semangatnya, bukan menjadi dia.”
Danny
masih kesal tapi tak bisa berbuat apa-apa. Dia harus lulus dan mendapat nilai
lebih baik dari papanya.
Melakukan hal sepenuh hati, sepertinya
sulit dilakukan. Apalagi untuk sebuah tugas yang … hanya tugas. Mungkin riset
dan kepustakaannya kurang. Atau bahasanya yang kurang lancar. Entahlah.
Akhirnya Danny memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Dia akan menemui Stella
lalu meminta pendapatnya tentang makalah ini.
Stella
punya kantor kecil di belakang pustaka. Di sana dia bertugas mencatat buku yang
masuk dan mengolah data statistik perpustakaan. Di kantor itu pula Danny dan
Stella sering bersama. Tanpa ragu, Danny menuju ruangan itu.
Namun,
dia terkejut…
Pintunya
sedikit terbuka dan Danny bisa mengintip dalamnya. Ternyata Stella tidak sendiri. Dia bersama orang
lain, dan dia Eric. Mereka... berciuman. Kekagetan
Danny saat itu lebih parah daripada ditodong sepucuk pistol.
Danny
tak langsung bereaksi, sejenak dia diam, lalu pergi. Hatinya bergemuruh.
Hatinya hancur. Mungkin hal yang sepenuh hati dilakukan Danny adalah mencintai
Stella, tapi cewek itu tidak. Sepenuh hati untuk sebuah pengkhianatan? Kenapa
tidak untuk sebuah kebanggaan? Danny berharap dia bisa membuat makalah yang
sepenuh hati.
Danny mematikan TV dan mulai membaca
buku referensi. Dia duduk di tepi jendela yang menawarkan pemandangan alam
pegunungan yang indah. Di sana dia pernah kemping bersama Stella dan kelompoknya. Dia
percaya tak akan ada kemping lagi.
Untuk
mengusir lamunan itu, Danny meminum kopi buatannya. Tekadnya adalah membuat Prof.
Jaquin dan ayahnya bangga.
Berita tentang RFI terkontaminasi tetap
menjadi headline. Setelah dicek,
orang-orang yang RFInya rusak dan larut melakukan plantasi sekitar dua sampai
empat bulan yang lalu. Walikota menghimbau warga yang diplantasi dalam jangka
waktu tersebut untuk mengecek ke rumah sakit atau laboratorium. Disana mereka akan diberi obat untuk
pencegahan hal yang tak diinginkan.
Stella
tidak tahu kenapa Danny menjadi begitu dingin. Apakah Danny tahu tentang dia
dan Eric? Tidak mungkin. Dia tahu jadwal Danny dan mereka tak pernah ketahuan, setidaknya selama
ini. Aneh sekali Danny memintanya untuk tidak menelpon hanya karena harus menyelesaikan tugas kuliah. Stella berusaha keras menerima
alasan itu.
Siang
itu, dia ke rumah sakit untuk mengecek RFInya yang diplantasi tiga bulan lalu.
Untung saja tidak sempat larut. Kata dokter, korban RFI larut dipengaruhi
emosi. Semakin sering mengeluarkan emosi yang kuat, semakin besar kemungkinan
RFI akan larut di saraf.
“Silakan
ambil obat ini dan minum tiga kali sehari dengan air hangat,” kata perawat
sambil memberikan kantong obat pada Stella.
Stella
tidak tahu apakah Danny sudah ke rumah sakit. Dia dilarang menelpon. Tapi masa untuk bertanya itu saja
tidak boleh? Dia bikin tugas apa sih?
Hape
Danny tidak aktif.
Stela
ingin ke asrama Danny, tetapi tak sempat karena banyak tugas di perpustakaan
yang harus dilakukannya. Akhirnya dia menelpon Eric.
Danny sulit fokus karena bayangan
kejadian itu menghantuinya. Dia sulit menulis sepenuh hati. Dia makin bingung
dan mengurung diri di kamar seharian. Keluar hanya untuk kuliah dan makan.
Teman-temannya heran dengan sikap aneh Danny. Eric berfikir Danny tahu tentang Stella, hanya saja
dia tidak mungkin membicarakannya.
Emosi
itu bercampur baur di dada Danny. Pertama, dia sulit melakukan hal sepenuh
hati. Kedua, dia ingin papanya berhenti pengaruhi hidupnya bahkan setelah dia
tiada. Ketiga, Stella tidak mengunjunginya atau mengakui kesalahannya. Empat,
dia muak melihat Si Pengkhianat Eric.
Emosi
itu muncul tenggelam. Danny menepisnya dengan nonton film lucu atau baca komik.
Namun, hatinya kacau balau.
Suatu
malam, di tengah malam, saat dia tak bisa tidur, Danny mendengar sebuah suara
asing di kamarnya. Dia mengedarkan pandangan, tapi tak ada sosok. Hanya suara
yang berkata suatu yang tak jelas. Dia merasa dirinya sudah gila.
Danny
masih punya waktu dua hari sebelum mengumpulkan tugasnya. Setengah lagi dia
merampungkan tugas itu. Lelah bergadang, Danny tidak kemana-mana. Dia mengurung
diri di kamar dan tidak menerima tamu.
Suara
itu muncul lagi. Samar, ucapannya sulit ditangkap. Danny mencoba fokus agar dapat mendengar dengan jelas.
“Bunuh saja dia!”
Danny
tersentak. Lengan kirinya terasa sakit. Suara itu berkata lagi di kepalanya.
“Bunuh siapa?” tanya Danny.
“Orang yang kamu benci. Mereka pantas mati,”
sahut suara asing itu.
Tubuh
Danny serasa dikontrol orang lain. Dia mengambil hapenya dan menelpon. Stella
menjawab di seberang.
“Bisa
kamu ke kamarku, Stel?” pinta Danny.
Stella
menyanggupi.
Stella tidak memprediksi apa-apa saat
Danny membuka pintu untuknya. Semua tampak normal sampai Danny tiba-tiba
membekap mulutnya. Stella berteriak tapi tak bersuara.
“Kenapa
kamu bisa tega padaku, Stel? Dia temanku!”
Stella
ingin mengucapkan maaf tapi hanya bisa terisak. Lengannya dikunci Danny dan itu
menyakitkan. Apakah Danny terkontaminasi RFI larut?
“Sepenuh
hati aku mencintaimu. Semua jadi tak berarti saat kulihat kalian berdua. Aku
hancur, Stel. Kamu hancurkan aku.”
Stella
menendang kaki Danny sekuat tenaga dan secepatnya melepaskan diri.
“Maafkan
aku, Dan. Aku bersalah. Semua terjadi begitu saja. Dia mencintaiku,” kata
Stella menjaga jarak dengan pacarnya.
“Dan
kau?”
“Tentu
aku cinta kamu.”
“Bohong!”
teriak Danny bersamaan dengan suara asing yang berkata, “Bunuh dia!”
Danny
menyerang Stella dan mencekiknya. Stella meraih apapun di dekatnya. Dia memukul
kepala Danny dengan sebuah hiasan dari kayu. Danny terhuyung dan dahinya
berdarah.
Danny
mengejar cewek itu lagi. Stella berusaha meloloskan diri sampai dia pikir cowok itu kelelahan
saat menghilang ke dapur.
Ternyata Danny mengambil sebilah pisau. Wajah Danny tampak lebih ganas.
Stella berlari lari, tapi seberapa pun kuatnya dia, akhirnya Danny bisa mencengkeram Stella dan mendorongnya ke
dinding. Satu gerakan pisau sanggup merobek perut Stella. Tapi, pisau itu malah jatuh
berkelontang ke lantai.
“Kumohon, berhenti! Aku tak bisa bunuh Stella,” rengek Danny pada suara asing.
“Aku mencintainya.”
Stella
terhenyak di depan Danny. Tangan cowok itu masih menguncinya. Saat dia merasa
longgar cepat-cepat dia menyingkir.
Danny
menjerit agar suara asing itu berhenti. Kepada Stella, dia menyuruh gadis itu pergi.
“Pergi Stel, aku bisa membunuhmu. Tolong kurung aku dikamar ini.”
Stella
bingung, tapi tetap melakukan apa yang disuruh Danny. Dia mengunci Danny dan menelpon Eric. Dia
ceritakan semuanya. Eric janji akan datang secepatnya.
Stella
menangisi kebodohannya. Dia mengkhianati Danny yang sepenuh hati mencintainya.
Untuk apa mencari kenikmatan lain kalau ada yang terluka? Kenapa dia begitu
jahat?
Suara
teriakan Danny terdengar samar. Stella ketakutan. Saat Eric tiba, terdengar
suara kaca pecah dari dalam. Langsung dua orang itu masuk dan melihat satu jendela rusak. Kacanya pecah.
Stella dan Eric perlahan-lahan
mendekati jendela. Banyak darah di sana.
Stella mengalihkan pandangannya ke
Eric. Dia takut dengan pikirannya sendiri. Dia bisa menebak apa yang terjadi
tapi... tak mungkin! Danny tak mungkin berbuat konyol seperti melompat dari
jendela.
Eric mencoba menenangkan Stella. Dia
melarang cewek itu ikut melihat apa yang ada di bawah sana.
Tubuh Danny terbaring di atas tanah.
Hancur
dan berdarah.
Tangis
Stella kontan menggema ke segala penjuru.
Dimuat di Story Teenlit Magazine, November 2009
Dimuat di Story Teenlit Magazine, November 2009
kesel banget sama stella asdfghjkl dan feel-nya kerasa banget pas Danny bunuh diri demi cewe yang udah selingkuhin dia. dan Eric diam2 menghanyutkan, tiga perpaduan yang bikin nyesek pas baca cerita ini. tapi secara keseluruhan cerita ini bagus dan realistis, terutama bagian RFI yang membuat kacau saraf. salut buat kakak yang udah nulis cerita sekeren ini :) ditunggu ya kak karya2 selanjutnya.
ReplyDeleteTerima aksih sudah baca, Asha :D
ReplyDeleteIni cerpen pertamaku yang masuk majalah Story, jadi masih banyak kekurangan, ya? :D
Wah, terima kasih ya mau menunggu. :)