Sunday, November 30, 2014

Makan Malam Istimewa

Jam 09.43
Layar komputer menampilkan posting form di www.blogger.com setelah aku mengklik new post di beranda akun blogku. Aku segera memainkan jemari—mengetik dengan sebelas jari—hingga kata-kata dalam otakku mengalir menjadi sebuah tulisan.

Hari ini sangat spesial bagiku.

Aku mengawali...
            Perasaan yang menyenangkan membuncah dalam dadaku. Aku tersentuh sensasi yang menggelitik sudut-sudut bibirku untuk mengulas senyum. Tak mampu menyembunyikan kebahagiaan ini. Dia hadir secara natural.
            17 Mei, setahun yang lalu, menjadi hari yang bersejarah bagiku. Kini, tanggal yang sama, adalah keajaiban yang membuatku takjub. Ini sudah satu tahun. Tak pernah kukira semuanya bisa berjalan selama ini.
           
            Aku akan membuatkan makanan yang istimewa untuknya. Setelah membuka kembali buku-buku resep yang kupunyai, aku memutuskan untuk membuat masakan Italia! Dia sangat menyukai pasta, terutama spageti.
Aku memilih Tagliatelle Bebek Jamur sebagai makan malam kami nanti. Tagliatelle adalah sejenis pasta yang lebar mirip kwetiau, tapi yang satu ini khas daerah Bologna. Lalu kenapa ada daging bebek di menu Italia? Aku hanya tertantang saja untuk memasaknya, bagaimana kalau kesukaanku akan daging unggas digabung dengan pasta favorit dia?
Masakan ini bermakna aku ingin kami bisa bersama lebih lama lagi, saling mengisi, saling melengkapi, walaupun banyak perbedaan yang ada. Aku sangat berharap kami akan bersama selamanya...

     Aku mengakhiri artikel itu dengan janji untuk merekam prosesku memasak dan memasukkan hasilnya ke YouTube, jadi pembacaku juga bisa mencoba di rumah.
Kemudian, aku mengepos tulisan itu.
            Sebelum aku pergi untuk membeli bahan-bahan yang dibutuhkan untuk makan malam spesial ini, aku membaca komentar-komentar pembaca yang mampir di hulkcancook.blogspot.com milikku (banner-nya bergambar Hulk, tokoh komik hijau besar itu, yang sedang memasak). Beberapa hanya sekedar menyapa dan bilang kalau blogku menarik, sebagian lagi benar-benar ingin berdiskusi tentang memasak. Namun, satu nama selalu menuliskan komentar kalau dia kagum dengan pria yang bisa masak dan senang jadi penikmat masakanku.
            Dia harus tahu kalau aku selalu senang memasak untuknya!

Kemarin pagi.
“Besok jangan makan di luar... aku masak buatmu,” kataku.
            Aku kembali bergelung di atas tempat tidur selagi dia bolak balik berpakaian siap-siap untuk ke kantor. Dia tersenyum sambil menyemprotkan parfum yang aromanya membuatku melayang. Aku selalu teringat sebuah scene di film Perfume jika mencium aroma itu... membangkitkan gairahku. Membuatku ingin menikmati hidup lebih lama dengan rasa sensual yang menggelora. Namun, aku tidak bisa melarangnya pergi ke kantor, kan?
            “Aku pergi, ya, Sayang,” katanya setelah semua rapi melekat di tubuhnya. Dia berjalan menujuku dan memberiku kecupan di pipi. “Masak yang enak.”
            Aku mengangguk.
            “Kerja yang rajin, ya!”

Jam 11.00 am.
Aku melaju bersama taksi menuju supermarket yang menjual berbagai bahan dan bumbu masak lengkap untuk masakan citarasa Eropa dan Asia. Aku bisa menemukan jamur porcini di sini. Jamur ini asalnya dari Hermisphere, Eropa Tengah, berbentuk seperti payung coklat kehitaman dan bertekstur padat. Selain itu, aku membeli keju pecorino, keju khas wilayah Italia Selatan, yang rasanya tentu berbeda dengan keju Kraft yang biasa kupakai untuk menghemat biaya, hahaha. Dan tak lupa, pasta Tagliatelle yang jadi judul malam ini, pasta yang bungkusnya bertuliskan “Bologna”. Aku juga membeli sayuran yang dibutuhkan serta minyak sayur agar saat merebus pasta tidak saling melekat. Kalau daging bebek, aku lebih suka ke pasar tradisional untuk mendapatkan harga yang lebih bagus. Tentu saja penghematan!

Jam 13.15
Aku menyalakan handycam di atas tripod dan mengarahkannya ke tempatku berdiri saat memasak di dapur. Inilah salah satu aktivitas yang senang hati kulakukan. Merekam prosesi diriku memasak dan meng-upload-nya ke internet. Aku bukan bermaksud untuk menjadi selebritas tapi kalau ada cara untuk menunjukkan kemampuan kita kenapa tidak dilakukan? Mungkin saja aku bisa seperti Justin Bieber, Zee Avi, atau Charice yang terkenal lewat Youtube (kalau dilihat lagi nama-nama ini terkenal di bidang tarik suara, sedangkan aku bidang tarik panci). Apa aku bisa masuk ke televisi dan punya acara masak sendiri? Aku ingin sekali.
            Kamera merekam aksiku.
        “Oke, itu tadi bahan-bahan utamanya, sedangkan untuk tumis jamur kita perlu dua sendok makan minyak zaitun, satu siung bawang putih yang dicincang halus, setengah sendok teh thyme kering, 200 gram jamur porcini yang diiris tipis, dan terakhir lima gram daun peterseli cincang... sekarang, ayo kita mulai memasaknya!”
            Kamera terus merekamku.

Sebenarnya aku punya pekerjaan kantoran, namun dipecat karena jadi korban perubahan sistem di kantor. Beginilah nasib kalau kerja setengah-setengah. Saat perusahaan perlu mengetatkan pinggang, siap-siap saja mendapat feeling akan didepak. Ironisnya, aku malah senang.
            Kenapa aku malah senang jadi pengangguran?
       Karena di kantorku itu diisi orang-orang yang pikirannya cetek. Mereka masih suka main senioritas, melabeli orang dengan nama-nama aneh, dan susah menerima orang apa adanya. Aku tidak suka berada di antara mereka dan sebaliknya. Tak heran saat aku keluar ada yang senang sekali.
            Hanya karena aku berbeda, mereka membenciku.
         Aku tidak pernah melakukan kejahatan pada mereka, tak pernah mengejek sebelumnya, tapi setelah gosip kalau aku berbeda tersebar di kantor semua hampir membenciku, kecuali beberapa cewek yang bersimpati. Sedangkan teman-temanku malah menganggap diriku sebagai penyebar penyakit menular.
         “Kenapa lo nggak menyangkal kalo lo beda?” tanya Aria, mantan temanku. Dia menjauhiku dan aku sempat bilang kalau sikapnya itu layaknya rasisme.
          “Gue udah capek berbohong. Mengakuinya berarti kejujuran, setidaknya pada diri gue sendiri.
            Dia langsung meludah ke samping. “Cih! Dasar abnormal. Gue kecewa.”
            Aku tidak mengerti orang berpendidikan tinggi seperti dia masih susah untuk menerima orang apa adanya. Atau penerimaan itu bukan masalah pendidikan?
          Sekitar tujuh bulan terakhir aku merasa dikucilkan di kantor. Semua pekerjaan aku kerjakan setengah hati. Tertekan di sana. Aku memang menerima jaminan keamanan dari bosku yang lebih open minded dan paham tentang equality, tapi aku butuh partner yang baik. Bagaimana aku bisa kerja dalam tim kalau aku sebenarnya tidak diharapkan disana?
            Jadi, aku senang bisa keluar dari neraka itu. Sekarang, hampir dua tahun aku bekerja freelance di sebuah majalah sebagai penulis resep masakan dan info kuliner. Lumayan untuk makan sehari-hari.
            Aku  pun bisa menjadi diriku sendiri.

Aku kembali meng-update blog dan mengupload video di Youtube.

            Cara paling menyenangkan untuk memasak adalah melakukannya dengan penuh cinta. Kali ini, karena aku mencintai memasak dan memasak untuk orang yang kucinta, aku senang sekali dan jadilah pasta+daging bebek yang indah. J
     Dia bakalan suka nggak, ya?:p

Aku tak tahan untuk tidak menelponya.

Jam 17.22
Aku masih di kantor, sayang...” katanya begitu lembut di telepon. Telingaku serasa dibuai.
            “Tapi ini udah jam setengah enam sore lho... Aku kangen kamu. Kok kamu ngangenin banget, sih?”
            “Hahaha, kalau kamu itu lucu banget.
            “Love you, dear. Jangan sampai telat datang makan malam, ya?”
            “Pasti.

Aku mencintai dia, sepenuh hati. Dia hadir dalam hidupku dan memberiku semangat hidup. Saat aku terpuruk setelah resmi jadi pengangguran, tak ada orang yang peduli dengan keadaanku. Orangtuaku memang ada, tapi mereka tidak kuberi tahu. Bisa-bisa Mama panik dan menyuruhku kembali ke kampung di Palembang sana.
            Dia adalah satu-satunya orang yang mengerti diriku. Dia sosok yang ada saat aku merasa kesepian di dunia ini. Hampa yang selalu kurasakan, dia membuat semua bisa dilalui. Gunung berbatu tajam yang tinggi sekali pun.

“Kamu sudah terlalu banyak menderita. Saatnya kamu bahagia,” katanya suatu kali. “Aku akan menjagamu, dear. Tak ada yang lain yang bisa.”
            Aku menyukai sikap posesifnya itu. Bagai api yang menghangatkan tubuhku saat aku berada di puncak gunung. Sedikit saja dan jangan sampai “membakar” tubuhku.
            “Kamu yakin?” tanyaku. Hanya bertanya.
            Namun, baginya itu bukan sekedar pertanyaan. “Kenapa aku harus tidak yakin?”
       “Karena...,” aku ragu untuk mengatakannya. Bisa merusak suasana romantis kami. Kupemainkan dasi yang masih tergantung di lehernya. Dia memelukku dan kepalaku bersandar ke bahunya.
            “Karena apa, Sayang?”
            “Karena ada saatnya nanti kamu menemukan seseorang yang lebih menarik daripada aku.”
            Dia terdiam. Aku tahu dia akan kesal padaku.
            “Kita mencari orang yang menarik dipandang mata? Setiap berjalan kita bertemu satu orang yang tampan, beberapa langkah lagi akan menemukan yang lain. Bahkan dalam satu kali klik di internet kita bisa kenal dengan orang tertampan sedunia. Tak akan pernah ada habisnya.”
            “Aku hanya takut kamu meninggalkanku.”
            “Bagaimana lagi caraku agar ketakutanmu hilang?”
            Dia menggeser kepalanya hingga kami saling menatap. Dia mendekat dan mencium bibirku.
            Ketakutanku hilang.


Jam 18.12
Aku meletakkan meja di balkon apartemenku. Suasana kota berwarna senja memberi latar. Aku telah selesai menyiapkan meja dan tak lupa sebotol anggur paling mahal yang kumiliki. Malam ini, makan malam istimewa. Semua harus istimewa.
            Dia masih terjebak macet. Aku setia menunggu.
         Aku pun sudah mandi dan memakai parfum terbaikku. Kemeja yang kupakai adalah hadiah ulang tahun darinya. Cocok sekali denganku, apalagi aku menyukai wana hijau menenangkan itu.
           
Aku pertama kali bertemu dengannya di sebuah peluncuran buku resep masakan. Bukunya memang biasa, tapi acara peluncurannya luar biasa. Aku sudah kenal penulisnya dan menyenangkan bisa menjadi tamu kehormatan. Si penulis memberiku kesempatan untuk mencoba resep yang ada di bukunya. Aku memasak di hadapan ratusan orang tanpa persiapan! Sebenarnya penulis ingin menunjukkan siapa pun bisa menerapkan resep yang ada di bukunya. Aku tahu aku bisa.
            Di sanalah dia berdiri, di antara penonton yang memadati depan panggung. Dia sebenarnya punya acara sendiri di ruangan lain dalam gedung yang sama, tapi sedang jeda istirahat..
Saat aku selesai memasak, presenter acara itu meminta salah satu pengunjung untuk mencicipi masakanku.
Dan terberkatilah aku, dia maju dengan suka rela, mencicipi masakanku, dan mengucapkan pujian yang membuatku bangga.
“Enak sekali!”
Kami mengobrol setelah acara itu, saling bertukar nomor ponsel, dan suatu hari saat aku kangen padanya kami janjian untuk bertemu di suatu tempat.
Dia bertanya, “Maukah dirimu bersama denganku selamanya?”

Jam 19.04
Aku duduk terkulai di sofa. TV menyiarkan acara kartun anak-anak yang lucu, tapi aku butuh kadar lelucon yang lebih besar daripada melihat kekonyolan makhluk spons berwarna kuning itu.
            Dia terlambat.
            Katanya masih macet.
            Kupencet remote TV berkali-kali, menukar-nukar channel. Tak ada yang menarik.

“Kita adalah orang-orang yang mendapat stigma di masyarakat sebagai kaum minoritas yang buruk...,” kataku suatu kali.
            Kami duduk di sofa sambil memegang buku masing-masing. Aku membaca majalah dan dia membaca buku tentang bisnis dan ekonomi di China.
            “Hmmm?”
            “Kadang stigma menjadi pembenaran bagi beberapa orang untuk menghakimi kita.”
            Dia mengalihkan pandangannya padaku.
         “Kita dianggap tidak setia, melanggar moral, menentang hukum alam..., menyebarkan penyakit, seperti HIV...,” sambungku.
          “Beberapa orang membenci kita karenanya, dan beberapa dari kita mencari pembelaan atas perbuatan lewat stigma ini...”
           Aku mengangguk. “Banyak yang tidak setia pada pasangannya,” kataku memfokuskan diskusi spontan ini.
            “Lalu?”
            “Aku selalu setia padamu. Aku ingin kita menjadi pasangan yang berakhir bahagia. Sebagian besar kisah tentang kita selalu berakhir sedih. Perpisahan, keluarga yang menentang, masyarakat yang menghakimi tidak adil, bahkan kematian....”
            Air mataku mengalir dari tempatnya.
      “Aku tak tahu masa depan yang bagaimana harus kuhadapi. Kesepian hingga tua atau membohongi seseorang demi menjadi manusia yang dierima orang-orang.”
            Aku tidak tahan untuk tidak menangis. Dia mengulurkan tangannya namun kutepis karena aku tidak mau menangis di hadapannya.
            Aku menangis di kamar mandi.

Jam 19.33
Belum ada tanda-tanda dia akan datang. Tadi aku meneleponnya lagi namun tidak tersambung. Mungkin ponselnya kehabisan baterai. Macet memang masalah yang harus segera dibereskan. Membuat segala hal jadi berantakan.
          Aku memasukkan kembali pastaku ke dalam microwave, harus di sajikan dalam keadaan hangat.
            Kuputar sebuah lagu melalui iPod. Suara Michael Buble menyeruak ke telingaku: "Save The Last Dance", lagu yang benar-benar cocok untuk berdansa. Aku pernah berdansa dengannya memakai lagu ini. Benar-benar menyenangkan.
            Makna lagunya pun menarik, seorang pria yang memiliki pasangan, tapi tidak posesif. Dia membiarkan sang pasangan bersenang-senang asalkan dia dan hatinya selalu bersama pria ini.
            Aku berdansa sendirian.

“Kamu boleh bertemu dengan siapa saja, tapi jangan berikan hatimu pada orang lain...,” kataku saat kami berdansa. Tangannya di pinggangku, tanganku di bahunya.
          “Tentu saja. Begitu mudah memberikan hati, namun tak mudah menjaganya. Itulah makna sebuah hubungan, kita berjuang untuk mempertahankan.”
            Aku tersenyum.
          “Jangan takut lagi dengan masa depan, Dear. Dia akan hadir, kita hanya perlu menghadapinya. Tak perlu takut.”
            “Aku tidak takut...”

Jam 20.00
Pasti tidak akan ada makan malam istimewa. Dia sudah sangat terlambat!
            Aku tak bisa menelponnya. Aku tak bisa tahu keadaanya sekarang. Apa dia baik-baik saja? Masih macet, kah? Atau mogok, atau bannya pecah, atau apa?! Kenapa lama sekali?
            Tanpa sadar tanganku berkeringat, aku mengelapnya berkali-kali ke celanaku. Saat kucoba menempelkan tangan ke pipi, dingin yang terasa.
            Aku kedinginan.....
            Tapi dadaku berdetak kencang....
            Aku takut... sendirian...
            Ku coba dan kucoba lagi untuk menghubunginya.
            Tak bisa...

“Kamu percaya kalau kita orang-orang yang tak beruntung?” tanya dia saat kami menonton berita di televisi.
            Sebuah festival film bertema LGBT didatangi sekelompok orang dari ormas garis keras. Mereka mencoba untuk mnghentikan jalannya acara itu karena dianggap meresahkan masyarakat. Padahal festival itu sudah mengantongi izin dan sedikit pun tidak berniat menganggu masyarakat.
            “Orang-orang bilang kita dikutuk...,” lanjutnya.
            Aku mendengarkan.
            “Pola pikir mereka. Stigma yang disebar tanpa ada toleransi. Lalu kita akan menderita sendiri karena anggapan itu. Tak ada lagi pengertian. Padahal sudah begitu banyak cerita tentang kita yang menunjukkan kalau kita juga manusia, sedang mereka tidak mau mengerti...”
           
Jam 20.05
Badai turun, mengguyur kota ini. Aku segera mengecek keadaan meja di balkon. Semua sudah basah karena angin kencang mengiringi tangisan langit. Aku menarik meja itu dengan kencang sampai piring dan gelas diatasnya jatuh ke lantai. Beberapa pecah.
            Kututup pintu agar tak ada angin yang masuk. Sebagian lantai sudah ikut basah.
          Kulirik ke pintu masuk. Masih tak ada tanda. Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Aku ingin penantian ini berakhir.

“Kamu jangan takut...”
            Aku tidak takut, kataku dalam hati. Aku hanya tak siap jika mendapatkan berita buruk. Aku benci kejutan. Aku benci dengan ketidakpastian. Aku lebih suka memasak dengan resep yang rapi dan takaran yang pas. Aku mampu membuat resep yang pasti bisa dibuat oleh orang lain.
          Aku tidak suka dengan kondisi menyakitkan. Memang irasional jika diri meminta selalu berada di kondisi ideal, tapi aku tak bisa menghadapi kondisi sebaliknya.
            Kini, aku takut kehilangan dia.

Kemudian kumengganti pakaianku dengan jaket parasut dan celana tahan air. Aku ingin keluar mencari dirinya. Aku tak bisa diam saja disini.
            Aku berjalan menuju pintu apartemenku. Saat aku membukanya, aku terkejut dengan apa yang kulihat. Sebuah buket bunga mawar yang sangat besar, sampai-sampai menutupi wajah orang yang membawanya.
            “Happy anniversary, Dear...,” kata orang itu.
            “Kevin?”
            “Aku minta maaf sudah datang terlambat...”
            Dia basah kuyup.
           Aku hampir menangis dibuatnya. Tak tahukah dia bahwa aku cemas memikirkan keadaannya? Kenapa dia malah berdiri di sini, alih-alih masuk ke dalam dam menikmati pasta yang sekarang entah jadi apa itu.
           Aku berdiri di depan pintu dan menggenggam kunci dengan erat. Kupakai punggung tanganku untuk menahan agar tak ada air mata yang keluar.
        “Mario...,” katanya kemudian. Dia tampak sangat serius. “Kita sudah bersama selama satu tahun ini. Aku ingin ini berlanjut selamanya. Aku ingin selalu ada di sampingmu. Aku butuh dirimu untuk menghangatkan hari-hariku. Apa pun yang terjadi, aku akan selalu berusaha untuk setia. Walau kita tidak tahu bagaimana masa depan, aku ingin kita tidak perlu takut lagi karena kita bersatu.
“Mario, apa kamu juga menginginkan hal yang sama?”
            Perlukah aku menjawabnya?
            Aku akhirnya menangis, tapi kebahagiaan yang memelukku, bukan kecemasan lagi.
            Aku mengambil bunga dari tangannya. Aku pikir-pikir dulu..”
Wajahnya berubah saat mendengar jawaban yang tidak diharapkan itu.
Aku tertawa. “Oke, baiklah. Dengan satu syarat.”
“Apa itu?”
“Syaratnya, kita makan sekarang. Soalnya aku lapar sekali.”
            Dia tersenyum dan kemudian memelukku.
            Aku tidak takut lagi.

Esok paginya.
Kutulis di blogku:
            Makan malam istimewa: sukses!!!




2010

Tuesday, December 31, 2013

Di Taman, Setelah Pukul 00.00


Biasanya, malam hari pada tanggal terakhir sebuah tahun, sebelum jam menunjukkan 00.00 dan bunyi petasan serta kembang api terdengar dari kejauhan, Eru menulis. Dia menulis resolusi tahun barunya. Biasanya dia menulis di buku baru yang dia beli pada tanggal 30 Desember. Dia menulis di kamarnya, ditemani lampu belajar. Paling banyak dia menulis tiga halaman. Setelah itu dia menutup bukunya. Karena saat jarum Jam Gadang saling berimpitan pada tengah malam dan bunyi ribut makin ribut di luar sana, dia berhenti . Kebetulan rumahnya tidak jauh dari pusat kota, di mana Jam Gadang berada.
Untuk menulis resolusi, Eru seringnya membeli buku tulis biasa, berlembar empat puluh, dan bergaris-garis warna biru. Dia suka buku tulis bergaris, dengan begitu dia tahu sudah berapa garis yang dia isi, walaupun hitungan itu tak begitu penting. Dia hanya suka berhitung di dalam kepala. Dia juga sempat mencari tahu tentang produsen kertas buku yang dia beli, terutama waktu dia mulai menulis sebuah esai sepanjang dua lembar folio tentang hidup hijau. Saat dia tahu kalau kertas itu diproduksi sebuah perusahaan kertas di Perawang dan mereka mempunyai hutan sendiri, Eru merasa lega. Paling tidak kertas ini bukan hasil penebangan hutan secara sembarangan, apalagi penebangan pohon di hutan Kalimantan. Tetapi Eru tak tahu bagaimana sebenarnya proses produksi kertas di  Perawang. Dia tidak pernah ke sana.
Eru memang suka begitu, dia memikirkan sesuatu dan ingin mencari tahu, tetapi tak pernah tuntas mengorek informasi sampai dalam. Seperti dia selalu menuliskan resolusi, tetapi target-target itu hanya tertinggal di dalam buku tersebut. Karena setelah jam dan kembang api memberi pertanda, Eru hanya akan menumpuk buku itu di tumpukan buku-bukunya yang lain. Bahkan dia lebih sering membaca buku matematika daripada melihat kembali buku tulis yang berisi resolusinya.
“Matematika diciptakan agar orang lain punya kegiatan selain memikirkan keinginan-keinginan yang mustahil tercapai,” kata Eru suatu kali, kira-kira pada tanggal 2 Januari lalu.
Dia lupa kalau setiap orang harus berhati-hati dengan keinginan mereka.


Eru pun tidak ingat persis apa yang dia tulis di buku itu pada malam tahun baru lalu. Tetapi, Pembaca yang baik, untungnya saya tahu apa yang dia tulis. Sempat saya masuk ke kamarnya dan mengintip, tetapi jangan sampai Eru tahu bahwa saya memberi tahu Anda. Mungkin Anda ingin memberi tahu orang lain, tidak masalah. Hanya saja kita simpan rahasia ini bersama, oke?
Ada beberapa resolusi yang dia tulis, salah satunya tercapai: dia ingin menjadi pemenang di sebuah kompetisi. Walaupun dia sadar kalau hidup pun adalah kompetisi, seperti dalam teori evolusi Darwin, dia tetap berniat untuk ikut sebuah kompetisi. Selama ini, hingga dia kelas sebelas, dia hanya melihat kompetisi dari jauh atau melihat poster pengumuman kompetisi. Sering dia berdiri di depan kaca papan pengumuman dan bergumam kepada diri sendiri seandainya dia ikut dan menang pada sebuah kompetisi. Selama ini dia hanya bergumam, sampai pertengahan tahun ini.
Kemudian, dia menulis artikel untuk sebuah kompetisi.
Dia menulis tentang pembaharuan taman di Bukittinggi, tepatnya taman Jam Gadang. Selain bangunan ikonik itu, di bawahnya membentang taman. Lingkungannya semakin indah setelah diperluasnya bagian untuk pejalan kaki, ditambahnya tempat duduk dari semen dan kursi kayu, digantinya bata trotoar dengan paving block yang lebih indah dan berwarna-warni. Tetapi lahan tanaman hijau masih kurang. Eru merasa pemerintah kota tak memperhatikan hal itu, dan dia tulis dalam esainya. Eru tak terlalu ingat kalau kompetisi itu bertujuan untuk mencari duta taman kota, dia hanya ingat persyaratan dan format esainya saja. Maka saat Eru terpilih sebagai pemenang, dia sangat kaget karena harus menjadi Duta Taman dan harus mengikuti banyak kegiatan semacam kampanye menanam tanaman hijau sekota Bukittinggi. Tetapi Eru tak pernah lalai dari tugas yang dipercayakan orang lain kepadanya.  Dia hanya biasa melalaikan apa yang dia percayakan kepada dirinya sendiri.
Lagi pula kompetisi itu membuat dia lebih kenal dengan Rena, cewek kelas ilmu sosial yang selalu mengikat pony tail rambutnya. Eru pernah mimpi dan Rena bersamanya di dalam mimpi itu. Sedangkan di dunia nyata, Eru hanya bisa melihat Rena dari kejauhan. Saat dia berada di barisan terdepan upacara bendera—karena Eru termasuk golongan pendek—dia memuaskan diri melihat Rena yang menjadi salah satu anggota paduan suara. Suara Rena semerdu nyanyian malaikat, menurut Eru. Walaupun suara itu melebur bersama puluhan suara yang lain.
Bahkan saat Rena berkata, “Baumu seperti rumput,” kepada Eru saat mereka bersanding di penyerahan hadiah dan penganugerahan gelar Duta Taman,  Eru mendengar kata-kata Rena seakan itu hal paling indah yang dia pernah dengar. Eru lupa apa kata-kata Rena, tetapi dia tidak mementingkan itu. Yang penting Rena berbicara untuknya, kepadanya, demi dirinya.
Selama ini Eru mengagumi sosok Rena, tetapi dia tidak pernah punya keberanian untuk benar-benar mendekati Rena. Eru tahu kalau Rena ikut kegiatan sekolah apa saja, tetapi dia tidak tahu apa makanan kesukaan Rena. Dia tidak pernah mencari tahu sampai sedalam itu. Dia sempat mendengar, saat Rena berpidato di acara balai kota, bahwa cewek itu suka dengan warna hijau. Aneh bagi Eru, dia selalu melihat Rena menggunakan ikat rambut merah dan biru, tidak pernah hijau. Apakah Rena benar-benar suka warna hijau? Hal itu membuat Eru memikirkannya tetapi tak pernah dia cari tahu sampai pertanyaannya terjawab.


Menjelang akhir tahun, Eru dan Rena harus membuat laporan kegiatan mereka selama setahun. Mereka hanya perlu membuat satu laporan untuk berdua. Eru sempat menawari mereka membuat laporan itu di rumahnya, tetapi Rena menolak. Eru juga tidak diberi kesempatan untuk mengajukan rencana kedua: membuat laporan di rumah Rena. Jalan tengahnya mereka harus mengerjakannya di sekolah.
Hei, sudah minta izin pakai ruang komputer sekolah, kan?” tanya Rena pagi itu, setelah mereka selesai upacara bendera.
Eru mengangguk, tetapi saat dia mulai bicara, Rena membuang muka. Cewek itu harus segera menghampiri pacarnya yang menunggu. Eru hanya bisa menelan kata-katanya sendiri.
“Kamu jangan lupa bawa materimu sendiri,” kata Eru, pada punggung Rena yang menjauh.
Saat mereka di dalam ruangan komputer, sepulang sekolah, Rena mengatakan kalau dia lupa membawa materi tulisan yang diperlukan. Padahal Eru memerlukan itu untuk membuat laporan, dia tidak tahu apa saja kegiatan Rena selama menjadi duta. Sedangkan laporan mereka harus dibuat bersama-sama.
“Jangan sedih begitu. Aku bikin sekarang saja,” kata Rena. Dia menggeser kursi dan menyalakan komputer di hadapannya.
Eru hanya bisa mengangguk, kemudian ikut duduk di kursi sebelah Rena. Dia pun menyalakan komputer.
“Apa nih?” tanya Rena.
“Apa?”
“Cari meja lain saja!”
Bukannya lebih mudah kalau aku langsung lihat materi kamu?”
“Jangan dekat-dekat aku.”
Eru tak membantah lagi. Dia memilih meja di sebelah, tetapi Rena berdeham dan menggeleng. Eru memilih satu lagi, Rena tetap berdeham. Saat jarak mereka ada di antara empat meja komputer barulah Rena mulai bekerja.
Eru menyalakan komputer dan mengecek kembali materi laporan yang sudah dia kerjakan di rumah. Rasanya dia sudah memuat segala hal yang bisa diingatnya. Semenjak pertengahan tahun hingga saat ini terlalu banyak  acara seremoni, penanaman pohon, lokakarya, penyuluhan, dan dia sudah memasukkan semuanya. Demi menunggu Rena menyelesaikan bagiannya, dia membuka buku matematika dan mulai mengerjakan soal trigonometri.
“Hei, kamu selalu belajar sehabis sekolah?”
Awalnya Eru tidak sadar Rena berbicara padanya. “Eh?”
“Dasar culun.”
“Sudah selesai?” tanya Eru, tak mendengar jelas kata-kata Rena tadi.
“Kamu baca buku apa?”
Eru mengangkat buku di hadapannya dan berkata, “Matematika.”
“Jadi kamu jago matematika? Aku benci matematika,” kata Rena. Suara keyboard yang dihantam jemarinya terdengar lebih lantang. Lalu dia mendengar ponselnya berbunyi. “Ondeh, sial. Aku harus pergi.”
“Kamu mau ke mana?” Eru langsung berdiri dari duduknya.
“Uda Malik nungguku di depan sekolah. Aku pergi dulu, ya?”
“Materinya sudah selesai?”
Rena menggeleng, “Besok saja aku lanjutkan.”
“Padahal hanya tinggal—“
Rena mengangkat telunjuknya ke arah Eru, berbarengan dengan dia menempelkan ponselnya di telinga. “Oke, Da, ya, aku sudah selesai, kok. Biar si Eru saja melanjutkan.”
Rena berjalan keluar meninggalkan Eru yang masih berdiri dengan bahu turun. Dia beranjak ke layar komputer yang tadi dipakai Rena. Saat dia melihat hanya ada dua kalimat di dalam file itu, dia pun menghela napas panjang. Jadi apa yang Rena lakukan selama tiga puluh menit tadi? batin Eru.
Dia memutuskan pulang daripada berusaha membuat laporan yang tidak lengkap materinya. Untuk pulang ke rumahnya, Eru membutuhkan waktu sekitar tujuh menit. Dia sudah hafal jalan-jalan pintas, termasuk melewati gang di samping warung seberang sekolah. Warung itu jadi tempat tongkrongan siswa-siswi SMAN 1 Bukittinggi, sekolah Eru. Biasanya di sana siswa yang bolos, perokok, dan berambut gondrong bersembunyi di saat-saat tertentu. Eru tak pernah jajan di warung tepi jalan itu.
Saat dia melewati jalan itu, dia melihat dua orang sedang saling berteriak. Lalu salah satunya menampar yang lain. Eru bertahan berdiri sesaat, saat si penampar beranjak pergi, barulah Eru mendekat.
“Rena?”
Rena menatap Eru dengan bibir yang melengkung ke bawah. Tangannya memegang masing-masing pipi. Perlahan matanya mengeluarkan air mata.
“Jangan bilang siapa-siapa. Awas kalau sampai orang lain tahu.”
Eru mengangguk.
“Kamu mau ke mana?” tanya Rena, setelah mereka saling terdiam beberapa menit.
“Pulang.”
“Pulanglah.”
Eru melangkah, melewati Rena, tetapi Rena memanggil namanya sekali lagi.
“Besok kita bikin laporan lagi di ruang komputer,” katanya.
Eru mengangguk, dia pun ingin tersenyum, tetapi Rena sudah melengos dan berjalan ke arah berlawanan.


Eru memikirkan kejadian yang dia lihat tadi sepanjang malam, paginya, dan seterusnya sampai-sampai dia tidak sadar sudah berada di ruang komputer dan menunggu Rena. Cewek itu belum muncul. Eru ingin menyibukkan diri dengan buku matematika, tetapi tangannya malah bergetar sendiri saat dia membuka buku itu. Otaknya masih penuh dengan wajah Rena rupanya.
Rena muncul tiga puluh menit terlambat. “Maaf,” katanya saat dia muncul di pintu ruang komputer. “Aku lanjutkan yang kemarin dulu.”
Eru menunggu dengan pura-pura membaca lagi materi laporan miliknya. Dia mengecek kembali foto-foto yang akan dilampirkan di laporan. Tanpa sengaja dia memandangi foto-foto itu lebih lama dari biasanya. Setelah Eru perhatikan, Rena lebih manis saat tersenyum. Eru sudah sering melihat senyuman para cewek. Dia tidak tahu mana senyuman yang tulus atau tidak tulus, dia hanya merasakannya. Dan senyuman Rena saat berada di antara ibu-ibu di acara penanaman pohon di tepi kota, Eru melihat senyuman paling tulus milik Rena. Dia tidak tahu pasti, tapi dia merasa begitu.
Dari jarak empat meja komputer, dia melihat Rena yang nyata. Eru tak melihat ada senyuman di sana, dia merasa hanya ada kesedihan. Walaupun Eru yakin Rena sedang berkonsentrasi dengan tugasnya.
“Sudah selesai,” kata Rena, “aku simpan di folder berbagi, jadi kamu bisa mengambilnya langsung dari komputermu.”
Eru segera menutup file foto yang dia lihat dan mulai mengetik kelanjutan laporannya. Dilihatnya Rena tetap duduk di tempatnya, hanya menatap layar komputer.
Tangan Rena terkulai di meja, lalu dia menatap ponselnya yang tidak berdering. Dia mengambil ponsel itu.
“Rena? Aku boleh tanya ini maksudnya apa?”
Rena menoleh. Ragu-ragu, diletakkannya lagi ponsel ke atas meja. “Yang mana?”
“Yang ini,” Eru menunjuk kalimat di layar komputer.
Rena akhirnya berdiri dan menuju tempat Eru, dia melihat melalui punggung Eru pada layar komputer. “Kayaknya aku salah ketik, tolong diperbaiki saja.”
“Baiklah.”
Eru merasakan napas Rena pada lengannya. Dia berusaha untuk tidak bergidik. Kemudian dilihatnya Rena duduk di kursi di sampingnya. Sesekali cewek itu melirik ke ponselnya.
Mereka tak berbicara selama Eru mengetik. Eru memusatkan pikirannya pada laporan, walaupun berkali-kali jarinya salah mengetik huruf. Dia tidak bisa menyalahkan Rena, pikirnya. Jadi dia biarkan saja Rena duduk termenung di sampingnya.
“Akhirnya selesai,” kata Eru.
“Ayo kita print,” kata Rena. Dia beranjak ke mesin cetak di sudut ruangan. Lalu dia nyalakan benda itu. “Sudah aku nyalakan.”
Dan keduanya kembali sibuk dengan pikiran masing-masing selagi mesin cetak berdengung karena mengeluarkan kertas. Rena mengambilnya, kemudian meraih staples di meja guru lalu menyatukan kertas-kertas tadi. Eru hanya bisa melihat dari jauh.
“Eru, kamu sudah punya acara malam tahun baru nanti?”
“Eh?”
“Sudah ada belum?”
“Belum.” Eru tak bisa membuat suaranya terdengar jelas.
“Kamu bisa ikut gabung dengan aku dan teman-teman yang lain.” Rena mengatakannya sambil memberikan berkas tadi kepada Eru.
Eru mengambil benda itu dan berkata, “Bolehkah?”
“Seharusnya aku tidak tanya begini padamu. Aku yakin kamu tidak punya acara atau apa saat tahun baru.” Rena seakan sadar sudah melakukan sesuatu yang keliru. “Maaf,” lanjutnya, “tentu saja boleh. Teman-teman yang minta.”
“Baiklah kalau begitu.”
Rena pulang duluan, meninggalkan Eru yang masih tidak percaya seorang Rena mengajaknya pergi untuk perayaan tahun baru. Dia memikirkan itu sepanjang malam, pagi, dan seterusnya.


Perayaan tahun baru masih tiga puluh jam lagi saat Eru pergi ke Pasar Bawah. Dia merasa harus membeli buku baru untuk resolusi tahun barunya, sesuai tradisi, walaupun dia tak yakin punya waktu untuk menulis karena dia akan pergi bersama Rena. Saat melihat tumpukan buku-buku tulis di toko buku, Eru bingung. Dia bisa saja mengambil buku tulis biasa, tetapi dia teringat Rena. Cewek itu menyukai warna hijau, batin Eru. Tumpukan buku-buku tulis dengan sampul hijau dan bagian dalam bergaris-garis hijau menarik perhatian Eru.
Sekitar dua puluh menit dia berpikir. Setelah lelah sendiri dan perutnya keroncongan, dia memutuskan membeli buku bersampul warna hijau. Sepulangnya ke rumah Eru tidur sore hingga magrib, dia tidak mengeluarkan buku itu dari tasnya. Dia melanjutkan kegiatan seperti biasa. Liburan membuatnya lebih punya banyak waktu untuk menonton televisi, sesuatu yang tidak begitu dia sukai. Tetapi ibunya menyuruh Eru menonton televisi, makanya Eru menonton.
Tiba-tiba ponsel Eru berbunyi, lagu milik idol group dari Jakarta seakan memanggil dirinya. Dadanya terasa berat oleh gravitasi yang bertambah. Dia kaget, tentu saja, karena setelah sekian lama benda itu berbunyi juga untuknya. Dia segera berlari menuju meja di kamarnya dan mengambil benda itu. Ada sebuah pesan dari nomor Rena:
“Kami tunggu di Haus Tea, ya. Jam tujuh. Jangan sampai telat. Nanti kita bakal pergi ke tempat lain setelah makan.”
Eru bertanya-tanya apakah dia harus membalas pesan itu atau tidak. Dia akhirnya membalas “Oke,” satu jam kemudian.
Eru tidak menyangka Rena akan mengingatkannya tentang acara malam tahun baru mereka. Padahal Eru sempat terpikir untuk melakukan tradisi seperti biasa: menulis resolusi sampai jam dan kembang api menjadi pertanda. Ternyata Rena tidak bercanda waktu mengajaknya.
Eru segera minta izin pada orangtuanya, dia akan pulang larut malam karena merayakan tahun baru. Rumahnya dekat dari Jam Gadang, pun restoran Haus Tea masih berada di kawasan yang sama, orangtuanya mengizinkan begitu saja. Malahan mereka cukup senang akhirnya Eru bisa pergi bersama teman-teman sekolahnya.
            

Bunyi terompet dan petasan sepanjang hari tidak berhenti terdengar. Anak-anak berlarian di tepi jalan sambil berusaha membunyikan terompet sekeras mungkin. Ada yang iseng membunyikan terompet di telinga teman mereka. Sambil bersiap-siap pergi, Eru melihat itu semua dari jendela kamarnya.
Dia memilih kemeja hijau kotak-kotak dan celana kargo warna coklat muda. Karena dia tidak terlalu tahan dingin, Eru melapisi pakaiannya dengan jaket. Sayangnya dia hanya punya satu jaket, berwarna merah, jadilah dia tidak seratus persen terlihat menggunakan warna kesukaan Rena.
Eru berjalan kaki ke kawasan Jam Gandang, melewati jalan-jalan pintas, mendaki jenjang Pasar Bawah dan melewati Pasar Lereng. Ya, di Bukittinggi memang terlalu banyak pasar di lokasi yang saling berdekatan. Lalu dia beranjak ke Pasar Atas—dilihatnya Jam Gadang menunjukkan pukul 17.45—kemudian berjalan menurun ke arah Kampung Cina, tempat Haus Tea berada.
Selama dia berjalan kaki tadi, dia melihat orang-orang sudah ramai berada di jalanan. Orang-orang dewasa juga membawa terompet di tangan mereka. Bahkan di depan Haus Tea banyak orang-orang seumuran Eru duduk-duduk di pinggir jalan dan mengobrol, saling melontarkan lelucon yang menimbulkan tawa mereka.
Seakan-akan mereka menertawakan Eru.
Dia sendirian duduk di meja di lantai dua, posisinya menghadap jalanan. Dia bisa melihat gerombolan tadi sudah bertambah dengan orang-orang yang bermain skateboard. Eru menghela napas, menelan sesuatu yang memberatkan dadanya lagi. Berusaha mendengar suara-suara yang  dilontarkan orang-orang di sekitarnya, Eru merasa kesepian di tempat ramai.
Dia merasa lebih baik kesepian di kamar sendiri, daripada kesepian di tempat seperti pasar ini. Untung saja dia membawa uang lebih, jadi dia memesan makanan hangat lagi. Pelayan cewek yang mengantarkan makanan lagi untuk Eru tersenyum padanya. Eru merasakan senyuman itu tulus. tetapi Eru tahu dia tak akan bisa mengajak pelayan itu menemaninya. Rena yang mengajakknya ke sini. Eru sengaja beberapa kali ke lantai satu, untuk ke toilet sekaligus mengecek apakah Rena ada di lantai bawah. Ternyata tidak ada.
Sampai jam sepuluh Eru masih berada di Haus Tea. Pelayan cewek tadi berkali-kali bertanya apakah Eru ingin memesan lagi atau tidak. Eru menggeleng dan meminta bill. Dia keluar dari restoran itu dengan tangan memeluk tubuh sendiri. Dia berjalan melewati pemain-pemain skateboard, cewek-cewek yang memegang kembang api di tangan, anak-anak yang meniupkan terompet seakan-akan mereka tidak pernah kehabisan napas.
Bagi Eru tahun ini hanya salah satu tahun dalam kehidupannya, berjalan begitu saja, dalam situasi yang tidak perlu dituliskan dalam sebuah buku. Karena itu bukunya hanya bertuliskan resolusi-resolusi yang mustahil di capai, lalu buku itu terlupakan.
Dia berjalan menuju taman Jam Gadang, kepadatan pengunjung di sana sangat tinggi. Rasanya tidak mungkin bisa bergerak di kerumunan itu. Ditambah pedang-pedagang kaki lima menggelar dagangan mereka begitu saja—bahkan di atas rumput-rumput taman. Eru semakin sadar kalau artikel yang dia tulis hanya menjadi sekadar berkas, bukan sesuatu yang harus diwujudkan. Pemerintahan kota hanya membuat ajang gelar Duta Taman itu sebagai acara seremonial saja. Eru sangsi kalau laporan yang dia buat bersama Rena dibaca atau dievaluasi.
Di langit, kembang api-kembang api meletus dan menyemburkan warna-warni. Sebelum tengah malam orang-orang sudah membeli dan medakkan ribuan kembang api.
Yeah! Kembang api!”
Suara itu, batin Eru. Satu suara yang berada di antara suara-suara orang lain, terdengar jelas di telinga Eru. Dia menoleh ke sumber suara itu.
Rena berdiri di sana, bersama teman-temannya. Eru juga menangkap sosok Uda Malik, siswa kelas dua belas yang pernah dihukum karena berkasus saat menjadi panitia masa orientasi siswa baru. Dia membuat siswa seangkatan Eru itu jadi babak belur. Anehnya bagi Eru, Uda Malik hanya dihukum skorsing dua minggu.
Eru berhenti berjalan, memperhatikan mereka dari kejauhan.
Rena sedang menunggu kembang api di tangannya menyala. Saat api membuat benda itu berpendar, warna merah muncul seperti bunga, Rena bersorak dan menari-nari. Tangannya meliuk-liuk seperti pita penari.
“Aku suka kembang api!” Pony tail Rena melompat-lompat di punggungnya.
Saat itulah mata Eru dan mata Rena bertemu. Eru berusaha untuk tersenyum, walaupun dia tidak yakin apakah senyumannya lurus. Dia hanya berusaha untuk tulus, walaupun usahanya tidak seberat perasaan yang menghantam dadanya.
“Eru?!” Rena menyapanya, “ sini!” Tangannya melambai meminta Eru mendekat.
Eru bergeming. Dia ingin melangkah, tetapi orang-orang berkali-kali melintas di depannya, membuatnya urung beranjak. Saat kesempatan bisa melihat Rena lagi, Eru menyaksikan tangan Rena tidak memegang kembang api lagi, tetapi tangannya berada di genggaman Uda Malik. Mereka saling mengatakan sesuatu, entah apa. Eru hanya teringat dengan apa yang dia lihat saat dia pulang beberapa hari lalu, saat dia melihat Rena menangis sambil tangannya menempel di pipi. Mereka dalam kondisi seperti itu lagi rupanya.
Dan Eru tetap tidak beranjak walaupun dia melihat Uda Malik membawa Rena entah ke mana. Dia malah berjalan ke arah berlawanan, menuju gedung Balai Sidang Hatta. Dia masuk ke gedung itu, tempat banyak orang lain yang sibuk bersenang-senang. Dia duduk di tepi gedung yang menghadap Jam Gadang, di balik barisan tanaman hijau. Walaupun sedikit merasa bersalah, dia duduk di atas rumput. Paling tidak, dia berhati-hati saat duduk. Tak ada orang lain duduk bersamanya.
Demi ada kegiatan selain memperhatikan kegembiraan orang-orang, dia membuka tasnya. Tetapi dia ingat tidak membawa buku matematika, hanya ada buku tulis berwarna hijau yang dia beli kemarin. Tangannya mengeluarkan buku itu, dia letakkan di pangkuannya. Lalu dia kembali ingin melakukan tradisi: menulis resolusi. Namun, saat tangannya menggenggam pena, dia tidak tahu mau menulis apa. Makanya dia berbaring di rumput itu, tidak peduli apakah di sana ada semut api atau cacing atau apa. Dia hanya ingin berbaring.
“Melakukan hal baru tidak buruk juga, ya?” katanya kepada diri sendiri.
Dan dia memikirkan banyak hal sambil menatap langit di atas Jam Gadang sedang dipenuhi kembang api berwarna-warni.


“Hei, bangun!”
Eru merasakan bahunya didorong berkali-kali. Kesusahan dia membuka matanya, lalu mendapati Rena sedang menatapnya. Tentu saja dia kaget. Dia segera bangkit duduk.
“Jangan berteriak seperti itu!”  Rena menempelkan telunjuk di bibirnya sendiri. “Kalau ada yang dengar dan aku ketahuan ada di sini, awas kamu.”
“Kenapa kamu di sini? Da Malik?”
“Jangan tanya-tanya dia, aku sedang kabur dari dia.”
Eru menatap Rena begitu lama, “Kamu menggerai rambutmu,” kata Eru, “dan panjangnya memang sepinggang.”
“Kamu bicara apa, sih?” Rena menggeser duduknya, agak terlalu dekat bagi Eru.
Tentu saja Eru tidak menolak.
“Bisa-bisanya tertidur di sini,” kata Rena kemudian, mengabaikan tatapan Eru yang tidak berpaling.
“Aku tidur berapa lama?”
Rena menunjuk Jam Gadang, hanya beberapa saat lagi menuju tengah malam. Semua orang di kawasan itu tidak lagi menyalakan atau meledakkan kembang api. Mereka menunggu detik-detik menuju pergantian tahun baru. Terdengar suara dari pengeras suara, kemungkinan dari kantor pengawas yang ada di bawah Jam Gadang.
“Ayo warga Bukittinggi, mari kita berhitung bersama-sama: sepuluh!”
Semua orang mengikuti, termasuk Rena. “Sepuluh!”
“Sembilan!”
Eru hanya memperhatikan wajah Rena dari samping, cewek itu begitu bersemangat. Hingga angka hitungan semakin kecil Eru belum juga menghitung.
“Tiga!”
“Dua!”
“Rena, selamat tahun baru!” Eru akhirnya berteriak, membuat Rena tertawa.
Kembang api-kembang api meledak dan langit malam semakin berwarna. Seakan-akan sebuah kanvas hitam diperciki cat. Perasaan Rena begitu lega dan senang. Dia ingin terus tertawa sepanjang malam. Sekaligus melupakan seseorang yang sudah mengecewakannya. 
Lalu dia menoleh ke Eru, melihat wajah cowok itu berpendar karena terpantul cahaya kembang api.
“Eru, selamat tahun baru!” Dia hampir saja memeluk Eru kalau dia tidak melihat sebuah buku di dekat Eru.
“Apa ini?”
“Buku tulis.”
“Aku tahu, tapi kenapa kamu bawa buku tulis? Mau mengerjakan soal matematika?” Rena terkekeh. “Dasar culun.”
“Biasanya aku menulis resolusi di buku.”
“Begitu, ya? Kenapa masih kosong?” Rena melihat pena di dekat Eru, dia mengambil benda itu dan mulai menulis. Eru hampir melarang, tetapi dia urung melakukan itu. “Kenapa bukunya bergaris-garis hijau begini, aneh!” Dia terus menulis.
“Bukannya kamu suka warna hijau?”
“Siapa bilang? Aku suka warna merah.”
Eru tertegun, lalu dia berkata, “Kamu menulis apa?”
“Setelah lulus SMA aku harus lanjut kuliah di jurusan komunikasi.” Rena memberikan buku itu kepada Eru. “Katanya komunikasi itu kemampuan dasar wanita, kayaknya aku perlu belajar lebih banyak lagi biar bisa membuat orang lain paham apa yang kukatakan.”
“Kamu akan lulus jurusan komunikasi. Aku yakin.”
“Sok tahu.” Rena merasa bersalah, “Maaf, maksudku terima kasih sudah mendoakan aku. Makasih, ya, Eru.” Rena tersenyum.
“Aku selalu menulis resolusi, walaupun lebih banyak keinginan yang mustahil terkabul, tetapi—“
“Apa resolusimu tahun lalu?”
“Apa ya?” Eru mencoba mengingat-ingat. “Aku lupa—“
“Dasar payah, eh, maksudku kamu harus coba ingat.”
Eru masih mencoba mengingatnya. Di sebelahnya Rena dengan sabar menunggu.
Dan pembaca yang baik, Eru mungkin lupa, tetapi saya tetap ingat. Resolusi Eru yang tercapai selain menjadi Duta Taman adalah: dia ingin dekat dengan Rena. Ya, dia mewujudkan keinginannya di perbatasan ujung tahun.
Kemudian mereka mengobrol banyak hal, sampai-sampai Rena berbaring di samping Eru.
“Aku selalu suka bau rumput,” kata Rena sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi seakan ingin menjangkau langit.

“Eh?” Eru teringat sesuatu.