Oleh Jason Abdul
Saat kamu kesal, kamu akan begini:
menggaruk bagian belakang kepalamu, menunduk, dan pandanganmu tak bisa ke satu
tempat, bagai masalahmu berada di mana-mana. Aku pun tak masalah jika kamu tak
melihatku saat mencoba memberimu saran. Sebenarnya kamu pendengar yang baik.
“Kenapa
mereka setuju menggunakan kata-kata “mantan” atau “bekas” atau apalah yang
artinya “dulunya”, tetapi tidak mau mengubah mindset bahwa itu layaknya perfect
past tense yang terjadi di masa lampau?” tanyamu padaku. “Aku sudah berubah. Aku sudah komitmen.”
Kamu
hampir pasrah. Sudah sekian kali mencoba berhubungan serius dengan wanita, tapi
tidak memberikan harapan yang cerah. Umurmu sudah cukup, pekerjaan mapan, dan
dorongan dari orangtua begitu besar, membuatmu makin frustasi karena hingga
sekarang belum ada wanita yang pasti jadi calon istri. Selalu bermasalah dengan
mereka yang tidak bisa menerimamu apa adanya.
“Setiap pria pasti memiliki jodoh
wanitanya,” kataku untuk kesekian kali.
“Apa
Tuhan masih kesal denganku karena aku pernah ingin meninggalkan semua
tuntutannya dan memilih jadi yang kuinginkan padahal aku tahu Dia tidak suka?”
“Milo,
Kamu bilang kamu sudah komitmen, kan? Tuhan butuh bukti itu. Ini hanya ujian,
kalau kamu lulus nantinya akan bahagia. Jangan ragu pada Tuhan, orang jahat
saja masih Dia beri rezeki, apalagi orang baik seperti kamu!”
Kamu
menghela nafas, “Thanks, Chia,”
matamu menatapku. Pandangan yang bisa meluluhkan wanita sepertiku. Kemudian
kamu menengadah, “Sorry, God.” Aku tersenyum.
“Ayo,
habiskan makanannya, terus antarkan aku balik ke kantor. Bisa-bisa aku telat
lagi. Kamu enak, bisa masuk kantor kapan saja...” kataku sambil mengunyah. Kata-kataku
jadi tidak jelas.
“Iya,
iya!” balasmu, agak kesal tampaknya. Namun, aku yakin kamu hanya becanda.
Milo, kamu sudah lama bekerja menjadi desainer
dan produsen booth penjual makanan. Kamu
membuat banyak kreasi booth yang
secara komersial dapat menarik minat pelanggan. Aku bisa melihat karyamu di
penjuru kota. Kamu sangat suka mendesain, kan? Jadinya kamu menikmati setiap kesempatan
berada di depan komputer menyinkronkan imajinasi di kepalamu dengan tanganmu
yang lincah memainkan mouse.
Dulu
pun, sejak SMA, kamu suka menggambar. Aku pernah kamu berikan selembar A4 yang
digambari gambar Inuyasha, hanya
karena aku suka anime tersebut. Padahal
aku tidak minta, kamu sendiri yang rela menghabiskan waktu, dan ingat, kita
belum terlalu dekat waktu itu.
Baru
di kelas tiga, kita yang sekelas lagi seperti tahun sebelumnya, kita menjadi
akrab meski tidak sering jalan bareng
ke sana-ke mari bersama. Kamu memang lebih suka sendirian. Kamu lebih senang
menghabiskan jatah istirahat siang di kelas untuk membaca buku daripada
mengobrol dengan teman-teman.
Kamu
mau tahu kenapa aku susah payah mau berteman denganmu, Milo? Saat yang lain tak
suka gayamu yang kurang peduli? Karena kamu misterius, pintar, dan tidak mau
terbawa arus. Prinsipmu bahwa hidup ini buat kita sendiri, bukan buat orang
lain. Banyak wanita yang suka padamu tapi selalu ketakutan saat kamu menanggapi
mereka dengan dingin.
Orang
bilang kita pacaran. Biarlah gosip itu datang dan berlalu, katamu. Nanti mereka
lelah sendiri. Aku setuju, apalagi aku baru saja putus dengan pacarku sejak
SMP. Cinta monyet itu kandas juga akhirnya. Padamu aku curhat, Milo. Kamu memang
tidak mengatakan hal yang cukup berguna, tapi aku senang kamu mendengarkanku
sampai tuntas.
Saat
perpisahan SMA, kita sepakat akan saling kontak dan tidak memutuskan
persahabatan ini. Aku sering menelponmu, mengirim SMS, dan e-mail. Kamu memang
sering kesal jika aku sering menelpon dan mengirim sms yang tidak penting. “Udah makan belum?” atau “Lagi ngapain?” bagimu pemborosan. Lucunya,
kamu kangen juga waktu aku jarang
menelpon, kan?
Kuliahmu
di jurusan Teknik Arsitektur memang membuatmu sibuk hingga kita jarang bertemu.
Bahkan selama setahun terakhir kuliah kita sempat hilang kontak akibat ponselmu
hilang. Untung ada Facebook yang bisa
diandalkan. Kucari namamu dan kutemukan. Kita berkomunikasi lagi.
Dan
begitu banyak perubahan kulihat pada dirimu.
Perubahan
yang sempat kita sesali.
“Cara paling logis untuk menikmati hidup
ini adalah menerima dirimu apa adanya. Bagaimana lingkungan akan menerimamu
jika kamu sendiri tidak mau?” katamu di pertemuan kita yang lain.
Ingat
kata-kata itu, kan? Kamu pasti ingat Milo, karena itu sepertinya sudah tertanam
pada otakmu. Sekarang kamu memikirkan segala sesuatunya lebih ringan dan simple.
Pola
pikir itu pula yang membawamu pada dunia yang tidak pernah kubayangkan akan
kamu masuki. Kamu, yang selalu mempesona para wanita meski hanya duduk diam dan
membaca di sofa, serta bisa mendapatkan wanita mana pun yang kamu mau. Kenapa
kamu malah bergaul dengan pria-pria itu?
“Naluri,”
katamu. Bukan, naluri pria adalah mencintai wanita, Milo. Kemudian kamu berkata
lagi, “Ini sudah lama. Sejak SD aku sudah tahu aku berbeda.”
“Kamu
baru berbeda sekarang, Milo. Aku sampai tidak kenali kamu, gayamu, pola
pikirmu!”
“Kita
tidak bisa membahagiakan semua orang. Maaf kalau aku mengecewakanmu.” Siapa pun
tak akan bisa, Milo!
“Kamu
tahu itu salah, kan? Kamu masih salat, kan?” tanyaku sambil mencari penyesalan
di matamu.
Kamu
mencoba berhubungan dengan Tuhan semampumu. Katamu itu tidak begitu membantu. Malah,
karena tuntutan Tuhan terlalu banyak, kamu jadi rentan stres.
“Chia,
rasanya plong setelah aku bisa menerima diriku apa adanya. Ini diriku. Aku
tidak menyesalinya.”
Kemudian,
kita masuk ke pembicaraan yang membuatku tak nyaman. Kamu bilang dia bernama
Mario, yang kamu kenal di sebuah situs pertemanan. Aku tak ingin tahu situs apa
dan bagaimana penggunaannya. Aku hanya tahu bahwa situs itu membuatmu berubah.
Kalian
mulai dekat. Kamu dan Mario awalnya bertemu diam-diam. Pertemuan kalian lebih
sering dilakukan di rumah, apartemen, dan hanya sesekali di ruang publik. Kadang
adrenalin kalian berpacu, ketakutan jika ada yang melihat.
Tak
sadarkah dirimu, perbuatan yang kamu takut orang lain mengetahuinya adalah
perbuatan yang kurang baik?
Kuharap
kamu bisa melihat wajahku yang tak mampu menahan gundah dari dasar hati. Aku
tak ingin lagi mendengar kamu memuji si Mario itu. Aku takut kehilangan kamu,
karena aku jujur tak ingin mengenalmu yang seperti ini. Bisakah kamu kembali
menjadi temanku yang dulu?
“Yah...,
kami tak tahu sampai kapan akan main kucing-kucingan dengan semua orang. Biarlah
semua mengalir, kami nikmati saja,” katamu.
Aku
tak ingin kamu begitu, Milo. Tenggelam... kamu bagaikan menyerahkan diri pada
sesuatu yang tak pasti dan gelap. Masa depanmu bagaimana?
“Aku
mencintainya, Chia. Tak akan terganti. Aku bahagia, Chia.”
Aku
menelan ludah getir. Seberapa bahagia kamu, Milo?
Dua bulan kemudian, kita duduk di kafe
ini, sepulang dari kantor. Kamu menjemputku karena ingin membicarakan sesuatu. Dan
aku tak tahu harus bagaimana, senang mendengar ceritamu atau ikut sedih karena
kamu menangisi dirimu sendiri? Aku memilih keduanya.
“Aku
begitu bodoh bisa percaya mereka. Aku merasa terjebak. Selama ini kupikir
karena selalu mendapat pandangan miring dari masyarakat, mereka berusaha
menjadi orang baik. Nyatanya, mereka merusak citra yang telah rusak itu!”
Kamu
bercerita bahwa Mario ternyata memiliki pacar pula di kota asalnya. Kamu bilang
lupa untuk memberitahuku bahwa Mario berasal dari daerah dan merantau di
ibukota ini. Kamu tak tahu menahu tentang pacar pria Mario yang telah menaruh
dendam padamu.
Dia
mulai menerormu, entah darimana nomor ponselmu diperolehnya, mengirim sms yang
berisi kata-kata kasar, menelponmu di tengah malam, bahkan mengirimkan
bingkisan yang berisi sesuatu yang busuk.
Sejak
itu pula kamu meragukan kesetiaan Mario. Sekarang kamu berhati-hati untuk
mempercayai Mario, tapi tak jarang kamu terpedaya pada rayuan pria itu. Milo,
kamu bilang kamu tertipu berkali-kali dan hanya cintamu padanya yang membuatmu
sulit berpikir logis. Kamu ingin terlepas namun sangat sulit.
Sedangkan
aku ingin menangis. Aku tahu kamu sanggup, tapi kamu tak mau lepas.
Semua
itu memuncak saat sebuah surat dikirimkan ke rumah orangtuamu. Mereka berdua,
yang sedang menikmati masa pensiun, di kagetkan oleh laporan itu. Surat yang
berisi foto kamu dan Mario begitu mesra. Bukti yang ada membuat mereka mau tak
mau terpengaruh oleh surat yang tak tertulis siapa pengirimnya. Ibumu sempat
menangis berhari-hari. Ayahmu yang selalu berusaha menangani masalah dengan
pikiran tenang baru berbicara padamu setelah hari kedua surat itu datang.
Aku
bersyukur, saat mereka menerimamu apa adanya. Mereka hanya memintamu berjanji
untuk berubah kembali menjadi kodratmu seharusnya. Kamu sudah memilih jalan
yang keliru, Milo. Aku setuju dengan orangtuamu. Kamu terlalu baik untuk berada
di dunia itu.
“Dunia
yang terlalu banyak kebohongan. Gampang merayu sana-sini, ketemuan dengan si
anu di kota lain. Kesetiaan mereka, seperti di dalam novel bertema itu, hanya
omong kosong.”
Kamu
kesal dengan dirimu, nelangsa karena Mario meninggalkanmu. Kalian telah terlibat
begitu banyak pertengkaran. Mario pun tak segan menghabiskan uangmu dengan membebankan
kartu kredit yang dipakainya padamu.
Setelah
terpaksa melupakan semua kenangan kalian, mengganti nomor ponsel, dan tidak
menemui siapa pun lagi dari dunia itu, kamu berusaha untuk menjadi biasa
kembali.
“Aku
kini sudah berjanji pada orangtuaku. Aku akan berubah meski sulit, meski
membutuhkan waktu yang lama... aku berusaha.”
Kamu
juga berjanji padaku. Aku memegangnya erat-erat.
Masalahnya, kamu terlalu jujur pada
semua orang. Maksudku bukan berarti jujur hanya untuk orang dan saat tertentu,
tapi... ya, memang itu maksudku. Ada kalanya dianjurkan menutupi suatu hal. Ingat
kisah dari guru sejarah dulu? Saat Perang Dunia II, ada seorang nenek yang baik
dan jujur. Saking jujurnya, dia mengakui pada tentara Jerman bahwa di rumahnya bersembunyi
belasan orang Yahudi. Akibat kepolosannya itu, seluruh pelarian di sana dibunuh
dengan kejam. Bukankah sebaiknya nenek itu berbohong?
“White lie is nonsense,” katamu.
Kamu
bersikukuh untuk mengatakan pada wanita yang ingin memiliki hubungan khusus
denganmu bahwa kamu adalah homoseksual. Kamu ingin calon istrimu tahu bahwa
walaupun kamu memiliki ketertarikan pada pria, kamu akan tetap membahagiakan
istri dan anak-anakmu. Kamu hanya ingin tiada hal yang ditutupi. Sayangnya,
belum ada wanita yang tepat. Jika bukan sang calon istri yang menolakmu, maka
keluarga mereka yang menolak.
Ada
Tari, Ina, Emilda, Tatiana, Clara, dan Aisyah... dan entah berapa nama lagi
yang telah menolakmu. Mereka hanya ingin kehidupan yang normal, ucapmu
mengulang alasan klise mereka. Mereka tak mengerti usahamu untuk menjadi
normal, tak peduli bahwa hasratmu sudah menjadi pilihan bukan tuntutan.
Kamu
menggaruk, menunduk, dan memandang ke segala arah. Kecuali padaku. Entah apa
yang tak bisa kamu temukan dari memandangku. Ya, pemecahan masalahmu. Aku ada
disini sebagai pendengar yang baik. Jika untuk memberi solusi, aku tak tahu apa
lagi...
Kamu
tak percaya, kan, bahwa selama ini ada satu orang yang menerimamu apa adanya? Akan
menjadi istrimu walau bagaimana pun kehidupanmu nanti? Menjagamu dari godaan
wanita, atau pun pria?
Aku
sudah mendengar kisahmu. Aku menuliskan ini untukmu.
Kini
aku ingin kamu tahu... aku yang menerimamu apa adanya. Akulah solusi
masalahmu... Namun, kamu belum menemukan solusiku sebagai solusi yang tepat
bagi masalahmu.
***
... *speechless*
ReplyDeletentar, saya atur dulu kata2nya ya. saya speechless bacanya ._.
“Dunia yang terlalu banyak kebohongan. Gampang merayu sana-sini, ketemuan dengan si anu di kota lain. Kesetiaan mereka, seperti di dalam novel bertema itu, hanya omong kosong.”
walaupun memang ada benarnya, tapi pandangan ini stereotip dan cukup mengganggu saya ._. padahal saya sendiri tidak lesbi, wkwkwk.
jika milo memang benar pintar sperti yang chia gambarkan, pasti dia bisa melihat masalah bukan dari sudut pandang dia aja. dia takkan men-judge dunia gay hanya karena pernah disakiti sekali, dia tidak mungkin senaif itu. dia pasti bisa melihat hikmah dari masalahnya. atau mungkin karena milo sedang jatuh cinta, jadi pikirannya dibutakan? atau chia aja yang berlebihan menjelaskan milo itu pintar? gatau de #Plakk.
tapi saya suka penutupnya, simple tapi menusuk. terasa sedihnya chia yang kena friendzone, hehehe :D
ditunggu karya2 selanjutnya :)
Ceritanya bagus sekali <3 I like how you describe the characters and open them up piece by piece. Temanya juga, mengena sekali. I think we should have accepted the way he is, but again si Chia suka sama Milo juga sih ya. It is hard to change your taste, but if he determined to do it, maybe he could? But there will be something that feel like lost forever.
ReplyDeleteI hope Milo can find his happiness as well as Chia. I hope he can stay true to himself.
Thank you for sharing this story with us.