Monday, July 8, 2013

When I've Got A Vision of You

Tiba-tiba saja lampu ruangan itu dinyalakan, Junio yang sedang duduk di sofa dan menonton televisi sedikit kaget, sel matanya berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk. Dia lihat mamanya masih dengan jari melekat di kontak lampu, matanya menyipit dan penuh pertanyaan. Sejenak, kemudian berubah menjadi mata penguasa.
“Demi Tuhan, kamu sudah tidak tidur tiga hari, Junio!” pekiknya.
“Aku tidak mengantuk… mama kembali tidur saja. Acara TV lagi seru,” kata Junio sambil tetap menatap film Gamer.
Mamanya masuk ke dapur, mengambil sebotol obat dan segelas air putih. Disodorkannya tiga kapsul obat itu dan meminta Junio menelannya. Junio menolak, tapi mama membelalakkan mata. Junio tetap menolak sehingga mamanya terpaksa membuka paksa mulut cowok itu. Cowok itu meronta, badannya lebih lemah dari yang dia kira. Tiga hari lebih tidak tidur benar-benar membuat dia kehilangan energi.
Akhirnya kapsul itu tertelan.
“Jangan dimuntahkan!” tegas mamanya saat Junio memasukkan telunjuknya ke mulut. “Obat itu akan bereaksi sebentar lagi. Lihat jam, tiga jam lagi kamu harus pergi ke sekolah, tapi tidak hari ini. Kamu butuh tidur. Mama akan memberitahu sekolah kalau kamu sakit.”
“Tapi, ma… aku ada janji dengan Zee!” rengek Junio. Zee adalah temannya sejak kecil. Mereka bersahabat tapi banyak yang mengira mereka pacaran.
“Dia bisa datang ke rumah, tinggal kamu telpon saja, kan?”
Kemudian terdengar suara papa memanggil dari dalam kamar. Mama Junio kembali ke kamar. Lampu dimatikannya lagi.

Jam 5 pagi, sudah satu jam sejak obat itu masuk ke lambungnya. Dia tidak mengerti cara kerja obat tidur, tapi sepertinya obat ini bekerja terlalu lambat. Junio tersenyum, dia tidak ingin tertidur. Dia memang seharusnya tidak tertidur jika ingin berhenti melihat mimpi yang tak diharapkan.
Satu jam kemudian obat itu bereaksi. Melatonin yang dikandung kapsul mulai mempengaruhi sarafnya agar beristirahat. Junio membuka mata lebih lebar. Dia sungguh-sungguh tak ingin tidur bahkan sedetik pun.
Dia tak ingin melihat kematian lagi.
Sudah satu bulan Junio memperoleh visi mengerikan mengenai orang-orang, kebanyakan tidak dia kenal. Jika dia tertidur dia akan bermimpi orang mengalami kecelakan, mati karena dibunuh, atau kematian tak wajar seperti film Final Destination. Dia tidak tahu kenapa dia jadi psychic begini, punya indra keenam. Kadang dari mimpi itu dia tahu nama mereka yang akan meninggal. Junio pernah mencoba mencari di internet tentang mereka. Mereka semua diberitakan telah meninggal. Seluruh akun orang-orang itu di jejaring sosial internet berisi ucapan belasungkawa. Ternyata mereka benar-bena mati dengan cara yang Junio lihat di mimpi!
Tentu Junio tak ingin lagi mengalami visi begitu. Dia kemudian berusaha kuat agar tidak teridur. Dia tidak mengalami insomnia meski kadang dia ingin mampu begadang. Sekarang, terpaksa dia begadang dan tidak tidur hingga 5 hari. Orangtuanya hanya tahu dia tidak tidur 3 hari dan mereka tak percaya tentang kemampuan Junio.

Junio menghirup nafas lewat mulut, dia terkaget menemukan dirinya sendiri tertidur di lantai di samping tempat tidur. Cepat-cepat dia bangkit dan pergi ke kamar mandi, mencuci muka, dan menggosok gigi. Kemudian memakai pakaian untuk ke sekolah.
Dia memutuskan pergi sekolah meski mamanya melarang. Saat dia melewati meja makan, dia berseru pada mamanya. “Ma, aku sekolah hari ini. Aku sudah tidur, oke? Aku akhirnya bisa tidur dengan normal!”
Mamanya hendak memaksa Junio agar tetap di rumah, tapi cowok itu sudah berlari menuju sekolah yang bisa ditempuh dengan jalan kaki.
Junio bertemu dengan Zee di jalan. Cewek itu sedang asyik bernyanyi mengikuti lagu yang diputar di iPodnya. Junio menepuk bahu Zee.
“Ngagetin aja!” tegur Zee.
“Ada berita bagus!” Junio menjajari langkah Zee dan mereka melanjutkan perjalanan. Zee kembali asyik dengan lagu Lady Gaga di telinganya. Junio kesal tidak diacuhkan. Dicabutnya earphone dari telinga kanan Zee.
“Apa sih?”
“Dengar dulu,” kata Junio. “Aku lagi seneng nih. Aku udah nggak freak lagi.”
Zee tertawa, membuat Junio lebih kesal. Apalagi pengaruh kurang tidur membuat orang bisa mudah marah. Mereka memang biasa saling meledek, jadi Junio mengabaikan tawa jelek Zee.
“We’re freak indeed!” katanya. Dia menujuk kacamata Junio dan kawat gigi yang dimiliknya sendiri. “Sekarang kamu malah bergaya smoky eyes.”
“Ini karena kurang tidur, tahu!” sahut Junio. “Maksudku, indra keenamku sudah hilang. Aku udah nggak lihat kematian orang-orang.”
“Benar?” Zee tertarik. Dia ingin mendengar lebih lanjut.
“Aku minum obat tidur dan tertidur meski cuma sekitar 2 jam. Tapi aku nggak mimpi apa-apa. Malahan nggak ingat sempat tertidur.”
“Semua orang nggak ingat kapan dia mulai tertidur, bego!”
Bel sekolah berdering saat mereka masuk ke halaman sekolah. Mereka berpisah karena berbeda kelas. Mereka sepakat untuk melanjutkan cerita nanti di kafetaria.

Meski agak terkantuk-katuk, perasaan Junio pagi ini sangat cerah. Dia mencoba menikmati pelajaran Sastra sampai dia diminta membaca sebuah naskah drama.
“Kenapa saya, bu?”
“Kamu sepertinya lebih asyik melihat ke luar jendela daripada buku dihadapanmu. Lagipula kamu suka drama, kan?” tanya gurunya.
Junio memang pernah audisi untuk pementasan drama, tapi itu karena terpaksa ingin mencari hal baru selain yang berhubungan dengan komputer. Komputer adalah passion-nya, sedangkan drama adalah mimpi buruk. Dia benci ikut drama.
“Dan untuk bagian Juliet, kita minta kesediaan Quin,” kata gurunya.
Junio melihat buku di hadapannya. Ternyata naskah drama Romeo dan Juliet. Dia jadi Romeo dan Quin jadi… Junio sudah lama naksir Quin dan bermimpi mereka jadian. Tentu saja tak akan pernah karena Quin sudah punya pacar, kapten eskul tenis.
Quin maju ke depan kelas dengan percaya diri, membuat Junio menelan ludah karena merasa ini mimpi yang indah. Dia mencari-cari apakah ada adegan ciuman, sayangnya tidak ada.
Saat Junio maju, murid-murid lain menyoraki mereka. Ada yang berkata kalau mereka seperti Ratu dan Babu, atau the Princess and the Pauper. Telinga Junio memerah seiring dia sampai ke hadapan Quin.
Quin membaca naskah dengan sempurna, sedang Junio seperti berpidato di acara pemakaman. Semua tentang mereka berdua bertentangan. Langit dan bumi, hitam dan putih, Yin dan Yang, sangat berlawanan.
Sesekali Junio mencuri pandang pada Quin, dan Quin memberi tatapan biasa saja. Saat mata mereka bertatapan, Junio melihat sesuatu. Sesuatu yang berkelebat cepat namun menempel di ingatan Junio. Seperti apa yang pernah dia lihat sebelumnya.
Suaranya tersedot.

Dia melihat tubuh Quin terbelah dua di bagian perut. Apapun isi perutnya yang berdarah keluar dan terlempar ke jalanan. Mobil yang menabrak Quin berusaha berhenti, tapi tak bisa. Mungkin rem tak berfungsi sehingga menabrak pohon, pengendaranya pingsan seketika.
Sebuah suara memanggil Junio dari kejauhan. Dia tak menggubris. Dia terlalu terguncang dengan apa yang tampak. Kenapa tubuhnya tak bisa digerakkan? Dia ingin membantu Quin atau pengendara itu atau memanggil polisi. Dia tidak bisa, bahkan tubuhnya pun tak terasa ada.
Suara itu kembali menyebut namanya.
Junio tersadar dari tidurnya. Dia mengitari pandangan sekitar, dia sedang ada di taman sekolah, sendirian tertidur di sebuah bangku.
“Aku tunggu di kantin nggak muncul-muncul! Malah tidur di sini.” keluh Zee.
“Aku nggak tahu kenapa sampai bisa ada disini. Perasaan aku tadi di kelas lagi baca naskah drama.”
“Drama? Kamu main drama? Bukannya benci sekali terlibat yang begituan?”
Junio kembali teringat mimpinya. Dia mencengkram lengan Zee. “Aku melihat visi…,” katanya.
Zee meringis dan melepaskan tangannya dari Junio. “Katanya sudah nggak lagi?”
“Aku  kira begitu tapi aku melihat lagi… dan ini Quin!”
“Kenapa Quin? Kamu mimpi jorok dia, ya?” tuduh Zee.
“Aku lihat dia mati! Dia mati!”
Zee terdiam karena wajah Junio sedikitpun tidak bercanda. Dia pernah melihat wajah ini sebelumnya. Awalnya sulit percaya Junio bisa meramal masa depan, tapi bukti yang mereka dapat di internet meyakinkan Zee. Nama-nama yang Junio sebutkan memang mati setelah Junio mendapat visi.
“Jadi sekarang giliran Quin?” tanya Zee.
“Ya!” jawab Junio.
“Giliran apa?” kata sebuah suara di belakang mereka. Junio kaget melihat Quin di dekat mereka. Quin, yang selalu cantik di mata Junio, bersedekap dan melempar pandangan bertanya. “Giliran apa?”
Junio dan Zee saling berpandangan. “Gak ada…,” kata Junio. “Aku bicarain tentang baca naskah tadi, kok. Kita begiliran membacanya.”
“Annoying!” Quin pergi secepatnya. Junio merasa bersalah. Dia sangat menyukai Quin dan tak ingin terjadi hal buruk pada pujaannya.
“Kita harus peringatkan Quin!”

Zee tahu Junio suka Quin sejak mereka masuk SMA sampai sekarang kelas XI. Setiap kali Junio curhat tentang cewek pasti itu Quin. Zee dengan sabar mendengarkan meski tak pernah memberikan solusi. Padahal, tanpa Junio tahu, ada seorang yang selalu peduli pdanya, menyayanginya tanpa syarat, dan hadir saat dibutuhkan. Zee tahu kalau dia suka Junio, tapi tak pernah berani mengutarakan.
Saat Zee mendengar Quin akan mati, entah kenapa hatinya malah senang. Dia malah ingin cewek sempurna itu lenyap. Zee hanya ingin Junio peduli padanya. Jika Quin tak ada, pesaingnya berkurang satu, kan?
“Bener, deh, Junio. Aku nggak bisa nemenin kamu terus-terusan buat ingetin Quin. Dia nggak percaya kita sedikit pun!” kata Zee.
Mereka duduk di kantin dengan lesu. Sudah lima hari mereka berusaha memberitahu Quin agar berhati-hati. Kalau perlu menghindari jalan raya yang punya pembatas jalan dan got yang besar di sisinya. Quin mengira mereka bohong, konyol, dan cari perhatian. Kali terakhir Junio hampir mengeluarkan air mata membuat Quin sedikit kaget.
“Oke, aku akan jaga diri, Junio. Jangan nangis, dong. aku baik-baik aja!” kata Quin. “Tapi, aku mohon untuk berhenti nemui aku kalu cuma untuk becanda.”
Junio tak tahu lagi cara meyakinkan Quin. Zee, tanpa disadari Junio, tersenyum merasa menang.
“Lagipula kita nggak pernah menghalangi kematian orang yang kamu lihat visinya,” kata Zee.
“Ini pertama kalinya aku dapat visi buat orang yang kukenal… malah orang yang kucinta…” Kemudian Junio berbicara tentang Quin, apa yang dia suka dari cewek itu, dan masa depan jika mereka bersama, jika mereka berdua masih hidup.
“Stop!” teriak Zee. “Aku mau pulang.”
Junio tak punya tenaga lagi untuk sekedar mencegah Zee keluar dari kamarnya. Dia terlalu capek memikirkan semua. Terlalu capek karena dia tidak tidur dan takut mendapat visi lagi.
Awalnya dia terjaga, menonton TV, tapi matanya menjadi berat dan… Junio tertidur.
Dia mendapat visi lagi, masih tentang Quin, namun kali ini tak hanya Quin yang celaka, tapi juga yang lain.
Junio tersentak bangun. Ketakutan setengah mati.

Quin menstarter mobilnya. Dia baru saja pulang dari latihan dance, besok ada kompetisi jadi latihan makin intensif. Dia selalu pulang sore sendirian. Saat mobilnya melewati jalan raya dengan pagar pembatas dan got besar, ingatannya melayang pada Junio. Sempat terbersit rasa takut terkait apa yang Junio katakan padanya. Quin melamun sehingga tak menyadari dia sudah melindas sesuatu. Kucing!
Dia bergegas meminggirkan mobilnya. Kemudian berlari ke tengah jalan tempat kucing tergeletak berdarah. Quin melepas sweater-nya dan membungkus Sang Kucing itu. Quin tidak penjijik, jadi dia tak masalah membiarkan tangannya berdarah dan bau.
Dia agak kesusahan mengambil kucing itu. Sejak dulu dia diingatkan agar segera mengubur kucing mati agar arwahnya tidak menjelma menjadi ruh penganggu. Quin membungkus kucing itu sambil menangis bersalah.
“Maafkan aku kucing…”
Sebuah mobil datang dengan kecepatan tinggi, membuat Quin bergegas, tapi kucing itu hampir terjatuh karena Quin tersandung batu. Saat Quin mencoba bangkit lagi, mobil itu menabraknya tanpa sedikit pun mengurangi kecepatan. Quin terpental jauh bersama kucing mati dalam pangkuannya. Sedangkan mobil itu menabrak pagar pembatas dan masuk ke got. Semua kejadian itu berlangsung semenit.
Quin meninggal, dan pengendara itu pingsang seketika.
Junio berlari menyusuri lorong rumah sakit menuju UGD. Dia berpapasan dengan beberapa perawat yang mendorong brankar, diatasnya seseorang penuh darah, Junio mengenalinya. Quin, cewek yang tertabrak tak tertolong lagi karena kepalanya membentur aspal dengan keras.
Junio menangis, sekuat tenaga dia kembali bergegas menuju UGD. Dia ingin mendapat penjelasan Zee.
“Aku nggak sengaja tahu!” bantah Zee, dia tak menatap mata Junio.
“Aku lihat visi, Zee. Kamu yang nabrak Quin di sana. Ternyata memang… aku nggak nyangka kamu bisa…”
“Bisa apa? Jalan besar itu lengang dan biasa saja bawa mobil kencang. Aku tak tahu jalan itu yang kamu maksud!”
Junio menatap tak percaya. “Aku memang nggak tahu jalan mana yang dikasi tahu mimpiku. Tapi satu yang mau aku kasi tahu, aku melihat kamu tersenyum sebelum mobilmu menabrak pagar. Kamu tersenyum…”
“Kalau aku memang ingin menabraknya, kamu mau bilang apa?”
Junio tak tahu harus berkata apa-apa lagi. Apalagi mendengar Zee berkata kalau dia ingin Junio berhenti menyukai Quin.
“Aku cinta kamu, Junio. Lebih dari kamu cinta Quin. Kalian nggak bisa bersatu. Kita bisa!”
Junio menggelengkan kepalanya. Zee sudah gila, temannya nggak mungkin bisa membunuh hanya karena cinta. Cinta macam apa itu jika akal sehat terpinggirkan? Cinta macam apa yang bisa merenggut kebahagiaan orang lain?
Junio pergi dari ruangan itu, meninggalkan Zee yang terisak.

Sebenarnya ada satu visi lagi yang dilihat Junio dalam mimpi… dan ini giliran Zee. Dia ingin memberitahu tapi tak sanggup. Entah kenapa dia tak mampu memperingatkan Zee agar hati-hati.
Itu karena kematian Zee tak disebabkan apa-apa. Selain dirinya sendiri.
Malam itu, Junio menangis setelah mendengar kabar dari orangtua Zee. Masih terdengar suara mama Zee di seberang telepon. “Sekarang kami sedang ke rumah sakit. Mungkin nyawa Zee bisa tertolong… moga saja dia nggak terlalu dalam mengiris nadinya….”


Dimuat di Story Teenlit Magazine, Oktober 2012