Friday, October 12, 2012

MENERIMAMU APA ADANYA

Oleh Jason Abdul 

Saat kamu kesal, kamu akan begini: menggaruk bagian belakang kepalamu, menunduk, dan pandanganmu tak bisa ke satu tempat, bagai masalahmu berada di mana-mana. Aku pun tak masalah jika kamu tak melihatku saat mencoba memberimu saran. Sebenarnya kamu pendengar yang baik.
            “Kenapa mereka setuju menggunakan kata-kata “mantan” atau “bekas” atau apalah yang artinya “dulunya”, tetapi tidak mau mengubah mindset bahwa itu layaknya perfect past tense yang terjadi di masa lampau?” tanyamu padaku.  “Aku sudah berubah. Aku sudah komitmen.”
            Kamu hampir pasrah. Sudah sekian kali mencoba berhubungan serius dengan wanita, tapi tidak memberikan harapan yang cerah. Umurmu sudah cukup, pekerjaan mapan, dan dorongan dari orangtua begitu besar, membuatmu makin frustasi karena hingga sekarang belum ada wanita yang pasti jadi calon istri. Selalu bermasalah dengan mereka yang tidak bisa menerimamu apa adanya.
“Setiap pria pasti memiliki jodoh wanitanya,” kataku untuk kesekian kali.
            “Apa Tuhan masih kesal denganku karena aku pernah ingin meninggalkan semua tuntutannya dan memilih jadi yang kuinginkan padahal aku tahu Dia tidak suka?”
            “Milo, Kamu bilang kamu sudah komitmen, kan? Tuhan butuh bukti itu. Ini hanya ujian, kalau kamu lulus nantinya akan bahagia. Jangan ragu pada Tuhan, orang jahat saja masih Dia beri rezeki, apalagi orang baik seperti kamu!”
            Kamu menghela nafas, “Thanks, Chia,” matamu menatapku. Pandangan yang bisa meluluhkan wanita sepertiku. Kemudian kamu menengadah, “Sorry, God.” Aku tersenyum.
            “Ayo, habiskan makanannya, terus antarkan aku balik ke kantor. Bisa-bisa aku telat lagi. Kamu enak, bisa masuk kantor kapan saja...” kataku sambil mengunyah. Kata-kataku jadi tidak jelas.
            “Iya, iya!” balasmu, agak kesal tampaknya. Namun, aku yakin kamu hanya becanda.

Milo, kamu sudah lama bekerja menjadi desainer dan produsen booth penjual makanan. Kamu membuat banyak kreasi booth yang secara komersial dapat menarik minat pelanggan. Aku bisa melihat karyamu di penjuru kota. Kamu sangat suka mendesain, kan? Jadinya kamu menikmati setiap kesempatan berada di depan komputer menyinkronkan imajinasi di kepalamu dengan tanganmu yang lincah memainkan mouse.
            Dulu pun, sejak SMA, kamu suka menggambar. Aku pernah kamu berikan selembar A4 yang digambari gambar Inuyasha, hanya karena aku suka anime tersebut. Padahal aku tidak minta, kamu sendiri yang rela menghabiskan waktu, dan ingat, kita belum terlalu dekat waktu itu.
            Baru di kelas tiga, kita yang sekelas lagi seperti tahun sebelumnya, kita menjadi akrab meski tidak sering jalan bareng ke sana-ke mari bersama. Kamu memang lebih suka sendirian. Kamu lebih senang menghabiskan jatah istirahat siang di kelas untuk membaca buku daripada mengobrol dengan teman-teman.
            Kamu mau tahu kenapa aku susah payah mau berteman denganmu, Milo? Saat yang lain tak suka gayamu yang kurang peduli? Karena kamu misterius, pintar, dan tidak mau terbawa arus. Prinsipmu bahwa hidup ini buat kita sendiri, bukan buat orang lain. Banyak wanita yang suka padamu tapi selalu ketakutan saat kamu menanggapi mereka dengan dingin.
            Orang bilang kita pacaran. Biarlah gosip itu datang dan berlalu, katamu. Nanti mereka lelah sendiri. Aku setuju, apalagi aku baru saja putus dengan pacarku sejak SMP. Cinta monyet itu kandas juga akhirnya. Padamu aku curhat, Milo. Kamu memang tidak mengatakan hal yang cukup berguna, tapi aku senang kamu mendengarkanku sampai tuntas.
            Saat perpisahan SMA, kita sepakat akan saling kontak dan tidak memutuskan persahabatan ini. Aku sering menelponmu, mengirim SMS, dan e-mail. Kamu memang sering kesal jika aku sering menelpon dan mengirim sms yang tidak penting. “Udah makan belum?” atau “Lagi ngapain?” bagimu pemborosan. Lucunya, kamu kangen juga waktu aku jarang menelpon, kan?
            Kuliahmu di jurusan Teknik Arsitektur memang membuatmu sibuk hingga kita jarang bertemu. Bahkan selama setahun terakhir kuliah kita sempat hilang kontak akibat ponselmu hilang. Untung ada Facebook yang bisa diandalkan. Kucari namamu dan kutemukan. Kita berkomunikasi lagi.
            Dan begitu banyak perubahan kulihat pada dirimu.
            Perubahan yang sempat kita sesali.

Wednesday, October 10, 2012

KISAH TENTANG BERKISAH


Aku mendengar suara pertengkaran itu saat kami sekeluarga menikmati makan malam kami. Sajian hari ini cukup istimewa, ayam goreng Kentucky. Produk Amerika, KFC, tapi anak muda di Bukittinggi suka menyebut restoran ini Inyiak, artinya Kakek. Aku melamun. Mencoba untuk bersikap bahwa kami tidak mendengar apa-apa dari rumah sebelah. Ayah, Mama, dan adik lelakiku juga seperti itu. Johan, adikku sibuk bercerita tentang sekolahnya. Padahal tidak ada yang menarik.
            Itulah tidak enaknya tinggal di lingkungan dengan rumah berjejer rapat. Dinding rumah berbagi dengan tetangga. Maklum, orang tuaku hanya sanggup mengontrak disini. Kami meninggalkan rumah gadang yang lapang di Payakumbuh untuk hidup di Bukittinggi yang berantakan. Untuk hidup lebih baik kata mama. Katanya di Bukittinggi kesempatan berdagang jauh lebih besar. Apalagi, ini alasan utama, mama menikahi seorang pria Bukittinggi. Aku punya ayah tiri, dia memboyong kami dan membiarkan kami meninggalkan Inyiakku yang tua dengan kakak mama yang menyebalkan. Mama senang, tentu saja. Dia benci mengurus kakek, padahal aku cinta kakek. Meninggalkannya dengan segala keterbatasan usia tua, 82 tahun, adalah kejam. Tapi apa yang kumampu tolak. Mama penguasa tubuhku. Biar tubuhku menjadi budaknya, otakku tetap milikku sendiri. Biar dia memarahiku setiap hari, aku tahan. Mendongkol dalam hati, dan kutumpahkan melalui... bonekaku.
            Jari telunjuk dan jempolku bergotong royong mencabuti serat-serat daging ayamku. Aku meninggalkan kulitnya yang gurih. Aku suka menikmatinya belakangan. Renyah, rasanya seperti tak akan membeli lagi. Uang kami tak selalu cukup.
            Johan mengambil kulit gurihku degan cepat. Refleks aku berteriak. ”Kembalikan!!” Uuh, kenapa aku melamun sehingga maling kecil ini mengambilnya? Aku mencoba mengambilnya kembali. Tapi aku ceroboh, gelas dengan air putih penuhku tumpah. Meja menjadi basah.
            Mama berteriak, ayah mengumpat kasar.
            ”Kamu ini kenapa Ami!! Jangan seperti bocah lagi. Apa salahnya adikmu minta punya kamu sedikit. Apa ruginya?” pekik Mama, suaranya mengalahkan tetangga. Mungkin orang rumah sebelah kaget mendengarnya. ”Ambil lap!! Capek lah!”
            Aku bernjak dari dudukku. Pergi kedapur yang hanya dua langkah dari meja makan. Mengambil lap bekas kaos ayah. Segera aku mengelap meja yang basah. Air meresap.
            Selalu aku salah. Setelah mengalah sampai tidak mendapat daging dada, hanya paha kecil, Johan masih minta punyaku. Rakus sekali si ketek ko. Seperti biasa, dia yang dibela. Aku? Sudah besar, jangan lawan lagi adikmu. Lawan? Dia yang cari lawan!
            Di sampingku, Johan mencibir. Dia jelek. Kulitnya sedikit hitam, badannya gemuk, giginya besar-besar, hidung besar, dan rambutnya seperti ijuk. Semua warisan ayah. Beda denganku yang lebih kuning langsat, hidung pesek, mata sipit, dan perawakan kecil. Aku warisan papaku yang meninggal dua tahun lalu.
            Ibu masih menggerutu tentang betapa kekanak-kanakan aku. Aku tidak sabar, aku pelit, pemarah, bahkan sampai pada hal yang tidak berhubungan. Aku pemalas katanya, mengurung diri dikamar terus, pendiam dan sok pintar. Sok pintar? Masa dia iri pada  anak sendiri hanya karena dia tidak pernah sekolah? Mama egois sekali.
            Sedangkan ayah hanya diam tidak peduli, dia tidak pernah peduli tentangku. Peduli Johan anak kandungnya sendiri pun tidak, apalagi padaku.
            Hatiku panas dengan semua kata-kata itu. Aku menahan amarahku. Ku habiskan makananku. Selesai. Selanjutnya mencuci piring. Selesai. Mengelap dapur. Selesai. Menampung air di keran depan rumah untuk mengisi penampungan air untuk dimasak. Selesai. Akhirnya aku punya waktu untuk diri sendiri. Membuat PR Sastra, itu agendaku malam ini.
            Aku masih ingat guru sastraku mengatakan dengan menulis kita bisa mencurahkan segala hal yang kita rasa. Senang, bahagia, sedih, kecewa, bahkan amarah. Efektif untuk curhat. Jadi tidak makan hati lagi. Dan lebih menarik, menulis bisa menghasilkan uang. Uang? Aku butuh uang lebih untuk jajanku. Mama hanya memberi ongkos ke sekolah.
            Selama ini aku curhat sambil meninju bonekaku. Boneka Teddy Bear kualitas jelek hadiah dari Mamakku. Aku selalu berbisik di telinganya. Berbisik tentang hidup yang menyebalkan, tentang orang tua yang buruk, adik yang jelek, atau pergaulan sekolah yang materialistis. Tentang cowok yang kutaksir tapi dia tak pernah pedulikan aku, tentang guru kimia yang tak mampu mengajar, bahkan tentang cewek-cewek berjilbab lebar yang selalu menasihatiku tentang memakai jilbab. Uuh, mereka menasehati tapi tak peduli kalau aku tak ada uang untuk membeli jilbab. Makan siang saja hanya kuservis dengan roti seribu. Untuk jilbab mana ada uang? Minta Mama tidak mungkin, dia tidak bejilbab dan keluarga kami tidak relijius. Ayah saja tidak shalat.
            Kini aku punya cara menyalurkan emosiku. Lebih aman, kata guruku. Benarkah? Lagipula aku harus mengerjakan PR-ku. Membuat cerpen. Memang tidak dikumpulkan besok, hanya aku ingin ada kerja. Daripada melamunkan cowok itu. Cinta bertepuk sebelah tangan. Huh,....sebel jadi cewek kayak aku.
            Entah angin apa yang membawaku ke ruangan guru. Aku duduk dihadapan Bu Neti, guru Sastraku, membantunya melipat kertas undangan rapat wali murid dan memasukkan ke amplop lalu menuliskan nama wali murid. Banyak sekali, tapi sialnya aku yang lewat depan ruang guru dipanggil Bu Neti.
            Entah angin apa pula yang membuatku membuka mulut. ”Bu Neti...,” kataku sambil terus melipat undangan. Bu Neti yang sedang menulis mendongak. Dia menatapku seperti bahwa hanya aku yang menjadi perhatiannya. Entahlah, tapi aku merasa begitu. Apa penulis seperti itu? Belakangan aku tahu kalau itu gaya penulis yang suka mengamati lingkungannya. ”Bagaimana menulis cerpen yang bagus dan, hmmm, bisa terbit di media?”
            Dia tersenyum, kemudian memujiku yang tertarik dengan sastra. Dia memang menerangkan di kelas hanya singkat saja, karena kurikulum sekarang menuntut siswa aktif, bukan guru aktif. Dengan sabar dia menerangkan sambil tetap bekerja. Otakku menyerapnya. Cerpen itu begini, harus begitu. Penokohan, seting, latar, referensi. Namun, akhir katanya, ”Teori memang perlu, tapi jangan terikat. Menulis saja, mengalirlah kata-katamu di kertas. Jangan takut mengungkapkan perasaan.”
            Hingga malamnya aku masih merasa rumah siputku bergetar mendengarkan kata-kata Bu Neti. Aku harus bisa membuat cerpen yang bagus. Aku tahu aku akan bisa, karena begitu banyak emosi yang harus aku salurkan. Aku akan membuat kisah yang bagus. Tunggu..., tenang apa?
            ”Tulis tentang dirimu, jika kamu tidak tahu akan menulis apa.” Suara Bu Nti lagi. Aku bersemangat untuk berkarya. Setelah menyelesaikan tugas-tugas rumahku, dan bonus omelan mama karena aku lupa buang sampah, aku segera di depan meja belajar dan mulai membuat PR. Baru kali ini PR begitu aku butuhkan. Sebelumnya kalau ada PR...panek!
            Aku mengambil pena dan buku tulis bekas yang beberapa helai masih kosong. Sebagai orang miskin penghematan adalah penting. Aku menggunakan buku tulis SMP dulu. Kesukaan memanfaatkan barang bekas kutiru dari Inyiak.
            Pena besentuhan dengan kertas, mata pena membekaskan titik hitam diatas putih. Aku membeku. Tanganku terapung di lautan kata, tenggelam seperti umpan pancing, tapi tak ada ikan yang mendekat... bahkan yang kecil sekali pun. Aku tak mampu menulis. Aku tak tahu apa yang akan kutulis. Seperti selang airyang macet. Seseorang menginjak selang. Air tak keluar. Sesuatu, seperti ketakutanku? Aku takut orang tahu tentang aku. Takut teman-teman tahu tentang keluargaku yang hancur. Takut jika aku terlalu jujur... membeberkan semua.
            Tanganku, kenapa kamu berhenti di tempat? Bahkan satu kata pun belum terukir, satu emosi pun belum kusalurkan. Kenapa takut dengan kejujuran? Apa salah dengan berteriak ke dunia kalau kamu ada dan butuh ditolong. Aku menulis maka aku ada. Kalau tak pernah menulis hanya seperti manusia yang numpang lewat di dunia. Tak ada bekas.
            Setelah berjibaku antara hati penulis dengan hati penolak, akhirnya aku menuliskan kalimat pertama. Setiap manusia diciptakan dengan jalan hidupnya masing-masing, itulah kalimat pertama dariku. Kalimat kedua: sebagian beruntung dan bahagia sedangkan yang lain perlu perjalana mencapai bahagia. Kalimat ketiga: apa hidup benar-bena adil? Kalimat keempat: tanya hatimu, apa yang kau dapat di hidupmu? Selanjutnya, sedangkan katanya Tuhan menciptakan mausia untuk menolong sesama. Tapi dimana orang yang akan memolong gadis ini?
            Menolong sesamanya? Aku berpikir. Aku butuh ditolong? Ya, aku butuh keluar dari lubang hitam bersama keluarga yang tak punya harapan lagi. Namun, siapa? Teman-temanku tertinggal di Payakumbuh. Sedangkan di Bukittinggi semua harus bersatus gaul, kaya agar diterima pergaulan. Aku tersingkir, bahkan di babak pertama. Aku miskin.
            Tokoh cerpenku adalah seorang gadis seumuranku, tapi dia lebih jelek dariku. Aku membuatnya begitu menderita karena aku ingin ada yang lebih menderita dariku. Padahal jalan ceritanya sendiri adalah kisah hidupku, dengan perbedaan kota tempat tinggal, sekolah, dan nama.
            Tokohku punya ayah tiri mantan pacar ibunya sewaktu muda. Setahun ayah kandungnya meninggal dunia, mereka menikah, lari dari rumah menuju Bukittinggi. Gadis ini, hanya dianggap beban orang tuanya. Seharusnya dia ikut masuk ke liang lahat bersama ayahnya karena beliau sumber cinta dan kekuatan hidupnya. Setiap hari dia dintimidasi keluarganya sendiri. Dimaki, dihina hanya karena dia anak seoang laki-laki yang tidak dicintai ibunya. Laki-laki yang distinurbayakan kakek nenek.
            Egois sekali, pikirku tentang si tokoh ibu, mamaku sendiri. Kasihan, tentang si gadis. Tak seharusnya dia seperti itu walau rupanya jelek. Aku berhenti sebentar, mengambil kaca kecilku. Aku melihat wajahku. Aku merasa cantik, tapi begitu buruk. Bahkan tersenyum untuk diri sendiri hanya memantulkan cewek yang menyenringai. Kerasnya hidupku mempengauhi personalku.
            Aku mengambil pena lagi. Bekisah tentang kisahku. Aku tak sanggup hidup seperti ini terus menerus, juga si gadis. Dia harus diselamatkan oleh seseorang. Mungkin pangeran berkuda putih dari negeri dongeng. Hahaha, aku berada di realita... bahkan dari realitalah imajinasi muncul. Ini tentang realita.
            Akhirnya cerpenku selesai. Penuh coretan... nanti saja diedit. Tubuhku lemas, otakku menguras tenaga unuk berfikir. Melelahkan juga. Aku tahu aku lelah karena emosiku.
            “Cerita yang sungguh indah, Ami,” puji Bu Neti setelah aku membaca cerpenku di depan kelas. “Ibu tahu kamu mampu menulis dengan baik. Minat. Itu hal penting untuk bisa ahli pada suatu pekerjaan. Sebelumnya siapa yang menjadi inspirasi kisahmu?”
            Aku bohong. “Tetanggaku. Ya, kisah tetanggaku.”
           Bu Neti mengomando kelas untuk bertepuk tangan untukku. Namun, yang aku butuhkan bukan tepuk tangan. Tapi petolongan, seperti si gadis yang harus ditolong sebelum dia bunuh diri. Mengapa mereka tidak mengerti. Guru, teman-teman, pekalah sedikit. Kisah ini tentang aku! Tolong aku!
            Siangnya, kala aku menikmati roti seribu dengan perut keroncongan, saat makanpun aku keroncongan, aku dihampiri dua gadis berjilbab lebar. Anak rohis kelasku yang selalu mengajakku ikut pengajian. Pengajian hanya untuk orang yang akan mati, pikirku.
            Setelah berbasa-basi sedikit. Nila berkata, ”Cerpen Ami bagus sekali, kita jadi sadar kalau ada orang yang harus kita bantu.” Lalu? ”Kami ingin Ami berbagi tentang proses kreatifnya, nanti siang bidang sastra ada agenda rutin. Apa Ami bisa datang?”
            Aku malah menolong, padahal aku butuh mereka bilang, ”Ini ada sedikit uang untuk membantu Ami.” Entah angin apalagi yang membuatku mengiyakan.
            Semua siswa di Bukittinggi diwajibkan ke sekolah dengan berjilbab. Jilbabku hanya dua: putih dan coklat. Dengan ini kesungkananku akan rohis berkurang. Aku juga berjilbab walau tidak lebar seperti anak rohis umumnya.
            Ruang Rohis sekolahku adalah bekas mushalla, sekarang kami punya mesjid. Aneh sekali ada kain yang membagi ruangan. Oh, cewek cowok di pisah. Tapi mengintip sedikit bolehlah ya? Mungkin ada cowok ganteng.
            Aku membaca majalah islami di sana. Ada sebuah majalah sastra pula. Oh, aku bisa mengirimkan karyaku, seperti kata Bu Neti. Mungkin dapat uang.  Aku bersemangat untuk mengirimkannya. Aku catat alamat redaksi dan besok aku kirim lewat pos. Oh, terima kasih Rohis yang punya majalah ini. Allah, juga aku berterima kasih pada-Mu.
            Aku makin sering ke Rohis untuk sekedar membaca majalah. Tapi akhirnya malah ikut kajian mingguan Forum Annisa. Nila ternyata berlangganan majalah itu, aku setiap bulan memantau karyaku apakah dimuat atau tidak. Oh, aku tidak melihat karyaku. Mungkin tak layak muat.
            Setelah empat bulan aku pasrahkan karyaku menjadi pembungkus maco di pasar. Mungkin editor membuangnya karena jelek. Aku masih berpikir seperti itu sampai Nila berseru padaku di Rohis. Ada nama Ami di Majalah N!!!! Cerpen rancaknyo dimuat.” Apa aku tak salah dengar? Karyaku muat? Karya pertama? Aku mengucap syukur. Aku merasa makin dekat dengan Allah setelah empat bulan ikut kajian. Benar, jika kita mendekatkan diri pada Allah, Allah akan lebih dekat. Aku jadi tahu siapa yang mampu menolongku, Allah Yang Maha Kaya. Hanya pada dia kita pantas memohon. Walaupun serignya aku ke Rohis untuk menghindari rumah yang sumpek, tapi Dia menerangi hatiku. Aku keluar dari lubang hitam kekufuran nikmat. Sebelumnya yang kutahu lubang itu adalah hidup serba kekurangan. Padahal Allah memberi rezeki padaku begitu banyak. Dimana aku selama ini? Dalam lubung hitam kufur. Kemiskinan kadang membawa pada kekufuran.... Kini, aku berjilbab dengan benar.
            Surat Arra’du benar adanya. Jika kita berusaha, Allah akan mengubah nasib. Jika hanya berdiam itu tolol sekali. Ubah nasib burukmu. Seperti nasib uang saku pas-pasanku, kini royalti menebalkan kantong. Aku beli jilbab baru dan buku bacaan karena aku merubah nasih dengan mejadi tukang tulih. Hehehe.
            Bahkan, mendengar suara mama memakiku menjadi merdu karena uang di dompetku banyak. Tapi, Astagfirullah, bukan uang yang membuatku bahagia. Kemampuanku bersyukur yang membahagiakanku.

Sunday, October 7, 2012

The Couple Tee


 The Couple Tee - by Jason Abd

What a pleasure to have a new lovable family next door. The family loves to share many foods as delicious as high class restaurant made. Two month ago, Seyfried family came in our neighborhood and became settler of house next mine. The house had left behind by its former so long. Mr. and Mrs. Seyfried are writer married couple. Mr. Seyfried is thriller novel writer and his wife is famed by her recipes books. Since they been present, they shared super delicious foods.
    Once, their only child visited my house. He is handsome and has an innocent look. I was so amazed by the first time I saw him when I open my door house. His smile was melting my heart. Ben Seyfried, this guy would make me melted always.
    “My mom made cupcakes and she loves to your family to enjoy these.” He gave a cardboard to me. Cupcakes smelled so good.  
    I only could receive it. Then, I was motionless and stared and smiled at him.
    He hailed me, “I’m Ben, your new neighbor. Nice to meet you,” said he. Then, because I still said nothing, he asked me, “You…?”
    Oh, his voice was so great!! “Serena, I am Serena. Nice to meet you too,” said me slowly like suffering idiotic.  I absolutely blessed to meet you, Ben.
    Lucky me, he never thought me as a weird girl after that moment. He’s kind, friendly, and easy to get along with everyone. He had fast adaptability. With that handsome face, a friendly human manner, a nice talker, and a great singer, I couldn’t imagine someone doesn’t like him. All girl in the world couldn’t avoid wish to be his date. Ben and I hang out together with our friends.
***
I was leafing through a magazine I just bought in my porch when he came and sat next to me. I concealed my pleasure with focused on the article about “What Guys Really Think of Girl’s Body”. The bench was squeaked when his body sat down. I knew he always go to gym and his body was proportional. So? I’m corpulent. I wish he never thought me as fat girl only.
    “What are your purposes to come here without cakes?” I asked him pretending to not want his presence.

    He gawked, and said, “So, you only want to be my friend because I bribed you with my mother dishes? I should back home to get some pancakes!” he stand up and ready to go.
    But I pulled his arm. “I was kidding. There is something you want to say to me?”
    “I invite you to…,” Ben said slowly with full doubt intonation. My heart shouted jubilation. Will he invite me for a date? Will we go to movie? Or an Italian restaurant that he want to visit with a special girlfriend? I was wondering.
    “I invite you to watch my performance,” said he. I tried to hide my disenchantment. Of course, he involved himself for House (kind of class meeting). Ben is a musician, a great guitarist I’ve ever knew.
    “Absolutely, I love to. Why do you think I will not come there?”
    “Your friend told me that you can’t stand crowded.”
    I prefer to be in my room than crowding to watch a concert. But, Ben invited me, so I couldn’t refuse this one.
Then, I was continuing my reading when Ben needled me. He sang Lady Gaga’s Telephone foolishly. I was laughed like a drain and couldn’t read more then.
    When I saw his t-shirt, I thought it was new one. That tee printed half heart illustration and on the back written “She Loves Me”. I’ve ever seen that before, but I didn’t remember where and when it is.  Did it matter?
***
The concert of House was fabulous. I was amazed with so many people, a large enthusiast crowd in front of stage. I came to concert rarely, and I couldn’t imagine how much people come to a popular rock band’s concert. I thought we should get enough oxygen. Trees must produce O2 excessively because creature who produced CO2 excessive. I got asphyxia.
    For goodness sake and for Ben, I would fain being this crowd.
    My friends also joined me, Coco and Francesca. They both were party queen. When I told them I want to attend House, they’re enthusiast to dressing up me. Coco lent me her gorgeous Tiered Dress. I love them both.
    The DJ announced us that next performance would be Ben. I run the blockade and stand in front of stage. Most girls were also waiting in enthusiast. Yes, Ben was a charming.
    Ben wore that t-shirt again, half of heart. My brain was trying to remember where I saw that in shop window. Why did I care about it? Ben still looked charming. Ben sang John Mayer’s Half of My Heart in acoustic version. Awesome! I clapped hand energetic.
    “Oh half of my heart's got a grip on the situation/half of my heart takes time/half of my heart's got a right mind to tell you/that I can't keep loving you/oh, with half of my heart.”
    He’s staring at me while singing intensely. He looked like want to say something but he need more courage walking like a one man army.
    Apparently, he really wanted to say something! He asked me to go to garden next fish pond. We’re arm in arm. He started to talk, looked through my iris.
    “Serena, we’d been being together for months, I knew there is something about us,” said he. I was freezing up. Then he said, “Something bigger than we know. It’s not about eating my mom’s cakes, or singing in foolish way together, or playing basketball 3 on 3. It’s about heart.”
    He gripped my hand gently. “I wished I told you early but I let my self to be coward. We’ve together by days. Then, I was thinking you also have this feeling. I can be your boyfriend, can’t you?”
    I thought he begged me when my head felt like thunderstruck.
    That tee was pair of couple tee. That tee must be a couple.
    Oh my God, He already has a girlfriend!!
    “Does your t-shirt have pair….”
    I was afraid to hear he wanted me to be his girlfriend whereas his real girlfriend was waiting his call tonight. I knew it was dream come true stuff. He’s angelic, but I couldn’t imagine how naïve he was. I knew some of my friends ever have backstreet relationship, or gone out with other’s girl boyfriend. But, I ain’t one of them. I never want to hurt others.
    “My girl and I have some fight these weeks. I can’t stand her egoistic habit anymore.”
    “Have you broken your relationship up?” I asked with my poker face.
    “I… I will…”
    I petrify.  “I’m not a substitute, Ben. I like you but you can’t make me became your substitution. I’m sorry. You can’t keep love someone with half of your heart…”
    Then, I left him behind. I couldn’t let he know that my tears dripped.

Friday, January 20, 2012

Melalui Jendela

New York City.

Sebuah hari di awal musim dingin yang berangin. Jalanan dilewati mobil-mobil dan yellow cab—taksi khas New York—berhenti di perempatan, sopirnya memandang ke lampu lalu lintas yang juga kuning tergantung di sebuah tiang bersanding dengan tulisan “5 Av”. Seorang wanita yang menumpang taksi lain bersopir pria keturunan Asia Selatan (mungkin India atau Nepal) turun dan menyebrangi zebra cross. Gayanya sangat anggun dan tubuhnya tegak sama seperti saat dia berumur 25 tahun sekitar dua  puluh lima tahun yang lalu. Tangan kanannya menenteng tas koper coklat dan tangan kirinya memeluk coat yang lebih hangat—antisipasi angin yang lebih dingin.
            Wanita itu menuju sebuah penginapan mewah di salah satu sudut kota. Pelayannya selalu memanggil para wanita “Madame” dengan aksen Prancis yang unik walaupun bisa berbicara dengan aksen Amerika sempurna. Mereka hanya ingin memberikan sedikit keunikan yang sekiranya menjadi pengingat bagi pengguna jasa penginapan mewah itu. Apalagi wanita senang diperlakukan bak putri bangsawan—asal tidak berakhir seperti Marionette di bawah guillotin.
            Sebenarnya hanya ada satu kepala pelayan di penginapan itu—yang bekerjasama dengan beberapa chef dan janitor—yang rambutnya memutih sempurna namun tetap lebat. Kumisnya tak kalah lebat dan putih. Jas hitamnya dan dasi kupu-kupu pas di badannya yang masih meninggalkan kesan gagah dari masa muda.
            Pelayan bernama Bellhop itu meraih koper yang beralih tangan dari si wanita. “Lewat sini, Madame,” katanya, tak lupa dengan aksen Prancis.
            “Terima kasih.”
            Mereka berjalan menaiki tangga menuju ruangan yang telah direservasi sejak dua minggu lalu.

Rungan ini. Satu tempat tidur beralas putih bersih—tampak sangat nyaman. Satu set meja dari kayu mewah dan kaca oval besar yang mengingatkan pada dongeng Snow White—siapa yang paling cantik di dunia ini?—sangat sempurna. Kecuali satu.
            Suara-suara. Klakson mobil. Mesin yang menderu.
            Wanita ini butuh ketenangan…
—yang hening—
Dia memanggil pelayan melalui telepon. Segera seorang pelayan lain memasuki kamar itu.

Pria itu masih muda. Janggut rapinya dibiarkan tumbuh lebat, menambah kesan jantan. Rambutnya terpangkas rapi seakan setiap helai sama panjangnya. Dia kelihatan pendek… namun baru wanita itu sadari ada yang berbeda dari tubuhnya. Conginetal Kyphosis. Kelainan tulang belakang sehingga membengkok ke samping. Tak seperti dirinya yang tegak, pria muda ini bagai memiliki tubuh yang patah di perut dan terjatuh ke kanan.
            “Ehm,” wanita itu membersihkan tenggorokannya sembari si pelayan menunggu apa yang akan diintruksikan padanya. “Sepertinya ini bukan ruangan yang aku inginkan.”
            Pria itu memperhatikan selagi si wanita menoleh ke luar jendela.
            “Agak tidak nyaman karena terlalu dekat dengan keramaian lalu lintas.
            Terlalu banyak suara.
            Bising.”
            Pria itu akhirnya berkata. “Mari saya antarkan ke kamar yang lebih tenang dan nyaman.” Dia mengambil koper dan coat wanita itu dan segera keluar dari ruangan. Si wanita mengikuti sambil menggunakan coat tipis yang sempat dibukanya tadi.
            Mereka menuju lantai yang lebih tinggi. Lantai tiga? Empat? Mungkin dengan begini dia bisa mendapatkan hasil yang lebih baik… untuk hal yang sangat ingin dilakukannya. Wanita itu membatin. Benarkah lantai yang lebih tinggi akan lebih memudahkan?
            Pria itu melewati lantai tiga. Nafasnya semakin memburu. Si wanita kasihan melihat pria itu kesulitan membawa koper.
            “Aku saja yang membawanya,” tawar wanita itu.
            “Ini pekerjaanku.”
            Dia tak bisa bertindak apa-apa lagi. Wanita itu hanya mengikuti langkah tubuh yang “berbeda” itu ke lantai empat. Dia sempat melihat ball room di lantai tiga yang didominasi cat warna putih, sebuah piano di tengah-tengahnya. Apakah dia mendengar suara dentingan piano? Sepertinya bukan. Dia hanya terngiang suara merdu permainan sahabatnya yang mengiringinya saat di Paris lalu. Benarkah dia masih ingat? Padahal itu lebih dari enam tahun yang lalu.
            “Di sini, Madame,” kata si pria muda sambil membukakan pintu untuk si wanita masuk. Dia mengikuti di belakang membawa koper agak tertatih. Nafasnya masih terdengar begitu keras.
            “Ini bagus.”
            Pria itu tersenyum dan berjalan menuju jendela. Tangannya meraih gorden yang tersibaklah cahaya dari luar yang menyilaukan. Langit beranjak sore. Indah. Namun si wanita tahu apa yang lebih indah.
            “Aku harap sekarang turun salju.”
            Dia melihat langit menembus kaca jendela, seakan dengan begitu dia benar-benar melihat butiran putih yang dingin itu. Si pria pelayan mundur selangkah dan berdiri di belakangnya.
            “Dan jalanan tenang—tanpa ada mobil yang lewat.
            Serta dunia menjadi damai.”
            Dia tersenyum.
            “Sepertinya hari ini tak ada salju…,” kata si pria di belakang. Ikut tersenyum mendengar kata-kata si wanita yang seterdengar untaian puisi. serasa sebuah lirik lagu.
            “Kamu bukan orang Amerika?” tanya si wanita.
            Pria itu sadar aksennya tak bisa menyembunyikan dari mana dia berasal. Ghent, sebuah kota di Belgia, yang indah dan sangat alamai seperti sedianya di abad pertengahan. Namun, Amerika negeri impian… dia ke sini untuk mengikuti seseorang. Walau hanya menjadi seorang pelayan hotel di sini. Namun,  impiannya adalah berada di Amerika—dia mencapainya dengan segala keterbatasan di tubuhnya.
            “Ya, bukan… tak banyak di hotel ini orang Amerika.”
            Lagi-lagi si wanita tersenyum. “Inilah salah satu hal yang kucintai tentang New York. Malah yang paling kucintai. Semua orang datang dari tempat lain.”
            “Yeah.”
            Ternyata pria itu memang benar. Kamar ini jauh dari kebisingan kota. Tak ada klakson yellow cab melintas apalagi menggetarkan kaca oval di sudut ruangan.
            Well, “ kata si pria kemudian. “Aku harap Anda betah di sini. Silakan panggil saja kami jika Anda membutuhkan sesuatu.” Dia beranjak pergi.
            Si wanita memperhatikan saja di depan jendela. Kemudian dia berkata,
            “Kenapa tak ada bunga di sini?”
            Mungkinkah ada bunga di sini?
            Violet? Atau…?”
            Si pria berbalik memunggungi pintu.
            “Aku cinta violet. Sangat suka.”
            Si pria tersenyum, sepertinya berusaha memenuhi permintaan tamunya walau dia tak yakin bisa menemukan bunga tersebut.
            “Aku tak mengharapkan kalian membelinya, tentu saja, jika kalian… tak memilikinya.”
            “Saya yakin, saya akan mendapat bunga tersebut, Madame. Violet.”
            Wanita itu kembali hanya bisa menatap lekukan di punggung si pria yang menghilang perlahan di balik pintu. Dia mengagumi kepercayadirian pria muda tersebut. Walau wajahnya terlalu sedih untuk dilukiskan di sana.

Dua puluh menit berlalu.
            Si wanita menatapi dirinya di kaca oval. Kemudian berjalan ke seberangnya. Menuju nakas di sebelah tempat tidur. Lalu kembali ke kaca oval. Pikirannya sebenarnya tak henti bekerja. Menimbang. Segala apa yang menjadi pemikirannya sepanjang bulan ini.
            Tiba-tiba terdengar ketukan.
            Si wanita duduk di tepi tempat tidur. “Masuk.”
            Ternyata pria muda tadi… dengan sebuah pot kecil di tangannya. Bunga violet yang bewarna ungu gelap itu mustahil di hadapan si wanita.
            “Aku tidak membelinya.” Si pria terkekeh. “Anda pasti telah memintanya saat reservasi. Ini terletak dengan aman di bawah tangga lobi.”
            “Tidak. Sepertinya tidak.”
            “Begitukah?”
            “Luar biasa, ajaib.” Si wanita menerima pot dan menatap violet yang indah itu.
            Si pria tertawa.
            “Anda beruntung, ya? Violet ini telah menunggu Anda. Apakah ada keajaiban lain yang perlu saya bawa?”
            Si wanita berdiri. “Oh, aku meragukannya.” Dia telah menemukan berbagai keajaiban sepanjang hidupnya. Keajaiban yang membuatnya dahulu menjadi orang yang dikagumi. Berjuta orang telah mengatakan bahwa dia “luar biasa ajaib”. Suara yang indah. Rupa yang rupawan…
            Namun, keajaiban itu sepertinya segan mendekatinya lagi. Setelah sekian lama, lalu bunga ini? Kebetulan saja, kah? Atau benar-benar keajaiban? Ini hanya permintaan sesaat. Dia sudah cukup lelah menanti keajaiban yang benar-benar dibutuhkannya bertahun-tahun lalu.
Si wanita meletakkan bunga itu di atas perapian di samping kaca oval.
Kemudian terdengar batuk. Keras. Semakin keras.
Si wanita menoleh dan dilihatnya hidung pria itu bernoda. Darah.
“Ada apa?” dia bergegas mengambil sapu tangannya. “Kemarilah. Sini.”
Si pria tampak begitu kesakitan. “Maaf! Maafkan saya…!” Tangannya menutupi bagian bawah hidungnya.
“Kemarilah…”
“Tak perlu.”
“Jangan begitu. Ayo duduk di bangku itu.”
Si wanita membimbing pria itu menuju ke sofa tanpa sandaran di depan jendela. Si pria menerima sapu tangan dan menempelkannya ke hidung, berharap mimisan itu berhenti.
“Tengadahlah.”
Si wanita melihat rintihan pria itu… punggungnya yang agak menyulitkan… dan darah yang tak henti mengalir.
“Tengadahlah…”
Rintihan itu.
“Sakitkah?” Tak tahu apa yang harus mengucapkan apa, si wanita kemudian membelai pipi pria itu. “Ini bukan urusanku, tapi… apakah punggungmu yang…?”
Hanya rintihan yang menjawab pertanyaan itu.
“Tunggu di sini,” pinta si wanita.
Dia bergerak menuju telepon namun dilihatnya si pria telah berjalan ke pintu dan menghilang di baliknya. Dia ingin menyusul ke sana tapi urung. Dilihatnya lantai tempat si pria tadi mulai mengeluarkan darah. Dia yakin ada satu dua tetes yang terjatuh. Kini lantai itu tak sedikit pun benoda.
Keajaiban? Atau dia salah lihat?

Surat.
            Betapa pentingnya surat. Menyampaikan perasaan penulisnya. Membawa pesan ke pembacanya. Memberikan pemahaman—tahu, ada, hadir.
            Surat. Mungkin ini menjadi surat terakhirnya. Untuk orang yang dicintainya. Yang telah pergi. Meninggalkannya sendiri. Di dunia yang tak pernah benar-benar damai ini. Bahkan, siapa sangka tuhan masih memberi rasa sakit pada pria muda yang malang itu.
            Wanita itu tersenyum akan pikirannya, dia tidak percaya Tuhan—atau tidak terlalu percaya.
            Lidahnya menempel ke tepian amplop, kemudian surat itu masuk ke sana, dilipatnya. Terkahir, ditaruhnya di atas bantal. Untuk di baca siapa pun yang menemukannya pertama kali.
            Tubuhnya sudah siap.
            Di tatapnya jendela yang terbuka. Yang menghubungkannya dengan pengakhirannya.
            Gaun putih indah—yang pernah di pakainya di bawah sorotan lampu panggung indah di Paris—masih muat di tubuhnya. Hasil menjaga kesehatan tubuh. Dia menyisir rambut merahnya hingga rapi. Kemudian, dia mengambil pot kecil dari atas perapian.
            Seorang wanita tua yang kesepian memegang bunga violet untuk menuju pertemuan dengan orang yang dia cintai—seandainya hari akhir itu memang ada. Dia menggambarkan dirinya sendiri yang terpantul dari kaca oval.
            Siapa wanita yang paling cantik di dunia ini?
Bukan itu yang ditanyakannya.
            Apa yang menjadi penghalangku?
            Sebuah ketukan dari balik pintu.
            Dia mendesah, tapi tetap menuju pintu, membukanya sedikit.
            “Saya mempunyai sesuatu untuk Anda.” Ternyata pria muda kemarin.
            Si wanita ragu. Apa yang dilakukannya? Bagaimana kalau pria itu bertanya mengapa dia memakai gaun putih ini? Serta pot yang masih digenggamnya erat?
            “Bolehkah?” pinta pria itu. Dia menunjuk pada troli yang besertanya.
            Si wanita membuka pintu lebih lebar agar troli itu masuk.
            “Misteri asal violet itu terungkap.”
            Si wanita melempar wajah bertanya.
            “Ayah saya adalah, umm…,” si pria memposisikan troli itu di depan sofa. “Ayah saya manajer di sini—hotel ini. Beliau sangat bahagia mendengar bahwa Anda kembali.” Kemudan dia mengambil gelas wine di troli tersebut. “Beliau pengagum berat Anda, Madame. Katanya, beliau mendengar Anda bernyanyi beberapa kali di Paris.”
            “Sampaikan terima kasihku.”
            Si pria muda berdiri di samping troli, menanti.
            Terdengar suara seorang wanita bernyanyi. Sebuah opera. Merdu. Indah. Menghanyutkan…
            Wanita itu menyadari telinganya sedang menikmati suaranya sendiri.
            Pasti pria itu yang menyalakan audio dari ball room. Untuk apa?
            Pria itu tersenyum melihat perubahan ekspresi si wanita.
            “Paris, adalah tempat yang sangat ingin kukunjungi. Kota yang terkanal indah itu.”
            Si wanita, matanya hanya menatap dan telinganya mendengar. Bibirnya seketika gagu.
            Apa penghalangku? Batinya.
            “Apakah Anda ingin saya membukanya?” tawar si pria merujuk botol wine dalam baskom es di atas troli.
            “Mungkin.”
            Apa yang jadi penghalangnya?
            Si wanita kembali menutup pintu.
            Dia meminta pria itu untuk menemaninya menikmati anggur itu.
            “Sebaiknya saya tidak usah…,” tolak si pria.
            “Kumohon.”
            Sejenak mereka saling menatap. Hanya suara tutup botol berdesis menimpali nyanyian opera tadi. Si pria mengagumi kecantikan wanita itu. Dalam balutan gaun putih yang juga cantik. Si wanita tersenyum dan duduk di sofa.
            Berdua mereka duduk menghadap jendela. Masing masing memegang gelas berisi wine.
            Je t’adore,” kata si pria—aku mengagumimu.
            Merci.”
            Sante?”
            Mereka membenturkan ujung gelas. Bersulang.
            “Aku melihatmu bersedih. Tak seharusnya pria semudamu terlihat sedih.” Sedangkan aku tak masalah, aku memang menyedihkan.
            “Apakah Anda masih bernyanyi?”
            Si wanita menggeleng. Dia meminum anggurnya.
            “Hmmm?” si pria menyayangkan hal tersebut.
            “Tak pernah lagi.”
            “Maafkan saya. Sebenarnya saya sangat ingin mendengar nyanyian Anda, secara langsung. Saat Anda ada di atas panggung.”
            Angin berhembus dari balik jendela yang terbuka, mengibarkan gorden-gorden seperti rok yang tersibak. Si pria berinisiatif menutup jendela itu. “Anda kedinginan,” katanya. “Tentu saja.”
            Si wanita terkekeh.
            “Tidak?”
Si pria tetap berdiri menuju jendela di hadapan mereka. Si wanita tersenyum mengamati. Dia makin mengagumi sosok itu. Ketidaksempurnaan tulang belakangnya membuat dirinya sempurna. Dia manis dan perhatian.
Saat pria itu semakin dekat jendela, cahaya menjadi semakin silau. Seperti pria itu berjalan melewati tangga surga. Seperti tangan malaikat yang bercahaya menyambutnya dalam sebuah pelukan hangat.
“Dingin sekali bukan?”
Si pria tersenyum. Dia berbalik dan mundur semakin dekat ke jendela setinggi tubuhnya. Si wanita menyadari sesuatu. Pria itu terlalu dekat ke tepi jendela! Dan dia tak perlu mundur lagi untuk menutupnya. Dia bisa terjatuh.
Si pria mundur selangkah lagi.
Si wanita berlari. Jendela—jendela yang seharusnya menjadi tempat dia melemparkan diri. Jalur dia mengakhiri hidupnya untuk menyusul orang tercintanya… kini pria itu terjatuh dari sana.
Apa yang menjadi penghalangku? Pria muda itu. Sesosok yang memberinya pelajaran dan perhatian.
Kini dia telah tiada. Darah dari kepalanya bertemu dengan lantai batu jalur pejalan kaki 5th Avenue.

“Maafkan saya, Madame. Saya tak melihat apa pun. Tak ada siapa pun yang terjatuh dari jendela ini.” Bellhop berbalik memunggungi jendela itu. Dia hanya tak memahami kenapa si wanita tampat ketakutan mendekati jendela. “Apakah Anda benar-benar melihat sesuatu di bawah sana?”
            Si wanita tak yakin—menggeleng atau mengangguk? Tak yakin.
            Keajaiban apa ini?
            “Apakah Anda ingin saya menutup jendela ini, Madame? Ini dingin sekali.”
            “Ya. Mohon tutup jendelanya.”
            Setelah tak ada gorden yang terkibar, Bellhop menghadap si wanita.
            “Manajer begitu senang anda kembali ke hotel,” katanya. “Beliau ingat Anda sangat menyukai violet dan berharap Anda senang menerimanya. Beliau pengagum berat Anda, Madame. Beberapa kali dia menyaksikan Anda bernyanyi di Paris.”
            “Ya, sampaikan salam dan terima kasih saya…,” kata si wanita mencoba tersenyum. Mencoba memberikan senyum terindah. Untuk siapa? Pria muda yang tiba-tiba menghilang—apakah hanya mimpi atau khayalannya akibat kesepian?


_____________________________________
Cerpen ini adalah ekspresi literaturku terhadap salah satu film pendek di rangkaian film pendek New York I Love You. Semua ide, penciptaan tokoh, dan alur cerita bukanlah milik saya. Saya hanya mencoba menyajikan film ke bahasa tulis. Sejenis adaptasi. Berikut, data film tersebut:
Sutradara               : Shekhar Kapur
Penulis                   : Anthony Minghella
Pemain                   : Julie Christie, John Hurt, dan Shia LaBeouf