Jonathan
Engkau muncul seperti mimpi pada diriku. Begitu saja seperti
kaledoskop mewarnainya. Lindungi aku. Yang kuinginkan hembusan nafas yang
kuhirup. Tak tahukah engkau… kau yang terindah….
Aku
berusaha meraih buku yang terletak begitu tinggi di sebuah rak perpustakaan.
Label “Sejarah” tercetak pada papan dengan tulisan warna hitam di atas latar
kuning. Berdebu dan sudah menjadi bagian dari jaring laba-laba. Begitu juga
buku-buku di ruangan yang besar ini. Berdebu, berbau tua, dan seakan tidak
dihiraukan. Gambaran perpustakaan yang ideal sangat bertolak belakang dengan
kondisi tempatku berada. Lagipula sekarang perpustakaan digital sudah
dikembangkan dan siap meninggalkan institusi yang masih bersifat konvensional
ini di belakang. Aku tidak mau seperti itu. Aku menyukai gedung perpustakaan,
meski aku bukan pembaca yang baik.
Aku
bukan seorang kutu buku walaupun betah berlama-lama
di perputakaan. Juga bukan karyawan dari perpustakaan
kampus ini. Aku hanya… menyukai kenyamanan yang bisa kuperoleh diantara
tumpukan buku, rak-rak yang menjulang tinggi dan label-label pada punggung
buku. Aku menyukainya. Tenggelam di koridor antara rak “Agama” yang menyimpan
kitab-kitab suci berbagai agama dan rak “Ekonomi” yang menampilkan buku hasil
pemikiran ekonom dunia. Aku tidak membaca mereka, aku hanya ingin disini.
Sendiri.
Dan
kadang tidur di sana.
Saat
itulah aku bisa berada dalam kondisi trance…
aku bermimpi, namun semua kelihatan nyata. Ketika aku bangun, aku sudah berada
di tempat lain. Awalnya aku ketakutan setengah mati, namun selanjutnya
menikmati. Jika ada yang ingin kulakukan dalam hidup aku akan menjawab tidak
ada. Aku hanya ingin selalu tertidur dan biarlah apa yang ada dalam tubuhku ini
mengambil ragaku.
Itu
dulu, sebelum aku bertemu dengannya. Sebelum aku tahu betapa bersama seseorang itu begitu menyenangkan.
Andy Fajrian, seorang mahasiswa Sastra,
pernah kubantu saat dia terjatuh dari motornya di sebuah perempatan. Seorang
pengendara motor yang ugal-ugalan begitu ceroboh menyenggol cowok itu hingga
jatuh. Aku, yang kala itu menunggu bus datang, berlari membantu Andy saat orang
lain hanya bisa melihat dan berkomentar. Menarik motornya ke samping dan
membawanya duduk ke sebuah warung pinggir jalan. Membelikan obat merah dan
plester luka. Kuobati siku dan lututnya yang berdarah. Luka yang sedikit tapi
bisa saja terinfeksi.
Aku
tak biasa membantu orang seperti ini. Semua berlangsung begitu cepat, refleks,
dan entah kenapa seperti sebuah takdir. Saat kami kembali mengenang masa itu,
Andy selalu tertawa dalam suaranya yang dalam.
Andy lebih tua empat tahun dariku dan dia kupanggil Abang. Dia kuliah
semester 5 dan kampusnya cukup jauh berada dari kawasan tempatku tinggal dan
sekolahku. Kusangka pertemuanku hanya sekali itu, dan tak akan pernah ada lagi.
Ternyata tidak.
Aku pernah mengunjungi hampir seluruh
perpustakaan di kotaku. Kebanyakan berada di universitas, lainnya milik
pemerintahan, institusi pendidikan lain, dan LSM. Namun, tak ada yang nyaman
selain di universitas itu, tempat Andy sekolah.
Seperti
biasa, setelah selesai melakukan tugas rumah pada pukul 4 sore, aku pergi
mengendarai sepedaku ke sana. Aku sengaja berpenampilan seperti mahasiswa
dengan memakai kemeja dan sepatu, lagipula tinggiku memang diatas rata-rata
anak seusiaku sehingga tak ada yang terusik dengan kehadiran anak SMA kelas XI
ini.
Di
sana, aku mencari tempat terbaik untuk duduk, jauh dari jangkauan orang-orang
dan tersembunyi di rak yang paling jarang dikunjungi orang. Rak “Kebudayaan
Kuno” mengimpitku bersama rak “Tata Boga”. Sekali dua kali ke sana, aku
berhasil tetap merasakan sensasi trance
itu.
Tapi
di hari itu, …
“Eh?”
Hanya itu yang keluar dari mulutku saat melihat wajahnya.
“Kamu
yang waktu itu menolongku, kan?” tanyanya.
Aku
tak akan pernah lupa kalau aku mengangguk begitu bersemangat.
“Kenapa
di sini? Meminjam buku?”
Kenapa
banyak orang bertanya hal yang mereka tahu jawabannya?
“Hanya
baca-baca saja. Aku bukan mahasiswa di sini, tidak bisa minjam buku,” jawabku.
“Oh,
kalau begitu selamat membaca,” katanya dan dia pergi. Begitu saja.
Aku
tak tahu kalau ada yang bisa membuatku tak bisa kembali trance. Aku tak tahu kenapa isi otakku yang biasanya serasa kosong
dan bisa melayang seperti balon, kini dipenuhi oleh entah apa. Aku hanya ingin…
entahlah.
“Kamu
menungguku?”
Aku
memang sengaja berada di luar pepustakaan menantikan dia keluar. Aku masih
ingin berbincang dengannya. Sekali lagi tanpa alasan yang jelas.
“Aku
masih SMA dan aku suka perpustakaan,” kataku. Kuharap aku menghilang dari sana secepatnya.
“Oke…,”
katanya ragu. “Butuh tumpangan?” tanyanya masih ragu. Mungkin dalam otaknya
sedang mempertimbangkan ide untuk memberi orang aneh ini tumpangan.
Kutunjuk
ke arah sepedaku yang terparkir.
Dia
mengangguk. “Kita belum kenalan. Aku Andy, kamu?”
“Jonathan.
Atau Jo.”
Dia
bertanya kenapa aku bisa ada di sini, kujawab saja karena suka perpustakaan.
Dia berkata kalau dia cukup suka membaca karena kuliah di Sastra.
“Dan
aku sedang butuh referensi penelitian untuk tugasku, sekaligus sedang
menyiapkan sebuah novel.”
“Novel?
Abang seorang penulis?”
Dia
menggeleng. “Aku baru menulis beberapa cerpen dan esai. Sekarang mencoba yang
lebih susah,” katanya tertawa sendiri. “Masih belum berhasil, tapi yang pasti
aku akan membuat novel sejarah. Settingnya penjajahan Jepang.”
“Menarik
sekali,” kataku.
Minggu-minggu selanjutnya, Andy selalu
datang di hari Kamis untuk meminjam buku dan mengembalikannya hari Rabu. Aku
memperhatikan jadwal itu dan menunggunya di luar untuk mengobrol. Semua
mengalir begitu saja bagai kami sudah seharusnya begitu.
Padahal
aku tak punya teman lain di sekolah.
Jonathan adalah aku, penderita disleksia
ringan yang merasa rendah dibandingkan teman-temannya yang lain. Semua nilaiku
pas-pasan untuk naik kelas. Apa pun usaha yang kulakukan tidak mengubah
keadaan. Semua memandangku sebagai anak yang bodoh. Pernah suatu kali ada guru
yang baik hati yang ingin membantuku. Dia menawarkan tambahan jadwal belajar di
rumahnya. Sayangnya, guru itu baru saja menikah sehingga tidak sampai seminggu
kami belajar tambahan bersama, dia cuti. Aku tak mengharapkan dia kembali
karena sang guru memang pindah ke luar
kota. Selanjutnya, aku masih tetap menjadi begini. Sendiri.
“Jojon.
Lo beliin gue roti dong. laper nih.”
Aku
tak mengacuhkan suara di belakangku. Teman sekelasku itu memanggilku Jojon,
kedengarannya aku seperti idiot, walaupun memang iya.
“Oi!
Budek lu, ya?” tanya yang lain.
Sebuah
gumpalan kertas mengenai kepalaku. Kemudian aku juga dilempari penghapus. Walau
begitu, aku tetap membaca buku. Kuusahakan mereka melihat punggungku yang
tegar. Aku akan tabah.
Cowok-cowok
itu makin ramai melempariku. Sampai ada seorang yang mendekati, orang yang
meminta dibelikan roti itu.
“Lo
udah idiot, budek juga. Mau nyari lawan sama gue?” ditariknya lenganku.
“Berdiri lo!”
Aku berdiri.
Dia mengambil buku yang sedangku baca.
“Nicholas
Sparks!?? Baca novel romantis lagi! Cowok masa baca beginian?” Dilemparnya buku
berjudul Dear John itu ke teman-teman
di belakang. Kemudian seperti koor paduan suara mereka tertawa. Sayangnya
suara mereka seperti kumpulan serigala yang kelaparan. Aneh juga cowok itu tahu
si pengarang novel kesukaanku.
“Gue
lapar. Beliin gue makanan di kantin!” bentaknya lagi.
“Uangnya?”
tanyaku.
“Pake
uang lo! Gue kan mintaknya ke elo!”
Kemudian
dengan pasrah aku pergi ke kantin.
Bagi
teman-teman sekolahku yang seperti itu, yang agak berandalan dan suka mengusili orang, aku adalah sasaran
empuk tindakan mereka. Bagi siswa yang populer, aku hanya kutu yang invisible. Bagi siswa yang biasa saja,
aku sebaiknya dihindari agar tidak terkena virus anti-populer. Sedangkan bagi
guruku, aku hanya pelengkap dalam kelas: dimana jika ada murid yang pintar
harus ada yang bodoh.
Rabu ini aku bertemu lagi dengan Andy,
kami makan di sebuah warung bakso. Andy mentraktirku karena dia baru saja
mendapat honor atas tulisannya yang dimuat di sebuah majalah.
“Bagaimana
novel Abang? Udah hampir selesai?” tanyaku sedikit antusias. Apalagi aku
terlalu banyak memberi cabe pada baksoku hingga kepedasan sendiri. Bicaraku jadi agak berlebihan.
“Masih belum, Dek. Butuh beberapa hal lagi agar settingnya semakin kuat.”
“Kalau udah siap, aku yang baca duluan, yah?”
“Siip.
Abang perlu sekali komentar kamu.” Andy mengambil sebuah tahu goreng dan
menikmatinya. “Kita sudah sering cerita tentang Abang. Sekarang tentang kamu,
dong. Bagaimana sekolahmu? Kegiatan selain ke perpustakaan apa?”
“Sekolahku
ya begitu-begitu saja. kadang menyebalkan, kadang biasa saja. pernah juga asyik
kalau guru-guru rapat bulanan dan kami pulang lebih cepat.”
Dia
tertawa. Kayaknya aku baru saja melucu, jadi aku tertawa juga.
“Di
sekolah aku ambil jurusan Ilmu Sosial, karena aku benci fisika dan kimia.
Walaupun aku juga benci akuntansi.”
“Kalau
pelajaran yang kamu suka?”
“Sejarah.”
“Ikut-ikut
Abang, ya?” ledeknya.
Aku
mengangguk. “Ya, mungkin…”
Aku menghindari apapun topik yang
menyangkut keluargaku. Sebaiknya jangan ada yang bertanya. Jangan ada yang
tahu. Tapi, sebaiknya juga aku mengatakannya. Oke, aku masih punya orangtua
lengkap. Mama dan Papa. Aku anak tunggal. Cukup, kan?
“Jo,
sudah bayar uang sekolahmu? Bagaimana kata gurumu, apa kita dimarahi?”
“Sempat dimarahi, Ma. Kita menunggak tiga bulan. Belum terlalu buat masalah, sih.
Bulan besok jangan sampai menunggak lagi, itu pesan pegawai Tata Usaha
sekolah.”
Kulihat
wajah Mama yang letih, semakin menua dan keriput di wajahnya samar-samar muncul
di sudut matanya. Kulitnya tak lagi secerah dimana aku lihat di foto beliau
masa muda dulu.
“Jangan
lupa siram tanaman di halaman, ya, Jo?”
“Iya,
Ma. Habis pulang dari perpus aku kerjakan.”
Beliau
sedang ada di dapur, mencuci piring, kurang lebih sama dengan apa yang
dilakukannya di tempat kerja. Mama seorang juru masak di sebuah restoran elit.
Dia mendapat bagian memasak makanan yang tidak penting, selebihnya tugas mencuci piring.
Aku
memeluk beliau dari belakang. Kemudian menelusuri perutnya. Kurasakan sebuah
bekas jahitan… dulu pernah ada luka di situ yang aku perbuat. Saat aku begitu
susah keluar sehingga beliau harus dioperasi. Tanda itu bukti betapa sedari
bayi pun aku sudah menyusahkannya. Aku menyayangi
mama. Sangat.
“Jangan
terlalu lelah. Mama nanti kerja shift malam, kan?”
“Iya.
Pergi sana. Nanti papamu pulang!”
Aku
bergegas pergi dengan sepadaku. Pergi kemana pun yang kuinginkan selain berada
di rumah. Sebisa mungkin aku jangan sampai berjumpa dengan Papa.
“Hai, abang!”
Jendela
itu terbuka begitu saja sehingga semua orang yang lewat hampir bisa melihat isi
kamar Andy. Dia sedang duduk di depan meja komputernya, kipas angin berembus
dengan kekuatan maksimal. Minggu yang lalu aku diajaknya ke kost itu dan
sekarang aku punya tujuan lain selain ke perpustakaan.
“Masuk,
Jo. Di kulkas ada es krim vanilla. Kalau mau ambil aja. Asal jangan dihabisin…”
Aku
tak langsung berlari ke kulkas walaupun sangat ingin menikmati makanan yang
jarang kudapatkan itu. Aku malah melangkah ke dekat Andy. Melihat apa yang
sedang dia ketik.
Andy
membiarkan saja komputer menyala selagi dia sibuk membaca buku sejarah yang
tebal sebagai referensi.
“Aku
tidak sabar menunggu untuk membaca cerita Abang,” kataku. “Ada kisah cintanya,
kan?”
Andy
menjelaskan kalau novel yang dia buat itu berkisah tentang orang-orang yang
berada di zaman penjajahan Jepang. Saat dimana kesusahan dan penderitaan
menjadi makanan sehari-hari. Meski pun Jepang hanya 3,5 tahun di Indonesia,
dampak buruknya setara dengan 3,5 abad penjajahan Belanda. Novel yang
ditulisnya akan mempunyai cerita dari sudut pandang beberapa orang. Termasuk
serdadu Jepang.
“Hmm,
menarik. ada cerita cintanya tidak?” tanyaku lagi.
“Cerita
cinta? Abang nulis ini biar belajar sejarah tidak melulu membosankan. Targetnya
memang anak-anak seumuran kamu. Tapi, kalau cerita cinta, agak susah ya?”
“Remaja
lebih suka yang romantis, apalagi cewek. Lagipula penikmat novel dari kalangan
cowok itu kebanyakan melankolis dan cenderung romantis juga,” kataku teringat
akan sebuah tulisan yang kubaca.
“Menurut
Abang, itu terlalu Hollywood,” bantahnya
sambil melepaskan kacamata yang hanya dipakainya jika membaca.
“Semua
orang suka Hollywood. Apalagi anak
muda.”
“Begitu,
ya?”
Aku
berjalan ke arah kulkas. Kutemukan dua kotak besar es krim rasa vanilla, yang
bertabur coklat, kacang, dan dipastikan berkalsium. “Kok ada dua?”
“Buat
kamu satu,” jawab Andy tersenyum.
“Benar
nih? Katanya tidak boleh habis.”
“Aku
bercanda. Aku memang sengaja beli dua biar kita sama-sama puas makannya.”
Dia
juga menuju kulkas dan mengambil salah satu kotak es krim. Satunya lagi sudah
berada di tanganku. Kemudian, dia memintaku mengambil sendok dan duduk
bersandar ke tempat tidur sambil menonton TV.
Kuyakin
orangtua Andy kaya raya. Bagaimana pun, mustahil ada mahasiswa S1 yang tinggal
di kost dengan fasilitas hampir lengkap kecuali finansial orangtua yang tak
perlu dipermasalahkan lagi. Apa pun yang diminta bisa hadir kapan saja.
Aku
merasa tak pantas di sini.
Apalagi
dia mengganti saluran berita TV One menjadi Global TV hanya karena melihatku
tertawa saat melihat Sponge Bob beraksi.
“Duh,
sudah SMA masih doyan Sponge Bob,” ledeknya. “Tidak apa-apa, deh. Kadang Abang
malas juga selalu nonton berita.”
“TV
kan buat hiburan, bukan buat kepala jadi tambah pusing.”
Beberapa
saat ruangan itu hanya dipenuhi suara Sponge Bob yang terbahak-bahak melihat
ulah Patrick Star mempermainkan Squid Ward.
“Jo,
mengenai yang tadi, yang kamu sarankan,” kata Andy.
“Yap?”
“Abang
belum pernah merasakan cinta… Abang belum pernah jatuh cinta yang
sebenar-benarnya. Jadi, Abang susah menuliskan kisah cinta. Ya, begitulah.”
Aku
hanya mendengarkan sambil menantapnya. Matanya sendu dan meski dia terlihat
selalu berfikir, kali ini Andy memikirkan hal yang lebih rumit. Lagipula apa
yang lebih rumit dari pada cinta? Cinta itu membingungkan, sederhana dan rumit
di saat yang bersamaan.
Contohnya,
kamu mencintai ibumu begitu rupa. Ibu yang telah melahirkanmu di dunia ini
(beberapa malah meninggalkan bekas luka di perut, seperti Mama). Tapi kadang
kamu juga membencinya karena tak pernah memahami apa yang sebenarnya kamu
inginkan. Pada satu titik waktu kamu merasakan mencintai ibumu sekaligus
membencinya.
“Menulis
itu seperti sebuah proses produksi di pabrik. Kita butuh input agar ada yang diolah. Input itu seperti bacaan atau
referensi, pengalaman, kisah yang kita dengar, bahkan perasaan pada hati.
Menulis adalah prosesnya. Terakhir, tulisan kita adalah output. Bagaimana Abang bisa menghasilkan novel yang ada kisah
cinta jika tak pernah merasakan.”
“Ya,
bagaimana kalau Abang mencoba jatuh cinta?” usulku, asal bicara saja.
Menariknya, Andy malah menyetujui saran absurd-ku.
Aku
tertawa melihatnya yang jadi serius padahal kami sedang melihat Sponge Bob
kehilangan Garry. Daguku sampai terangkat saking lepasnya tertawa.
“Tunggu!
Sekitar tengkuk kamu memar, Jo.”
Oh,
gawat, dia melihatnya. “Ini bukan apa-apa. Aku hanya terjatuh.” Kemudian
kutambahkan, “dari tempat tidur.”
“Seperti
habis dipukul dengan tongkat baseball,”
komentarnya.
Dalam
hati, kuiyakan apa yang dia sebut.
Pintu itu dibanting sehingga seluruh
rumah kami terasa dilanda gempa mini. Papa sudah berangkat lagi ke pangkalan tempat truknya berada. Dia seorang supir truk kontainer yang
bertugas mengantarkan apa yang perlu diantarkan. Huh, macam aku peduli saja.
Tiba-tiba, pintuku terbuka sedikit.
“Jo,
sudah bikin PR?” tanya Mama. Beliau menghampiriku yang sedang duduk di meja
belajar. Buru-buru kutepikan novel Nicholas Spark dan mengambil catatan
Akuntansi.
“Dalam
proses, Ma. Papa sudah pergi?”
Beliau
mengangguk. Kelelahan itu begitu pasti di raut wajahnya.
“Kadang
aku ingin kita pergi dari sini.”
“Hush,
kamu bicara apa? Rumah kita di sini. Kita satu keluarga di sini.”
Semua
hanya kebohongan, Ma. Ingin aku berteriak. Papa bersikap tidak selayaknya suami
atau orangtua. Dia seperti maharaja diraja dari negeri seberang. Datang kapan
pun dia inginkan dan semua yang dikehendaki harus tersedia.
“Bagaimana
hari-harimu? Menyenangkan?”
“Aku
jadi tak ingin hariku menyenangkan sedangkan Mama sedih. Bagaimana kalau aku
juga kerja membantu mama?”
Mama
menggeleng tegas. “Kita sudah bicarakan ini. Kamu akan tetap sekolah, lulus
hingga S1, baru kamu bisa mencari pekerjaan. Mama sudah putuskan itu. Hidup
kamu masih panjang, mama ingin kamu menikmati hidup.”
Aku
menghela nafas. “Aku punya seorang teman baru.”
“Oh,
ya?” tanya mama antusias.
“Namanya
Bang Andy, sudah kuliah, dan dia pernah kutolong saat dia jatuh di perempatan.
Sekarang, aku sering main ke kostnya. Tadi saja kami makan es kim.”
“Senangnya.
Bagaimana kalau besok mama bertemu dengan Andy itu? Kamu bisa ajak dia makan
malam di rumah kita. Mama kerja shift
pagi besok.”
Aku
tidak yakin dengan gagasan itu. Bayangan membawa seseorang, orang lain, ke
dalam rumah yang penuh rahasia untuk dunia luar ini, membuatku kurang yakin
apakah Andy akan menerima… menerima apa? Bahwa aku berasal dari keluarga
bobrok? Memangnya kenapa kalau dia tahu aku punya ayah pemarah dan ibu yang
selalu kelihatan lelah karena menjadi korban kekerasan? Aku malu? Mungkin.
“Apa
itu perlu?” tanyaku pada mama.
“Sudah
lama rumah ini tidak didatangi tamu sejak nenek meninggal. Ini akan
menyenangkan. Kamu tak pernah ajak teman sekolahmu, kenapa tidak mengajak orang
yang sudah kamu tolong itu?”
“Akan
aku coba bilang pada Bang Andy.”
Sebelum
keluar dari kamar, mama membelai pipiku. Aku menangkap tangannya yang kapalan
dan menahannya lebih lama di pipiku. Aku sayang mama.
Di atas meja makan terhidang makanan
istimewa. Masakan yang tak pernah ada di hari biasa. Mama sengaja membuatnya
untuk kedatangan Andy. Sedangkan Andy berbaik hati lagi membawakan es krim
vanilla, kali ini tiga kotak.
“Wow,
kelihatannya enak sekali,” kata mama.
Aku
duduk di samping Andy, sedangkan dihadapan kami Mama sibuk menata masakannya.
Selagi kami makan mama berbincang dengan Andy. Aku lebih banyak mendengarkan.
Sepertinya mereka berdua cocok.
“Entahlah,
pertemuan kami terjadi begitu saja. Kemudian bertemu lagi, sehingga jadi akrab
begini,” kata Andy sambil memandangku seakan meminta persetujuan.
“Jo
tidak merepotkan, kan?”
“Tidak!
Malah sering membantuku membuat tugas. Dia memang mengetik lambat, tapi aku
terbantu.”
Aku
menyikutnya. “Aku cuma mau melakukan itu selama Abang menjamin aku terus diberi es krim!”
Kami
bertiga tertawa.
Saatnya
makanan penutup. Mama menyiapkan tiga sendok dan membukakan kotak eskrim itu
satu per satu.
“Hmm,
Andy, mengenai mengetik lambat tadi…,” kata Mama. “Jo memang pernah disleksia,
walaupun agak ringan. Dia berusaha sebisa mungkin dapat membaca seperti anak
lainnya. Ya kan, Jo?”
Aku
mengangguk. Aku merasakan tatapan Andy di sampingku. Informasi ini baru
baginya. Mungkin dia merasa bersalah karena sering menggoda kemampuan
mengetikku yang parah. Aku memang
sengaja tidak memberitahunya.
“Ayo
nikmati es krimnya sebelum mencair,” kata Andy.
Saat
menikmati es krim pun kami bertiga berbincang. Syukurlah Andy tidak
bertanya-tanya tentang Papa. Dimana papa, kenapa tidak ada bersama kita?
Pertanyaan yang kutakutkan itu nyatanya tak keluar. Sedikit demi sedikit aku
merasa rileks di ruangan itu. Ruangan yang di hari lain dipenuhi sumpah serapah
Papa.
Andy
melingkari lengannya di kursiku dan duduk sangat santai. Aku malah jadi kikuk
namun merasa telindungi. Kulihat mata Mama yang mengagumi Andy. Beberapa saat
beliau menatapku, dan aku tak bisa menafsirkan apa arti tatapan itu.
“Siapa orang itu?” tanyaku pada mama.
Seorang pria yang gagah dengan kulit gelap duduk di ruang tamu sedang membaca
koran. Aku yang baru saja pulang dikejutkan oleh sapaannya yang begitu ramah.
Dia malah hampir memelukku.
“Teman
lama ayahmu. Dia sekarang tinggal di luar kota sebagai mandor pabrik. Dulu,
sebelum kamu lahir, dia sering datang ke sini.”
Aku
mengintip lagi dari dapur. Pria itu berwajah ramah, siapa pun pasti berpendapat
seperti itu. “Apa dia kesini untuk bertemu dengan Papa?”
“Dengan
kami berdua, Sayang. Ayo cepat makan siang. Sebentar lagi tolong kupaskan
kentang.”
“Baik,
Ma.”
Kuperhatikan
Mama, ada yang berbeda dengan dirinya. Apa itu riasan? Sekarang mama kelihatan
lebih ceria. Aku tahu mama memang masih cantik, tapi aku tak mengatakannya
langsung. Kukecup saja pipinya.
“Jadi, apa arti cinta?”
Aku
harap aku tidak merasa seperti ini. Dadaku agak berdebar dan suhu tubuh
meningkat. Andy hanya duduk disampingku dan bertanya hal yang… biasa. Itu hanya
untuk memperindah cerita dalam novelnya, kan?
“Aku
tidak tahu pasti. Setiap orang bisa mengartikan cinta, kurasa,” kataku.
“Benarkah?”
“Kupikir
orang sastra begitu dekat dengan masalah seperti itu. Mengungkapkan perasaan
hati dengan kata-kata… peribahasa, puisi, majas…”
“Masalahnya
aku yang tidak begitu pandai tentang itu. Jujur.”
Aku
terdiam ditatap begitu rupa seperti itu. “Kenapa tidak mencoba sebuah hubungan
dengan cewek. Abang tampan, pasti banyak cewek yang mau.”
“Begitu,
ya? Tapi aku tidak terlalu yakin aku akan menemukan cinta kalau aku memaksa
begitu. Inilah yang kumaksud, cinta yang
datang secara alami… begitu saja… seperti setiap kali kita bermimpi. Bukankah
kita tidak bisa meminta apa yang akan hadir di tidur kita?”
Aku
jadi teringat dengan Mama. Setelah meminta maaf karena obrolan kami beralih
topik, aku berkata, “Mama menjadi beda hari ini. Sepertinya kedatangan Om
Rahman itu begitu spesial. Mama berdandan, tidak seperti biasanya.”
“Tentu
saja mamamu berdandan karena ada tamu,” kata Andy.
“Tapi
sepertinya lebih dari itu… mereka terlibat… cinta?”
Andy
Aku melihat pemaafan, aku melihat kebenaran. Engkau melihatku
sebagaimana aku adanya… seperti bebintang memeluk purnama. Ditempat mereka
tepat berada. Dan kau tahu, kita kan selalu bersama.
Malam itu, aku berada di kafe bersama
teman-teman anggota jurnalistik kampus. Sambil menikmati cappucino panas yang
mengepul, aku teringat dengan Jo. Pertemuan terakhir kami yang didominasi
obrolan tentang cinta. Aku hanya bermaksud menggodanya saat bertanya “apa arti
cinta” dengan berbisik seperti itu. Aku tak mengharapkan apa-apa, karena apa
yang kurasakan ini belum kuketahui apa artinya. Bahkan aku tak begitu memahami
diriku.
Aku
bukan tak pernah jatuh cinta, hanya saja tak bisa membedakan mana yang
sebenarnya cinta atau hanya simpati belaka. Banyak perempuan yang mendekati dan
aku senang, tentu saja. Kebaikan hati siapa pun tentu harus dibalas dengan
kasih sayang. Namun, perasaan ingin memiliki… apakah itu cinta?
Aku
ingin menjadi pelindung bagi Jo. Entah kenapa saat melihat dia yang begitu
menyimpan banyak rahasia, kulihat ada kesedihan, kehampaan, dan kesendirian.
Dia memang pernah jujur padaku bahwa dirinya tak memiliki teman di sekolah. Semua
menjauhi hanya karena dia tampak bodoh.
Padahal
aku belajar banyak darinya.
Sebuah
pertandingan sepak bola disiarkan TV di kafe itu. Aku sesekali berkomentar dalam
percakapan dengan teman-teman. Saat di layar seorang pemain cekcok dengan
wasit, ponselku berdering. Jo menelponku.
“Bang,
mama…,” katanya terisak. “ Mama butuh ke rumah sakit!!!”
Aku dan Jo mendengarkan penjelasan
dokter dengan seksama. Akibat beberapa pukulan benda tumpul di sekitar kepala
dan dada beliau, beberapa tulang dan organ dalam mama Jo luka. Dia tidak
sadarkan diri.
“Koma.
Tubuhnya mengalami shock, tapi otaknya masih berfungsi, hanya saja kita perlu
menunggu waktu sampai dia sadar,” kata dokter itu sebelum pamit untuk memeriksa
pasien gawat darurat lainnya.
Aku
tak habis pikir, baru seminggu yang lalu aku bertemu mama Jo, kini dia
terbaring di rumah sakit dengan perban dan selang di penjuru tubuhnya. Sedangkan Jo, tentu saja lebih terguncang.
“Aku
tidak bisa…, aku tidak bisa melarang dia lakukan iu pada mama. Aku bodoh,
lemah… aku…!!”
Dia
menangis. aku tak sanggup melihat wajahnya sedih. Kurasakan pipiku juga basah.
Kuraih bahu Jo dan memaksa matanya menatap mataku.
“Kamu
kuat. Kamu sudah besar, Jo. Berdoa untuk kesembuhan mamamu. Jangan menangis.”
Dia
tetap menangis.
Kali
ini aku melingkari lenganku ke tubuhnya dan memeluk Jo erat. Kesedihan itu
baiknya kami bagi berdua. “Tenang. Aku ada di sini. Aku ada di sini.”
Hingga
tangisannya mereda, Jo masih dalam pelukanku.
Mama Jo dipindahkan ke ruangan lain,
VIP. Kupilih itu agar bisa mendapatkan apa yang dibutuhkan dengan maksimal.
Pada Jo, aku berjanji menanggung semua biaya. Dia bersikeras akan menggantinya suatu saat,
padahal itu tak perlu.
Pagi
hari, saat aku melihat Jo mulai terbangun, kudekati dia sambil melingkari
lenganku di bahunya. “Kamu perlu memberitahu sekolah biar kamu tidak dianggap
absen.”
Dia
menggeleng. “Aku tidak mau sekolah tahu.”
Aku
mengerti. Masalah keluarga yang sebaiknya jangan diketahui publik. Di lain
sisi, menurutku tidak bijak jika sekolah tidak diberitahu. Setidaknya kepala
sekolah mesti tahu.
“Abang
tidak perlu repot memikirkannya. Tak ada guru yang peduli padaku. Bahkan mereka
pun tak tahu aku ada.”
“Jangan
bicara seperti itu. Sekolah tempat kamu dititipkan untuk dididik. Tanggung
jawab guru jika terjadi sesuatu dengan muridnya. Kita ke sekolah nanti, boleh?
Ini demi kamu, Jo.”
Aku
merasa bangga dengan diriku sendiri. Entah kenapa, rasa hatiku yang kurasakan ini sudah cukup dibandingkan apa yang Jo sebut ‘akan membalas budi
baikku’. Aku ikhlas melakukan semuanya.
Akhirnya
kepala sekolah datang menjenguk mama Jo. Kepala Sekolah itu, seorang wanita
separuh baya yang baik hati. Dia berjanji akan merahasiakan masalah yang
sebenarnya dari orang lain. Sedangkan Jo diberi waktu untuk tidak sekolah
hingga dia merasa siap bertemu kembali dengan teman-temannya.
“Andy, mau ke mana?” tanya seorang cewek
sesama anggota jurnalistik kampus. Kami baru saja selesai rapat redaksi untuk
penerbitan koran selanjutnya.
“Rumah
sakit,” jawabku. Aku sedang memasang jaket dan helm. Kupikir cewek itu akan
beranjak karena menghalangi motorku lewat.
“Siapa
yang sakit?”
“Mama
temanku. Kenapa?”
“Ak butuh tumpangan. Bisa antari aku, tidak? Kalau kamu mau ke rumah sakit dulu
aku ikutan juga tidak apa-apa.”
Sebenarnya
aku agak kesal dengan cewek ini. Dia terkenal genit, susah kalau lihat cowok
ganteng, inginnya menggodai. Namun, aku tak mau membuat dianggap sombong. Aku
memberinya tumpangan plus rela mendengarkan celotehannya di sepanjang jalan.
Tanpa
diminta, Phia, curhat padaku tentang pacarnya yang terlalu posesif. Padahal sebelumnya mereka sepakat melakukan pacaran yang sehat (aku tidak
mengerti apanya yang sehat). Sekarang cowok Phia kadang bisa main kasar.
“Bayangkan,
aku kerja di LSM yang membantu korban KDRT malah hampir terkena kasus seperti itu! Unbelievable!”
Apa
yang kudengar seperti angin segar bagi masalahku, oh, lebih tepatnya masalah
keluarga Jo. Aku tak jadi mengantar Phia ke tempat tujuannya, alih-alih ikut
membawanya ke rumah sakit. Phia jelas bingung dengan perubahan sikapku yang
mendadak.
Saat
aku masuk ruangan opname mama Jo, kulihat Jo masih tetap duduk di samping
tempat duduk. Sepertinya dia tak berniat untuk melakukan apa paun, bahkan
sekedar menuci mukanya.
Jo
menoleh saat kupanggil. Dia terkejut melihat seorang cewek juga ikut bersamaku.
Aku perlu menjelaskan sebelum semua jadi salah paham.
“Phia
bekerja di LSM yang mengurus masalah KDRT. Kuharap kita bisa bekerjasama
dengannya agar kasus mamamu selesai,” kataku.
Jo
dan Phia menatapku bingung. Terlebih Jo. Phia bertanya-tanya dengan suaranya
yang melengking.
“Begini
Phia… mama temanku ini, Jo, adalah korban KDRT. Pelakunya saat ini tidak
diketahui di mana. Aku ingin kamu dan LSM-mu membantu menangani kasus ini dan
membawanya ke meja pengadilan. Berapa pun biayanya akan kutanggung.”
Wajah
Phia berubah menjadi serius.
“Kenapa
tidak bilang dari tadi? Aku tentu saja akan membantu. Aku hanya butuh beberapa
hal seperti kesaksian, bukti fisik, dan lainnya. Tapi, sepertinya bukti fisik
sudah di depan mata…”
Aku
tak sempat mendengarkan Phia lagi saat Jo dengan kasar menarikku ke luar kamar.
“Aku
tahu Abang sudah membayar semua biaya rumah sakit. Tapi, jangan terlalu ikut
campur urusan keluargaku, Bang. Aku bersyukur Papa menghilang entah kemana. Aku
tak mau berurusan dengan dia lagi. Mama masih koma, tapi Abang malah mengurus masalah pengadilan, hukum, penjara!”
Aku
menenangkan bahu Jo. Dia mulai memangis lagi.
“Banyak
kasus seperti ini yang terlambat diurus. Semua bukti lenyap, pelaku bebas
berkeliaran. Jika papamu tak segera diamankan, suatu saat dia akan
menyakitimu.”
Jo
memalingkan wajahnya.
“Jo,
dengar. Aku melakukan semua ini agar tidak ada lagi penderitaanmu dan mamamu.
Sejak mengenalmu aku tahu ada yang harus kutolong. Sejak kenal kamu entah
kenapa hanya terpikir kebahagiaan kamu. Dan ini bukan hanya masalah sekotak es
krim.”
Kali
ini tak ada yang menghalangi mata kami. Dia menatapku dan kuharap mataku
memancarkan kebenaran hatiku. Aku tulus menyayanginya.
“Biarkan
Phia membantu kita, oke?”
Dia
memelukku. “Aku minta maaf…,” katanya lirih.
Sebisa mungkin aku membantu Jo mempersiapkan
apa pun yang diminta Phia. Setelah dia cukup siap, Jo kembali masuk ke sekolah
seperti biasa. Masalah keluarga Jo tersimpan aman di Kepala Sekolah. Kami juga
bergantian menjaga mama Jo, mengajak mengobrol, meski pasti tidak dijawab, dan
mengawasi perkembangan kondisi beliau.
Aku
selalu membawa laptop ke rumah sakit untuk membuat tugas kuliah dan
menyelesaikan proyek novelku.
Namun,
saat yang paling menyenangkan adalah aku berada di ruangan itu bersama Jo.
Semua terasa berada di suatu titik temu dimana kami ada di dunia sendiri. Jika
kami terpisah, kami seakan berjalan di atas dua dunia.
Sedikit
demi sedikit aku belajar mengenai cinta, mencintai cinta dan orang yang
kucinta. Sedikit demi sedikit pula kisah cinta merasuki halaman-halaman calon
novel sejarahku yang berseting penjajahan Jepang dulu.
Aku
melihat tubuh mama Jo yang masih tidak sadarkan diri sambil bertanya-tanya
bagaimana sebuah hubungan atas nama cinta itu bisa memberi kesakitan seperti
itu. Apa mama Jo pernah mencintai suaminya? Atau suaminya mencintai dengan
definisinya sendiri?
Akhirnya Jo menceritakan apa yang dulu
dia rahasiakan dariku.
“Sebelum aku bertemu dengan Abang, aku pergi ke perpustakaan untuk
mengalami trance. Aku menyebutnya
begitu. Aku merasa memiliki kepribadian lain yang berbagi tubuh denganku ini.
Jika aku tak sadarkan diri, aku tak merasakan sakit apa pun saat Papa mulai
melecutku dengan ikat pinggangnya.”
Aku memaksa ingin melihat bekas luka pada punggung Jo. Begitu jelas memar itu. Aku menyentuhnya dan dia meringis.
“Di beberapa bagian sakitnya masih terasa.”
“Sebenarnya ide mama yang memintaku
pergi kemana pun yang aku mau jika papa sedang dirumah. Beliau yakin Papa tidak
akan marah besar padanya. Yah, mama menganggap umpatan bukan perkara besar.”
Jo tiba-tiba berhenti berbicara.
“Sampai… Om Rahman itu datang!” Dia seperti tersambar petir ide. “Kenapa
aku sampai melupakan dia? Om Rahman, ya, aku harap dia tahu jawaban semua ini!”
“Om Rahman yang datang waktu itu dan mamamu berdandan?” tanyaku
memastikan.
Jo mengangguk.
“Sepertinya memang ada cerita pada masa lalu mereka…,” kata Jo.
“... cerita cinta…?” tanyaku menebak.
Jo hampir membongkar seluruh kamar
mamanya. Dia hanya perlu menemukan petunjuk keberadaan Om Rahman. Dia
membutuhkan kartu nama, catatan nomor telepon. Mama Jo tidak memiliki ponsel,
jadi agak membingungkan di mana dia menyimpannya.
Pencarian
Jo berakhir saat dia menemukan kotak berisi belasan foto yang sudah mulai
termakan usia. Jo mengenali wajah di foto itu. Mama Jo dan suaminya, mama Jo
dengan beberapa temannya… dan Mama Jo bersama Om Rahman, saling memeluk. Sisi
belakang foto yang terakhir itu tertulis RIANA-RAHMAN UNTUK SELAMANYA.
Kotak
itu pula yang menyimpan kartu nama terbaru Om Rahman.
Aku dan Jo menyambut Om Rahman, yang
datang bersama istrinya. Om Rahman hadir dengan dua crutch. Tulang kakinya patah karena dipukuli dengan besi. Kepalanya
membutuhkan tujuh jahitan. Semua diterimanya dari papa Jo.
Saat
bersalaman dengan Jo, Om Rahman merangkul Jo dan terisak di pundaknya. Setelah
beberapa lama, baru beliau duduk di kursi samping tempat tidur pasien.
“Aku
mungkin memang pantas menerimanya dan aku sanggup. Tapi, Riana tidak… dia
begitu lembut dan tak pantas menderita lagi.” Om Rahman mengusap matanya
berkali-kali. Istrirnya setia duduk disamping, menenangkan.
“Om
Rahman,” kata Jo. Aku yang duduk disampingnya memberikan dukungan. “Aku ingin
tahu yang sebenarnya terjadi malam itu… sampai papa berbuat terlalu jauh
begini.”
“Aku,
Istriku, mama dan papamu sudah mengetahui ini Jo. Sekarang giliranmu yang tahu…
dan temanmu…?”
Aku
memperkenalkan diri,” Saya Andy, Om. Sahabat Jo.” Jo tersenyum saat mata kami
bersirobok.
“Baiklah.
Om ini tipe orang yang ingin semua masalah tuntas diselesaikan. Jangan ada yang
setengah-setengah. Walau pun begitu, masih saja ada hal yang tak kunjung
selesai karena ketakutan yang muncul di hati orang yang semakin menua ini.
Masalah mencintai seseorang.”
Aku
siap mendengarkan cerita cinta ini.
“Rahman
dan Riana, terkenal di kampus sebagai dua sejoli serasi,“ kata Om Rahman sambil
menatap istrinya, seakan mengatakan ‘itu hanya masa lalu, sayang’. “Sahabat
kami banyak, termasuk Indra, papa Jo. Indra juga mencintai Riana, atau dia
berkata seperti itu… dan Om terlalu pengecut untuk memulai sebuah hubungan yang
lebih serius karena masih menikmati jadi pasangan primadona kampus, Om didului oleh
Indra. Pria itu melamar Riana, dan tanpa alasan yang jelas Riana menerima.”
Air
mata menitik pada pipi Om Rahman. Setelah meminta izin istrinya, Om Rahman
menggenggam tangan mama Jo, cinta sejatinya.
“Beberapa
minggu setelah menikah, Riana datang pada Om… meminta maaf atas semua yang
terjadi. Apa yang diharapkannya dari Om adalah melupakan masa lalu dan mulai
menjalani kehidupan baru. Om tak terima, dan meminta dia tinggal lebih lama. Om
tak ingin memberi tindakan kami itu dengan sebuah nama. Tak pantas memang
seorang wanita yang sudah menikah bersama pria yang bukan suaminya. Namun, kami
saling mencintai dan saat itulah anugerah itu hadir diantara kami.”
Aku
bertanya-tanya.
“Anugerah?”
tanya Jo.
Istri
Om Rahman yang menjawab, “Kamu Jo. Kamulah sang anugerah. Awalnya Tante
ketakutan setengah mati mendengar kenyataan itu, tapi semua telah terjadi. Tak
ada yang perlu di sesali.”
“Jadi…?”
“Itulah
yang membuat papamu murka. Mungkin kamu jangan panggil saya Om lagi…,” kata Om
Rahman pada Jo. Dia mengajak Jo mendekat.
Aku
menepuk bahu Jo dan dia bagai robot kehabisan baterai. Pasti sulit mencerna
semua fakta mengejutkan ini.
Om
Rahman, Papa Jo sebenarnya, meraih tangan Jo, serta menumpuknya bersama tangan
mama Jo dan dia sendiri. “Kita ada di sini sebagai yang ditakdirkan bersatu…
meski di beberapa waktu kita terpisah.”
Momen
itu membuatku menitikkan air mata.
Saat
mengusap mata, aku mendengar sebuah suara. Mama Jo terbangun dari komanya.
“Kekuatan
cinta…,” bisikku lirih. Seperti munculnya perasaanku pada Jo. ***
P.S.: paragraf yang tercetak miring adalah terjemahan lirik
lagu “When I Look At You” dari Miley
Cyrus dengan beberapa perubahan.
http://nalurerenewws.blogspot.com/2018/08/taipanqq-4-kebiasaan-tidur-orang.html
ReplyDeleteTaipanbiru
TAIPANBIRU . COM | QQTAIPAN .NET | ASIATAIPAN . COM |
-KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID terbaik nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 8 Permainan.
• BandarQ
• AduQ
• Capsasusun
• Domino99
• Poker
• BandarPoker
• Sakong
• Bandar66
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• WA: +62 813 8217 0873
• BB : E314EED5
Daftar taipanqq
Taipanqq
taipanqq.com
Agen BandarQ
Kartu Online
Taipan1945
Judi Online
AgenSakong