Friday, January 20, 2012

Melalui Jendela

New York City.

Sebuah hari di awal musim dingin yang berangin. Jalanan dilewati mobil-mobil dan yellow cab—taksi khas New York—berhenti di perempatan, sopirnya memandang ke lampu lalu lintas yang juga kuning tergantung di sebuah tiang bersanding dengan tulisan “5 Av”. Seorang wanita yang menumpang taksi lain bersopir pria keturunan Asia Selatan (mungkin India atau Nepal) turun dan menyebrangi zebra cross. Gayanya sangat anggun dan tubuhnya tegak sama seperti saat dia berumur 25 tahun sekitar dua  puluh lima tahun yang lalu. Tangan kanannya menenteng tas koper coklat dan tangan kirinya memeluk coat yang lebih hangat—antisipasi angin yang lebih dingin.
            Wanita itu menuju sebuah penginapan mewah di salah satu sudut kota. Pelayannya selalu memanggil para wanita “Madame” dengan aksen Prancis yang unik walaupun bisa berbicara dengan aksen Amerika sempurna. Mereka hanya ingin memberikan sedikit keunikan yang sekiranya menjadi pengingat bagi pengguna jasa penginapan mewah itu. Apalagi wanita senang diperlakukan bak putri bangsawan—asal tidak berakhir seperti Marionette di bawah guillotin.
            Sebenarnya hanya ada satu kepala pelayan di penginapan itu—yang bekerjasama dengan beberapa chef dan janitor—yang rambutnya memutih sempurna namun tetap lebat. Kumisnya tak kalah lebat dan putih. Jas hitamnya dan dasi kupu-kupu pas di badannya yang masih meninggalkan kesan gagah dari masa muda.
            Pelayan bernama Bellhop itu meraih koper yang beralih tangan dari si wanita. “Lewat sini, Madame,” katanya, tak lupa dengan aksen Prancis.
            “Terima kasih.”
            Mereka berjalan menaiki tangga menuju ruangan yang telah direservasi sejak dua minggu lalu.

Rungan ini. Satu tempat tidur beralas putih bersih—tampak sangat nyaman. Satu set meja dari kayu mewah dan kaca oval besar yang mengingatkan pada dongeng Snow White—siapa yang paling cantik di dunia ini?—sangat sempurna. Kecuali satu.
            Suara-suara. Klakson mobil. Mesin yang menderu.
            Wanita ini butuh ketenangan…
—yang hening—
Dia memanggil pelayan melalui telepon. Segera seorang pelayan lain memasuki kamar itu.

Pria itu masih muda. Janggut rapinya dibiarkan tumbuh lebat, menambah kesan jantan. Rambutnya terpangkas rapi seakan setiap helai sama panjangnya. Dia kelihatan pendek… namun baru wanita itu sadari ada yang berbeda dari tubuhnya. Conginetal Kyphosis. Kelainan tulang belakang sehingga membengkok ke samping. Tak seperti dirinya yang tegak, pria muda ini bagai memiliki tubuh yang patah di perut dan terjatuh ke kanan.
            “Ehm,” wanita itu membersihkan tenggorokannya sembari si pelayan menunggu apa yang akan diintruksikan padanya. “Sepertinya ini bukan ruangan yang aku inginkan.”
            Pria itu memperhatikan selagi si wanita menoleh ke luar jendela.
            “Agak tidak nyaman karena terlalu dekat dengan keramaian lalu lintas.
            Terlalu banyak suara.
            Bising.”
            Pria itu akhirnya berkata. “Mari saya antarkan ke kamar yang lebih tenang dan nyaman.” Dia mengambil koper dan coat wanita itu dan segera keluar dari ruangan. Si wanita mengikuti sambil menggunakan coat tipis yang sempat dibukanya tadi.
            Mereka menuju lantai yang lebih tinggi. Lantai tiga? Empat? Mungkin dengan begini dia bisa mendapatkan hasil yang lebih baik… untuk hal yang sangat ingin dilakukannya. Wanita itu membatin. Benarkah lantai yang lebih tinggi akan lebih memudahkan?
            Pria itu melewati lantai tiga. Nafasnya semakin memburu. Si wanita kasihan melihat pria itu kesulitan membawa koper.
            “Aku saja yang membawanya,” tawar wanita itu.
            “Ini pekerjaanku.”
            Dia tak bisa bertindak apa-apa lagi. Wanita itu hanya mengikuti langkah tubuh yang “berbeda” itu ke lantai empat. Dia sempat melihat ball room di lantai tiga yang didominasi cat warna putih, sebuah piano di tengah-tengahnya. Apakah dia mendengar suara dentingan piano? Sepertinya bukan. Dia hanya terngiang suara merdu permainan sahabatnya yang mengiringinya saat di Paris lalu. Benarkah dia masih ingat? Padahal itu lebih dari enam tahun yang lalu.
            “Di sini, Madame,” kata si pria muda sambil membukakan pintu untuk si wanita masuk. Dia mengikuti di belakang membawa koper agak tertatih. Nafasnya masih terdengar begitu keras.
            “Ini bagus.”
            Pria itu tersenyum dan berjalan menuju jendela. Tangannya meraih gorden yang tersibaklah cahaya dari luar yang menyilaukan. Langit beranjak sore. Indah. Namun si wanita tahu apa yang lebih indah.
            “Aku harap sekarang turun salju.”
            Dia melihat langit menembus kaca jendela, seakan dengan begitu dia benar-benar melihat butiran putih yang dingin itu. Si pria pelayan mundur selangkah dan berdiri di belakangnya.
            “Dan jalanan tenang—tanpa ada mobil yang lewat.
            Serta dunia menjadi damai.”
            Dia tersenyum.
            “Sepertinya hari ini tak ada salju…,” kata si pria di belakang. Ikut tersenyum mendengar kata-kata si wanita yang seterdengar untaian puisi. serasa sebuah lirik lagu.
            “Kamu bukan orang Amerika?” tanya si wanita.
            Pria itu sadar aksennya tak bisa menyembunyikan dari mana dia berasal. Ghent, sebuah kota di Belgia, yang indah dan sangat alamai seperti sedianya di abad pertengahan. Namun, Amerika negeri impian… dia ke sini untuk mengikuti seseorang. Walau hanya menjadi seorang pelayan hotel di sini. Namun,  impiannya adalah berada di Amerika—dia mencapainya dengan segala keterbatasan di tubuhnya.
            “Ya, bukan… tak banyak di hotel ini orang Amerika.”
            Lagi-lagi si wanita tersenyum. “Inilah salah satu hal yang kucintai tentang New York. Malah yang paling kucintai. Semua orang datang dari tempat lain.”
            “Yeah.”
            Ternyata pria itu memang benar. Kamar ini jauh dari kebisingan kota. Tak ada klakson yellow cab melintas apalagi menggetarkan kaca oval di sudut ruangan.
            Well, “ kata si pria kemudian. “Aku harap Anda betah di sini. Silakan panggil saja kami jika Anda membutuhkan sesuatu.” Dia beranjak pergi.
            Si wanita memperhatikan saja di depan jendela. Kemudian dia berkata,
            “Kenapa tak ada bunga di sini?”
            Mungkinkah ada bunga di sini?
            Violet? Atau…?”
            Si pria berbalik memunggungi pintu.
            “Aku cinta violet. Sangat suka.”
            Si pria tersenyum, sepertinya berusaha memenuhi permintaan tamunya walau dia tak yakin bisa menemukan bunga tersebut.
            “Aku tak mengharapkan kalian membelinya, tentu saja, jika kalian… tak memilikinya.”
            “Saya yakin, saya akan mendapat bunga tersebut, Madame. Violet.”
            Wanita itu kembali hanya bisa menatap lekukan di punggung si pria yang menghilang perlahan di balik pintu. Dia mengagumi kepercayadirian pria muda tersebut. Walau wajahnya terlalu sedih untuk dilukiskan di sana.

Dua puluh menit berlalu.
            Si wanita menatapi dirinya di kaca oval. Kemudian berjalan ke seberangnya. Menuju nakas di sebelah tempat tidur. Lalu kembali ke kaca oval. Pikirannya sebenarnya tak henti bekerja. Menimbang. Segala apa yang menjadi pemikirannya sepanjang bulan ini.
            Tiba-tiba terdengar ketukan.
            Si wanita duduk di tepi tempat tidur. “Masuk.”
            Ternyata pria muda tadi… dengan sebuah pot kecil di tangannya. Bunga violet yang bewarna ungu gelap itu mustahil di hadapan si wanita.
            “Aku tidak membelinya.” Si pria terkekeh. “Anda pasti telah memintanya saat reservasi. Ini terletak dengan aman di bawah tangga lobi.”
            “Tidak. Sepertinya tidak.”
            “Begitukah?”
            “Luar biasa, ajaib.” Si wanita menerima pot dan menatap violet yang indah itu.
            Si pria tertawa.
            “Anda beruntung, ya? Violet ini telah menunggu Anda. Apakah ada keajaiban lain yang perlu saya bawa?”
            Si wanita berdiri. “Oh, aku meragukannya.” Dia telah menemukan berbagai keajaiban sepanjang hidupnya. Keajaiban yang membuatnya dahulu menjadi orang yang dikagumi. Berjuta orang telah mengatakan bahwa dia “luar biasa ajaib”. Suara yang indah. Rupa yang rupawan…
            Namun, keajaiban itu sepertinya segan mendekatinya lagi. Setelah sekian lama, lalu bunga ini? Kebetulan saja, kah? Atau benar-benar keajaiban? Ini hanya permintaan sesaat. Dia sudah cukup lelah menanti keajaiban yang benar-benar dibutuhkannya bertahun-tahun lalu.
Si wanita meletakkan bunga itu di atas perapian di samping kaca oval.
Kemudian terdengar batuk. Keras. Semakin keras.
Si wanita menoleh dan dilihatnya hidung pria itu bernoda. Darah.
“Ada apa?” dia bergegas mengambil sapu tangannya. “Kemarilah. Sini.”
Si pria tampak begitu kesakitan. “Maaf! Maafkan saya…!” Tangannya menutupi bagian bawah hidungnya.
“Kemarilah…”
“Tak perlu.”
“Jangan begitu. Ayo duduk di bangku itu.”
Si wanita membimbing pria itu menuju ke sofa tanpa sandaran di depan jendela. Si pria menerima sapu tangan dan menempelkannya ke hidung, berharap mimisan itu berhenti.
“Tengadahlah.”
Si wanita melihat rintihan pria itu… punggungnya yang agak menyulitkan… dan darah yang tak henti mengalir.
“Tengadahlah…”
Rintihan itu.
“Sakitkah?” Tak tahu apa yang harus mengucapkan apa, si wanita kemudian membelai pipi pria itu. “Ini bukan urusanku, tapi… apakah punggungmu yang…?”
Hanya rintihan yang menjawab pertanyaan itu.
“Tunggu di sini,” pinta si wanita.
Dia bergerak menuju telepon namun dilihatnya si pria telah berjalan ke pintu dan menghilang di baliknya. Dia ingin menyusul ke sana tapi urung. Dilihatnya lantai tempat si pria tadi mulai mengeluarkan darah. Dia yakin ada satu dua tetes yang terjatuh. Kini lantai itu tak sedikit pun benoda.
Keajaiban? Atau dia salah lihat?

Surat.
            Betapa pentingnya surat. Menyampaikan perasaan penulisnya. Membawa pesan ke pembacanya. Memberikan pemahaman—tahu, ada, hadir.
            Surat. Mungkin ini menjadi surat terakhirnya. Untuk orang yang dicintainya. Yang telah pergi. Meninggalkannya sendiri. Di dunia yang tak pernah benar-benar damai ini. Bahkan, siapa sangka tuhan masih memberi rasa sakit pada pria muda yang malang itu.
            Wanita itu tersenyum akan pikirannya, dia tidak percaya Tuhan—atau tidak terlalu percaya.
            Lidahnya menempel ke tepian amplop, kemudian surat itu masuk ke sana, dilipatnya. Terkahir, ditaruhnya di atas bantal. Untuk di baca siapa pun yang menemukannya pertama kali.
            Tubuhnya sudah siap.
            Di tatapnya jendela yang terbuka. Yang menghubungkannya dengan pengakhirannya.
            Gaun putih indah—yang pernah di pakainya di bawah sorotan lampu panggung indah di Paris—masih muat di tubuhnya. Hasil menjaga kesehatan tubuh. Dia menyisir rambut merahnya hingga rapi. Kemudian, dia mengambil pot kecil dari atas perapian.
            Seorang wanita tua yang kesepian memegang bunga violet untuk menuju pertemuan dengan orang yang dia cintai—seandainya hari akhir itu memang ada. Dia menggambarkan dirinya sendiri yang terpantul dari kaca oval.
            Siapa wanita yang paling cantik di dunia ini?
Bukan itu yang ditanyakannya.
            Apa yang menjadi penghalangku?
            Sebuah ketukan dari balik pintu.
            Dia mendesah, tapi tetap menuju pintu, membukanya sedikit.
            “Saya mempunyai sesuatu untuk Anda.” Ternyata pria muda kemarin.
            Si wanita ragu. Apa yang dilakukannya? Bagaimana kalau pria itu bertanya mengapa dia memakai gaun putih ini? Serta pot yang masih digenggamnya erat?
            “Bolehkah?” pinta pria itu. Dia menunjuk pada troli yang besertanya.
            Si wanita membuka pintu lebih lebar agar troli itu masuk.
            “Misteri asal violet itu terungkap.”
            Si wanita melempar wajah bertanya.
            “Ayah saya adalah, umm…,” si pria memposisikan troli itu di depan sofa. “Ayah saya manajer di sini—hotel ini. Beliau sangat bahagia mendengar bahwa Anda kembali.” Kemudan dia mengambil gelas wine di troli tersebut. “Beliau pengagum berat Anda, Madame. Katanya, beliau mendengar Anda bernyanyi beberapa kali di Paris.”
            “Sampaikan terima kasihku.”
            Si pria muda berdiri di samping troli, menanti.
            Terdengar suara seorang wanita bernyanyi. Sebuah opera. Merdu. Indah. Menghanyutkan…
            Wanita itu menyadari telinganya sedang menikmati suaranya sendiri.
            Pasti pria itu yang menyalakan audio dari ball room. Untuk apa?
            Pria itu tersenyum melihat perubahan ekspresi si wanita.
            “Paris, adalah tempat yang sangat ingin kukunjungi. Kota yang terkanal indah itu.”
            Si wanita, matanya hanya menatap dan telinganya mendengar. Bibirnya seketika gagu.
            Apa penghalangku? Batinya.
            “Apakah Anda ingin saya membukanya?” tawar si pria merujuk botol wine dalam baskom es di atas troli.
            “Mungkin.”
            Apa yang jadi penghalangnya?
            Si wanita kembali menutup pintu.
            Dia meminta pria itu untuk menemaninya menikmati anggur itu.
            “Sebaiknya saya tidak usah…,” tolak si pria.
            “Kumohon.”
            Sejenak mereka saling menatap. Hanya suara tutup botol berdesis menimpali nyanyian opera tadi. Si pria mengagumi kecantikan wanita itu. Dalam balutan gaun putih yang juga cantik. Si wanita tersenyum dan duduk di sofa.
            Berdua mereka duduk menghadap jendela. Masing masing memegang gelas berisi wine.
            Je t’adore,” kata si pria—aku mengagumimu.
            Merci.”
            Sante?”
            Mereka membenturkan ujung gelas. Bersulang.
            “Aku melihatmu bersedih. Tak seharusnya pria semudamu terlihat sedih.” Sedangkan aku tak masalah, aku memang menyedihkan.
            “Apakah Anda masih bernyanyi?”
            Si wanita menggeleng. Dia meminum anggurnya.
            “Hmmm?” si pria menyayangkan hal tersebut.
            “Tak pernah lagi.”
            “Maafkan saya. Sebenarnya saya sangat ingin mendengar nyanyian Anda, secara langsung. Saat Anda ada di atas panggung.”
            Angin berhembus dari balik jendela yang terbuka, mengibarkan gorden-gorden seperti rok yang tersibak. Si pria berinisiatif menutup jendela itu. “Anda kedinginan,” katanya. “Tentu saja.”
            Si wanita terkekeh.
            “Tidak?”
Si pria tetap berdiri menuju jendela di hadapan mereka. Si wanita tersenyum mengamati. Dia makin mengagumi sosok itu. Ketidaksempurnaan tulang belakangnya membuat dirinya sempurna. Dia manis dan perhatian.
Saat pria itu semakin dekat jendela, cahaya menjadi semakin silau. Seperti pria itu berjalan melewati tangga surga. Seperti tangan malaikat yang bercahaya menyambutnya dalam sebuah pelukan hangat.
“Dingin sekali bukan?”
Si pria tersenyum. Dia berbalik dan mundur semakin dekat ke jendela setinggi tubuhnya. Si wanita menyadari sesuatu. Pria itu terlalu dekat ke tepi jendela! Dan dia tak perlu mundur lagi untuk menutupnya. Dia bisa terjatuh.
Si pria mundur selangkah lagi.
Si wanita berlari. Jendela—jendela yang seharusnya menjadi tempat dia melemparkan diri. Jalur dia mengakhiri hidupnya untuk menyusul orang tercintanya… kini pria itu terjatuh dari sana.
Apa yang menjadi penghalangku? Pria muda itu. Sesosok yang memberinya pelajaran dan perhatian.
Kini dia telah tiada. Darah dari kepalanya bertemu dengan lantai batu jalur pejalan kaki 5th Avenue.

“Maafkan saya, Madame. Saya tak melihat apa pun. Tak ada siapa pun yang terjatuh dari jendela ini.” Bellhop berbalik memunggungi jendela itu. Dia hanya tak memahami kenapa si wanita tampat ketakutan mendekati jendela. “Apakah Anda benar-benar melihat sesuatu di bawah sana?”
            Si wanita tak yakin—menggeleng atau mengangguk? Tak yakin.
            Keajaiban apa ini?
            “Apakah Anda ingin saya menutup jendela ini, Madame? Ini dingin sekali.”
            “Ya. Mohon tutup jendelanya.”
            Setelah tak ada gorden yang terkibar, Bellhop menghadap si wanita.
            “Manajer begitu senang anda kembali ke hotel,” katanya. “Beliau ingat Anda sangat menyukai violet dan berharap Anda senang menerimanya. Beliau pengagum berat Anda, Madame. Beberapa kali dia menyaksikan Anda bernyanyi di Paris.”
            “Ya, sampaikan salam dan terima kasih saya…,” kata si wanita mencoba tersenyum. Mencoba memberikan senyum terindah. Untuk siapa? Pria muda yang tiba-tiba menghilang—apakah hanya mimpi atau khayalannya akibat kesepian?


_____________________________________
Cerpen ini adalah ekspresi literaturku terhadap salah satu film pendek di rangkaian film pendek New York I Love You. Semua ide, penciptaan tokoh, dan alur cerita bukanlah milik saya. Saya hanya mencoba menyajikan film ke bahasa tulis. Sejenis adaptasi. Berikut, data film tersebut:
Sutradara               : Shekhar Kapur
Penulis                   : Anthony Minghella
Pemain                   : Julie Christie, John Hurt, dan Shia LaBeouf  

No comments:

Post a Comment