New York City.
Sebuah hari di awal musim dingin yang berangin. Jalanan
dilewati mobil-mobil dan yellow cab—taksi
khas New York—berhenti di perempatan, sopirnya memandang ke lampu lalu lintas
yang juga kuning tergantung di sebuah tiang bersanding dengan tulisan “5 Av”. Seorang
wanita yang menumpang taksi lain bersopir pria keturunan Asia Selatan (mungkin
India atau Nepal) turun dan menyebrangi zebra cross. Gayanya sangat anggun dan tubuhnya tegak sama seperti saat
dia berumur 25 tahun sekitar dua puluh
lima tahun yang lalu. Tangan kanannya menenteng tas koper coklat dan tangan
kirinya memeluk coat yang lebih
hangat—antisipasi angin yang lebih dingin.
Wanita
itu menuju sebuah penginapan mewah di salah satu sudut kota. Pelayannya selalu
memanggil para wanita “Madame” dengan
aksen Prancis yang unik walaupun bisa berbicara dengan aksen Amerika sempurna.
Mereka hanya ingin memberikan sedikit keunikan yang sekiranya menjadi pengingat
bagi pengguna jasa penginapan mewah itu. Apalagi wanita senang diperlakukan bak
putri bangsawan—asal tidak berakhir seperti Marionette di bawah guillotin.
Sebenarnya
hanya ada satu kepala pelayan di penginapan itu—yang bekerjasama dengan
beberapa chef dan janitor—yang rambutnya memutih sempurna
namun tetap lebat. Kumisnya tak kalah lebat dan putih. Jas hitamnya dan dasi kupu-kupu
pas di badannya yang masih meninggalkan kesan gagah dari masa muda.
Pelayan
bernama Bellhop itu meraih koper yang beralih tangan dari si wanita. “Lewat
sini, Madame,” katanya, tak lupa
dengan aksen Prancis.
“Terima
kasih.”
Mereka
berjalan menaiki tangga menuju ruangan yang telah direservasi sejak dua minggu
lalu.
Rungan ini. Satu tempat tidur beralas putih bersih—tampak
sangat nyaman. Satu set meja dari kayu mewah dan kaca oval besar yang
mengingatkan pada dongeng Snow White—siapa
yang paling cantik di dunia ini?—sangat sempurna. Kecuali satu.
Suara-suara.
Klakson mobil. Mesin yang menderu.
Wanita
ini butuh ketenangan…
—yang hening—
Dia memanggil pelayan melalui
telepon. Segera seorang pelayan lain memasuki kamar itu.
Pria itu masih muda. Janggut rapinya dibiarkan tumbuh
lebat, menambah kesan jantan. Rambutnya terpangkas rapi seakan setiap helai
sama panjangnya. Dia kelihatan pendek… namun baru wanita itu sadari ada yang
berbeda dari tubuhnya. Conginetal
Kyphosis. Kelainan tulang belakang sehingga membengkok ke samping. Tak
seperti dirinya yang tegak, pria muda ini bagai memiliki tubuh yang patah di
perut dan terjatuh ke kanan.
“Ehm,”
wanita itu membersihkan tenggorokannya sembari si pelayan menunggu apa yang
akan diintruksikan padanya. “Sepertinya ini bukan ruangan yang aku inginkan.”
Pria
itu memperhatikan selagi si wanita menoleh ke luar jendela.
“Agak
tidak nyaman karena terlalu dekat dengan keramaian lalu lintas.
Terlalu
banyak suara.
Bising.”
Pria
itu akhirnya berkata. “Mari saya antarkan ke kamar yang lebih tenang dan
nyaman.” Dia mengambil koper dan coat
wanita itu dan segera keluar dari ruangan. Si wanita mengikuti sambil
menggunakan coat tipis yang sempat
dibukanya tadi.
Mereka
menuju lantai yang lebih tinggi. Lantai tiga? Empat? Mungkin dengan begini dia
bisa mendapatkan hasil yang lebih baik… untuk hal yang sangat ingin
dilakukannya. Wanita itu membatin. Benarkah
lantai yang lebih tinggi akan lebih memudahkan?
Pria
itu melewati lantai tiga. Nafasnya semakin memburu. Si wanita kasihan melihat
pria itu kesulitan membawa koper.
“Aku
saja yang membawanya,” tawar wanita itu.
“Ini
pekerjaanku.”
Dia
tak bisa bertindak apa-apa lagi. Wanita itu hanya mengikuti langkah tubuh yang “berbeda”
itu ke lantai empat. Dia sempat melihat ball
room di lantai tiga yang didominasi cat warna putih, sebuah piano di
tengah-tengahnya. Apakah dia mendengar suara dentingan piano? Sepertinya bukan.
Dia hanya terngiang suara merdu permainan sahabatnya yang mengiringinya saat di
Paris lalu. Benarkah dia masih ingat? Padahal itu lebih dari enam tahun yang
lalu.
“Di
sini, Madame,” kata si pria muda
sambil membukakan pintu untuk si wanita masuk. Dia mengikuti di belakang
membawa koper agak tertatih. Nafasnya masih terdengar begitu keras.
“Ini
bagus.”
Pria
itu tersenyum dan berjalan menuju jendela. Tangannya meraih gorden yang
tersibaklah cahaya dari luar yang menyilaukan. Langit beranjak sore. Indah. Namun
si wanita tahu apa yang lebih indah.
“Aku
harap sekarang turun salju.”
Dia
melihat langit menembus kaca jendela, seakan dengan begitu dia benar-benar
melihat butiran putih yang dingin itu. Si pria pelayan mundur selangkah dan
berdiri di belakangnya.
“Dan
jalanan tenang—tanpa ada mobil yang lewat.
Serta
dunia menjadi damai.”
Dia
tersenyum.
“Sepertinya
hari ini tak ada salju…,” kata si pria di belakang. Ikut tersenyum mendengar
kata-kata si wanita yang seterdengar untaian puisi. serasa sebuah lirik lagu.
“Kamu
bukan orang Amerika?” tanya si wanita.
Pria
itu sadar aksennya tak bisa menyembunyikan dari mana dia berasal. Ghent, sebuah
kota di Belgia, yang indah dan sangat alamai seperti sedianya di abad
pertengahan. Namun, Amerika negeri impian… dia ke sini untuk mengikuti
seseorang. Walau hanya menjadi seorang pelayan hotel di sini. Namun, impiannya adalah berada di Amerika—dia
mencapainya dengan segala keterbatasan di tubuhnya.
“Ya,
bukan… tak banyak di hotel ini orang Amerika.”
Lagi-lagi
si wanita tersenyum. “Inilah salah satu hal yang kucintai tentang New York.
Malah yang paling kucintai. Semua orang datang dari tempat lain.”
“Yeah.”
Ternyata
pria itu memang benar. Kamar ini jauh dari kebisingan kota. Tak ada klakson yellow cab melintas apalagi menggetarkan
kaca oval di sudut ruangan.
“Well, “ kata si pria kemudian. “Aku
harap Anda betah di sini. Silakan panggil saja kami jika Anda membutuhkan
sesuatu.” Dia beranjak pergi.
Si
wanita memperhatikan saja di depan jendela. Kemudian dia berkata,
“Kenapa
tak ada bunga di sini?”
Mungkinkah
ada bunga di sini?
Violet?
Atau…?”
Si
pria berbalik memunggungi pintu.
“Aku
cinta violet. Sangat suka.”
Si
pria tersenyum, sepertinya berusaha memenuhi permintaan tamunya walau dia tak
yakin bisa menemukan bunga tersebut.
“Aku
tak mengharapkan kalian membelinya, tentu saja, jika kalian… tak memilikinya.”
“Saya
yakin, saya akan mendapat bunga tersebut, Madame.
Violet.”
Wanita
itu kembali hanya bisa menatap lekukan di punggung si pria yang menghilang
perlahan di balik pintu. Dia mengagumi kepercayadirian pria muda tersebut. Walau
wajahnya terlalu sedih untuk dilukiskan di sana.
Dua puluh menit berlalu.
Si
wanita menatapi dirinya di kaca oval. Kemudian berjalan ke seberangnya. Menuju
nakas di sebelah tempat tidur. Lalu kembali ke kaca oval. Pikirannya sebenarnya
tak henti bekerja. Menimbang. Segala apa yang menjadi pemikirannya sepanjang
bulan ini.
Tiba-tiba
terdengar ketukan.
Si
wanita duduk di tepi tempat tidur. “Masuk.”
Ternyata
pria muda tadi… dengan sebuah pot kecil di tangannya. Bunga violet yang bewarna
ungu gelap itu mustahil di hadapan si wanita.
“Aku
tidak membelinya.” Si pria terkekeh. “Anda pasti telah memintanya saat
reservasi. Ini terletak dengan aman di bawah tangga lobi.”
“Tidak.
Sepertinya tidak.”
“Begitukah?”
“Luar
biasa, ajaib.” Si wanita menerima pot dan menatap violet yang indah itu.
Si
pria tertawa.
“Anda
beruntung, ya? Violet ini telah menunggu Anda. Apakah ada keajaiban lain yang
perlu saya bawa?”
Si
wanita berdiri. “Oh, aku meragukannya.” Dia telah menemukan berbagai keajaiban
sepanjang hidupnya. Keajaiban yang membuatnya dahulu menjadi orang yang
dikagumi. Berjuta orang telah mengatakan bahwa dia “luar biasa ajaib”. Suara
yang indah. Rupa yang rupawan…
Namun,
keajaiban itu sepertinya segan mendekatinya lagi. Setelah sekian lama, lalu
bunga ini? Kebetulan saja, kah? Atau benar-benar keajaiban? Ini hanya
permintaan sesaat. Dia sudah cukup lelah menanti keajaiban yang benar-benar
dibutuhkannya bertahun-tahun lalu.
Si wanita meletakkan bunga itu
di atas perapian di samping kaca oval.
Kemudian terdengar batuk. Keras.
Semakin keras.
Si wanita menoleh dan
dilihatnya hidung pria itu bernoda. Darah.
“Ada apa?” dia bergegas
mengambil sapu tangannya. “Kemarilah. Sini.”
Si pria tampak begitu
kesakitan. “Maaf! Maafkan saya…!” Tangannya menutupi bagian bawah hidungnya.
“Kemarilah…”
“Tak perlu.”
“Jangan begitu. Ayo duduk di
bangku itu.”
Si wanita membimbing pria itu
menuju ke sofa tanpa sandaran di depan jendela. Si pria menerima sapu tangan
dan menempelkannya ke hidung, berharap mimisan itu berhenti.
“Tengadahlah.”
Si wanita melihat rintihan
pria itu… punggungnya yang agak menyulitkan… dan darah yang tak henti mengalir.
“Tengadahlah…”
Rintihan itu.
“Sakitkah?” Tak tahu apa yang
harus mengucapkan apa, si wanita kemudian membelai pipi pria itu. “Ini bukan
urusanku, tapi… apakah punggungmu yang…?”
Hanya rintihan yang menjawab
pertanyaan itu.
“Tunggu di sini,” pinta si
wanita.
Dia bergerak menuju telepon
namun dilihatnya si pria telah berjalan ke pintu dan menghilang di baliknya. Dia
ingin menyusul ke sana tapi urung. Dilihatnya lantai tempat si pria tadi mulai
mengeluarkan darah. Dia yakin ada satu dua tetes yang terjatuh. Kini lantai itu
tak sedikit pun benoda.
Keajaiban? Atau dia salah
lihat?
Surat.
Betapa
pentingnya surat. Menyampaikan perasaan penulisnya. Membawa pesan ke
pembacanya. Memberikan pemahaman—tahu, ada, hadir.
Surat.
Mungkin ini menjadi surat terakhirnya. Untuk orang yang dicintainya. Yang telah
pergi. Meninggalkannya sendiri. Di dunia yang tak pernah benar-benar damai ini.
Bahkan, siapa sangka tuhan masih memberi rasa sakit pada pria muda yang malang
itu.
Wanita
itu tersenyum akan pikirannya, dia tidak percaya Tuhan—atau tidak terlalu
percaya.
Lidahnya
menempel ke tepian amplop, kemudian surat itu masuk ke sana, dilipatnya. Terkahir,
ditaruhnya di atas bantal. Untuk di baca siapa pun yang menemukannya pertama
kali.
Tubuhnya
sudah siap.
Di
tatapnya jendela yang terbuka. Yang menghubungkannya dengan pengakhirannya.
Gaun
putih indah—yang pernah di pakainya di bawah sorotan lampu panggung indah di
Paris—masih muat di tubuhnya. Hasil menjaga kesehatan tubuh. Dia menyisir
rambut merahnya hingga rapi. Kemudian, dia mengambil pot kecil dari atas
perapian.
Seorang wanita tua yang kesepian memegang
bunga violet untuk menuju pertemuan dengan orang yang dia cintai—seandainya
hari akhir itu memang ada. Dia menggambarkan dirinya sendiri yang terpantul
dari kaca oval.
Siapa wanita yang paling cantik di dunia ini?
Bukan itu yang ditanyakannya.
Apa yang menjadi penghalangku?
Sebuah
ketukan dari balik pintu.
Dia
mendesah, tapi tetap menuju pintu, membukanya sedikit.
“Saya
mempunyai sesuatu untuk Anda.” Ternyata pria muda kemarin.
Si
wanita ragu. Apa yang dilakukannya? Bagaimana kalau pria itu bertanya mengapa
dia memakai gaun putih ini? Serta pot yang masih digenggamnya erat?
“Bolehkah?”
pinta pria itu. Dia menunjuk pada troli yang besertanya.
Si
wanita membuka pintu lebih lebar agar troli itu masuk.
“Misteri
asal violet itu terungkap.”
Si
wanita melempar wajah bertanya.
“Ayah
saya adalah, umm…,” si pria memposisikan troli itu di depan sofa. “Ayah saya
manajer di sini—hotel ini. Beliau sangat bahagia mendengar bahwa Anda kembali.”
Kemudan dia mengambil gelas wine di troli tersebut. “Beliau pengagum berat
Anda, Madame. Katanya, beliau
mendengar Anda bernyanyi beberapa kali di Paris.”
“Sampaikan
terima kasihku.”
Si
pria muda berdiri di samping troli, menanti.
Terdengar
suara seorang wanita bernyanyi. Sebuah opera. Merdu. Indah. Menghanyutkan…
Wanita
itu menyadari telinganya sedang menikmati suaranya sendiri.
Pasti
pria itu yang menyalakan audio dari ball room. Untuk apa?
Pria
itu tersenyum melihat perubahan ekspresi si wanita.
“Paris,
adalah tempat yang sangat ingin kukunjungi. Kota yang terkanal indah itu.”
Si
wanita, matanya hanya menatap dan telinganya mendengar. Bibirnya seketika gagu.
Apa penghalangku? Batinya.
“Apakah
Anda ingin saya membukanya?” tawar si pria merujuk botol wine dalam baskom es di atas troli.
“Mungkin.”
Apa
yang jadi penghalangnya?
Si
wanita kembali menutup pintu.
Dia
meminta pria itu untuk menemaninya menikmati anggur itu.
“Sebaiknya
saya tidak usah…,” tolak si pria.
“Kumohon.”
Sejenak
mereka saling menatap. Hanya suara tutup botol berdesis menimpali nyanyian
opera tadi. Si pria mengagumi kecantikan wanita itu. Dalam balutan gaun putih
yang juga cantik. Si wanita tersenyum dan duduk di sofa.
Berdua
mereka duduk menghadap jendela. Masing masing memegang gelas berisi wine.
“Je t’adore,” kata si pria—aku
mengagumimu.
“Merci.”
“Sante?”
Mereka
membenturkan ujung gelas. Bersulang.
“Aku
melihatmu bersedih. Tak seharusnya pria semudamu terlihat sedih.” Sedangkan aku tak masalah, aku memang
menyedihkan.
“Apakah
Anda masih bernyanyi?”
Si
wanita menggeleng. Dia meminum anggurnya.
“Hmmm?”
si pria menyayangkan hal tersebut.
“Tak
pernah lagi.”
“Maafkan
saya. Sebenarnya saya sangat ingin mendengar nyanyian Anda, secara langsung. Saat
Anda ada di atas panggung.”
Angin
berhembus dari balik jendela yang terbuka, mengibarkan gorden-gorden seperti
rok yang tersibak. Si pria berinisiatif menutup jendela itu. “Anda kedinginan,”
katanya. “Tentu saja.”
Si
wanita terkekeh.
“Tidak?”
Si pria tetap berdiri menuju
jendela di hadapan mereka. Si wanita tersenyum mengamati. Dia makin mengagumi
sosok itu. Ketidaksempurnaan tulang belakangnya membuat dirinya sempurna. Dia
manis dan perhatian.
Saat pria itu semakin dekat
jendela, cahaya menjadi semakin silau. Seperti pria itu berjalan melewati
tangga surga. Seperti tangan malaikat yang bercahaya menyambutnya dalam sebuah
pelukan hangat.
“Dingin sekali bukan?”
Si pria tersenyum. Dia
berbalik dan mundur semakin dekat ke jendela setinggi tubuhnya. Si wanita
menyadari sesuatu. Pria itu terlalu dekat ke tepi jendela! Dan dia tak perlu
mundur lagi untuk menutupnya. Dia bisa terjatuh.
Si pria mundur selangkah lagi.
Si wanita berlari. Jendela—jendela
yang seharusnya menjadi tempat dia melemparkan diri. Jalur dia mengakhiri
hidupnya untuk menyusul orang tercintanya… kini pria itu terjatuh dari sana.
Apa yang menjadi penghalangku? Pria
muda itu. Sesosok yang memberinya pelajaran dan perhatian.
Kini dia telah tiada. Darah
dari kepalanya bertemu dengan lantai batu jalur pejalan kaki 5th
Avenue.
“Maafkan saya, Madame.
Saya tak melihat apa pun. Tak ada siapa pun yang terjatuh dari jendela ini.”
Bellhop berbalik memunggungi jendela itu. Dia hanya tak memahami kenapa si
wanita tampat ketakutan mendekati jendela. “Apakah Anda benar-benar melihat
sesuatu di bawah sana?”
Si
wanita tak yakin—menggeleng atau mengangguk? Tak yakin.
Keajaiban
apa ini?
“Apakah
Anda ingin saya menutup jendela ini, Madame?
Ini dingin sekali.”
“Ya. Mohon
tutup jendelanya.”
Setelah
tak ada gorden yang terkibar, Bellhop menghadap si wanita.
“Manajer
begitu senang anda kembali ke hotel,” katanya. “Beliau ingat Anda sangat
menyukai violet dan berharap Anda senang menerimanya. Beliau pengagum berat
Anda, Madame. Beberapa kali dia
menyaksikan Anda bernyanyi di Paris.”
“Ya,
sampaikan salam dan terima kasih saya…,” kata si wanita mencoba tersenyum. Mencoba
memberikan senyum terindah. Untuk siapa? Pria muda yang tiba-tiba menghilang—apakah
hanya mimpi atau khayalannya akibat kesepian?
_____________________________________
Cerpen ini adalah ekspresi literaturku terhadap salah satu
film pendek di rangkaian film pendek New York I
Love You. Semua ide, penciptaan tokoh, dan alur cerita bukanlah milik saya.
Saya hanya mencoba menyajikan film ke bahasa tulis. Sejenis adaptasi. Berikut,
data film tersebut:
Sutradara : Shekhar Kapur
Penulis : Anthony Minghella
Pemain : Julie Christie, John Hurt,
dan Shia LaBeouf
No comments:
Post a Comment