Sunday, January 1, 2012

BERSAMA JOE



Kudengar  bisik-bisik  dari  belakangku.  Bakso  dihadapanku  rasanya semakin tidak enak saja. Serasa menelan bola karet atau menyeruput sapu lidi. Apa lagi aku masih mengguncang-guncangkan botol sambal ke mangkuknya. Penuhilah!! Biar bisa membunuhku sekalian!!!
“Fatia,  kamu  kenapa?  Sambalnya  sudah  banyak  sekali.  Nanti  terlalu pedas...,” kata Jonathan dengan lembut. Mata hijaunya menuju mataku. Aku meleleh.
Aku meletakkan botol kaca itu agak keras, supaya cewek-cewek sirik dibelakangku kaget dan tak sengaja menumpahkan bakso ke dada mereka yang lebih dahulu tumpah ruah.
“Sayang, kamu kenapa sih? Marah sama aku?”
            Wajah  Jonathan  langsung sedih, mata hijaunya yang  tak  lepas memandangku meredup. Seperti cahaya yang  lima menit tadi masih ada disana kurenggut dengan kebeteanku. 
Ini bukan salahmu, Joe.
“Bukan. Tentu  saja bukan. Aku  sedikit pun  tak marah  sama  kamu. Terpikir pun tidak.”
Aku  hanya  bisa  terpesona,  meleleh,  bahagia,  senang,  dan  ribuan emosi positif lainnya, tambahku dalam hati. 
Seperti datangnya redup itu, secepat itu pula perginya. Oh, Joe, matamu indah sekali.
“Kalau begitu makan, ya, baksonya. Atau aku yang habisin??” tanya Joe kemudian.
Walaupun  dia  super-duper-wow-kerennya, Joe memiliki usus yang juga super panjang. Kerjaannya makan melulu.
Tapi, jangan kaget, ya. Cowok keren ini adalah pacarku.
Tuh, kan aku bilangin. Jangan kaget!!!

Oke,  aku  bisa  kenalkan  betapa  tampannya  Jonathan Nanda  Siddall  atau orang memanggilnya  Joe. Dari namanya saja  sudah ketahuan kalau keturunan bule.  Ibunya orang  Indonesia asli Minang,  sedangkan  si bapak  asli Cambridge dari  Inggris sana. Tapi dia sudah di  Indonesia sejak SD kelas 5.
Pas aku tanya kenapa pulang kampung (dia  juga bingung kampungnya dimana, Inggris atau Indonesia?), dia bilang karena Mamanya harus kembali mengajar di  sini, di Bukittinggi.  Sedangkan  Papanya mesti kerja di Perth, Australia. Pas aku tanya lagi memangnya tidak kangen pisah sama Papa. Eh, dia jawab, Papanya sekali seminggu ke Indonesia kok.
Sedeeeepp…, pasti Papanya naik pesawat  serasa naik angkot. Aku saja masih mimpi kapan bisa terbang. 
Wajah Joe adalah ukiran hebat Tuhan yang sedikit pun tidak memakai cita rasa Melayu. Kulitnya apalagi, kayak mayat hidup. Selain itu rambutnya  yang merah, duuh… halus banget!! Pengen megang  terus jadinya. Tingginya? Well, mungkin ini kutukan: dia tinggi menjulang 185 cm! Kalo  lagi kumpul sama teman pasti mengira Joe adalah agen CIA atau FBI yang sedang menyamar.
            Lalu, kenapa dia bisa jadian dengan aku si anak kampung dari Agam yang tinggi nggak nyampe 160 cm, kulit coklat pekat malu-malu, terus muka bulat dan pernah melewati masa bunder? Apalagi namaku Fatia. Coba tulis  tiga  huruf  awal  saja.  FAT.  Lihat  dari namaku  saja  sudah ditakdirkan jadi gendut. 
Kenapa dunia salah memasangkan dua manusia ini. yang lebih kayak Bumi dan Langit. Kenapa???
Itulah pertanyaan cewek-cewek  sirik  yang  berbisik  tepat di punggungku. Mereka  tak  sadar kalau bisikan setan mereka itu kedengaran di telingaku. Hehehe, aku tahu kenapa mereka  berfikir  tak  ada  yang mendengar. Karena mereka yang dibisikin  tak  bisa  dengar  kalau  lebih  pelan.
Maaf saja nih, tiga dari  lima cewek cantik mengalami masalah pendengaran  karena  tahi  kupingnya  banyak.  Mungkin  udah  membatu  saking lamanya nggak di keluarin. Rambut doang diurusin, huh! 
Jadi, mereka merasa aku yang jelek dan bundar  ini  lebih cocok  jadi pembantu Joe daripada jadi pacarnya. Sial banget! 
Setelah keluar dari Pondok Bakso itu dan melanjutkan jalan Minggu kami, melewati taman  Jam Gadang. Jonathan memaksaku bercerita. Dia ingin tahu kenapa baksoku harus dimarahin sampai memerah.
Aku  mengatakannya  dengan  gigi  melekat,  maksudnya rada-rada nggak jelas gitu. Joe sudah terlatih kok mendengarkan gumaman dariku.
Oh, they think you don’t deserve for me? Jangan konyol, Fatia… kamu mau dengerin semua komentar konyol orang lain tentang kita?”
“GGGG, ZZZZ.” Terjemahannya: “Gak, sih.”
            “Ini sudah ketiga kali, lho. Masa mau kalah untuk ketiga kali. Lawan emosi nggak jelas itu. Oke?”
Tuh, kan. Matanya selalu memaksa menembus kemataku. Aku meleleh nih. Apalagi  Jam Gadang dilatari matahari segede gajah. Cerah banget. Tambah meleleh.
“Aku  memang  seperti  yang  mereka  bilang,  kan?  Karena  faktanya benar aku marah. Marah sama diriku sendiri!”
Lagipula  ini  yang  ketujuh  puluh  lima  bagiku.  Yang  aku  ceritakan hanya tiga, Joe. 
“Marah sama diri sendiri karena fisik? Sayang sekali. bisa nggak marah kamu dipindahin ke marah sama pemerintah? Lihat tuh, nenek setua itu nggak dipedulikan pemerintah. Jadi pengemis dia.”
            Aku meleleh  sekaligus  terpesona.  Joe  selalu peduli  lingkungan dan sosial. Dia bisa memintaku untuk bersyukur tanpa harus ceramah. Caranya adalah langsung ke contoh soal. Biar pas ujian dapat 100. Hehehehe…
Kupandangi punggungnya yang berjalan menuju nenek itu. Sang nenek yang tua dan ramah beterima kasih atas pemberian Joe. “Teng kyu, Mister,” kata  beliau.  Deuh,  disangka  bule  lagi  deh.  Nenek  itu  agak  tersipu. Halah, udah tua juga.
“Yuk, jalan lagi,” ajak Joe. Dia merangkul pundakku. Pas diketeknya.
Aku bersyukur sama fisikku…. Tapi bisa nggak aku ditinggiiiin dikiiit aja???
  
Kami sudah kelas 3 SMA dan sebentar lagi ujian akhir menjelang.  Jadwal belajar kami secara sepihak ditambah pihak sekolah. Dua jam sehari harus mengikuti  kelas mata  pelajaran  yang  diujiankan.  Suebel, masak  sekolah tidak mau diskusi dulu sama siswa dan OSIS apakah tambahan  jam perlu. Kenapa kami harus belajar itu-itu terus. Kalau orientasinya ujian, seharusnya tak perlu  jadwal  intensif. Lebih baik belajar 2 bulan  intensif dan  lulus ujian  ketimbang  harus  sekolah  3  tahun  padahal  penentu  kelulusan  hanya ujian sekitar dua jam. Suebel.
Joe menenangkanku yang duduk disebelahnya. Kami sedang belajar matematika statistik kala aku menyampaikan keluh kesah. 
“Mungkin kamu nggak perlu jadwal  tambahan. Gimana yang  lain?” tanyanya mengajak diskusi.  Suaranya  pelan  dan  merdu.  Serasa  Edward Cullen lagi merayu Bella Swan. Tapi mungkin aku Swan doang. Angsa buruk rupa. Ups, ingat harus bersyukur!!!
“Harusnya mereka  udah  dapat  semua  yang  kita  juga  dapetin  dari guru. Kan bisa ulang pelajaran di rumah.”
“Gaya belajar orang macam-macam, Say. Ada yang perlu dibacakan, ada  yang  perlu  bersama-sama.  Ada  yang  bisa  sendirian  di  kamar.  Jadi nggak bisa sama rata…”
“Kalau begitu jangan sama rata juga harus ikut kelas tambahan. Aku jadi nggak bisa nonton serial Korea di TV.”
Joe terkekeh dan mengacak-acak rambutku. Melihat  itu, kelas kontan diam dan menoleh ke kami. Bu Neslida langsung meminta kami keluar dan dihukum berlutut di depan pintu. 
Dasar  Joe,  tapi  untunglah  bisa  keluar  dari  kebosanan  membahas rumus yang udah kukuasai. 

Joe aneh hari  ini. benar-benar aneh. Dia murung terus, saat aku tanya kenapa, dia malah memintaku melihat hapenya. Terpampang disana berita dari internet kalau seorang mahasiswa cerdas  Indonesia bunuh diri di NTU, Singapura. Lalu apa hubungannya? Kerabat Joe?
“Aku nggak kenal dia sedikit pun. Hanya saja aku merasa dia memilih cara yang tepat.”
Petir menyambarku. “Apa Joe? Cara yang tepat bagaimana? Menjatuhkan diri dari atap gedung itu tepat? Tepat untuk apa?”
 “Tepat untuk … aku nggak tau.”
            Dia murung, otomatis aku  juga. Seharian,  seminggu, sehari menjelang ujian  dia  masih  seperti  itu. Kami masih suka bersama, bercanda, hanya saja auranya aneh. Aku bukan master Reiki, tapi sebagai orang yang udah sehati (duh) aku merasa dia lagi aneh.
Mudah-mudahan bukan  jadi vampir. Apalagi aku sedang membaca novel New Moon. Jangan, Joe,  jangan ninggalin aku. Bisa-bisa aku berbulan-bulan kehilangan gairah hidup. Aku nggak punya Jacob Black atau sejenisnya. Jangan pergi!!
  
Hari  ujian pun  tiba. Aku  yang  agak  sulit  konsentrasi memikirkan Joe, lumayan berhasil menjawab soal. Aku berdoa supaya bisa dapat nilai  tinggi tanpa mencontek. Walaupun kunci jawaban  katanya sudah datang sejak Subuh dari Jakarta. Joe  juga bilang dia bisa menyelesaikan semua soal. Otaknya sesuper Jimmy Neutron sih. Genius!
Setelah masalah ujian selesai, aku ingin menuntaskan kegelisahanku. Apakah Joe berniat untuk melakukan bunuh diri.
 “Jawab, Joe…,” paksaku. Wajahnya dia palingkan dariku. Kuraih pipi putih itu dan meminta agar menatapku. “Bilang kamu nggak pernah berpikiran sedikit pun tentang bunuh diri. Bilang, Joe!”
“…Nggak…”
            “Kamu harus  janji buat menutup pikiranmu  tentang  ini. bunuh diri itu dosa, Sayang…”
“Sayangnya  aku  bukan  hamba yang baik.  Ibadahku  kurang…,” Matanya meredup.
“Plis, kamu jangan ngomong seperti  itu.  Kamu bisa tambah mulai sekarang. Ibadah nggak hanya ritual, tetapi juga peduli pada sesama,  sedekah, bersabar, belajar yang rajin. Kamu yang ajarin semua sama aku!”
“Aku nggak tahu, Fatia... Aku sudah baca banyak orang yang jenius, cantik, tampan, atau    kaya yang bunuh diri. Entah kenapa aku merasa bahwa aku selanjutnya.”
I don’t give a damn!” lolongku. “Kamu Joe, bukan mereka!!!” 
Aku meraung, memukul dadanya. Kenapa dia begitu kejam membicarakan kematian denganku? Dia mau meninggalkanku?? Setelah itu aku yang bakal mati, Joe!
“Dengar  Jonathan,  suara  itu  hanya  bisikan  setan. Kamu bisa tutup telingamu!”
Dia menutup telinganya. Dia kok jadi bodoh?  Mengartikan kata-kataku secara literal.
            “Aku tak tahu harus bagaimana…”
            Joe menangis, begitu juga aku. Kami saling bersandar, berpelukan di kamarnya yang didominasi gambar ruang angkasa. 
            “Sini  telinga  kamu  Joe…,  biar  aku bisiki  kalimt yang lebih pantas.” Mulutku mencapai  telinganya. Pelan kubisikkan, “Kamu tidak akan mati sebelum menjadi astronot Indonesia. Kamu akan menikah dan punya anak sampai berumur tua. Mungkin seratus tahun.”
Entah karena geli atau karena kata-kataku, dia  terkekeh. Tangisannya berganti senyum.
            “Kata-kataku tadi akan menghantuimu. Selamanya,” kataku yakin.
             “Semoga.”
 
Takdir kami berbeda. Seharusnya aku sadari  itu. Dia adalah langit dan aku bumi. Dia kuliah di  Leeds dan  aku di Padang.  Jarak yang  super  jauh. Untung saja internet ada, kami tak putus kontak. Aku pun tetap menjadi pacarnya.
Dia sepertinya berhasil mengusir pikiran bunuh diri  itu. Semoga kata-kataku melekat di telinganya. Dia akan menjadi astronot, mungkin menikahiku, dan akan hidup sampai tua.
            Itu harapanku. 
Sebelum aku terkejut bahwa akunnya di seluruh situs jejaring sosial, blognya, emailnya, akun di file hostingnya sudah dihapus. Joe? Aku hilang kontak dengannya.  Ibunya  tak bisa kutemui karena ke  Inggris bersama ayahnya. Oh, Tuhan. Apa yang terjadi? Jangan-jangan Joe…

Sehari setelah akun Joe hilang, aku menerima sebuah email dari seseorang yang misterius. Mr.X namanya.

 LIFE IS HARD 
Joe had proven it.
And next is your turn…
 Join us… Let your soul free…

 Aku terkejut membacanya. Dan tiba-tiba saja ada yang berbisik padaku. “Selanjutnya giliranmu, Fatia. Bergabunglah… bersama Joe.”
            Toloooooong…..!!!

No comments:

Post a Comment