Kudengar
bisik-bisik dari belakangku.
Bakso dihadapanku rasanya semakin tidak enak saja. Serasa
menelan bola karet atau menyeruput sapu lidi. Apa lagi aku masih
mengguncang-guncangkan botol sambal ke mangkuknya. Penuhilah!! Biar bisa
membunuhku sekalian!!!
“Fatia, kamu kenapa?
Sambalnya sudah banyak
sekali. Nanti terlalu pedas...,” kata Jonathan dengan lembut. Mata hijaunya menuju
mataku. Aku meleleh.
Aku meletakkan botol kaca itu agak keras, supaya cewek-cewek sirik
dibelakangku kaget dan tak sengaja menumpahkan bakso ke dada mereka yang lebih
dahulu tumpah ruah.
“Sayang, kamu kenapa sih? Marah sama aku?”
Wajah
Jonathan langsung sedih, mata
hijaunya yang tak lepas memandangku meredup. Seperti cahaya yang lima menit tadi masih ada disana kurenggut
dengan kebeteanku.
Ini bukan salahmu, Joe.
“Bukan. Tentu saja bukan. Aku sedikit pun
tak marah sama kamu. Terpikir pun tidak.”
Aku hanya bisa
terpesona, meleleh, bahagia,
senang, dan ribuan emosi positif lainnya, tambahku dalam
hati.
Seperti datangnya redup itu, secepat itu pula perginya. Oh, Joe, matamu
indah sekali.
“Kalau begitu makan, ya, baksonya. Atau aku yang habisin??” tanya Joe kemudian.
Walaupun dia super-duper-wow-kerennya, Joe memiliki usus yang juga super panjang. Kerjaannya makan melulu.
Tapi, jangan kaget, ya. Cowok keren ini adalah pacarku.
Tuh, kan aku bilangin. Jangan kaget!!!
Oke,
aku bisa kenalkan
betapa tampannya Jonathan Nanda Siddall
atau orang memanggilnya Joe. Dari
namanya saja sudah ketahuan kalau
keturunan bule. Ibunya orang Indonesia asli Minang, sedangkan
si bapak asli Cambridge dari Inggris sana. Tapi dia sudah di Indonesia sejak SD kelas 5.
Pas aku tanya kenapa pulang kampung (dia
juga bingung kampungnya dimana, Inggris atau Indonesia?), dia bilang
karena Mamanya harus kembali mengajar di
sini, di Bukittinggi.
Sedangkan Papanya mesti kerja di
Perth, Australia. Pas aku tanya lagi memangnya tidak kangen pisah sama Papa.
Eh, dia jawab, Papanya sekali seminggu ke Indonesia kok.
Sedeeeepp…, pasti Papanya naik pesawat serasa naik angkot. Aku saja masih mimpi kapan bisa terbang.
Wajah Joe adalah ukiran hebat Tuhan yang sedikit pun tidak memakai cita rasa Melayu.
Kulitnya apalagi, kayak mayat hidup. Selain itu rambutnya yang merah, duuh… halus banget!! Pengen megang terus jadinya. Tingginya? Well, mungkin ini kutukan: dia tinggi
menjulang 185 cm! Kalo lagi kumpul sama
teman pasti mengira Joe adalah agen CIA atau FBI yang sedang menyamar.
Lalu, kenapa dia bisa jadian dengan
aku si anak kampung dari Agam yang tinggi nggak nyampe 160 cm, kulit coklat
pekat malu-malu, terus muka bulat dan pernah melewati masa bunder? Apalagi
namaku Fatia. Coba tulis tiga huruf
awal saja. FAT.
Lihat dari namaku saja
sudah ditakdirkan jadi gendut.
Kenapa dunia salah memasangkan dua manusia ini. yang lebih kayak Bumi dan
Langit. Kenapa???
Itulah pertanyaan cewek-cewek
sirik yang berbisik
tepat di punggungku. Mereka
tak sadar kalau bisikan setan
mereka itu kedengaran di telingaku. Hehehe, aku tahu kenapa
mereka berfikir tak
ada yang mendengar. Karena mereka
yang dibisikin tak bisa
dengar kalau lebih
pelan.
Maaf saja nih, tiga dari lima cewek
cantik mengalami masalah pendengaran
karena tahi kupingnya
banyak. Mungkin udah
membatu saking lamanya nggak di
keluarin. Rambut doang diurusin, huh!
Jadi, mereka merasa aku yang jelek dan bundar ini lebih cocok
jadi pembantu Joe daripada jadi pacarnya. Sial banget!
Setelah keluar dari Pondok Bakso itu dan melanjutkan jalan Minggu kami, melewati
taman Jam Gadang. Jonathan memaksaku
bercerita. Dia ingin tahu kenapa baksoku harus dimarahin sampai memerah.
Aku mengatakannya dengan
gigi melekat, maksudnya rada-rada nggak jelas gitu. Joe
sudah terlatih kok mendengarkan gumaman dariku.
“Oh, they think you don’t deserve for me? Jangan konyol, Fatia… kamu mau dengerin semua komentar konyol orang lain tentang kita?”
“GGGG, ZZZZ.” Terjemahannya: “Gak, sih.”
“Ini sudah ketiga kali, lho. Masa mau
kalah untuk ketiga kali. Lawan emosi nggak jelas itu. Oke?”
Tuh, kan. Matanya selalu memaksa menembus kemataku. Aku meleleh nih.
Apalagi Jam Gadang dilatari matahari
segede gajah. Cerah banget. Tambah meleleh.
“Aku memang seperti
yang mereka bilang,
kan? Karena faktanya benar aku marah. Marah sama diriku
sendiri!”
Lagipula ini yang
ketujuh puluh lima
bagiku. Yang aku
ceritakan hanya tiga, Joe.
“Marah sama diri sendiri karena fisik? Sayang sekali. bisa nggak marah
kamu dipindahin ke marah sama pemerintah? Lihat tuh, nenek setua itu nggak
dipedulikan pemerintah. Jadi pengemis dia.”
Aku meleleh sekaligus
terpesona. Joe selalu peduli
lingkungan dan sosial. Dia bisa memintaku untuk bersyukur tanpa harus
ceramah. Caranya adalah langsung ke contoh soal. Biar pas ujian dapat 100.
Hehehehe…
Kupandangi punggungnya yang berjalan menuju nenek itu. Sang nenek yang tua dan ramah beterima
kasih atas pemberian Joe. “Teng kyu, Mister,” kata beliau.
Deuh, disangka bule
lagi deh. Nenek
itu agak tersipu. Halah, udah tua juga.
“Yuk, jalan lagi,” ajak Joe. Dia merangkul pundakku. Pas diketeknya.
Aku bersyukur sama fisikku…. Tapi bisa nggak aku ditinggiiiin dikiiit aja???
Kami sudah kelas 3 SMA dan sebentar lagi ujian akhir menjelang.
Jadwal belajar kami secara sepihak ditambah pihak sekolah. Dua jam
sehari harus mengikuti kelas mata pelajaran
yang diujiankan. Suebel, masak
sekolah tidak mau diskusi dulu sama siswa dan OSIS apakah tambahan jam perlu. Kenapa kami harus belajar itu-itu
terus. Kalau orientasinya ujian, seharusnya tak perlu jadwal
intensif. Lebih baik belajar 2 bulan
intensif dan lulus ujian ketimbang
harus sekolah 3
tahun padahal
penentu kelulusan hanya ujian sekitar dua jam. Suebel.
Joe menenangkanku yang duduk disebelahnya. Kami sedang belajar
matematika statistik kala aku menyampaikan keluh kesah.
“Mungkin kamu nggak perlu jadwal tambahan.
Gimana yang lain?” tanyanya mengajak
diskusi. Suaranya pelan
dan merdu. Serasa
Edward Cullen lagi merayu Bella Swan. Tapi mungkin aku Swan doang. Angsa
buruk rupa. Ups, ingat harus bersyukur!!!
“Harusnya mereka udah dapat
semua yang kita
juga dapetin dari guru. Kan bisa ulang pelajaran di
rumah.”
“Gaya belajar orang macam-macam, Say. Ada yang perlu dibacakan, ada yang
perlu bersama-sama. Ada
yang bisa sendirian
di kamar. Jadi nggak bisa sama rata…”
“Kalau begitu jangan sama rata juga harus ikut kelas tambahan. Aku jadi
nggak bisa nonton serial Korea di TV.”
Joe terkekeh dan mengacak-acak rambutku. Melihat itu, kelas kontan diam dan menoleh ke kami.
Bu Neslida langsung meminta kami keluar dan dihukum berlutut di depan pintu.
Dasar Joe, tapi
untunglah bisa keluar
dari kebosanan membahas rumus yang udah kukuasai.
Joe aneh hari ini. benar-benar aneh. Dia murung terus, saat
aku tanya kenapa, dia malah memintaku melihat hapenya. Terpampang disana berita dari
internet kalau seorang mahasiswa cerdas
Indonesia bunuh diri di NTU, Singapura. Lalu apa hubungannya? Kerabat
Joe?
“Aku nggak kenal dia sedikit pun. Hanya saja aku merasa dia memilih cara
yang tepat.”
Petir menyambarku. “Apa Joe? Cara yang tepat bagaimana? Menjatuhkan diri
dari atap gedung itu tepat? Tepat untuk apa?”
“Tepat untuk … aku nggak tau.”
Dia murung, otomatis aku juga. Seharian, seminggu, sehari menjelang ujian dia
masih seperti itu. Kami masih suka bersama, bercanda, hanya
saja auranya aneh. Aku bukan master Reiki, tapi sebagai orang yang udah sehati
(duh) aku merasa dia lagi aneh.
Mudah-mudahan bukan jadi vampir.
Apalagi aku sedang membaca novel New Moon. Jangan, Joe,
jangan ninggalin aku. Bisa-bisa aku berbulan-bulan kehilangan gairah
hidup. Aku nggak punya Jacob Black atau sejenisnya. Jangan pergi!!
Hari
ujian pun tiba. Aku yang
agak sulit konsentrasi memikirkan Joe, lumayan berhasil
menjawab soal. Aku berdoa supaya bisa dapat nilai tinggi tanpa mencontek. Walaupun kunci jawaban katanya sudah datang sejak Subuh dari Jakarta.
Joe juga bilang dia bisa menyelesaikan semua soal. Otaknya sesuper Jimmy Neutron sih. Genius!
Setelah masalah ujian selesai, aku ingin menuntaskan kegelisahanku. Apakah Joe
berniat untuk melakukan bunuh diri.
“Jawab, Joe…,” paksaku. Wajahnya
dia palingkan dariku. Kuraih pipi putih itu dan meminta agar menatapku. “Bilang
kamu nggak pernah berpikiran sedikit pun tentang bunuh diri. Bilang, Joe!”
“…Nggak…”
“Kamu harus janji buat menutup pikiranmu tentang
ini. bunuh diri itu dosa, Sayang…”
“Sayangnya aku bukan
hamba yang baik. Ibadahku kurang…,” Matanya meredup.
“Plis, kamu jangan ngomong seperti
itu. Kamu bisa tambah mulai
sekarang. Ibadah nggak hanya ritual, tetapi juga peduli pada sesama,
sedekah, bersabar, belajar yang rajin. Kamu yang ajarin semua sama aku!”
“Aku nggak tahu, Fatia... Aku sudah baca banyak orang yang jenius, cantik,
tampan, atau kaya yang bunuh
diri. Entah kenapa aku merasa bahwa aku selanjutnya.”
“I don’t give a damn!” lolongku.
“Kamu Joe, bukan mereka!!!”
Aku meraung, memukul dadanya. Kenapa dia begitu kejam membicarakan
kematian denganku? Dia mau meninggalkanku?? Setelah itu aku yang bakal mati, Joe!
“Dengar Jonathan, suara
itu hanya bisikan
setan. Kamu bisa tutup telingamu!”
Dia menutup telinganya. Dia kok jadi bodoh?
Mengartikan kata-kataku secara literal.
“Aku tak tahu harus bagaimana…”
Joe menangis, begitu juga aku. Kami
saling bersandar, berpelukan di kamarnya yang didominasi gambar ruang
angkasa.
“Sini
telinga kamu Joe…,
biar aku bisiki kalimt yang lebih pantas.” Mulutku mencapai telinganya. Pelan kubisikkan, “Kamu tidak
akan mati sebelum menjadi astronot Indonesia. Kamu akan menikah dan punya anak
sampai berumur tua. Mungkin seratus tahun.”
Entah karena geli atau karena kata-kataku, dia terkekeh. Tangisannya berganti senyum.
“Kata-kataku tadi akan menghantuimu. Selamanya,” kataku yakin.
“Semoga.”
Takdir kami berbeda. Seharusnya aku
sadari itu. Dia adalah langit dan aku
bumi. Dia kuliah di Leeds dan aku di Padang. Jarak yang
super jauh. Untung saja internet
ada, kami tak putus kontak. Aku pun tetap menjadi pacarnya.
Dia sepertinya berhasil mengusir pikiran bunuh diri itu. Semoga kata-kataku melekat di
telinganya. Dia akan menjadi astronot, mungkin menikahiku, dan akan hidup
sampai tua.
Itu harapanku.
Sebelum aku terkejut bahwa akunnya di seluruh situs jejaring sosial,
blognya, emailnya, akun di file hostingnya sudah
dihapus. Joe? Aku hilang kontak dengannya.
Ibunya tak bisa kutemui karena
ke Inggris bersama ayahnya. Oh, Tuhan.
Apa yang terjadi? Jangan-jangan Joe…
Sehari setelah akun Joe hilang, aku menerima
sebuah email dari seseorang yang
misterius. Mr.X namanya.
LIFE IS HARD
Joe had proven it.
And next is your turn…
Join us… Let your soul
free…
Aku terkejut membacanya. Dan tiba-tiba saja
ada yang berbisik padaku. “Selanjutnya giliranmu, Fatia. Bergabunglah… bersama
Joe.”
Toloooooong…..!!!
No comments:
Post a Comment