Friday, January 20, 2012

Melalui Jendela

New York City.

Sebuah hari di awal musim dingin yang berangin. Jalanan dilewati mobil-mobil dan yellow cab—taksi khas New York—berhenti di perempatan, sopirnya memandang ke lampu lalu lintas yang juga kuning tergantung di sebuah tiang bersanding dengan tulisan “5 Av”. Seorang wanita yang menumpang taksi lain bersopir pria keturunan Asia Selatan (mungkin India atau Nepal) turun dan menyebrangi zebra cross. Gayanya sangat anggun dan tubuhnya tegak sama seperti saat dia berumur 25 tahun sekitar dua  puluh lima tahun yang lalu. Tangan kanannya menenteng tas koper coklat dan tangan kirinya memeluk coat yang lebih hangat—antisipasi angin yang lebih dingin.
            Wanita itu menuju sebuah penginapan mewah di salah satu sudut kota. Pelayannya selalu memanggil para wanita “Madame” dengan aksen Prancis yang unik walaupun bisa berbicara dengan aksen Amerika sempurna. Mereka hanya ingin memberikan sedikit keunikan yang sekiranya menjadi pengingat bagi pengguna jasa penginapan mewah itu. Apalagi wanita senang diperlakukan bak putri bangsawan—asal tidak berakhir seperti Marionette di bawah guillotin.
            Sebenarnya hanya ada satu kepala pelayan di penginapan itu—yang bekerjasama dengan beberapa chef dan janitor—yang rambutnya memutih sempurna namun tetap lebat. Kumisnya tak kalah lebat dan putih. Jas hitamnya dan dasi kupu-kupu pas di badannya yang masih meninggalkan kesan gagah dari masa muda.
            Pelayan bernama Bellhop itu meraih koper yang beralih tangan dari si wanita. “Lewat sini, Madame,” katanya, tak lupa dengan aksen Prancis.
            “Terima kasih.”
            Mereka berjalan menaiki tangga menuju ruangan yang telah direservasi sejak dua minggu lalu.

Rungan ini. Satu tempat tidur beralas putih bersih—tampak sangat nyaman. Satu set meja dari kayu mewah dan kaca oval besar yang mengingatkan pada dongeng Snow White—siapa yang paling cantik di dunia ini?—sangat sempurna. Kecuali satu.
            Suara-suara. Klakson mobil. Mesin yang menderu.
            Wanita ini butuh ketenangan…
—yang hening—
Dia memanggil pelayan melalui telepon. Segera seorang pelayan lain memasuki kamar itu.

Pria itu masih muda. Janggut rapinya dibiarkan tumbuh lebat, menambah kesan jantan. Rambutnya terpangkas rapi seakan setiap helai sama panjangnya. Dia kelihatan pendek… namun baru wanita itu sadari ada yang berbeda dari tubuhnya. Conginetal Kyphosis. Kelainan tulang belakang sehingga membengkok ke samping. Tak seperti dirinya yang tegak, pria muda ini bagai memiliki tubuh yang patah di perut dan terjatuh ke kanan.
            “Ehm,” wanita itu membersihkan tenggorokannya sembari si pelayan menunggu apa yang akan diintruksikan padanya. “Sepertinya ini bukan ruangan yang aku inginkan.”
            Pria itu memperhatikan selagi si wanita menoleh ke luar jendela.
            “Agak tidak nyaman karena terlalu dekat dengan keramaian lalu lintas.
            Terlalu banyak suara.
            Bising.”
            Pria itu akhirnya berkata. “Mari saya antarkan ke kamar yang lebih tenang dan nyaman.” Dia mengambil koper dan coat wanita itu dan segera keluar dari ruangan. Si wanita mengikuti sambil menggunakan coat tipis yang sempat dibukanya tadi.
            Mereka menuju lantai yang lebih tinggi. Lantai tiga? Empat? Mungkin dengan begini dia bisa mendapatkan hasil yang lebih baik… untuk hal yang sangat ingin dilakukannya. Wanita itu membatin. Benarkah lantai yang lebih tinggi akan lebih memudahkan?
            Pria itu melewati lantai tiga. Nafasnya semakin memburu. Si wanita kasihan melihat pria itu kesulitan membawa koper.
            “Aku saja yang membawanya,” tawar wanita itu.
            “Ini pekerjaanku.”
            Dia tak bisa bertindak apa-apa lagi. Wanita itu hanya mengikuti langkah tubuh yang “berbeda” itu ke lantai empat. Dia sempat melihat ball room di lantai tiga yang didominasi cat warna putih, sebuah piano di tengah-tengahnya. Apakah dia mendengar suara dentingan piano? Sepertinya bukan. Dia hanya terngiang suara merdu permainan sahabatnya yang mengiringinya saat di Paris lalu. Benarkah dia masih ingat? Padahal itu lebih dari enam tahun yang lalu.
            “Di sini, Madame,” kata si pria muda sambil membukakan pintu untuk si wanita masuk. Dia mengikuti di belakang membawa koper agak tertatih. Nafasnya masih terdengar begitu keras.
            “Ini bagus.”
            Pria itu tersenyum dan berjalan menuju jendela. Tangannya meraih gorden yang tersibaklah cahaya dari luar yang menyilaukan. Langit beranjak sore. Indah. Namun si wanita tahu apa yang lebih indah.
            “Aku harap sekarang turun salju.”
            Dia melihat langit menembus kaca jendela, seakan dengan begitu dia benar-benar melihat butiran putih yang dingin itu. Si pria pelayan mundur selangkah dan berdiri di belakangnya.
            “Dan jalanan tenang—tanpa ada mobil yang lewat.
            Serta dunia menjadi damai.”
            Dia tersenyum.
            “Sepertinya hari ini tak ada salju…,” kata si pria di belakang. Ikut tersenyum mendengar kata-kata si wanita yang seterdengar untaian puisi. serasa sebuah lirik lagu.
            “Kamu bukan orang Amerika?” tanya si wanita.
            Pria itu sadar aksennya tak bisa menyembunyikan dari mana dia berasal. Ghent, sebuah kota di Belgia, yang indah dan sangat alamai seperti sedianya di abad pertengahan. Namun, Amerika negeri impian… dia ke sini untuk mengikuti seseorang. Walau hanya menjadi seorang pelayan hotel di sini. Namun,  impiannya adalah berada di Amerika—dia mencapainya dengan segala keterbatasan di tubuhnya.
            “Ya, bukan… tak banyak di hotel ini orang Amerika.”
            Lagi-lagi si wanita tersenyum. “Inilah salah satu hal yang kucintai tentang New York. Malah yang paling kucintai. Semua orang datang dari tempat lain.”
            “Yeah.”
            Ternyata pria itu memang benar. Kamar ini jauh dari kebisingan kota. Tak ada klakson yellow cab melintas apalagi menggetarkan kaca oval di sudut ruangan.
            Well, “ kata si pria kemudian. “Aku harap Anda betah di sini. Silakan panggil saja kami jika Anda membutuhkan sesuatu.” Dia beranjak pergi.
            Si wanita memperhatikan saja di depan jendela. Kemudian dia berkata,
            “Kenapa tak ada bunga di sini?”
            Mungkinkah ada bunga di sini?
            Violet? Atau…?”
            Si pria berbalik memunggungi pintu.
            “Aku cinta violet. Sangat suka.”
            Si pria tersenyum, sepertinya berusaha memenuhi permintaan tamunya walau dia tak yakin bisa menemukan bunga tersebut.
            “Aku tak mengharapkan kalian membelinya, tentu saja, jika kalian… tak memilikinya.”
            “Saya yakin, saya akan mendapat bunga tersebut, Madame. Violet.”
            Wanita itu kembali hanya bisa menatap lekukan di punggung si pria yang menghilang perlahan di balik pintu. Dia mengagumi kepercayadirian pria muda tersebut. Walau wajahnya terlalu sedih untuk dilukiskan di sana.

Dua puluh menit berlalu.
            Si wanita menatapi dirinya di kaca oval. Kemudian berjalan ke seberangnya. Menuju nakas di sebelah tempat tidur. Lalu kembali ke kaca oval. Pikirannya sebenarnya tak henti bekerja. Menimbang. Segala apa yang menjadi pemikirannya sepanjang bulan ini.
            Tiba-tiba terdengar ketukan.
            Si wanita duduk di tepi tempat tidur. “Masuk.”
            Ternyata pria muda tadi… dengan sebuah pot kecil di tangannya. Bunga violet yang bewarna ungu gelap itu mustahil di hadapan si wanita.
            “Aku tidak membelinya.” Si pria terkekeh. “Anda pasti telah memintanya saat reservasi. Ini terletak dengan aman di bawah tangga lobi.”
            “Tidak. Sepertinya tidak.”
            “Begitukah?”
            “Luar biasa, ajaib.” Si wanita menerima pot dan menatap violet yang indah itu.
            Si pria tertawa.
            “Anda beruntung, ya? Violet ini telah menunggu Anda. Apakah ada keajaiban lain yang perlu saya bawa?”
            Si wanita berdiri. “Oh, aku meragukannya.” Dia telah menemukan berbagai keajaiban sepanjang hidupnya. Keajaiban yang membuatnya dahulu menjadi orang yang dikagumi. Berjuta orang telah mengatakan bahwa dia “luar biasa ajaib”. Suara yang indah. Rupa yang rupawan…
            Namun, keajaiban itu sepertinya segan mendekatinya lagi. Setelah sekian lama, lalu bunga ini? Kebetulan saja, kah? Atau benar-benar keajaiban? Ini hanya permintaan sesaat. Dia sudah cukup lelah menanti keajaiban yang benar-benar dibutuhkannya bertahun-tahun lalu.
Si wanita meletakkan bunga itu di atas perapian di samping kaca oval.
Kemudian terdengar batuk. Keras. Semakin keras.
Si wanita menoleh dan dilihatnya hidung pria itu bernoda. Darah.
“Ada apa?” dia bergegas mengambil sapu tangannya. “Kemarilah. Sini.”
Si pria tampak begitu kesakitan. “Maaf! Maafkan saya…!” Tangannya menutupi bagian bawah hidungnya.
“Kemarilah…”
“Tak perlu.”
“Jangan begitu. Ayo duduk di bangku itu.”
Si wanita membimbing pria itu menuju ke sofa tanpa sandaran di depan jendela. Si pria menerima sapu tangan dan menempelkannya ke hidung, berharap mimisan itu berhenti.
“Tengadahlah.”
Si wanita melihat rintihan pria itu… punggungnya yang agak menyulitkan… dan darah yang tak henti mengalir.
“Tengadahlah…”
Rintihan itu.
“Sakitkah?” Tak tahu apa yang harus mengucapkan apa, si wanita kemudian membelai pipi pria itu. “Ini bukan urusanku, tapi… apakah punggungmu yang…?”
Hanya rintihan yang menjawab pertanyaan itu.
“Tunggu di sini,” pinta si wanita.
Dia bergerak menuju telepon namun dilihatnya si pria telah berjalan ke pintu dan menghilang di baliknya. Dia ingin menyusul ke sana tapi urung. Dilihatnya lantai tempat si pria tadi mulai mengeluarkan darah. Dia yakin ada satu dua tetes yang terjatuh. Kini lantai itu tak sedikit pun benoda.
Keajaiban? Atau dia salah lihat?

Surat.
            Betapa pentingnya surat. Menyampaikan perasaan penulisnya. Membawa pesan ke pembacanya. Memberikan pemahaman—tahu, ada, hadir.
            Surat. Mungkin ini menjadi surat terakhirnya. Untuk orang yang dicintainya. Yang telah pergi. Meninggalkannya sendiri. Di dunia yang tak pernah benar-benar damai ini. Bahkan, siapa sangka tuhan masih memberi rasa sakit pada pria muda yang malang itu.
            Wanita itu tersenyum akan pikirannya, dia tidak percaya Tuhan—atau tidak terlalu percaya.
            Lidahnya menempel ke tepian amplop, kemudian surat itu masuk ke sana, dilipatnya. Terkahir, ditaruhnya di atas bantal. Untuk di baca siapa pun yang menemukannya pertama kali.
            Tubuhnya sudah siap.
            Di tatapnya jendela yang terbuka. Yang menghubungkannya dengan pengakhirannya.
            Gaun putih indah—yang pernah di pakainya di bawah sorotan lampu panggung indah di Paris—masih muat di tubuhnya. Hasil menjaga kesehatan tubuh. Dia menyisir rambut merahnya hingga rapi. Kemudian, dia mengambil pot kecil dari atas perapian.
            Seorang wanita tua yang kesepian memegang bunga violet untuk menuju pertemuan dengan orang yang dia cintai—seandainya hari akhir itu memang ada. Dia menggambarkan dirinya sendiri yang terpantul dari kaca oval.
            Siapa wanita yang paling cantik di dunia ini?
Bukan itu yang ditanyakannya.
            Apa yang menjadi penghalangku?
            Sebuah ketukan dari balik pintu.
            Dia mendesah, tapi tetap menuju pintu, membukanya sedikit.
            “Saya mempunyai sesuatu untuk Anda.” Ternyata pria muda kemarin.
            Si wanita ragu. Apa yang dilakukannya? Bagaimana kalau pria itu bertanya mengapa dia memakai gaun putih ini? Serta pot yang masih digenggamnya erat?
            “Bolehkah?” pinta pria itu. Dia menunjuk pada troli yang besertanya.
            Si wanita membuka pintu lebih lebar agar troli itu masuk.
            “Misteri asal violet itu terungkap.”
            Si wanita melempar wajah bertanya.
            “Ayah saya adalah, umm…,” si pria memposisikan troli itu di depan sofa. “Ayah saya manajer di sini—hotel ini. Beliau sangat bahagia mendengar bahwa Anda kembali.” Kemudan dia mengambil gelas wine di troli tersebut. “Beliau pengagum berat Anda, Madame. Katanya, beliau mendengar Anda bernyanyi beberapa kali di Paris.”
            “Sampaikan terima kasihku.”
            Si pria muda berdiri di samping troli, menanti.
            Terdengar suara seorang wanita bernyanyi. Sebuah opera. Merdu. Indah. Menghanyutkan…
            Wanita itu menyadari telinganya sedang menikmati suaranya sendiri.
            Pasti pria itu yang menyalakan audio dari ball room. Untuk apa?
            Pria itu tersenyum melihat perubahan ekspresi si wanita.
            “Paris, adalah tempat yang sangat ingin kukunjungi. Kota yang terkanal indah itu.”
            Si wanita, matanya hanya menatap dan telinganya mendengar. Bibirnya seketika gagu.
            Apa penghalangku? Batinya.
            “Apakah Anda ingin saya membukanya?” tawar si pria merujuk botol wine dalam baskom es di atas troli.
            “Mungkin.”
            Apa yang jadi penghalangnya?
            Si wanita kembali menutup pintu.
            Dia meminta pria itu untuk menemaninya menikmati anggur itu.
            “Sebaiknya saya tidak usah…,” tolak si pria.
            “Kumohon.”
            Sejenak mereka saling menatap. Hanya suara tutup botol berdesis menimpali nyanyian opera tadi. Si pria mengagumi kecantikan wanita itu. Dalam balutan gaun putih yang juga cantik. Si wanita tersenyum dan duduk di sofa.
            Berdua mereka duduk menghadap jendela. Masing masing memegang gelas berisi wine.
            Je t’adore,” kata si pria—aku mengagumimu.
            Merci.”
            Sante?”
            Mereka membenturkan ujung gelas. Bersulang.
            “Aku melihatmu bersedih. Tak seharusnya pria semudamu terlihat sedih.” Sedangkan aku tak masalah, aku memang menyedihkan.
            “Apakah Anda masih bernyanyi?”
            Si wanita menggeleng. Dia meminum anggurnya.
            “Hmmm?” si pria menyayangkan hal tersebut.
            “Tak pernah lagi.”
            “Maafkan saya. Sebenarnya saya sangat ingin mendengar nyanyian Anda, secara langsung. Saat Anda ada di atas panggung.”
            Angin berhembus dari balik jendela yang terbuka, mengibarkan gorden-gorden seperti rok yang tersibak. Si pria berinisiatif menutup jendela itu. “Anda kedinginan,” katanya. “Tentu saja.”
            Si wanita terkekeh.
            “Tidak?”
Si pria tetap berdiri menuju jendela di hadapan mereka. Si wanita tersenyum mengamati. Dia makin mengagumi sosok itu. Ketidaksempurnaan tulang belakangnya membuat dirinya sempurna. Dia manis dan perhatian.
Saat pria itu semakin dekat jendela, cahaya menjadi semakin silau. Seperti pria itu berjalan melewati tangga surga. Seperti tangan malaikat yang bercahaya menyambutnya dalam sebuah pelukan hangat.
“Dingin sekali bukan?”
Si pria tersenyum. Dia berbalik dan mundur semakin dekat ke jendela setinggi tubuhnya. Si wanita menyadari sesuatu. Pria itu terlalu dekat ke tepi jendela! Dan dia tak perlu mundur lagi untuk menutupnya. Dia bisa terjatuh.
Si pria mundur selangkah lagi.
Si wanita berlari. Jendela—jendela yang seharusnya menjadi tempat dia melemparkan diri. Jalur dia mengakhiri hidupnya untuk menyusul orang tercintanya… kini pria itu terjatuh dari sana.
Apa yang menjadi penghalangku? Pria muda itu. Sesosok yang memberinya pelajaran dan perhatian.
Kini dia telah tiada. Darah dari kepalanya bertemu dengan lantai batu jalur pejalan kaki 5th Avenue.

“Maafkan saya, Madame. Saya tak melihat apa pun. Tak ada siapa pun yang terjatuh dari jendela ini.” Bellhop berbalik memunggungi jendela itu. Dia hanya tak memahami kenapa si wanita tampat ketakutan mendekati jendela. “Apakah Anda benar-benar melihat sesuatu di bawah sana?”
            Si wanita tak yakin—menggeleng atau mengangguk? Tak yakin.
            Keajaiban apa ini?
            “Apakah Anda ingin saya menutup jendela ini, Madame? Ini dingin sekali.”
            “Ya. Mohon tutup jendelanya.”
            Setelah tak ada gorden yang terkibar, Bellhop menghadap si wanita.
            “Manajer begitu senang anda kembali ke hotel,” katanya. “Beliau ingat Anda sangat menyukai violet dan berharap Anda senang menerimanya. Beliau pengagum berat Anda, Madame. Beberapa kali dia menyaksikan Anda bernyanyi di Paris.”
            “Ya, sampaikan salam dan terima kasih saya…,” kata si wanita mencoba tersenyum. Mencoba memberikan senyum terindah. Untuk siapa? Pria muda yang tiba-tiba menghilang—apakah hanya mimpi atau khayalannya akibat kesepian?


_____________________________________
Cerpen ini adalah ekspresi literaturku terhadap salah satu film pendek di rangkaian film pendek New York I Love You. Semua ide, penciptaan tokoh, dan alur cerita bukanlah milik saya. Saya hanya mencoba menyajikan film ke bahasa tulis. Sejenis adaptasi. Berikut, data film tersebut:
Sutradara               : Shekhar Kapur
Penulis                   : Anthony Minghella
Pemain                   : Julie Christie, John Hurt, dan Shia LaBeouf  

Sunday, January 1, 2012

BUKAN PENGEJAR MIMPI


Dulu aku menulis setiap hari. Setiap saat di pikiranku berputar-putar ide-ide cerita yang mungkin bisa kutuangkan ke atas kertas. Aku kadang menghubung-hubungkan segala hal yang terjadi setiap hari. Seperti suara aneh anjing menggonggong yang membuatku teringat tentang “kata orang” bahwa anjing yang bersuara serupa itu pasti sedang melihat setan, atau kebetulan setan lewat. Paginya aku akan menulis sebuah cerpen. Meski tak selesai.
Paling tidak aku menulis.
Dulunya aku sangat bercita-cita menjadi penulis. Selesai sekolah di SMA aku akan lanjut ke Fakultas Sastra. Kemudian menjadi bagian dari komunitas penulisan, pecinta sastra dan buku. Selanjutnya ikut kegiatan ini-itu mengenai kepenulisan. Aku akan menjadi sastrawan yang menulis puluhan buku, menghadiri seminar atau bedah buku. Rambutku akan gondrong, aku merokok lebih dari sebatang sehari, kemudian terserang insomnia dan tubuhku perlahan-lahan butuh obat-obatan agar bisa beraktivitas normal. Lalu aku mencari pemukiman di tepi kota yang kupikir masih asri dan membuat karya di sana. Mudah-mudahan mendapat penghargaan dari masyarakat pecinta sastra. Aku semakin bersemangat menulis dan menghasilkan buku hingga ajalku tiba. Istriku yang bekerja di teater setia bersamaku, anakku ada sepasang, memberikan cucu-cucu yang aku tak yakin akan suka membaca buku.
Andai aku seperti itu, tapi semua hanya impian. Saat aku melihat pada pantulan wajahku dicermin pagi ini, aku sadar, bahwa aku masih di dunia nyata. Aku adalah apa yang kulakukan sekarang. Semua tentang menulis adalah apa yang seharusnya menjadi bagian masa lalu. Tak perlu di ungkit.
Aku tidak menulis lagi.

“Benar, kan, Mikail?”
Aku bangun dari lamunku. “Ya?”
“Mengenai masalah utama menurunnya omzet kita di kawasan Sumatra Utara, Riau, dan Sumatra Barat?”
Setiap pasang mata mengarah padaku, termasuk Pak Dino, bosku, yang masih menunggu sebuah jawaban.
“Ya, tentu saja.”
“Saya hanya menguji apakah Anda fokus, Mikail. Kuharap masalah perusahaan kita masih menjadi salah satu hal yang Anda pikirkan, selain masalah pribadi Anda. Khususnya saat ini.”
Kudengar tawa kecil beberapa orang. Bahkan ada yang terang-terangan mengejekku. Tidak hanya di zaman sekolah dulu, di dunia kerja pun selalu ada persaingan dan kompetisi antar personal. Jangan harap menemukan tipe baru di sini. Masih ada tipe-tipe penyontek, penjilat atasan, orang yang suka menusuk dari belakang, walaupun masih banyak yang baik, berpretasi dan bisa bekerja sama. Keluar dari dunia sekolah ke dunia kerja hanya seperti mengganti judul cerita, isi tetap sama.
Padahal masalah pemasaran di tiga wilayah di Sumatra itu bukan tanggung jawabku. Memang, seharusnya aku tidak melamun selagi rapat begini. Pak Dino pasti ingin aku lebih aktif karena ideku yang kuterapkan di wilayah pemasaranku, di Kalimantan, berhasil, sedangkan di Sumatra tidak.
“Ini menyangkut etnografis, Pak. Konsumen Sumatra lebih loyal dalam memakai produk dari suatu perusahaan. Kita sebagai pemain baru di produk ini sebaiknya lebih gencar dalam promosi dan iklan. Kerja sama dengan stasiun TV lokal dapat membantu.”
Pak Dino mengangguk mendengar penjelasanku.
“Selain itu, kita adakan beberapa acara yang mampu membuat masyarakat lebih mengenal produk kita.”

Di sinilah aku. Diberi tiket perjalanan dinas, dan ekskursi, dari perusahaan sebagai bonus atas apa yang telah kulakukan. Perjalanan ke Sumatra. Sekaligus mengawasi kegiatan yang kami diadakan di beberapa kota. Padang, Bukittinggi, Medan, Pekanbaru, dan Palembang. Sebagian besar acara adalah konser, selain pelayanan kesehatan gratis.
Vit4U, nama produk PT E.M., tempatku bekerja, perlu diselamatkan pemasarannya. Produk ini memang baru di wilayah minuman isotonik bervitamin. Kami perlu ekstra kekuatan dan ide kreatif inovatif agar tidak tenggelam dibandingkan saingan kami yang lebih mapan. Slogan yang kami pakai adalah “Fit for Day, Fit for Night, Vit4U”. Kami ingin konsumen paham bahwa kesehatan harus dijaga sepanjang hari, dan minuman ini bisa membantu.
Acara di Bukittinggi yang digelar di lapangan Wirabraja, atau warga lokal dsini menyebutnya Lapangan Kantin, cukup sukses. Kotak Band dan Petra Sihombing cukup membuat animo masyarakat untuk datang tinggi sekali. Penjualan minuman disini juga lumayan.
Aku kembali ke stand pelayanan kesehatan gratis dan duduk di sebuah bangku. Beberapa karyawan menyapaku ramah. Aku kecapekan dan butuh minum Vit4U untuk mengembalikan stamina (sekalian promosi, hehe).
Saat aku meneguk minuman rasa lemon itu aku menangkap wajah “itu”.
Wajah yang entah kenapa begitu mirip dengan seseorang dari masa lalu.
“Anne?” nama itu spontan saja tersembur dari mulutku. Dia menoleh padaku.
Memang dia!
Awalnya dia tidak mengenaliku. “Aku Mikail Putraka. Ingat!”
“Tentu saja aku ingat! Aku hanya kaget bisa melihatmu disini!”
Kami pun bersalaman.
Dia masih seperti dulu, masih secantik kala kumulai mengenalnya di SMA. Aku masih bisa menelusuri rambutnya yang halus dan wajahnya yag selalu dirias natural. Dan tak bisa dipungkiri aku masih mengaguminya, atau memujanya… aku bahkan masih ingat kalau kami pernah hampir menjadi pasangan.
Hampir.
“Aku karyawan di perusahaan yang memproduksi minuman ini,” kataku sambil berpromosi.

Kami memilih pergi ke sebuah rumah makan Padang di dekat lokasi konser. Walau sering makan masakan Padang, baru kali ini aku makan di kota Bukittinggi yang terkenal dengan Jam Gadangnya. Apalagi dengan wanita cantik yang memberiku kenangan SMA yang indah. Meski hanya sebentar.
Annemarina Kialu, teman sekelas di tahun akhir SMA, namun semua orang sudah memuja dia sejak dia kelas satu. Anne berasal dari keluarga terpandang, ayah seorang dokter bedah terkenal  dan ibu direktur di sebuah bank swasta. Dikeluarganya setiap anak lelaki menjadi dokter, dan anak perempuan ahli di bidang ekonomi serta bekerja di perusahaan raksasa.
Aku penasaran, di perusahaan mana dia bekerja sampai harus tinggal di kota kecil ini?
“Aku guru taman kanak-kanak,” jawabnya santai sambil tetap makan rendang.
Tanpa sengaja aku tersedak, kemudian buru-buru meraih gelas sampai-sampai wadah untuk mencuci tangan kusenggol hingga airnya tumpah.
“Oh, shit!” Aku berdiri.
Anne memberikan serbet dan membantuku membersihkan genangan air di meja. Celanaku basah dan aku seperti habis mengompol. Dia tertawa melihatku.
“Lucu, heh?”
Dia menggeleng.
“Tertawa saja terus. Aku mau lanjutkan makan. Tertawa diatas penderitaan orang…”
“Tetap seperti itu.”
Aku mendongakkan kepala. “Apa?”
“Kamu ekspresif. Bahkan lebih dari sekedar itu, memangnya apa yang membuatmu kaget dari jawabanku tadi?”
Aku berani bertaruh dia tahu apa jawabanku. Sebelum aku menjawab, dia sudah mulai berbicara lagi.
“Aku memang seharusnya menjadi manajer, atau akuntan, atau bekerja di pemerintahan atau apalah yang orangtuaku katakan. Tapi aku membuat keputusan bagi diriku sendiri.”
Dia sudah selesai makan, sedangkan aku masih berkutat dengan rendang yang agak susah digigit. Butuh tenaga banyak bagi rahangku.
“Aku menyukai anak-anak dan cinta mengajar mereka,” tambah Anne. Bisa kulihat matanya yang berbinar.
“Keluargamu menyetujui?”
“Menurutmu?” Kemudian dia tersenyum. “Aku pergi dari rumah. Pergi ke mana saja yang bisa memberiku kebebasan. Hingga di sini. Bukittinggi kota yang cukup tenang dan nyaman. Meski akhir-akhir ini suhu naik terus. Global warming, kan?” Dia terkekeh.
“Kamu sangat menikmati pekerjaanmu sekarang tampaknya.”
“Tentu saja. TK tempatku bekerja punya program khusus bagi anak dari keluarga yang tidak mampu. Senang sekali bisa membantu secara langsung. Aku bisa saja memakai ijazah Sarjana Ekonomiku dan menyenangkan orangtuaku, tapi kalau aku tak memenuhi panggilan hatiku sebagai guru… aku hanya akan berandai-andai selamanya.”
Andai…. Andaikan saja aku tetap meneruskan passion pada menulis…
Kata-kata andai terngiang di telingaku.
“Kamu bagaimana?” tanya Anne. “Sepertinya sukses sekali.”
“Hanya karyawan biasa. Yah, pergi pagi pulang malam, 9 to 5… apalagi Jakarta yang lalu lintasnya masih seperti itu. Dikota ini kujamin tak pernah macet.”
“Iya, sih, tapi kamu harus lihat seberapa semrawutnya pasar disini.”
“Dimanapun pasar pasti semrawut!”
Selanjutnya kami janjian untuk bertemu esoknya.

Anne pernah mempunyai pacar di SMA. Sebagai cewek yang menarik hati semua orang dia pantas mendapatkan yang terbaik. Itulah Zardi, tipikal cowok yang jadi pujaan para cewek di SMA. Sebut saja kriteria cowok ideal para remaja, itulah yang ada pada diri Zardi. Dia jatuh cinta pada Anne, Anne pun menyambut cinta itu.
Sayangnya, Zardi terlalu over possessive. Menurutku ini semua karena sifat perfeksionis. Dia menginginkan semua hal untuknya. Semua atau tidak sama sekali. Banyak orang perfeksionis gagal dalam sebuah hubungan. Kadang malah ada yang tidak bisa menjalani hidup akibat menuntut sebuah dunia yang ideal.
Padahal tak ada “ideal” di dunia nyata.
Setiap orang yang tampak sempurna pasti memiliki ketidaksempurnaan yang melengkapinya sebagai manusia. Titik.
Sekali, aku tak sengaja melihat mereka bertengkar di kelas 2. Saat itu aku ditugaskan mengambil perlengkapan pelajaran olahraga. Mereka bertengkar di samping ruang peralatan olahraga. Zardi menampar Anne beberapa kali dan memaki cewek itu tanpa ampun. Padahal Anne berkali-kali meminta maaf dan menyuruhnya berhenti.
Aku terkejut, ingin menolong tapi takut dibilang lancang mencampuri urusan orang lain.
Aku menatap bola basket ditangan, kemudian dengan sengaja menantulkannya hingga ke arah mereka. Sadar karena ada orang yang melihat mereka, Zardi mengajak Anne pergi dari situ. Anne menolak dan dia berusaha melepas tangannya dari cengkraman pacarnya. Selanjutnya, aku melihat Anne berlari ke arahku, tapi hanya melewatiku begitu saja…
Aku masih ingat wajahnya kala menangis.

“Kamu belum menikah?” Anne bertanya.
Aku menggeleng.
“Pasti sudah punya pacar…”
“Pernah, tapi kami baru saja putus…”
“Ohh…”
Sekarang, aku ingin dia menjadi pacarku…. Atau istriku.
“Kamu?”
Dia cuma tersenyum.
Kami menikmati pagi di hari Minggu ini dengan lari pagi sekitar kawasan wisata Bukittinggi. Kami melewati Jam Gadang, kawasan Benteng, Kampung Cino, dan Bukit Apit. Hingga sampai di sebuah kedai Pangsit Bukit Apit. Disinilah kami menikmati makanan lagi.
“Kenapa tersenyum saja, jawab dong.”
“Masih sendiri juga.” Dia tampaknya tersipu.
Aku bergetar, sebagai laki-laki aku tahu ini saat yang tepat untuk menggodanya. Aku bisa saja merayu, tapi entah kenapa Anne menjadi orang yang harus kulindungi bahkan dari diriku sendiri.
Matanya bertemu mataku, meski kami berada di tempat yang jauh dari suasana romantis, aku merasakan dinginnya Bukittinggi dihangatkan oleh aura tubuh Anne. Sesuatu bergejolak di perutnya, seperti tiap kali aku merasakan… apa namanya, ... CINTA?
“Masih ingat dengan insiden buku catatan?”
Aku tak kan pernah lupa.

Akhirnya setelah dua tahun hanya mengagumi dari jauh tapi bukan jadi penguntit, aku dan Anne sekelas di tahun senior. Dia menjabat sebagai sekretaris kelas dan aku ketua kelas. Kami sering menghadiri rapat OSIS sebagai perwakilan kelas. Pacarnya masih tetap Zardi, yang tak pernah habis kupikir kenapa dia masih bertahan dengan cowok itu.
Zardi wakil ketua OSIS dan kami juga sering rapat dengannya. Selalu dia melayangkan pandangan kurang suka terhadapku. Aku yang dasarnya pendiam tidak mau mencari ribut.
Awal tahun ajaran berarti kelas baru, komposisi kelas yang berubah, juga Anne yang menghabiskan banyak waktu bersamaku, walau secara tidak langsung. Tahun ketigaku kuprediksi akan menyenangkan. Aku juga menemukan kegemaranku, menulis fiksi dan puisi. Kuhabiskan sebuah buku tulis dengan coretan tanganku. Aku menulis apa yang ingin kutulis… aku menulis tentang Anne.
 “Kail!”
Anne mendekatiku sambil terengah-engah. “Anne?” Kulihat dia tidak memakai seragam sekolah pagi itu.
“Kucari kemana-mana malah disini.”
Dia mungkin bisa membaca keheranan yang tergambar jelas di wajahku.
“Hari ini bolos masuk kelas, aku harus mewakili sekolah untuk lomba debat bahasa Inggris. Nanti aku mau pinjam catatanmu.”
“Eh?”
“Jangan lupa ya nyatat yang lengkap pelajaran nanti. Terus, doakan aku menang! Bye!” Dia berlari menuju bus yang siap mengantarnya ke lokasi lomba.
Dengan patuh aku mencatat semua pelajaran hari itu. Demi Anne aku pun bersedia menunggunya kembali ke sekolah.
“Wah, kamu baik sekaliii…! Maaf merepotkanmu.” Anne langsung memasukkan bukuku ke ranselnya. “Tapi aku harus pergi lagi. Ada janji mengambil pesanan kebaya mama di pasar.”
“Tak masalah. Hati-hati, ya!
Mungkin kalian bisa menebak, buku yang kuberikan adalah buku yang keliru. Bodohnya aku baru mengetahui di malam hari saat tak kutemukan buku menulisku di kamar.
Anne pasti sudah membacanya.
Aku menelpon Anne.
“Maaf, aku salah memberikan buku…”
Dia terkekeh. “Tulisanmu bagus, Mikail.”
Kurasakan dalam hati ini kehangatan. Aku berdebar.
“Kamu berbakat… tapi, sebaiknya kamu menyampaikan sesuatu kepada orang yang namanya tertulis disini, tentang isi hatimu…”
Aku tahu apa yang dia katakan, tapi aku tidak sebodoh sampai berpikir tidak rasional.
Anne milik orang lain, bukan aku.

“Jadi bagimana kelanjutan cita-citamu? Sudah menulis berapa cerpen di media massa? Buku?”
Aku hanya menatap wajahnya. Mungkin dia bisa membaca lagi isi kepalaku. Apa aku terlalu “an open book”?
“Kupikir kita sudah saling berjanji untuk mengejar apa yang kita impikan saat di SMA. Aku melakukannya. Kenapa kamu tidak?” Keningnya berkerut.
Karena aku hanya tahu realita.
Aku punya impian, aku tahu impian itu seharusnya kukejar. Aku sudah membaca berbagai buku tentang kekuatan pikiran, bagimana mengusahakan berfikir positif dalam hidup. Tapi, aku tak akan bisa menjadi seorang penulis. Aku mempunyai orangtua yang menaruh harapan besar padaku. Mereka ingin aku jadi karyawan di perusahaan bagus. Memiliki gaji dengan jumlah tetap setiap bulannya agar bisa membantu keuangan keluarga atau membantu biaya sekolah adik-adikku. Aku tak akan mungkin bisa begitu saja mengecewakan mereka.
Aku pengecut. Aku begitu takut tentang masa depan.
Aku bodoh.
“Semua hal yang kamu inginkan, asalkan baik dan menyenangkan hatimu, kejarlah. Jangan menyerah meski banyak halangan dan rintangan. Tiada kegembiraan yang begitu nikmat tanpa melewati kesusahan di perjalanan menuju impian. Aku masih ingat kata-katamu, Mikail!”
“Jadi, aku harus bagaimana? Kumohon Anne, tak usah ungkit lagi mengenai impianku jadi penulis. Aku sudah bekerja, mapan dan bahagia.”
“Tidak. Kamu tidak menikmati pekerjaanmu.”
“Maaf, pembicaraan kita sudah melenceng…”
“Dan kamu juga melupakan satu hal… kamu tidak tahu penyebab lain yang membuatku mengejar impianku?”
Aku tidak tahu.
“Kamu!”
“Aku?”
Anne menangis, dia menutup hidungnya dengan tisu. “Kamu tidak datang di saat kita berjanji.”
Aku tersambar petir. Aku ingat… aku tahu aku ingat… aku tahu kalau aku ingat bahwa aku berfikir janji itu hanyalah omong kosong saja. Aku sekedar mengangankan dan Anne menganggapnya serius?
“Benarkah? Kamu datang ke taman itu meungguku? Setelah lima tahun kita membuat janji itu?”
Tanpa menjawab pun aku tahu yang akan dikatakan Anne adalah “ya”.

Anne akhirnya putus dengan Zardi di semester terakhir sekolah. Anne beralasan dia butuh fokus belajar agar nilainya bagus. Zardi awalnya menolak, tapi setelah diyakinkan Anne mereka putus baik-baik. Aku sungguh lega mendengar itu sekaligus khawatir. Kesempatanku tidak ada lagi… aku hanya sekedar teman bagi Anne sampai kami tamat SMA, tak bisa lebih.
Aku dan Anne berada dalam satu kelompok belajar. Kami makin dekat, tapi hanya sekedar itu. Teman. Sampai kami mengobrol berdua tentang cita-cita. Aku, entah kenapa menjadi Si Omong Besar, mengulang kata-kata dari buku-buku yang pernah kubaca. Berpikir positif lah, berjiwa besar lah, kekuatan alam lah…. Pokoknya mengenai jika kita yakin akan sesuatu kita bisa meraihnya jika berusaha.
Kami membuat janji untuk bertemu di sebuah taman dan saling menceritakan mimpi yang kami wujudkan. Lima tahun dari waktu kami berjanji… di sebuah tanggal di bulan Agustus.
Kenyataannya aku terlalu penakut untuk menjadi apa yang kuinginkan.

Aku harus pergi ke kota selanjutnya besok. Percakapanku dengan Anne kuanggap sebagi nostalgia saja. Dengan baik-baik kukatakan kami sudah berubah. Kami telah melalui empat  tahun di kuliah, dan dua tahun dalam mengarungi karir. Kami tak akan pernah seperti dulu lagi. Sekarang yang terjadi, itulah yang harus dijalani.
Kukatakan padanya, “Aku lulusan Teknik Industri…, dan aku sudah tepat bekerja di sebuah perusahaan manufaktur. Aku menyukai pekerjaanku sekarang. Aku senang menjadi diriku kini.”
Meski impian memiliki Anne masih ada di hatiku, tapi tak akan mungkin tercapai.
“Kamu terlalu pesimis. Kamu tak bisa berfikir seperti itu terus mengenai kehidupan. Bukankah tak ada yang kita dapatkan tanpa berkorban? Kamu juga pesimis tentang cinta!
“Aku menantimu mengatakan kalau kamu cinta aku, hingga detik ini. Tapi… yang kudapatkan hanya kau yang ingin menjadi dirimu sekarang. Meninggalkanku dalam masa lalumu saja?”
“Maafkan aku Anne, kamu lebih pantas mendapatkan yang lain. Aku banyak salah padamu, contohnya janji itu tak kutepati.”
Dia memalingkan muka, “Cih. Terhadap dirimu sendiri kamu pesimis.”
“Aku memang terlalu banyak kekurangan!”
“Kamu tahu kenapa kita di temukan di kota yang bahkan tak penah terpikir sebelumnya akan pernah kita jejak? Aku percaya ini takdir! Kita disatukan oleh takdir!”
Aku tak tahu harus berkata apa lagi.

“Kita ucapkan selamat pada Mikail Putraka yang sudah membantu pemasaran kita jadi lebih baik. Saya telah merekomendasikan beliau pada dewan direksi dan dewan menyetujui pengangkatan jabatan Mikail sebagai manajer junior bidang marketing.”
Seluruh ruangan rapat dipenuhi suara tepuk tangan. Sedangkan aku kesulitan melengkungan senyuman di bibirku. Semua membingungkan. Aku tak tahu sampai kapan akan menjadi karyawan… mungkin sampai aku pensiun di usia enam puluh atau lebih… Impian lamaku tetap saja akan menjadi impian.
Aku memang bukan Sang Pemimpi, yang berhasil dengan kisah megah mengenai meraih impian. Aku hanya menyukai realita, kehidupanku sekarang.
Meskipun begitu, aku tidak pesimis lagi tentang cinta. Aku tak ingin menganggap seorang gadis yang kucintai hanyalah Putri Kerajaan yang tak akan pernah bisa kumiliki sepenuhnya.
Seperti yang dia katakan. Kami ditakdirkan.