Sunday, January 1, 2012

DUA BAGIAN PELANGI

Aku menemukan pelangi yang unik itu dua kali. Pertama, saat kelas enam SD setelah terperangkap hujan begitu lama sepulang sekolah. Kedua, waktu SMP sambil memandang ke jendela kamar setelah puas menangis akibat bertengkar dengan mama. Pelangi itu begitu aneh, warnanya masih tetap bermacam-macam (mejikuhibiniu) tapi dia… cacat. Pelangi itu tidak sempurna karena bagian atasnya hilang ditelan langit dan awan. Dia seperti dua potongan pelangi yang seharusnya bersatu.
            Selain itu, aku jarang melihat pelangi, baik yang utuh maupun yang cacat.
            Pelangi yang tak sempurna, begitulah aku menggambarkan hubunganku dengan mamaku. Dua bagian pelangi yang seharusnya menyatu, seperti dua orang wanita yang seharusnya seiya sekata. Paling tidak, tidak perlu bertengkar setiap hari.
            “Mama seharusnya bisa memahami aku! Aku sudah lima belas tahun dan wajar aku ikut banyak kegiatan!” teriakku pada mama setelah aku pulang begitu larut di hari Sabtu. Aku baru saja pesta makan setelah acara bazaar kami sukses besar dan stand kami dinobatkan sebagai yang terbaik. Sebelum ke kafe, kami pesta sebentar di rumahku.
            “Tapi kamu tak bisa meninggalkan rumah dalam keadaan berantakan begini!” balas mama dengan volume yang hampir mengalahkan suaraku. “Besok klien mama akan ke rumah dan kamu harus membersihkan rumah ini. Sekarang!”
            “Mama becanda, ya? Memangnya klien mama mau datang jam enam pagi?” kataku sarkastis. Aku bosan dengan klien pengguna jasa EO milik mama. Mereka orang berduit yang banyak maunya. “Aku capek Mama. Biarkan aku tidur sebentar.”
            Kira-kira kami bisa mendapatkan rekor MURI atau bahkan rekor dunia untuk keluarga paling hancur dan tidak bahagia.
            Oleh karena itu, aku mencari kebahagiaan di luar rumah.
Aku ikut banyak kegiatan sejak SMP. Aku pengurus OSIS, ikut pramuka, kelompok ilmiah remaja dan kegiatan lainnya. Aku pernah bergabung dengan tim cheerleader sampai aku mematahkan hidung ketua kami karena dia mengejekku anak haram. Sialan, siapa yang anak haram?
            Papaku memang tidak tinggal bersamaku, dia meninggal dunia tepatnya. Mungkin akibat disumpahi mama karena ketahuan selingkuh serta menikahi wanita muda itu diam-diam. Aku masih kelas 5 SD dan belum mengerti apa-apa tentang masalah orangtua. Aku hanya mendengar mereka bertengkar setiap hari di depanku. Kayak aku tidak ada disana saja.
            Sayangnya aku tak tahu akan memihak kepada siapa. Mereka berdua sama-sama menyebalkan.
            Yang tidak menyebalkan itu sahabatku, Dian, sebelum dia meninggalkan aku sendirian dan pacaran dengan orang terganteng di sekolah. Dian begitu sibuk sampai-sampai tidak ada waktu untukku. Terpaksa aku mencari teman baru dimana-mana. Sayangnya tidak ada yang cocok. Mereka banyak penjilat dan tidak tulus berteman. Untuk apa berteman dengan orang yang mengharapkanmu saat bahagia saja. Kalau lagi sedih mereka memalingkan muka.
            Temanku saat ini cuma Naufa Hameek, mahasiswa Perancis keturunan Somalia, dia temanku di dunia maya. Awalnya aku agak kaget dengan email asing di inboxku. Kupikir hanya spam, email sampah, hoax, dan sejenisnya. Ternyata itu surat untuk mengajak kenalan. Kebetulan aku punya kemampuan bahasa Inggris yang lumayan. Lalu kami jadi teman di dunia maya, berbagi kisah suka dan duka.
            Suatu kali cowok itu mengatakan bahwa dia akan backpacking ke Indonesia. Aku langsung antusias untuk menjadi guide meski pengetahuanku tentang kotaku sangat pas-pasan. Aku bukan orang tipe outdoor. Aku jujur pada Naufa dan dia bilang tidak masalah, asal aku jadi guide gratis. Enak saja, ya!
           
Seandainya hari itu mama tidak membuat bajuku luntur, seandainya mama tidak lupa bahwa dia sedang mencuci dan tidak menjawab telepon sialan itu, seandainya mama tidak hobi menelepon untuk urusan bisnis, maka aku tidak akan marah padanya dan menjadikan perjalananku bersama Naufa menjadi backpacking terburuknya sepanjang hayat. Setidaknya begitu menurutku.
            “Seharusnya mama tidak merendam bajuku dengan deterjen plus whitening. Warna bajuku oranye mama! Bukan putih!”
            “Jangan berteriak Lasha, mama kan sudah minta maaf. Nanti mama belikan lagi. Tidak perlu ribut…”
            Aku menangis kesal, kucoba menatap wajahnya yang seolah tidak bersalah. “Mama tak tahu kan kalau aku beli baju ini pakai uang hasil lomba mendesain poster? Ini bukan uang mama! Mama mana peduli!!”
            Aku membanting pintu kamarnya. Rumah seakan diterjang gempa mini.
            Jalan-jalanku dengan Naufa jadi suram dan langit cerah seakan antithesis yang menggosongkan tengkukku. Untung saja Naufa orang yang baik dan dewasa. Dia malah menghiburku, layaknya kakak kepada adik. Memang sih, dia lebih tua lima tahun dariku.
            “Mama itu seluruh dunia Lasha,” kata Naufa setelah aku bercerita. Dia merentangkan tangannya. “Dunia tidak akan ada tanpa mereka. Kamu, aku, siapa pun. Kamu pasti tahu itu.”
            Anak bayi juga tahu, kataku dalam hati.
            “Kalau kamu ke Somalia, bakal tahu kalau bagi kami perempuan memegang peranan penting untuk negara kami. Sangat penting banget. Aku hafal puisi itu. Mau dengar?”
            Aku mengangguk antusias sambil menyeruput milk shakeku. Naufa memejamkan mata sebentar sebelum mengucapkan puisi dalam bahasa Somalia.  Aku katakan aku tidak mengerti artinya. Dengan senang hati dia menerjemahkan dalam bahasa Inggris.

            “If women did not sacrifice their lives,
If they did not offer everything they had,
We would never have attained our flag,
When the she-camel gave birth,
And gave so much milk,
Women still left in hunger!”

Aku terpesona dengan indahnya puisi itu, suara Naufa juga menghayati. Aku menangis dalam kesalku. Apa aku pantas menyayangi mamaku yang menyebalkan? Bahkan dia sedikitpun tidak memahami aku.
“Kamu beruntung Lasha,” kata Naufa, bibir tebalnya melengkungkan senyuman. “Aku menghabiskan masa remajaku tinggal di panti asuhan. Sedikit pun aku tidak kenal dengan mamaku.”
Sentakan itu membuatku terdiam. Beruntung? Kalau dibandingkan dengan teman-temanku yang lain bagaimana???
            Kami makan malam di hotel tempat Naufa menginap—jangan berprasangka apa-apa— dan kami kembali membahas hal itu. Naufa sangat dewasa dan mampu memahamiku. Dia memandang dari sudut pandangku dan sudut pandang mama. Menurutnya mama menyayangiku dengan caranya sendiri, aku saja yang tidak mengerti.
            “Orang merasa memiliki setelah mereka kehilangan,” katanya pelan. Aku teringat sebuah tagline film nasional. Dalam hati aku menyetujui. “Coba kalian pisah sebentar. Kita lihat apa yang bakal terjadi.”
            “Pisah? Maksudmu aku pergi dari rumah dan tinggal sendirian? Uang buat hidup sendiri mana?” tanyaku menyangsikan ide konyolnya itu. “Kalau kamu mau membiayaiku pergi backpacking bagaimana?”
            “Oke, kamu pergi backpacking ke suatu tempat. Boleh luar negeri atau di Indonesia. Aku yang biayai, tinggal kamu hitung kebutuhanmu,” katanya dengan wajah sumringah bersemangat. Aku menatapnya dengan wajah heran dan meledek. Naufa membalas dengan, “Aku mahasiswa tapi juga pengusaha, nona. Uangku banyak, makanya aku bisa ke sini.”
            Rasanya mau pingsan bisa traveling gratis….

“Yang benar saja kamu pergi sendirian? Kalimantan itu banyak hutan, Lasha, kamu bisa tersesat!” kata mama, lagi-lagi berteriak di telingaku. “Kamu tidak boleh backpacking tak jelas itu. Siapa yang akan urus rumah!”
            “Mama tak pernah mengajakku jalan-jalan. Seingatku waktu kecil pun tidak. Sekali-kali aku ingin merasakan udara yang segar. Tidak sumpek seperti disini!”
            “Lasha, kamu bakal hilang di Kalimantan kalau berani pergi tanpa izin Mama!”
            “Terserah! Kenapa tidak sejak dulu mama minta aku hilang? Kalau mama menyesal melahirkanku bilang saja. Kenapa tidak buang saja aku? Aku tidak minta dilahirkan sebagai anak papa dan mama!”
            Dia terdiam. Aku juga tertegun, mungkin ini kata-kata terkejam yang pernah kuucap padanya. Aku sungguh-sungguh merasa berdosa telah berkata ini. Tuhan, jangan sampai aku hilang di Kalimantan…
           
Aku bersikeras pergi backpacking ke Kalimantan, sendirian. Setidaknya aku punya buku panduan dari Naufa untuk survival, juga Lonely Planet edisi Kalimantan. Aku tak akan hilang, Tuhan tidak akan mengabulkan doa jelek begitu. Lagipula tujuan kepergian ini agar tahu seberapa besar sayang kami. Apa kami masih memiliki rasa memiliki satu sama lain?
            Sebenarnya, apa bedanya, ya? Setiap hari kami jarang bertemu, sekali kali bertemu yang ada hanya pertengkaran.

Aku memerlukan topi koboiku yang kubeli tiga tahun lalu. Pertama kali dipakai masih terlalu besar untukku, sekarang siapa tahu sudah muat. Keren juga berjalan-jalan di sana dengan topi itu. Aku masih ingat topi itu tersimpan di kotak dalam gudang.
            Aku tidak pernah menyangka kalau gudang kami sudah begitu disesaki barang-barang yang tak jelas gunanya. Sebagian besar punya mama dan perusahaannya. Dengan susah payah aku melewati tumpukan benda berdebu tebal untuk mencapai peti harta karunku. Peti itu tak kalah tebal debunya. Mungkin terakhir kali aku membukanya dua setengah tahun yang lalu.
            Aku terbatuk-batuk saat membukanya. Seharusnya aku memakai masker, tapi sudah terlanjur. Lampu gudang yang redup cukup menyulitkanku melihat isi dalam peti. Aku tidak menemukan kotak topi koboiku. Aku hanya menemukan telepon mainan itu—yang membuat air mataku keluar begitu saja…
            Telepon mainan itu hadiah mama waktu aku TK. Aku tidak tahu maksud dia memberikan telepon, kenapa tidak boneka Barbie (yang mungkin bisa saja membuatku lebih manis)? Aku hanya ingat dengan benda ini aku pura-pura menghubungi mama yang sering berpergian. Aku juga menelepon papa yang selalu pulang setelah aku tidur. Kadang aku menelepon teman khayalanku… Pepo, Gara, Fifi, dan Sioma…. Aku mempunyai teman khayalan hingga kelas satu SMP. (Kumohon jangan tertawa selagi aku menangis).
            Aku mengangkat gagang telepon itu dan menempelkannya ke telinga. Kuputar nomor handphone mama. Sambil terisak, aku berkata, “Mama, apa kabar? Aku sangat mengkhawatirkan mama. Mama harus istirahat sekali-sekali, jangan kerja terus. Mama seharusnya bepergian, refreshing. Maafkan aku menjadi begini. Aku sebenarnya tak ingin membebani mama dengan sikap egoisku. Hanya… menurutku mama tak mau mendengarkanku. Sekali saja tolong, Ma. Bilang kalau aku begitu berarti bagimu dan jangan pernah tinggalkan aku…”
            Ternyata topi koboiku tak pernah masuk ke petiku. Dia dengan aman tersimpan dalam kotak diatas lemari perkakas. Lemari yang dulunya pasti diisi barang-barang papa.
            “Seharusnya kalian tidak berpisah demi aku…”
            Sehari itu aku cengeng sekali.

Hujan lebat dan badai angin kencang diluar sana. Pesawat yang akan mengantarku ke Pontianak terpaksa menunggu cuaca menjadi lebih baik. Orang-orang mengeluhkan delay yang lama, sedangkan aku tidak. Entah kenapa sebagian diriku ingin tetap bersama mama. Padahal aku tidak akan selamanya pergi, hanya 2 minggu.
            Ruangan tunggu semakin terasa menyebalkan bagiku. Aku ingin pergi ke rumah, tidur meringkuk di bawah selimut dan menunggu suara mama berteriak marah karena aku tidak mencuci piring sarapan. Aku juga ingin membalas teriakannya, “Kenapa kita tidak mencucinya bersama-sama?” Konyol, tapi sekalipun aku tidak pernah melakukan hal konyol dengannya. Yang serius pun tidak.
            Aku juga berusaha menenangkan pikiranku dari pikiran-pikiran bahwa aku akan hilang di hutan Kalimantan. Katanya doa ibu itu ampuh sekali. Oh, Tuhan… jangan sampai aku hilang, kumohon…
            “Lasha!”
            Aku menoleh begitu namaku dipanggil. Mama melambai dari balik kaca ruang tunggu. Secepat kilat aku berlari ke arahnya. Tubuhku tak bisa berdusta, padahal aku gengsi sekali.
Saat kami berhadapan, kulihat mata mama berkaca, air mata melewatinya dan membuat maskara itu luntur. Dia mengerikan meski tetap cantik.
Aku dipeluknya. “Jangan sampai hilang di Kalimantan!” isaknya.
            “Apa-apaan sih Mama?” kataku sambil mengamati sekeliling. Orang-orang bisa mengira kami sedang syuting sinetron. “Kalau mama cabut doa mama, aku tidak bakal hilang, kok. Gampang, kan? Sekarang nangisnya berhenti dong…” Aku seperti ibu dan mamaku jadi anak.
            Kami mencari tempat duduk yang nyaman. Kudengar pesawatku di delay lebih lama lagi. Syukurlah. Kami mengobrol begitu lama. Sekali ini kami bisa duduk berdua.
            “Aku tahu mama sayang aku. Aku tahu setiap ibu akan memberikan semuanya untuk anaknya. Aku tahu seorang ibu akan menahan lapar asalkan anak-anak mereka kenyang… Tapi aku hanya anak remaja egois dan meledak-ledak, mama.”
            “Mama mendengar kamu berbicara di gudang itu. Mama egois telah membuatmu merasa tidak nyaman dekat mama. Kamu begitu mirip papamu, tahu! Raut wajahmu, rambut ikalmu, matamu… seakan mama tidak menyisakan tanda dari mama. Itu membuat mama susah berhadapan denganmu. Kamu seperti cermin dari pria yang begitu mama benci.”
            Aku memeluk mama. Tak kusangka akar masalahnya hanya itu. Orangtua nyatanya juga manusia biasa yang perlu bantuan. Aku menggelengkan kepala karena mama begitu aneh memandang hubungan kami. Kenapa dia tidak anggap aku sebagai teman hidupnya?
            “Aku anak mama dan hanya milik mama. Kalau papa punya saham fisik padaku maka saham mama adalah sifat dan jiwaku. Kita sama-sama egois, sama-sama suka berteriak, sama-sama suka berkegiatan, bisnis…, uang…, cowok cakep….”
            “Saham?” tanya mama berkerut dahi.
            “Cuma istilahku saja,kok.”
            “Tak kusangka anakku sebijak ini. Kita memang jarang mengobrol. Sepulangnya kamu dari Kalimantan, mama ingin dengar cerita kamu detil dan tuntas, jangan sampai terlewat. Selamat bersenang-senang disana. Lain kali kita backpacking bersama. Oke?”
            “Memangnya mama kuat menggendong tas segede gajah?”
            “Mama masih 37 tahun tahu! Tulang punggung mama masih kuat!!”
            Aku tertawa mendengarnya seperti itu. Kami bersama-sama tertawa seperti sepasang teman lama, bukan ibu dan anak. Seandainya status ibu-anak itu tidak begitu kaku, maka kamu bisa rasakan bahwa orangtua itu gokil juga! Tips Naufa ampuh sekali, bahkan sebelum aku sempat menjejakkan kaki di Kalimantan.
            Akhirnya hujan reda dan sebentar lagi panggilan untuk masuk ke pesawat. Aku menatap langit yang menaungi bandara setelah hujan lebat dan menangkap panorama itu yang ketiga kali. Pelangi yang hilang bagian atasnya laksana tertelan langit dan awan. Namun saat mama mendekat ke arahku untuk mengucapkan perpisahan ke sekian kali, kulihat perlahan-lahan dua bagian pelangi itu saling mendekati. Sehingga menjadi pelangi yang utuh… pelangi yang sempurna.
            Seperti aku dan mamaku tersayang.


Dimuat di Story Teenlit Magazine, Juni 2010

No comments:

Post a Comment