Aku menemukan pelangi yang unik itu dua
kali. Pertama, saat kelas enam SD setelah terperangkap hujan begitu lama
sepulang sekolah. Kedua, waktu SMP sambil memandang ke jendela kamar setelah
puas menangis akibat bertengkar dengan mama. Pelangi itu begitu aneh, warnanya
masih tetap bermacam-macam (mejikuhibiniu) tapi dia… cacat. Pelangi itu tidak
sempurna karena bagian atasnya hilang ditelan langit dan awan. Dia seperti dua
potongan pelangi yang seharusnya bersatu.
Selain
itu, aku jarang melihat pelangi, baik yang utuh maupun yang cacat.
Pelangi
yang tak sempurna, begitulah aku menggambarkan hubunganku dengan mamaku. Dua
bagian pelangi yang seharusnya menyatu, seperti dua orang wanita yang
seharusnya seiya sekata. Paling tidak, tidak perlu bertengkar setiap hari.
“Mama
seharusnya bisa memahami aku! Aku sudah lima belas tahun dan wajar aku ikut
banyak kegiatan!” teriakku pada mama setelah aku pulang begitu larut di hari
Sabtu. Aku baru saja pesta makan setelah acara bazaar kami sukses besar dan stand
kami dinobatkan sebagai yang terbaik. Sebelum ke kafe, kami pesta sebentar
di rumahku.
“Tapi
kamu tak bisa meninggalkan rumah dalam keadaan berantakan begini!” balas mama
dengan volume yang hampir mengalahkan suaraku. “Besok klien mama akan ke rumah
dan kamu harus membersihkan rumah ini. Sekarang!”
“Mama
becanda, ya? Memangnya klien mama mau datang jam enam pagi?” kataku sarkastis.
Aku bosan dengan klien pengguna jasa EO milik mama. Mereka orang berduit yang
banyak maunya. “Aku capek Mama. Biarkan aku tidur sebentar.”
Kira-kira
kami bisa mendapatkan rekor MURI atau bahkan rekor dunia untuk keluarga
paling hancur dan tidak bahagia.
Oleh
karena itu, aku mencari kebahagiaan di luar rumah.
Aku ikut banyak kegiatan sejak SMP. Aku
pengurus OSIS, ikut pramuka, kelompok ilmiah remaja dan kegiatan lainnya. Aku
pernah bergabung dengan tim cheerleader
sampai aku mematahkan hidung ketua kami karena dia mengejekku anak haram.
Sialan, siapa yang anak haram?
Papaku
memang tidak tinggal bersamaku, dia meninggal dunia tepatnya. Mungkin akibat
disumpahi mama karena ketahuan selingkuh serta menikahi wanita muda itu
diam-diam. Aku masih kelas 5 SD dan belum mengerti apa-apa tentang masalah
orangtua. Aku hanya mendengar mereka bertengkar setiap hari di depanku. Kayak
aku tidak ada disana saja.
Sayangnya
aku tak tahu akan memihak kepada siapa. Mereka berdua sama-sama menyebalkan.
Yang
tidak menyebalkan itu sahabatku, Dian, sebelum dia meninggalkan aku sendirian
dan pacaran dengan orang terganteng di sekolah. Dian begitu sibuk sampai-sampai
tidak ada waktu untukku. Terpaksa aku mencari teman baru dimana-mana. Sayangnya
tidak ada yang cocok. Mereka banyak penjilat dan tidak tulus berteman. Untuk
apa berteman dengan orang yang mengharapkanmu saat bahagia saja. Kalau lagi
sedih mereka memalingkan muka.
Temanku
saat ini cuma Naufa Hameek, mahasiswa Perancis keturunan Somalia, dia temanku
di dunia maya. Awalnya aku agak kaget dengan email asing di inboxku. Kupikir hanya spam, email sampah, hoax, dan sejenisnya. Ternyata itu surat untuk mengajak kenalan. Kebetulan aku punya kemampuan bahasa Inggris yang lumayan. Lalu kami jadi teman di dunia maya, berbagi kisah suka dan duka.
Suatu
kali cowok itu mengatakan bahwa dia akan backpacking
ke Indonesia. Aku langsung antusias untuk menjadi guide meski pengetahuanku tentang kotaku sangat pas-pasan. Aku
bukan orang tipe outdoor. Aku jujur
pada Naufa dan dia bilang tidak masalah, asal aku jadi guide gratis. Enak saja, ya!
Seandainya hari itu mama tidak membuat
bajuku luntur, seandainya mama tidak lupa bahwa dia sedang mencuci dan tidak
menjawab telepon sialan itu, seandainya mama tidak hobi menelepon untuk urusan
bisnis, maka aku tidak akan marah padanya dan menjadikan perjalananku bersama
Naufa menjadi backpacking terburuknya
sepanjang hayat. Setidaknya begitu menurutku.
“Seharusnya
mama tidak merendam bajuku dengan deterjen plus
whitening. Warna bajuku oranye mama!
Bukan putih!”
“Jangan
berteriak Lasha, mama kan sudah minta maaf. Nanti mama belikan lagi. Tidak
perlu ribut…”
Aku
menangis kesal, kucoba menatap wajahnya yang seolah tidak bersalah. “Mama tak
tahu kan kalau aku beli baju ini pakai uang hasil lomba mendesain poster? Ini bukan uang mama! Mama mana
peduli!!”
Aku
membanting pintu kamarnya. Rumah seakan diterjang gempa mini.
Jalan-jalanku
dengan Naufa jadi suram dan langit cerah seakan antithesis yang menggosongkan tengkukku. Untung saja Naufa orang
yang baik dan dewasa. Dia malah menghiburku, layaknya kakak kepada adik. Memang
sih, dia lebih tua lima tahun dariku.
“Mama
itu seluruh dunia Lasha,” kata Naufa setelah aku bercerita. Dia merentangkan
tangannya. “Dunia tidak akan ada tanpa mereka. Kamu, aku, siapa pun. Kamu pasti
tahu itu.”
Anak
bayi juga tahu, kataku dalam hati.
“Kalau
kamu ke Somalia, bakal tahu kalau bagi kami perempuan memegang peranan penting
untuk negara kami. Sangat penting banget. Aku hafal puisi itu. Mau dengar?”
Aku
mengangguk antusias sambil menyeruput milk
shakeku. Naufa memejamkan mata sebentar sebelum mengucapkan puisi dalam
bahasa Somalia. Aku katakan aku tidak
mengerti artinya. Dengan senang hati dia menerjemahkan dalam bahasa Inggris.
“If women did not sacrifice their lives,
If they did not offer everything they had,
We would never have attained our flag,
When the she-camel gave birth,
And gave so much milk,
Women still left in hunger!”
Aku terpesona dengan indahnya puisi itu, suara Naufa juga menghayati. Aku
menangis dalam kesalku. Apa aku pantas menyayangi mamaku yang menyebalkan?
Bahkan dia sedikitpun tidak memahami aku.
“Kamu beruntung Lasha,” kata Naufa, bibir tebalnya melengkungkan senyuman.
“Aku menghabiskan masa remajaku tinggal di panti asuhan. Sedikit pun aku tidak
kenal dengan mamaku.”
Sentakan itu membuatku terdiam. Beruntung? Kalau dibandingkan dengan
teman-temanku yang lain bagaimana???
Kami
makan malam di hotel tempat Naufa menginap—jangan berprasangka apa-apa— dan
kami kembali membahas hal itu. Naufa sangat dewasa dan mampu memahamiku. Dia
memandang dari sudut pandangku dan sudut pandang mama. Menurutnya mama
menyayangiku dengan caranya sendiri, aku saja yang tidak mengerti.
“Orang
merasa memiliki setelah mereka kehilangan,” katanya pelan. Aku teringat sebuah tagline film nasional. Dalam hati aku
menyetujui. “Coba kalian pisah sebentar. Kita lihat apa yang bakal terjadi.”
“Pisah?
Maksudmu aku pergi dari rumah dan tinggal sendirian? Uang buat hidup sendiri
mana?” tanyaku menyangsikan ide konyolnya itu. “Kalau kamu mau membiayaiku
pergi backpacking bagaimana?”
“Oke,
kamu pergi backpacking ke suatu
tempat. Boleh luar negeri atau di Indonesia. Aku yang biayai, tinggal kamu
hitung kebutuhanmu,” katanya dengan wajah sumringah bersemangat. Aku menatapnya
dengan wajah heran dan meledek. Naufa membalas dengan, “Aku mahasiswa tapi juga
pengusaha, nona. Uangku banyak, makanya aku bisa ke sini.”
Rasanya
mau pingsan bisa traveling gratis….
“Yang benar saja kamu pergi sendirian?
Kalimantan itu banyak hutan, Lasha, kamu bisa tersesat!” kata mama, lagi-lagi
berteriak di telingaku. “Kamu tidak boleh backpacking
tak jelas itu. Siapa yang akan urus rumah!”
“Mama
tak pernah mengajakku jalan-jalan. Seingatku waktu kecil pun tidak. Sekali-kali
aku ingin merasakan udara yang segar. Tidak sumpek seperti disini!”
“Lasha,
kamu bakal hilang di Kalimantan kalau berani pergi tanpa izin Mama!”
“Terserah!
Kenapa tidak sejak dulu mama minta aku hilang? Kalau mama menyesal melahirkanku
bilang saja. Kenapa tidak buang saja aku? Aku tidak minta dilahirkan sebagai
anak papa dan mama!”
Dia
terdiam. Aku juga tertegun, mungkin ini kata-kata terkejam yang pernah kuucap
padanya. Aku sungguh-sungguh merasa berdosa telah berkata ini. Tuhan, jangan
sampai aku hilang di Kalimantan…
Aku bersikeras pergi backpacking ke Kalimantan, sendirian.
Setidaknya aku punya buku panduan dari Naufa untuk survival, juga Lonely Planet
edisi Kalimantan. Aku tak akan hilang, Tuhan tidak akan mengabulkan doa jelek
begitu. Lagipula tujuan kepergian ini agar tahu seberapa besar sayang kami. Apa
kami masih memiliki rasa memiliki satu sama lain?
Sebenarnya,
apa bedanya, ya? Setiap hari kami jarang bertemu, sekali kali bertemu
yang ada hanya pertengkaran.
Aku memerlukan topi koboiku yang kubeli
tiga tahun lalu. Pertama kali dipakai masih terlalu besar untukku, sekarang siapa
tahu sudah muat. Keren juga berjalan-jalan di sana dengan topi itu. Aku masih
ingat topi itu tersimpan di kotak dalam gudang.
Aku
tidak pernah menyangka kalau gudang kami sudah begitu disesaki barang-barang
yang tak jelas gunanya. Sebagian besar punya mama dan perusahaannya. Dengan
susah payah aku melewati tumpukan benda berdebu tebal untuk mencapai peti harta
karunku. Peti itu tak kalah tebal debunya. Mungkin terakhir kali aku membukanya
dua setengah tahun yang lalu.
Aku
terbatuk-batuk saat membukanya. Seharusnya aku memakai masker, tapi sudah
terlanjur. Lampu gudang yang redup cukup menyulitkanku melihat isi dalam peti.
Aku tidak menemukan kotak topi koboiku. Aku hanya menemukan telepon mainan
itu—yang membuat air mataku keluar begitu saja…
Telepon
mainan itu hadiah mama waktu aku TK. Aku tidak tahu maksud dia memberikan
telepon, kenapa tidak boneka Barbie (yang mungkin bisa saja membuatku lebih
manis)? Aku hanya ingat dengan benda ini aku pura-pura menghubungi mama yang
sering berpergian. Aku juga menelepon papa yang selalu pulang setelah aku
tidur. Kadang aku menelepon teman khayalanku… Pepo, Gara, Fifi, dan Sioma…. Aku
mempunyai teman khayalan hingga kelas satu SMP. (Kumohon jangan tertawa selagi
aku menangis).
Aku
mengangkat gagang telepon itu dan menempelkannya ke telinga. Kuputar nomor handphone mama. Sambil terisak, aku
berkata, “Mama, apa kabar? Aku sangat mengkhawatirkan mama. Mama harus
istirahat sekali-sekali, jangan kerja terus. Mama seharusnya bepergian, refreshing. Maafkan aku menjadi begini.
Aku sebenarnya tak ingin membebani mama dengan sikap egoisku. Hanya… menurutku
mama tak mau mendengarkanku. Sekali saja tolong, Ma. Bilang kalau aku begitu
berarti bagimu dan jangan pernah tinggalkan aku…”
Ternyata
topi koboiku tak pernah masuk ke petiku. Dia dengan aman tersimpan dalam kotak
diatas lemari perkakas. Lemari yang dulunya pasti diisi barang-barang papa.
“Seharusnya
kalian tidak berpisah demi aku…”
Sehari
itu aku cengeng sekali.
Hujan lebat dan badai angin kencang
diluar sana. Pesawat yang akan mengantarku ke Pontianak terpaksa menunggu cuaca
menjadi lebih baik. Orang-orang mengeluhkan delay
yang lama, sedangkan aku tidak. Entah kenapa sebagian diriku ingin tetap
bersama mama. Padahal aku tidak akan selamanya pergi, hanya 2 minggu.
Ruangan
tunggu semakin terasa menyebalkan bagiku. Aku ingin pergi ke rumah, tidur
meringkuk di bawah selimut dan menunggu suara mama berteriak marah karena aku
tidak mencuci piring sarapan. Aku juga ingin membalas teriakannya, “Kenapa kita
tidak mencucinya bersama-sama?” Konyol, tapi sekalipun aku tidak pernah
melakukan hal konyol dengannya. Yang serius pun tidak.
Aku
juga berusaha menenangkan pikiranku dari pikiran-pikiran bahwa aku akan hilang
di hutan Kalimantan. Katanya doa ibu itu ampuh sekali. Oh, Tuhan… jangan sampai
aku hilang, kumohon…
“Lasha!”
Aku
menoleh begitu namaku dipanggil. Mama melambai dari balik kaca ruang tunggu.
Secepat kilat aku berlari ke arahnya. Tubuhku tak bisa berdusta, padahal aku
gengsi sekali.
Saat kami berhadapan, kulihat mata mama berkaca, air mata melewatinya dan
membuat maskara itu luntur. Dia mengerikan meski tetap cantik.
Aku dipeluknya. “Jangan sampai hilang di Kalimantan!” isaknya.
“Apa-apaan
sih Mama?” kataku sambil mengamati sekeliling. Orang-orang bisa mengira kami
sedang syuting sinetron. “Kalau mama cabut doa mama, aku tidak bakal hilang,
kok. Gampang, kan? Sekarang nangisnya berhenti dong…” Aku seperti ibu dan
mamaku jadi anak.
Kami
mencari tempat duduk yang nyaman. Kudengar pesawatku di delay lebih lama lagi. Syukurlah. Kami mengobrol begitu lama.
Sekali ini kami bisa duduk berdua.
“Aku
tahu mama sayang aku. Aku tahu setiap ibu akan memberikan semuanya untuk
anaknya. Aku tahu seorang ibu akan menahan lapar asalkan anak-anak mereka
kenyang… Tapi aku hanya anak remaja egois dan meledak-ledak, mama.”
“Mama
mendengar kamu berbicara di gudang itu. Mama egois telah membuatmu merasa tidak
nyaman dekat mama. Kamu begitu mirip papamu, tahu! Raut wajahmu, rambut ikalmu,
matamu… seakan mama tidak menyisakan tanda dari mama. Itu membuat mama susah
berhadapan denganmu. Kamu seperti cermin dari pria yang begitu mama benci.”
Aku
memeluk mama. Tak kusangka akar masalahnya hanya itu. Orangtua nyatanya juga manusia biasa yang perlu bantuan. Aku menggelengkan kepala karena mama
begitu aneh memandang hubungan kami. Kenapa dia tidak anggap aku sebagai teman
hidupnya?
“Aku
anak mama dan hanya milik mama. Kalau papa punya saham fisik padaku maka saham
mama adalah sifat dan jiwaku. Kita sama-sama egois, sama-sama suka berteriak,
sama-sama suka berkegiatan, bisnis…, uang…, cowok cakep….”
“Saham?”
tanya mama berkerut dahi.
“Cuma
istilahku saja,kok.”
“Tak
kusangka anakku sebijak ini. Kita memang jarang mengobrol. Sepulangnya kamu
dari Kalimantan, mama ingin dengar cerita kamu detil dan tuntas, jangan sampai
terlewat. Selamat bersenang-senang disana. Lain kali kita backpacking bersama. Oke?”
“Memangnya
mama kuat menggendong tas segede gajah?”
“Mama
masih 37 tahun tahu! Tulang punggung mama masih kuat!!”
Aku
tertawa mendengarnya seperti itu. Kami bersama-sama tertawa seperti sepasang
teman lama, bukan ibu dan anak. Seandainya status ibu-anak itu tidak begitu
kaku, maka kamu bisa rasakan bahwa orangtua itu gokil juga! Tips Naufa ampuh
sekali, bahkan sebelum aku sempat menjejakkan kaki di Kalimantan.
Akhirnya
hujan reda dan sebentar lagi panggilan untuk masuk ke pesawat. Aku menatap
langit yang menaungi bandara setelah hujan lebat dan menangkap panorama itu
yang ketiga kali. Pelangi yang hilang bagian atasnya laksana tertelan langit
dan awan. Namun saat mama mendekat ke arahku untuk mengucapkan perpisahan ke
sekian kali, kulihat perlahan-lahan dua bagian pelangi itu saling mendekati.
Sehingga menjadi pelangi yang utuh… pelangi yang sempurna.
Seperti
aku dan mamaku tersayang.
Dimuat di Story Teenlit Magazine, Juni 2010
Dimuat di Story Teenlit Magazine, Juni 2010
No comments:
Post a Comment