Tuesday, December 31, 2013

Di Taman, Setelah Pukul 00.00


Biasanya, malam hari pada tanggal terakhir sebuah tahun, sebelum jam menunjukkan 00.00 dan bunyi petasan serta kembang api terdengar dari kejauhan, Eru menulis. Dia menulis resolusi tahun barunya. Biasanya dia menulis di buku baru yang dia beli pada tanggal 30 Desember. Dia menulis di kamarnya, ditemani lampu belajar. Paling banyak dia menulis tiga halaman. Setelah itu dia menutup bukunya. Karena saat jarum Jam Gadang saling berimpitan pada tengah malam dan bunyi ribut makin ribut di luar sana, dia berhenti . Kebetulan rumahnya tidak jauh dari pusat kota, di mana Jam Gadang berada.
Untuk menulis resolusi, Eru seringnya membeli buku tulis biasa, berlembar empat puluh, dan bergaris-garis warna biru. Dia suka buku tulis bergaris, dengan begitu dia tahu sudah berapa garis yang dia isi, walaupun hitungan itu tak begitu penting. Dia hanya suka berhitung di dalam kepala. Dia juga sempat mencari tahu tentang produsen kertas buku yang dia beli, terutama waktu dia mulai menulis sebuah esai sepanjang dua lembar folio tentang hidup hijau. Saat dia tahu kalau kertas itu diproduksi sebuah perusahaan kertas di Perawang dan mereka mempunyai hutan sendiri, Eru merasa lega. Paling tidak kertas ini bukan hasil penebangan hutan secara sembarangan, apalagi penebangan pohon di hutan Kalimantan. Tetapi Eru tak tahu bagaimana sebenarnya proses produksi kertas di  Perawang. Dia tidak pernah ke sana.
Eru memang suka begitu, dia memikirkan sesuatu dan ingin mencari tahu, tetapi tak pernah tuntas mengorek informasi sampai dalam. Seperti dia selalu menuliskan resolusi, tetapi target-target itu hanya tertinggal di dalam buku tersebut. Karena setelah jam dan kembang api memberi pertanda, Eru hanya akan menumpuk buku itu di tumpukan buku-bukunya yang lain. Bahkan dia lebih sering membaca buku matematika daripada melihat kembali buku tulis yang berisi resolusinya.
“Matematika diciptakan agar orang lain punya kegiatan selain memikirkan keinginan-keinginan yang mustahil tercapai,” kata Eru suatu kali, kira-kira pada tanggal 2 Januari lalu.
Dia lupa kalau setiap orang harus berhati-hati dengan keinginan mereka.


Eru pun tidak ingat persis apa yang dia tulis di buku itu pada malam tahun baru lalu. Tetapi, Pembaca yang baik, untungnya saya tahu apa yang dia tulis. Sempat saya masuk ke kamarnya dan mengintip, tetapi jangan sampai Eru tahu bahwa saya memberi tahu Anda. Mungkin Anda ingin memberi tahu orang lain, tidak masalah. Hanya saja kita simpan rahasia ini bersama, oke?
Ada beberapa resolusi yang dia tulis, salah satunya tercapai: dia ingin menjadi pemenang di sebuah kompetisi. Walaupun dia sadar kalau hidup pun adalah kompetisi, seperti dalam teori evolusi Darwin, dia tetap berniat untuk ikut sebuah kompetisi. Selama ini, hingga dia kelas sebelas, dia hanya melihat kompetisi dari jauh atau melihat poster pengumuman kompetisi. Sering dia berdiri di depan kaca papan pengumuman dan bergumam kepada diri sendiri seandainya dia ikut dan menang pada sebuah kompetisi. Selama ini dia hanya bergumam, sampai pertengahan tahun ini.
Kemudian, dia menulis artikel untuk sebuah kompetisi.
Dia menulis tentang pembaharuan taman di Bukittinggi, tepatnya taman Jam Gadang. Selain bangunan ikonik itu, di bawahnya membentang taman. Lingkungannya semakin indah setelah diperluasnya bagian untuk pejalan kaki, ditambahnya tempat duduk dari semen dan kursi kayu, digantinya bata trotoar dengan paving block yang lebih indah dan berwarna-warni. Tetapi lahan tanaman hijau masih kurang. Eru merasa pemerintah kota tak memperhatikan hal itu, dan dia tulis dalam esainya. Eru tak terlalu ingat kalau kompetisi itu bertujuan untuk mencari duta taman kota, dia hanya ingat persyaratan dan format esainya saja. Maka saat Eru terpilih sebagai pemenang, dia sangat kaget karena harus menjadi Duta Taman dan harus mengikuti banyak kegiatan semacam kampanye menanam tanaman hijau sekota Bukittinggi. Tetapi Eru tak pernah lalai dari tugas yang dipercayakan orang lain kepadanya.  Dia hanya biasa melalaikan apa yang dia percayakan kepada dirinya sendiri.
Lagi pula kompetisi itu membuat dia lebih kenal dengan Rena, cewek kelas ilmu sosial yang selalu mengikat pony tail rambutnya. Eru pernah mimpi dan Rena bersamanya di dalam mimpi itu. Sedangkan di dunia nyata, Eru hanya bisa melihat Rena dari kejauhan. Saat dia berada di barisan terdepan upacara bendera—karena Eru termasuk golongan pendek—dia memuaskan diri melihat Rena yang menjadi salah satu anggota paduan suara. Suara Rena semerdu nyanyian malaikat, menurut Eru. Walaupun suara itu melebur bersama puluhan suara yang lain.
Bahkan saat Rena berkata, “Baumu seperti rumput,” kepada Eru saat mereka bersanding di penyerahan hadiah dan penganugerahan gelar Duta Taman,  Eru mendengar kata-kata Rena seakan itu hal paling indah yang dia pernah dengar. Eru lupa apa kata-kata Rena, tetapi dia tidak mementingkan itu. Yang penting Rena berbicara untuknya, kepadanya, demi dirinya.
Selama ini Eru mengagumi sosok Rena, tetapi dia tidak pernah punya keberanian untuk benar-benar mendekati Rena. Eru tahu kalau Rena ikut kegiatan sekolah apa saja, tetapi dia tidak tahu apa makanan kesukaan Rena. Dia tidak pernah mencari tahu sampai sedalam itu. Dia sempat mendengar, saat Rena berpidato di acara balai kota, bahwa cewek itu suka dengan warna hijau. Aneh bagi Eru, dia selalu melihat Rena menggunakan ikat rambut merah dan biru, tidak pernah hijau. Apakah Rena benar-benar suka warna hijau? Hal itu membuat Eru memikirkannya tetapi tak pernah dia cari tahu sampai pertanyaannya terjawab.


Menjelang akhir tahun, Eru dan Rena harus membuat laporan kegiatan mereka selama setahun. Mereka hanya perlu membuat satu laporan untuk berdua. Eru sempat menawari mereka membuat laporan itu di rumahnya, tetapi Rena menolak. Eru juga tidak diberi kesempatan untuk mengajukan rencana kedua: membuat laporan di rumah Rena. Jalan tengahnya mereka harus mengerjakannya di sekolah.
Hei, sudah minta izin pakai ruang komputer sekolah, kan?” tanya Rena pagi itu, setelah mereka selesai upacara bendera.
Eru mengangguk, tetapi saat dia mulai bicara, Rena membuang muka. Cewek itu harus segera menghampiri pacarnya yang menunggu. Eru hanya bisa menelan kata-katanya sendiri.
“Kamu jangan lupa bawa materimu sendiri,” kata Eru, pada punggung Rena yang menjauh.
Saat mereka di dalam ruangan komputer, sepulang sekolah, Rena mengatakan kalau dia lupa membawa materi tulisan yang diperlukan. Padahal Eru memerlukan itu untuk membuat laporan, dia tidak tahu apa saja kegiatan Rena selama menjadi duta. Sedangkan laporan mereka harus dibuat bersama-sama.
“Jangan sedih begitu. Aku bikin sekarang saja,” kata Rena. Dia menggeser kursi dan menyalakan komputer di hadapannya.
Eru hanya bisa mengangguk, kemudian ikut duduk di kursi sebelah Rena. Dia pun menyalakan komputer.
“Apa nih?” tanya Rena.
“Apa?”
“Cari meja lain saja!”
Bukannya lebih mudah kalau aku langsung lihat materi kamu?”
“Jangan dekat-dekat aku.”
Eru tak membantah lagi. Dia memilih meja di sebelah, tetapi Rena berdeham dan menggeleng. Eru memilih satu lagi, Rena tetap berdeham. Saat jarak mereka ada di antara empat meja komputer barulah Rena mulai bekerja.
Eru menyalakan komputer dan mengecek kembali materi laporan yang sudah dia kerjakan di rumah. Rasanya dia sudah memuat segala hal yang bisa diingatnya. Semenjak pertengahan tahun hingga saat ini terlalu banyak  acara seremoni, penanaman pohon, lokakarya, penyuluhan, dan dia sudah memasukkan semuanya. Demi menunggu Rena menyelesaikan bagiannya, dia membuka buku matematika dan mulai mengerjakan soal trigonometri.
“Hei, kamu selalu belajar sehabis sekolah?”
Awalnya Eru tidak sadar Rena berbicara padanya. “Eh?”
“Dasar culun.”
“Sudah selesai?” tanya Eru, tak mendengar jelas kata-kata Rena tadi.
“Kamu baca buku apa?”
Eru mengangkat buku di hadapannya dan berkata, “Matematika.”
“Jadi kamu jago matematika? Aku benci matematika,” kata Rena. Suara keyboard yang dihantam jemarinya terdengar lebih lantang. Lalu dia mendengar ponselnya berbunyi. “Ondeh, sial. Aku harus pergi.”
“Kamu mau ke mana?” Eru langsung berdiri dari duduknya.
“Uda Malik nungguku di depan sekolah. Aku pergi dulu, ya?”
“Materinya sudah selesai?”
Rena menggeleng, “Besok saja aku lanjutkan.”
“Padahal hanya tinggal—“
Rena mengangkat telunjuknya ke arah Eru, berbarengan dengan dia menempelkan ponselnya di telinga. “Oke, Da, ya, aku sudah selesai, kok. Biar si Eru saja melanjutkan.”
Rena berjalan keluar meninggalkan Eru yang masih berdiri dengan bahu turun. Dia beranjak ke layar komputer yang tadi dipakai Rena. Saat dia melihat hanya ada dua kalimat di dalam file itu, dia pun menghela napas panjang. Jadi apa yang Rena lakukan selama tiga puluh menit tadi? batin Eru.
Dia memutuskan pulang daripada berusaha membuat laporan yang tidak lengkap materinya. Untuk pulang ke rumahnya, Eru membutuhkan waktu sekitar tujuh menit. Dia sudah hafal jalan-jalan pintas, termasuk melewati gang di samping warung seberang sekolah. Warung itu jadi tempat tongkrongan siswa-siswi SMAN 1 Bukittinggi, sekolah Eru. Biasanya di sana siswa yang bolos, perokok, dan berambut gondrong bersembunyi di saat-saat tertentu. Eru tak pernah jajan di warung tepi jalan itu.
Saat dia melewati jalan itu, dia melihat dua orang sedang saling berteriak. Lalu salah satunya menampar yang lain. Eru bertahan berdiri sesaat, saat si penampar beranjak pergi, barulah Eru mendekat.
“Rena?”
Rena menatap Eru dengan bibir yang melengkung ke bawah. Tangannya memegang masing-masing pipi. Perlahan matanya mengeluarkan air mata.
“Jangan bilang siapa-siapa. Awas kalau sampai orang lain tahu.”
Eru mengangguk.
“Kamu mau ke mana?” tanya Rena, setelah mereka saling terdiam beberapa menit.
“Pulang.”
“Pulanglah.”
Eru melangkah, melewati Rena, tetapi Rena memanggil namanya sekali lagi.
“Besok kita bikin laporan lagi di ruang komputer,” katanya.
Eru mengangguk, dia pun ingin tersenyum, tetapi Rena sudah melengos dan berjalan ke arah berlawanan.


Eru memikirkan kejadian yang dia lihat tadi sepanjang malam, paginya, dan seterusnya sampai-sampai dia tidak sadar sudah berada di ruang komputer dan menunggu Rena. Cewek itu belum muncul. Eru ingin menyibukkan diri dengan buku matematika, tetapi tangannya malah bergetar sendiri saat dia membuka buku itu. Otaknya masih penuh dengan wajah Rena rupanya.
Rena muncul tiga puluh menit terlambat. “Maaf,” katanya saat dia muncul di pintu ruang komputer. “Aku lanjutkan yang kemarin dulu.”
Eru menunggu dengan pura-pura membaca lagi materi laporan miliknya. Dia mengecek kembali foto-foto yang akan dilampirkan di laporan. Tanpa sengaja dia memandangi foto-foto itu lebih lama dari biasanya. Setelah Eru perhatikan, Rena lebih manis saat tersenyum. Eru sudah sering melihat senyuman para cewek. Dia tidak tahu mana senyuman yang tulus atau tidak tulus, dia hanya merasakannya. Dan senyuman Rena saat berada di antara ibu-ibu di acara penanaman pohon di tepi kota, Eru melihat senyuman paling tulus milik Rena. Dia tidak tahu pasti, tapi dia merasa begitu.
Dari jarak empat meja komputer, dia melihat Rena yang nyata. Eru tak melihat ada senyuman di sana, dia merasa hanya ada kesedihan. Walaupun Eru yakin Rena sedang berkonsentrasi dengan tugasnya.
“Sudah selesai,” kata Rena, “aku simpan di folder berbagi, jadi kamu bisa mengambilnya langsung dari komputermu.”
Eru segera menutup file foto yang dia lihat dan mulai mengetik kelanjutan laporannya. Dilihatnya Rena tetap duduk di tempatnya, hanya menatap layar komputer.
Tangan Rena terkulai di meja, lalu dia menatap ponselnya yang tidak berdering. Dia mengambil ponsel itu.
“Rena? Aku boleh tanya ini maksudnya apa?”
Rena menoleh. Ragu-ragu, diletakkannya lagi ponsel ke atas meja. “Yang mana?”
“Yang ini,” Eru menunjuk kalimat di layar komputer.
Rena akhirnya berdiri dan menuju tempat Eru, dia melihat melalui punggung Eru pada layar komputer. “Kayaknya aku salah ketik, tolong diperbaiki saja.”
“Baiklah.”
Eru merasakan napas Rena pada lengannya. Dia berusaha untuk tidak bergidik. Kemudian dilihatnya Rena duduk di kursi di sampingnya. Sesekali cewek itu melirik ke ponselnya.
Mereka tak berbicara selama Eru mengetik. Eru memusatkan pikirannya pada laporan, walaupun berkali-kali jarinya salah mengetik huruf. Dia tidak bisa menyalahkan Rena, pikirnya. Jadi dia biarkan saja Rena duduk termenung di sampingnya.
“Akhirnya selesai,” kata Eru.
“Ayo kita print,” kata Rena. Dia beranjak ke mesin cetak di sudut ruangan. Lalu dia nyalakan benda itu. “Sudah aku nyalakan.”
Dan keduanya kembali sibuk dengan pikiran masing-masing selagi mesin cetak berdengung karena mengeluarkan kertas. Rena mengambilnya, kemudian meraih staples di meja guru lalu menyatukan kertas-kertas tadi. Eru hanya bisa melihat dari jauh.
“Eru, kamu sudah punya acara malam tahun baru nanti?”
“Eh?”
“Sudah ada belum?”
“Belum.” Eru tak bisa membuat suaranya terdengar jelas.
“Kamu bisa ikut gabung dengan aku dan teman-teman yang lain.” Rena mengatakannya sambil memberikan berkas tadi kepada Eru.
Eru mengambil benda itu dan berkata, “Bolehkah?”
“Seharusnya aku tidak tanya begini padamu. Aku yakin kamu tidak punya acara atau apa saat tahun baru.” Rena seakan sadar sudah melakukan sesuatu yang keliru. “Maaf,” lanjutnya, “tentu saja boleh. Teman-teman yang minta.”
“Baiklah kalau begitu.”
Rena pulang duluan, meninggalkan Eru yang masih tidak percaya seorang Rena mengajaknya pergi untuk perayaan tahun baru. Dia memikirkan itu sepanjang malam, pagi, dan seterusnya.


Perayaan tahun baru masih tiga puluh jam lagi saat Eru pergi ke Pasar Bawah. Dia merasa harus membeli buku baru untuk resolusi tahun barunya, sesuai tradisi, walaupun dia tak yakin punya waktu untuk menulis karena dia akan pergi bersama Rena. Saat melihat tumpukan buku-buku tulis di toko buku, Eru bingung. Dia bisa saja mengambil buku tulis biasa, tetapi dia teringat Rena. Cewek itu menyukai warna hijau, batin Eru. Tumpukan buku-buku tulis dengan sampul hijau dan bagian dalam bergaris-garis hijau menarik perhatian Eru.
Sekitar dua puluh menit dia berpikir. Setelah lelah sendiri dan perutnya keroncongan, dia memutuskan membeli buku bersampul warna hijau. Sepulangnya ke rumah Eru tidur sore hingga magrib, dia tidak mengeluarkan buku itu dari tasnya. Dia melanjutkan kegiatan seperti biasa. Liburan membuatnya lebih punya banyak waktu untuk menonton televisi, sesuatu yang tidak begitu dia sukai. Tetapi ibunya menyuruh Eru menonton televisi, makanya Eru menonton.
Tiba-tiba ponsel Eru berbunyi, lagu milik idol group dari Jakarta seakan memanggil dirinya. Dadanya terasa berat oleh gravitasi yang bertambah. Dia kaget, tentu saja, karena setelah sekian lama benda itu berbunyi juga untuknya. Dia segera berlari menuju meja di kamarnya dan mengambil benda itu. Ada sebuah pesan dari nomor Rena:
“Kami tunggu di Haus Tea, ya. Jam tujuh. Jangan sampai telat. Nanti kita bakal pergi ke tempat lain setelah makan.”
Eru bertanya-tanya apakah dia harus membalas pesan itu atau tidak. Dia akhirnya membalas “Oke,” satu jam kemudian.
Eru tidak menyangka Rena akan mengingatkannya tentang acara malam tahun baru mereka. Padahal Eru sempat terpikir untuk melakukan tradisi seperti biasa: menulis resolusi sampai jam dan kembang api menjadi pertanda. Ternyata Rena tidak bercanda waktu mengajaknya.
Eru segera minta izin pada orangtuanya, dia akan pulang larut malam karena merayakan tahun baru. Rumahnya dekat dari Jam Gadang, pun restoran Haus Tea masih berada di kawasan yang sama, orangtuanya mengizinkan begitu saja. Malahan mereka cukup senang akhirnya Eru bisa pergi bersama teman-teman sekolahnya.
            

Bunyi terompet dan petasan sepanjang hari tidak berhenti terdengar. Anak-anak berlarian di tepi jalan sambil berusaha membunyikan terompet sekeras mungkin. Ada yang iseng membunyikan terompet di telinga teman mereka. Sambil bersiap-siap pergi, Eru melihat itu semua dari jendela kamarnya.
Dia memilih kemeja hijau kotak-kotak dan celana kargo warna coklat muda. Karena dia tidak terlalu tahan dingin, Eru melapisi pakaiannya dengan jaket. Sayangnya dia hanya punya satu jaket, berwarna merah, jadilah dia tidak seratus persen terlihat menggunakan warna kesukaan Rena.
Eru berjalan kaki ke kawasan Jam Gandang, melewati jalan-jalan pintas, mendaki jenjang Pasar Bawah dan melewati Pasar Lereng. Ya, di Bukittinggi memang terlalu banyak pasar di lokasi yang saling berdekatan. Lalu dia beranjak ke Pasar Atas—dilihatnya Jam Gadang menunjukkan pukul 17.45—kemudian berjalan menurun ke arah Kampung Cina, tempat Haus Tea berada.
Selama dia berjalan kaki tadi, dia melihat orang-orang sudah ramai berada di jalanan. Orang-orang dewasa juga membawa terompet di tangan mereka. Bahkan di depan Haus Tea banyak orang-orang seumuran Eru duduk-duduk di pinggir jalan dan mengobrol, saling melontarkan lelucon yang menimbulkan tawa mereka.
Seakan-akan mereka menertawakan Eru.
Dia sendirian duduk di meja di lantai dua, posisinya menghadap jalanan. Dia bisa melihat gerombolan tadi sudah bertambah dengan orang-orang yang bermain skateboard. Eru menghela napas, menelan sesuatu yang memberatkan dadanya lagi. Berusaha mendengar suara-suara yang  dilontarkan orang-orang di sekitarnya, Eru merasa kesepian di tempat ramai.
Dia merasa lebih baik kesepian di kamar sendiri, daripada kesepian di tempat seperti pasar ini. Untung saja dia membawa uang lebih, jadi dia memesan makanan hangat lagi. Pelayan cewek yang mengantarkan makanan lagi untuk Eru tersenyum padanya. Eru merasakan senyuman itu tulus. tetapi Eru tahu dia tak akan bisa mengajak pelayan itu menemaninya. Rena yang mengajakknya ke sini. Eru sengaja beberapa kali ke lantai satu, untuk ke toilet sekaligus mengecek apakah Rena ada di lantai bawah. Ternyata tidak ada.
Sampai jam sepuluh Eru masih berada di Haus Tea. Pelayan cewek tadi berkali-kali bertanya apakah Eru ingin memesan lagi atau tidak. Eru menggeleng dan meminta bill. Dia keluar dari restoran itu dengan tangan memeluk tubuh sendiri. Dia berjalan melewati pemain-pemain skateboard, cewek-cewek yang memegang kembang api di tangan, anak-anak yang meniupkan terompet seakan-akan mereka tidak pernah kehabisan napas.
Bagi Eru tahun ini hanya salah satu tahun dalam kehidupannya, berjalan begitu saja, dalam situasi yang tidak perlu dituliskan dalam sebuah buku. Karena itu bukunya hanya bertuliskan resolusi-resolusi yang mustahil di capai, lalu buku itu terlupakan.
Dia berjalan menuju taman Jam Gadang, kepadatan pengunjung di sana sangat tinggi. Rasanya tidak mungkin bisa bergerak di kerumunan itu. Ditambah pedang-pedagang kaki lima menggelar dagangan mereka begitu saja—bahkan di atas rumput-rumput taman. Eru semakin sadar kalau artikel yang dia tulis hanya menjadi sekadar berkas, bukan sesuatu yang harus diwujudkan. Pemerintahan kota hanya membuat ajang gelar Duta Taman itu sebagai acara seremonial saja. Eru sangsi kalau laporan yang dia buat bersama Rena dibaca atau dievaluasi.
Di langit, kembang api-kembang api meletus dan menyemburkan warna-warni. Sebelum tengah malam orang-orang sudah membeli dan medakkan ribuan kembang api.
Yeah! Kembang api!”
Suara itu, batin Eru. Satu suara yang berada di antara suara-suara orang lain, terdengar jelas di telinga Eru. Dia menoleh ke sumber suara itu.
Rena berdiri di sana, bersama teman-temannya. Eru juga menangkap sosok Uda Malik, siswa kelas dua belas yang pernah dihukum karena berkasus saat menjadi panitia masa orientasi siswa baru. Dia membuat siswa seangkatan Eru itu jadi babak belur. Anehnya bagi Eru, Uda Malik hanya dihukum skorsing dua minggu.
Eru berhenti berjalan, memperhatikan mereka dari kejauhan.
Rena sedang menunggu kembang api di tangannya menyala. Saat api membuat benda itu berpendar, warna merah muncul seperti bunga, Rena bersorak dan menari-nari. Tangannya meliuk-liuk seperti pita penari.
“Aku suka kembang api!” Pony tail Rena melompat-lompat di punggungnya.
Saat itulah mata Eru dan mata Rena bertemu. Eru berusaha untuk tersenyum, walaupun dia tidak yakin apakah senyumannya lurus. Dia hanya berusaha untuk tulus, walaupun usahanya tidak seberat perasaan yang menghantam dadanya.
“Eru?!” Rena menyapanya, “ sini!” Tangannya melambai meminta Eru mendekat.
Eru bergeming. Dia ingin melangkah, tetapi orang-orang berkali-kali melintas di depannya, membuatnya urung beranjak. Saat kesempatan bisa melihat Rena lagi, Eru menyaksikan tangan Rena tidak memegang kembang api lagi, tetapi tangannya berada di genggaman Uda Malik. Mereka saling mengatakan sesuatu, entah apa. Eru hanya teringat dengan apa yang dia lihat saat dia pulang beberapa hari lalu, saat dia melihat Rena menangis sambil tangannya menempel di pipi. Mereka dalam kondisi seperti itu lagi rupanya.
Dan Eru tetap tidak beranjak walaupun dia melihat Uda Malik membawa Rena entah ke mana. Dia malah berjalan ke arah berlawanan, menuju gedung Balai Sidang Hatta. Dia masuk ke gedung itu, tempat banyak orang lain yang sibuk bersenang-senang. Dia duduk di tepi gedung yang menghadap Jam Gadang, di balik barisan tanaman hijau. Walaupun sedikit merasa bersalah, dia duduk di atas rumput. Paling tidak, dia berhati-hati saat duduk. Tak ada orang lain duduk bersamanya.
Demi ada kegiatan selain memperhatikan kegembiraan orang-orang, dia membuka tasnya. Tetapi dia ingat tidak membawa buku matematika, hanya ada buku tulis berwarna hijau yang dia beli kemarin. Tangannya mengeluarkan buku itu, dia letakkan di pangkuannya. Lalu dia kembali ingin melakukan tradisi: menulis resolusi. Namun, saat tangannya menggenggam pena, dia tidak tahu mau menulis apa. Makanya dia berbaring di rumput itu, tidak peduli apakah di sana ada semut api atau cacing atau apa. Dia hanya ingin berbaring.
“Melakukan hal baru tidak buruk juga, ya?” katanya kepada diri sendiri.
Dan dia memikirkan banyak hal sambil menatap langit di atas Jam Gadang sedang dipenuhi kembang api berwarna-warni.


“Hei, bangun!”
Eru merasakan bahunya didorong berkali-kali. Kesusahan dia membuka matanya, lalu mendapati Rena sedang menatapnya. Tentu saja dia kaget. Dia segera bangkit duduk.
“Jangan berteriak seperti itu!”  Rena menempelkan telunjuk di bibirnya sendiri. “Kalau ada yang dengar dan aku ketahuan ada di sini, awas kamu.”
“Kenapa kamu di sini? Da Malik?”
“Jangan tanya-tanya dia, aku sedang kabur dari dia.”
Eru menatap Rena begitu lama, “Kamu menggerai rambutmu,” kata Eru, “dan panjangnya memang sepinggang.”
“Kamu bicara apa, sih?” Rena menggeser duduknya, agak terlalu dekat bagi Eru.
Tentu saja Eru tidak menolak.
“Bisa-bisanya tertidur di sini,” kata Rena kemudian, mengabaikan tatapan Eru yang tidak berpaling.
“Aku tidur berapa lama?”
Rena menunjuk Jam Gadang, hanya beberapa saat lagi menuju tengah malam. Semua orang di kawasan itu tidak lagi menyalakan atau meledakkan kembang api. Mereka menunggu detik-detik menuju pergantian tahun baru. Terdengar suara dari pengeras suara, kemungkinan dari kantor pengawas yang ada di bawah Jam Gadang.
“Ayo warga Bukittinggi, mari kita berhitung bersama-sama: sepuluh!”
Semua orang mengikuti, termasuk Rena. “Sepuluh!”
“Sembilan!”
Eru hanya memperhatikan wajah Rena dari samping, cewek itu begitu bersemangat. Hingga angka hitungan semakin kecil Eru belum juga menghitung.
“Tiga!”
“Dua!”
“Rena, selamat tahun baru!” Eru akhirnya berteriak, membuat Rena tertawa.
Kembang api-kembang api meledak dan langit malam semakin berwarna. Seakan-akan sebuah kanvas hitam diperciki cat. Perasaan Rena begitu lega dan senang. Dia ingin terus tertawa sepanjang malam. Sekaligus melupakan seseorang yang sudah mengecewakannya. 
Lalu dia menoleh ke Eru, melihat wajah cowok itu berpendar karena terpantul cahaya kembang api.
“Eru, selamat tahun baru!” Dia hampir saja memeluk Eru kalau dia tidak melihat sebuah buku di dekat Eru.
“Apa ini?”
“Buku tulis.”
“Aku tahu, tapi kenapa kamu bawa buku tulis? Mau mengerjakan soal matematika?” Rena terkekeh. “Dasar culun.”
“Biasanya aku menulis resolusi di buku.”
“Begitu, ya? Kenapa masih kosong?” Rena melihat pena di dekat Eru, dia mengambil benda itu dan mulai menulis. Eru hampir melarang, tetapi dia urung melakukan itu. “Kenapa bukunya bergaris-garis hijau begini, aneh!” Dia terus menulis.
“Bukannya kamu suka warna hijau?”
“Siapa bilang? Aku suka warna merah.”
Eru tertegun, lalu dia berkata, “Kamu menulis apa?”
“Setelah lulus SMA aku harus lanjut kuliah di jurusan komunikasi.” Rena memberikan buku itu kepada Eru. “Katanya komunikasi itu kemampuan dasar wanita, kayaknya aku perlu belajar lebih banyak lagi biar bisa membuat orang lain paham apa yang kukatakan.”
“Kamu akan lulus jurusan komunikasi. Aku yakin.”
“Sok tahu.” Rena merasa bersalah, “Maaf, maksudku terima kasih sudah mendoakan aku. Makasih, ya, Eru.” Rena tersenyum.
“Aku selalu menulis resolusi, walaupun lebih banyak keinginan yang mustahil terkabul, tetapi—“
“Apa resolusimu tahun lalu?”
“Apa ya?” Eru mencoba mengingat-ingat. “Aku lupa—“
“Dasar payah, eh, maksudku kamu harus coba ingat.”
Eru masih mencoba mengingatnya. Di sebelahnya Rena dengan sabar menunggu.
Dan pembaca yang baik, Eru mungkin lupa, tetapi saya tetap ingat. Resolusi Eru yang tercapai selain menjadi Duta Taman adalah: dia ingin dekat dengan Rena. Ya, dia mewujudkan keinginannya di perbatasan ujung tahun.
Kemudian mereka mengobrol banyak hal, sampai-sampai Rena berbaring di samping Eru.
“Aku selalu suka bau rumput,” kata Rena sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi seakan ingin menjangkau langit.

“Eh?” Eru teringat sesuatu.      

Monday, July 8, 2013

When I've Got A Vision of You

Tiba-tiba saja lampu ruangan itu dinyalakan, Junio yang sedang duduk di sofa dan menonton televisi sedikit kaget, sel matanya berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk. Dia lihat mamanya masih dengan jari melekat di kontak lampu, matanya menyipit dan penuh pertanyaan. Sejenak, kemudian berubah menjadi mata penguasa.
“Demi Tuhan, kamu sudah tidak tidur tiga hari, Junio!” pekiknya.
“Aku tidak mengantuk… mama kembali tidur saja. Acara TV lagi seru,” kata Junio sambil tetap menatap film Gamer.
Mamanya masuk ke dapur, mengambil sebotol obat dan segelas air putih. Disodorkannya tiga kapsul obat itu dan meminta Junio menelannya. Junio menolak, tapi mama membelalakkan mata. Junio tetap menolak sehingga mamanya terpaksa membuka paksa mulut cowok itu. Cowok itu meronta, badannya lebih lemah dari yang dia kira. Tiga hari lebih tidak tidur benar-benar membuat dia kehilangan energi.
Akhirnya kapsul itu tertelan.
“Jangan dimuntahkan!” tegas mamanya saat Junio memasukkan telunjuknya ke mulut. “Obat itu akan bereaksi sebentar lagi. Lihat jam, tiga jam lagi kamu harus pergi ke sekolah, tapi tidak hari ini. Kamu butuh tidur. Mama akan memberitahu sekolah kalau kamu sakit.”
“Tapi, ma… aku ada janji dengan Zee!” rengek Junio. Zee adalah temannya sejak kecil. Mereka bersahabat tapi banyak yang mengira mereka pacaran.
“Dia bisa datang ke rumah, tinggal kamu telpon saja, kan?”
Kemudian terdengar suara papa memanggil dari dalam kamar. Mama Junio kembali ke kamar. Lampu dimatikannya lagi.

Jam 5 pagi, sudah satu jam sejak obat itu masuk ke lambungnya. Dia tidak mengerti cara kerja obat tidur, tapi sepertinya obat ini bekerja terlalu lambat. Junio tersenyum, dia tidak ingin tertidur. Dia memang seharusnya tidak tertidur jika ingin berhenti melihat mimpi yang tak diharapkan.
Satu jam kemudian obat itu bereaksi. Melatonin yang dikandung kapsul mulai mempengaruhi sarafnya agar beristirahat. Junio membuka mata lebih lebar. Dia sungguh-sungguh tak ingin tidur bahkan sedetik pun.
Dia tak ingin melihat kematian lagi.
Sudah satu bulan Junio memperoleh visi mengerikan mengenai orang-orang, kebanyakan tidak dia kenal. Jika dia tertidur dia akan bermimpi orang mengalami kecelakan, mati karena dibunuh, atau kematian tak wajar seperti film Final Destination. Dia tidak tahu kenapa dia jadi psychic begini, punya indra keenam. Kadang dari mimpi itu dia tahu nama mereka yang akan meninggal. Junio pernah mencoba mencari di internet tentang mereka. Mereka semua diberitakan telah meninggal. Seluruh akun orang-orang itu di jejaring sosial internet berisi ucapan belasungkawa. Ternyata mereka benar-bena mati dengan cara yang Junio lihat di mimpi!
Tentu Junio tak ingin lagi mengalami visi begitu. Dia kemudian berusaha kuat agar tidak teridur. Dia tidak mengalami insomnia meski kadang dia ingin mampu begadang. Sekarang, terpaksa dia begadang dan tidak tidur hingga 5 hari. Orangtuanya hanya tahu dia tidak tidur 3 hari dan mereka tak percaya tentang kemampuan Junio.

Junio menghirup nafas lewat mulut, dia terkaget menemukan dirinya sendiri tertidur di lantai di samping tempat tidur. Cepat-cepat dia bangkit dan pergi ke kamar mandi, mencuci muka, dan menggosok gigi. Kemudian memakai pakaian untuk ke sekolah.
Dia memutuskan pergi sekolah meski mamanya melarang. Saat dia melewati meja makan, dia berseru pada mamanya. “Ma, aku sekolah hari ini. Aku sudah tidur, oke? Aku akhirnya bisa tidur dengan normal!”
Mamanya hendak memaksa Junio agar tetap di rumah, tapi cowok itu sudah berlari menuju sekolah yang bisa ditempuh dengan jalan kaki.
Junio bertemu dengan Zee di jalan. Cewek itu sedang asyik bernyanyi mengikuti lagu yang diputar di iPodnya. Junio menepuk bahu Zee.
“Ngagetin aja!” tegur Zee.
“Ada berita bagus!” Junio menjajari langkah Zee dan mereka melanjutkan perjalanan. Zee kembali asyik dengan lagu Lady Gaga di telinganya. Junio kesal tidak diacuhkan. Dicabutnya earphone dari telinga kanan Zee.
“Apa sih?”
“Dengar dulu,” kata Junio. “Aku lagi seneng nih. Aku udah nggak freak lagi.”
Zee tertawa, membuat Junio lebih kesal. Apalagi pengaruh kurang tidur membuat orang bisa mudah marah. Mereka memang biasa saling meledek, jadi Junio mengabaikan tawa jelek Zee.
“We’re freak indeed!” katanya. Dia menujuk kacamata Junio dan kawat gigi yang dimiliknya sendiri. “Sekarang kamu malah bergaya smoky eyes.”
“Ini karena kurang tidur, tahu!” sahut Junio. “Maksudku, indra keenamku sudah hilang. Aku udah nggak lihat kematian orang-orang.”
“Benar?” Zee tertarik. Dia ingin mendengar lebih lanjut.
“Aku minum obat tidur dan tertidur meski cuma sekitar 2 jam. Tapi aku nggak mimpi apa-apa. Malahan nggak ingat sempat tertidur.”
“Semua orang nggak ingat kapan dia mulai tertidur, bego!”
Bel sekolah berdering saat mereka masuk ke halaman sekolah. Mereka berpisah karena berbeda kelas. Mereka sepakat untuk melanjutkan cerita nanti di kafetaria.

Meski agak terkantuk-katuk, perasaan Junio pagi ini sangat cerah. Dia mencoba menikmati pelajaran Sastra sampai dia diminta membaca sebuah naskah drama.
“Kenapa saya, bu?”
“Kamu sepertinya lebih asyik melihat ke luar jendela daripada buku dihadapanmu. Lagipula kamu suka drama, kan?” tanya gurunya.
Junio memang pernah audisi untuk pementasan drama, tapi itu karena terpaksa ingin mencari hal baru selain yang berhubungan dengan komputer. Komputer adalah passion-nya, sedangkan drama adalah mimpi buruk. Dia benci ikut drama.
“Dan untuk bagian Juliet, kita minta kesediaan Quin,” kata gurunya.
Junio melihat buku di hadapannya. Ternyata naskah drama Romeo dan Juliet. Dia jadi Romeo dan Quin jadi… Junio sudah lama naksir Quin dan bermimpi mereka jadian. Tentu saja tak akan pernah karena Quin sudah punya pacar, kapten eskul tenis.
Quin maju ke depan kelas dengan percaya diri, membuat Junio menelan ludah karena merasa ini mimpi yang indah. Dia mencari-cari apakah ada adegan ciuman, sayangnya tidak ada.
Saat Junio maju, murid-murid lain menyoraki mereka. Ada yang berkata kalau mereka seperti Ratu dan Babu, atau the Princess and the Pauper. Telinga Junio memerah seiring dia sampai ke hadapan Quin.
Quin membaca naskah dengan sempurna, sedang Junio seperti berpidato di acara pemakaman. Semua tentang mereka berdua bertentangan. Langit dan bumi, hitam dan putih, Yin dan Yang, sangat berlawanan.
Sesekali Junio mencuri pandang pada Quin, dan Quin memberi tatapan biasa saja. Saat mata mereka bertatapan, Junio melihat sesuatu. Sesuatu yang berkelebat cepat namun menempel di ingatan Junio. Seperti apa yang pernah dia lihat sebelumnya.
Suaranya tersedot.

Dia melihat tubuh Quin terbelah dua di bagian perut. Apapun isi perutnya yang berdarah keluar dan terlempar ke jalanan. Mobil yang menabrak Quin berusaha berhenti, tapi tak bisa. Mungkin rem tak berfungsi sehingga menabrak pohon, pengendaranya pingsan seketika.
Sebuah suara memanggil Junio dari kejauhan. Dia tak menggubris. Dia terlalu terguncang dengan apa yang tampak. Kenapa tubuhnya tak bisa digerakkan? Dia ingin membantu Quin atau pengendara itu atau memanggil polisi. Dia tidak bisa, bahkan tubuhnya pun tak terasa ada.
Suara itu kembali menyebut namanya.
Junio tersadar dari tidurnya. Dia mengitari pandangan sekitar, dia sedang ada di taman sekolah, sendirian tertidur di sebuah bangku.
“Aku tunggu di kantin nggak muncul-muncul! Malah tidur di sini.” keluh Zee.
“Aku nggak tahu kenapa sampai bisa ada disini. Perasaan aku tadi di kelas lagi baca naskah drama.”
“Drama? Kamu main drama? Bukannya benci sekali terlibat yang begituan?”
Junio kembali teringat mimpinya. Dia mencengkram lengan Zee. “Aku melihat visi…,” katanya.
Zee meringis dan melepaskan tangannya dari Junio. “Katanya sudah nggak lagi?”
“Aku  kira begitu tapi aku melihat lagi… dan ini Quin!”
“Kenapa Quin? Kamu mimpi jorok dia, ya?” tuduh Zee.
“Aku lihat dia mati! Dia mati!”
Zee terdiam karena wajah Junio sedikitpun tidak bercanda. Dia pernah melihat wajah ini sebelumnya. Awalnya sulit percaya Junio bisa meramal masa depan, tapi bukti yang mereka dapat di internet meyakinkan Zee. Nama-nama yang Junio sebutkan memang mati setelah Junio mendapat visi.
“Jadi sekarang giliran Quin?” tanya Zee.
“Ya!” jawab Junio.
“Giliran apa?” kata sebuah suara di belakang mereka. Junio kaget melihat Quin di dekat mereka. Quin, yang selalu cantik di mata Junio, bersedekap dan melempar pandangan bertanya. “Giliran apa?”
Junio dan Zee saling berpandangan. “Gak ada…,” kata Junio. “Aku bicarain tentang baca naskah tadi, kok. Kita begiliran membacanya.”
“Annoying!” Quin pergi secepatnya. Junio merasa bersalah. Dia sangat menyukai Quin dan tak ingin terjadi hal buruk pada pujaannya.
“Kita harus peringatkan Quin!”

Zee tahu Junio suka Quin sejak mereka masuk SMA sampai sekarang kelas XI. Setiap kali Junio curhat tentang cewek pasti itu Quin. Zee dengan sabar mendengarkan meski tak pernah memberikan solusi. Padahal, tanpa Junio tahu, ada seorang yang selalu peduli pdanya, menyayanginya tanpa syarat, dan hadir saat dibutuhkan. Zee tahu kalau dia suka Junio, tapi tak pernah berani mengutarakan.
Saat Zee mendengar Quin akan mati, entah kenapa hatinya malah senang. Dia malah ingin cewek sempurna itu lenyap. Zee hanya ingin Junio peduli padanya. Jika Quin tak ada, pesaingnya berkurang satu, kan?
“Bener, deh, Junio. Aku nggak bisa nemenin kamu terus-terusan buat ingetin Quin. Dia nggak percaya kita sedikit pun!” kata Zee.
Mereka duduk di kantin dengan lesu. Sudah lima hari mereka berusaha memberitahu Quin agar berhati-hati. Kalau perlu menghindari jalan raya yang punya pembatas jalan dan got yang besar di sisinya. Quin mengira mereka bohong, konyol, dan cari perhatian. Kali terakhir Junio hampir mengeluarkan air mata membuat Quin sedikit kaget.
“Oke, aku akan jaga diri, Junio. Jangan nangis, dong. aku baik-baik aja!” kata Quin. “Tapi, aku mohon untuk berhenti nemui aku kalu cuma untuk becanda.”
Junio tak tahu lagi cara meyakinkan Quin. Zee, tanpa disadari Junio, tersenyum merasa menang.
“Lagipula kita nggak pernah menghalangi kematian orang yang kamu lihat visinya,” kata Zee.
“Ini pertama kalinya aku dapat visi buat orang yang kukenal… malah orang yang kucinta…” Kemudian Junio berbicara tentang Quin, apa yang dia suka dari cewek itu, dan masa depan jika mereka bersama, jika mereka berdua masih hidup.
“Stop!” teriak Zee. “Aku mau pulang.”
Junio tak punya tenaga lagi untuk sekedar mencegah Zee keluar dari kamarnya. Dia terlalu capek memikirkan semua. Terlalu capek karena dia tidak tidur dan takut mendapat visi lagi.
Awalnya dia terjaga, menonton TV, tapi matanya menjadi berat dan… Junio tertidur.
Dia mendapat visi lagi, masih tentang Quin, namun kali ini tak hanya Quin yang celaka, tapi juga yang lain.
Junio tersentak bangun. Ketakutan setengah mati.

Quin menstarter mobilnya. Dia baru saja pulang dari latihan dance, besok ada kompetisi jadi latihan makin intensif. Dia selalu pulang sore sendirian. Saat mobilnya melewati jalan raya dengan pagar pembatas dan got besar, ingatannya melayang pada Junio. Sempat terbersit rasa takut terkait apa yang Junio katakan padanya. Quin melamun sehingga tak menyadari dia sudah melindas sesuatu. Kucing!
Dia bergegas meminggirkan mobilnya. Kemudian berlari ke tengah jalan tempat kucing tergeletak berdarah. Quin melepas sweater-nya dan membungkus Sang Kucing itu. Quin tidak penjijik, jadi dia tak masalah membiarkan tangannya berdarah dan bau.
Dia agak kesusahan mengambil kucing itu. Sejak dulu dia diingatkan agar segera mengubur kucing mati agar arwahnya tidak menjelma menjadi ruh penganggu. Quin membungkus kucing itu sambil menangis bersalah.
“Maafkan aku kucing…”
Sebuah mobil datang dengan kecepatan tinggi, membuat Quin bergegas, tapi kucing itu hampir terjatuh karena Quin tersandung batu. Saat Quin mencoba bangkit lagi, mobil itu menabraknya tanpa sedikit pun mengurangi kecepatan. Quin terpental jauh bersama kucing mati dalam pangkuannya. Sedangkan mobil itu menabrak pagar pembatas dan masuk ke got. Semua kejadian itu berlangsung semenit.
Quin meninggal, dan pengendara itu pingsang seketika.
Junio berlari menyusuri lorong rumah sakit menuju UGD. Dia berpapasan dengan beberapa perawat yang mendorong brankar, diatasnya seseorang penuh darah, Junio mengenalinya. Quin, cewek yang tertabrak tak tertolong lagi karena kepalanya membentur aspal dengan keras.
Junio menangis, sekuat tenaga dia kembali bergegas menuju UGD. Dia ingin mendapat penjelasan Zee.
“Aku nggak sengaja tahu!” bantah Zee, dia tak menatap mata Junio.
“Aku lihat visi, Zee. Kamu yang nabrak Quin di sana. Ternyata memang… aku nggak nyangka kamu bisa…”
“Bisa apa? Jalan besar itu lengang dan biasa saja bawa mobil kencang. Aku tak tahu jalan itu yang kamu maksud!”
Junio menatap tak percaya. “Aku memang nggak tahu jalan mana yang dikasi tahu mimpiku. Tapi satu yang mau aku kasi tahu, aku melihat kamu tersenyum sebelum mobilmu menabrak pagar. Kamu tersenyum…”
“Kalau aku memang ingin menabraknya, kamu mau bilang apa?”
Junio tak tahu harus berkata apa-apa lagi. Apalagi mendengar Zee berkata kalau dia ingin Junio berhenti menyukai Quin.
“Aku cinta kamu, Junio. Lebih dari kamu cinta Quin. Kalian nggak bisa bersatu. Kita bisa!”
Junio menggelengkan kepalanya. Zee sudah gila, temannya nggak mungkin bisa membunuh hanya karena cinta. Cinta macam apa itu jika akal sehat terpinggirkan? Cinta macam apa yang bisa merenggut kebahagiaan orang lain?
Junio pergi dari ruangan itu, meninggalkan Zee yang terisak.

Sebenarnya ada satu visi lagi yang dilihat Junio dalam mimpi… dan ini giliran Zee. Dia ingin memberitahu tapi tak sanggup. Entah kenapa dia tak mampu memperingatkan Zee agar hati-hati.
Itu karena kematian Zee tak disebabkan apa-apa. Selain dirinya sendiri.
Malam itu, Junio menangis setelah mendengar kabar dari orangtua Zee. Masih terdengar suara mama Zee di seberang telepon. “Sekarang kami sedang ke rumah sakit. Mungkin nyawa Zee bisa tertolong… moga saja dia nggak terlalu dalam mengiris nadinya….”


Dimuat di Story Teenlit Magazine, Oktober 2012