Jam 09.43
Layar komputer menampilkan posting form di
www.blogger.com setelah aku mengklik new
post di beranda akun blogku. Aku segera memainkan jemari—mengetik dengan
sebelas jari—hingga kata-kata dalam otakku mengalir menjadi sebuah tulisan.
Hari ini sangat spesial bagiku.
Aku mengawali...
Perasaan yang menyenangkan membuncah dalam dadaku. Aku tersentuh sensasi
yang menggelitik sudut-sudut bibirku untuk mengulas senyum. Tak mampu
menyembunyikan kebahagiaan ini. Dia hadir secara natural.
17 Mei,
setahun yang lalu, menjadi hari yang bersejarah bagiku. Kini, tanggal yang
sama, adalah keajaiban yang membuatku takjub. Ini sudah satu tahun. Tak pernah
kukira semuanya bisa berjalan selama ini.
Aku
akan membuatkan makanan yang istimewa untuknya. Setelah membuka kembali
buku-buku resep yang kupunyai, aku memutuskan untuk membuat masakan Italia! Dia
sangat menyukai pasta, terutama spageti.
Aku memilih Tagliatelle Bebek Jamur sebagai makan malam kami nanti. Tagliatelle
adalah sejenis pasta yang lebar mirip kwetiau, tapi yang satu ini khas
daerah Bologna. Lalu kenapa ada daging bebek di menu Italia? Aku hanya
tertantang saja untuk memasaknya, bagaimana kalau kesukaanku akan daging unggas
digabung dengan pasta favorit dia?
Masakan ini bermakna aku ingin kami bisa
bersama lebih lama lagi, saling mengisi, saling melengkapi, walaupun banyak
perbedaan yang ada. Aku sangat berharap kami akan bersama selamanya...
Aku mengakhiri artikel itu dengan janji untuk merekam
prosesku memasak dan memasukkan hasilnya ke YouTube, jadi pembacaku juga bisa
mencoba di rumah.
Kemudian, aku mengepos tulisan itu.
Sebelum
aku pergi untuk membeli bahan-bahan yang dibutuhkan untuk makan malam spesial
ini, aku membaca komentar-komentar pembaca yang mampir di hulkcancook.blogspot.com milikku (banner-nya bergambar Hulk, tokoh komik hijau besar itu, yang sedang
memasak). Beberapa hanya sekedar menyapa dan bilang kalau blogku menarik,
sebagian lagi benar-benar ingin berdiskusi tentang memasak. Namun, satu nama
selalu menuliskan komentar kalau dia kagum dengan
pria yang bisa masak dan senang jadi penikmat masakanku.
Dia harus
tahu kalau aku selalu senang memasak untuknya!
Kemarin pagi.
“Besok jangan makan di luar... aku masak buatmu,” kataku.
Aku
kembali bergelung di atas tempat tidur selagi dia bolak balik berpakaian
siap-siap untuk ke kantor. Dia tersenyum sambil menyemprotkan parfum yang
aromanya membuatku melayang. Aku selalu teringat sebuah scene di film Perfume
jika mencium aroma itu... membangkitkan gairahku. Membuatku ingin menikmati hidup
lebih lama dengan rasa sensual yang menggelora. Namun, aku tidak bisa
melarangnya pergi ke kantor, kan?
“Aku
pergi, ya, Sayang,” katanya setelah semua rapi melekat di tubuhnya. Dia
berjalan menujuku dan memberiku kecupan di pipi. “Masak yang enak.”
Aku
mengangguk.
“Kerja
yang rajin, ya!”
Jam 11.00 am.
Aku melaju bersama taksi menuju supermarket yang menjual berbagai bahan dan bumbu masak lengkap untuk masakan
citarasa Eropa dan Asia. Aku bisa menemukan jamur porcini di sini. Jamur ini asalnya dari Hermisphere, Eropa Tengah,
berbentuk seperti payung coklat kehitaman dan bertekstur padat. Selain itu, aku
membeli keju pecorino, keju khas
wilayah Italia Selatan, yang rasanya tentu berbeda dengan keju Kraft yang biasa kupakai untuk
menghemat biaya, hahaha. Dan tak lupa, pasta Tagliatelle yang jadi judul malam ini, pasta yang bungkusnya
bertuliskan “Bologna”. Aku juga membeli sayuran yang dibutuhkan serta minyak
sayur agar saat merebus pasta tidak saling melekat. Kalau daging bebek, aku
lebih suka ke pasar tradisional untuk mendapatkan harga yang lebih bagus. Tentu
saja penghematan!
Jam 13.15
Aku menyalakan handycam
di atas tripod dan mengarahkannya ke tempatku berdiri saat memasak di dapur.
Inilah salah satu aktivitas yang senang hati kulakukan. Merekam prosesi diriku
memasak dan meng-upload-nya ke
internet. Aku bukan bermaksud untuk menjadi selebritas tapi kalau ada cara
untuk menunjukkan kemampuan kita kenapa tidak dilakukan? Mungkin saja aku bisa
seperti Justin Bieber, Zee Avi, atau Charice yang terkenal lewat Youtube (kalau
dilihat lagi nama-nama ini terkenal di bidang tarik suara, sedangkan aku bidang tarik panci). Apa aku bisa masuk ke televisi dan punya acara masak
sendiri? Aku ingin sekali.
Kamera
merekam aksiku.
“Oke, itu
tadi bahan-bahan utamanya, sedangkan untuk tumis jamur kita perlu dua sendok
makan minyak zaitun, satu siung bawang putih yang dicincang halus, setengah
sendok teh thyme kering, 200 gram
jamur porcini yang diiris tipis, dan
terakhir lima gram daun peterseli
cincang... sekarang, ayo kita mulai memasaknya!”
Kamera
terus merekamku.
Sebenarnya aku punya pekerjaan kantoran, namun dipecat
karena jadi korban perubahan sistem di kantor. Beginilah nasib kalau kerja
setengah-setengah. Saat perusahaan perlu mengetatkan pinggang, siap-siap saja
mendapat feeling akan didepak.
Ironisnya, aku malah senang.
Kenapa
aku malah senang jadi pengangguran?
Karena di
kantorku itu diisi orang-orang yang pikirannya cetek. Mereka masih suka main
senioritas, melabeli orang dengan nama-nama aneh, dan susah menerima orang apa
adanya. Aku tidak suka berada di antara mereka dan sebaliknya. Tak heran saat
aku keluar ada yang senang sekali.
Hanya
karena aku berbeda, mereka membenciku.
Aku tidak
pernah melakukan kejahatan pada mereka, tak pernah mengejek sebelumnya, tapi
setelah gosip kalau aku berbeda tersebar di kantor semua hampir membenciku,
kecuali beberapa cewek yang bersimpati. Sedangkan teman-temanku malah
menganggap diriku sebagai penyebar penyakit menular.
“Kenapa
lo nggak menyangkal kalo lo beda?” tanya Aria, mantan temanku. Dia menjauhiku
dan aku sempat bilang kalau sikapnya itu layaknya rasisme.
“Gue udah
capek berbohong. Mengakuinya
berarti kejujuran, setidaknya pada diri gue sendiri.”
Dia
langsung meludah ke samping. “Cih! Dasar abnormal. Gue kecewa.”
Aku tidak
mengerti orang berpendidikan tinggi seperti dia masih susah untuk menerima
orang apa adanya. Atau penerimaan itu bukan masalah pendidikan?
Sekitar
tujuh bulan terakhir aku merasa dikucilkan di kantor. Semua pekerjaan aku
kerjakan setengah hati. Tertekan di sana. Aku memang menerima jaminan keamanan dari
bosku yang lebih open minded dan paham tentang equality, tapi aku butuh partner yang
baik. Bagaimana aku bisa kerja dalam tim kalau aku sebenarnya tidak diharapkan
disana?
Jadi, aku
senang bisa keluar dari neraka itu. Sekarang, hampir dua tahun aku bekerja freelance di sebuah majalah sebagai
penulis resep masakan dan info kuliner. Lumayan untuk makan sehari-hari.
Aku pun bisa menjadi diriku sendiri.
Aku kembali meng-update blog dan mengupload video di Youtube.
Cara
paling menyenangkan untuk memasak adalah melakukannya dengan penuh cinta. Kali
ini, karena aku mencintai memasak dan memasak untuk orang yang kucinta, aku
senang sekali dan jadilah pasta+daging bebek yang indah. J
Dia bakalan suka nggak, ya?:p
Aku tak tahan untuk tidak menelponya.
Jam 17.22
“Aku masih di
kantor, sayang...” katanya begitu lembut di telepon. Telingaku serasa
dibuai.
“Tapi ini
udah jam setengah enam sore lho... Aku kangen kamu. Kok kamu ngangenin banget,
sih?”
“Hahaha, kalau kamu itu lucu banget.”
“Love you, dear. Jangan sampai telat
datang makan malam, ya?”
“Pasti.”
Aku mencintai dia, sepenuh hati. Dia hadir dalam hidupku
dan memberiku semangat hidup. Saat aku terpuruk setelah resmi jadi
pengangguran, tak ada orang yang peduli dengan keadaanku. Orangtuaku memang ada, tapi
mereka tidak kuberi tahu. Bisa-bisa Mama panik dan menyuruhku kembali ke
kampung di Palembang sana.
Dia
adalah satu-satunya orang yang mengerti diriku. Dia sosok yang ada saat aku
merasa kesepian di dunia ini. Hampa yang selalu kurasakan, dia membuat semua
bisa dilalui. Gunung berbatu tajam yang tinggi sekali pun.
“Kamu sudah terlalu banyak menderita. Saatnya kamu
bahagia,” katanya suatu kali. “Aku akan menjagamu, dear. Tak ada yang lain yang bisa.”
Aku
menyukai sikap posesifnya itu. Bagai api yang menghangatkan tubuhku saat aku
berada di puncak gunung. Sedikit saja dan
jangan sampai “membakar” tubuhku.
“Kamu
yakin?” tanyaku. Hanya bertanya.
Namun,
baginya itu bukan sekedar pertanyaan. “Kenapa aku harus tidak yakin?”
“Karena...,”
aku ragu untuk mengatakannya. Bisa merusak suasana romantis kami. Kupemainkan
dasi yang masih tergantung di lehernya. Dia memelukku dan kepalaku bersandar ke
bahunya.
“Karena
apa, Sayang?”
“Karena
ada saatnya nanti kamu menemukan seseorang yang lebih menarik daripada aku.”
Dia
terdiam. Aku tahu dia akan kesal padaku.
“Kita
mencari orang yang menarik dipandang mata? Setiap berjalan kita bertemu satu
orang yang tampan, beberapa langkah lagi akan menemukan yang lain. Bahkan dalam
satu kali klik di internet kita bisa kenal dengan orang tertampan sedunia. Tak
akan pernah ada habisnya.”
“Aku
hanya takut kamu meninggalkanku.”
“Bagaimana
lagi caraku agar ketakutanmu hilang?”
Dia
menggeser kepalanya hingga kami saling menatap. Dia mendekat dan mencium
bibirku.
Ketakutanku
hilang.
Jam 18.12
Aku meletakkan meja di balkon apartemenku. Suasana kota
berwarna senja memberi latar. Aku telah selesai menyiapkan meja dan tak lupa
sebotol anggur paling mahal yang kumiliki. Malam ini, makan malam istimewa.
Semua harus istimewa.
Dia masih
terjebak macet. Aku setia menunggu.
Aku pun
sudah mandi dan memakai parfum terbaikku. Kemeja yang kupakai adalah hadiah ulang tahun
darinya. Cocok sekali denganku, apalagi aku menyukai wana hijau menenangkan itu.
Aku pertama kali bertemu dengannya di sebuah peluncuran
buku resep masakan. Bukunya memang biasa, tapi acara peluncurannya luar biasa.
Aku sudah kenal penulisnya dan menyenangkan bisa menjadi tamu kehormatan. Si penulis memberiku kesempatan untuk mencoba resep yang ada di bukunya. Aku memasak di hadapan ratusan orang tanpa persiapan! Sebenarnya penulis ingin menunjukkan siapa pun bisa menerapkan resep yang ada di
bukunya. Aku tahu aku bisa.
Di
sanalah dia berdiri, di antara penonton yang memadati depan panggung. Dia
sebenarnya punya acara sendiri di ruangan lain dalam gedung yang sama, tapi sedang jeda istirahat..
Saat aku selesai memasak, presenter
acara itu meminta salah satu pengunjung untuk mencicipi masakanku.
Dan terberkatilah aku, dia maju dengan suka rela, mencicipi masakanku, dan mengucapkan pujian yang membuatku
bangga.
“Enak sekali!”
Kami mengobrol setelah acara itu, saling
bertukar nomor ponsel, dan suatu hari saat aku kangen padanya kami janjian untuk bertemu di suatu tempat.
Dia bertanya, “Maukah dirimu bersama
denganku selamanya?”
Jam 19.04
Aku duduk terkulai di sofa. TV menyiarkan acara kartun
anak-anak yang lucu, tapi aku butuh kadar lelucon yang lebih besar daripada
melihat kekonyolan makhluk spons berwarna kuning itu.
Dia
terlambat.
Katanya
masih macet.
Kupencet
remote TV berkali-kali, menukar-nukar channel. Tak ada yang menarik.
“Kita adalah orang-orang yang mendapat stigma di
masyarakat sebagai kaum minoritas yang buruk...,” kataku suatu kali.
Kami
duduk di sofa sambil memegang buku masing-masing. Aku membaca majalah dan dia
membaca buku tentang bisnis dan ekonomi di China.
“Hmmm?”
“Kadang
stigma menjadi pembenaran bagi beberapa orang untuk menghakimi kita.”
Dia
mengalihkan pandangannya padaku.
“Kita
dianggap tidak setia, melanggar moral, menentang hukum alam..., menyebarkan penyakit,
seperti HIV...,” sambungku.
“Beberapa
orang membenci kita karenanya, dan beberapa dari kita mencari pembelaan atas
perbuatan lewat stigma ini...”
Aku
mengangguk. “Banyak yang tidak setia pada pasangannya,” kataku memfokuskan
diskusi spontan ini.
“Lalu?”
“Aku
selalu setia padamu. Aku ingin kita menjadi pasangan yang berakhir bahagia.
Sebagian besar kisah tentang kita selalu berakhir sedih. Perpisahan, keluarga
yang menentang, masyarakat yang menghakimi tidak adil, bahkan kematian....”
Air
mataku mengalir dari tempatnya.
“Aku tak
tahu masa depan yang bagaimana harus kuhadapi. Kesepian hingga tua atau
membohongi seseorang demi menjadi manusia yang dierima orang-orang.”
Aku tidak
tahan untuk tidak menangis. Dia mengulurkan tangannya namun kutepis karena aku
tidak mau menangis di hadapannya.
Aku menangis di kamar mandi.
Jam 19.33
Belum ada tanda-tanda dia akan datang. Tadi aku
meneleponnya lagi namun tidak tersambung. Mungkin ponselnya kehabisan baterai.
Macet memang masalah yang harus segera dibereskan. Membuat segala hal jadi berantakan.
Aku
memasukkan kembali pastaku ke dalam microwave,
harus di sajikan dalam keadaan hangat.
Kuputar
sebuah lagu melalui iPod. Suara
Michael Buble menyeruak ke telingaku: "Save
The Last Dance", lagu yang benar-benar cocok untuk berdansa. Aku pernah
berdansa dengannya memakai lagu ini. Benar-benar menyenangkan.
Makna
lagunya pun menarik, seorang pria yang memiliki pasangan, tapi tidak posesif.
Dia membiarkan sang pasangan bersenang-senang asalkan dia dan hatinya selalu bersama pria ini.
Aku
berdansa sendirian.
“Kamu boleh bertemu dengan siapa saja, tapi jangan berikan hatimu pada orang lain...,” kataku saat kami berdansa.
Tangannya di pinggangku, tanganku di bahunya.
“Tentu
saja. Begitu mudah memberikan hati, namun tak mudah menjaganya. Itulah makna
sebuah hubungan, kita berjuang untuk mempertahankan.”
Aku
tersenyum.
“Jangan
takut lagi dengan masa depan, Dear. Dia akan hadir, kita hanya perlu menghadapinya. Tak perlu takut.”
“Aku
tidak takut...”
Jam 20.00
Pasti tidak akan ada makan malam istimewa. Dia sudah
sangat terlambat!
Aku tak
bisa menelponnya. Aku tak bisa tahu keadaanya sekarang. Apa dia baik-baik saja?
Masih macet, kah? Atau mogok, atau
bannya pecah, atau apa?! Kenapa lama sekali?
Tanpa
sadar tanganku berkeringat, aku mengelapnya berkali-kali ke celanaku. Saat kucoba menempelkan tangan ke pipi, dingin yang terasa.
Aku
kedinginan.....
Tapi
dadaku berdetak kencang....
Aku
takut... sendirian...
Ku coba
dan kucoba lagi untuk menghubunginya.
Tak
bisa...
“Kamu percaya kalau kita orang-orang yang tak beruntung?”
tanya dia saat kami menonton berita di televisi.
Sebuah
festival film bertema LGBT didatangi sekelompok orang dari ormas garis keras.
Mereka mencoba untuk mnghentikan jalannya acara itu karena dianggap meresahkan
masyarakat. Padahal festival itu sudah mengantongi izin dan sedikit pun tidak
berniat menganggu masyarakat.
“Orang-orang
bilang kita dikutuk...,” lanjutnya.
Aku
mendengarkan.
“Pola
pikir mereka. Stigma yang disebar tanpa ada toleransi. Lalu kita akan menderita
sendiri karena anggapan itu. Tak ada lagi pengertian. Padahal sudah begitu
banyak cerita tentang kita yang menunjukkan kalau kita juga manusia, sedang
mereka tidak mau mengerti...”
Jam 20.05
Badai turun, mengguyur kota ini. Aku segera mengecek
keadaan meja di balkon. Semua sudah basah karena angin kencang mengiringi
tangisan langit. Aku menarik meja itu dengan kencang sampai piring dan gelas
diatasnya jatuh ke lantai. Beberapa pecah.
Kututup
pintu agar tak ada angin yang masuk. Sebagian lantai sudah ikut basah.
Kulirik
ke pintu masuk. Masih tak ada tanda. Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Aku
ingin penantian ini berakhir.
“Kamu jangan takut...”
Aku tidak
takut, kataku dalam hati. Aku hanya tak siap jika mendapatkan berita buruk. Aku
benci kejutan. Aku benci dengan ketidakpastian. Aku lebih suka memasak dengan
resep yang rapi dan takaran yang pas. Aku mampu membuat resep yang pasti bisa dibuat
oleh orang lain.
Aku tidak
suka dengan kondisi menyakitkan. Memang irasional jika diri meminta selalu berada di kondisi ideal,
tapi aku tak bisa menghadapi kondisi
sebaliknya.
Kini, aku takut kehilangan dia.
Kemudian kumengganti pakaianku dengan jaket parasut dan celana tahan air. Aku ingin keluar mencari dirinya. Aku tak bisa diam saja disini.
Aku
berjalan menuju pintu apartemenku. Saat aku membukanya, aku terkejut dengan apa
yang kulihat. Sebuah buket bunga mawar yang sangat besar, sampai-sampai
menutupi wajah orang yang membawanya.
“Happy anniversary, Dear...,” kata orang
itu.
“Kevin?”
“Aku
minta maaf sudah datang terlambat...”
Dia basah
kuyup.
Aku hampir menangis dibuatnya. Tak tahukah dia
bahwa aku cemas memikirkan keadaannya? Kenapa dia malah berdiri di sini,
alih-alih masuk ke dalam dam menikmati pasta yang sekarang entah jadi apa itu.
Aku
berdiri di depan pintu dan menggenggam kunci dengan erat. Kupakai punggung
tanganku untuk menahan agar tak ada air mata yang keluar.
“Mario...,”
katanya kemudian. Dia tampak sangat serius. “Kita sudah bersama selama satu
tahun ini. Aku ingin ini berlanjut selamanya. Aku ingin selalu ada di sampingmu. Aku butuh dirimu
untuk menghangatkan hari-hariku. Apa pun yang terjadi, aku akan selalu berusaha
untuk setia. Walau kita tidak tahu bagaimana masa depan, aku ingin kita tidak
perlu takut lagi karena kita bersatu.
“Mario, apa kamu
juga menginginkan hal yang sama?”
Perlukah
aku menjawabnya?
Aku
akhirnya menangis, tapi kebahagiaan yang memelukku, bukan kecemasan lagi.
Aku mengambil bunga dari tangannya. “Aku pikir-pikir
dulu..”
Wajahnya berubah
saat mendengar jawaban yang tidak diharapkan itu.
Aku tertawa. “Oke, baiklah. Dengan
satu syarat.”
“Apa itu?”
“Syaratnya, kita makan sekarang. Soalnya aku lapar sekali.”
Dia
tersenyum dan kemudian memelukku.
Aku
tidak takut lagi.
Esok paginya.
Kutulis di blogku:
Makan
malam istimewa: sukses!!!